"Ada apa? Kau menunggu kabar dari Tiffany?"Matthew tersenyum miris, "Aku memang bodoh yang masih berharap dia balik padaku."Salsha yang melihat itu hanya bisa tersenyum simpul, lalu menjulurkan segelas air minum dan obat yang ia bawa. "Minumlah ini dulu. Tubuhmu juga butuh tenaga."Matthew hanya menurut lalu membereskan rambutnya yang sedikit berantakan, matanya masih melirik ke arah ponselnya, "Tidak seperti biasanya.""Mungkin, dia sedang ada urusan jadi tidak bisa datang. Ingatlah, dia juga bekerja sebagai dokter.""Biasanya, dia selalu memberiku kabar, apapun itu. Ah, rasanya aneh sekali." cicitnya seraya mengingat tingkah mereka dulu sebelum semua ini terjadi. "Sudahlah, tidak usah terlalu dipusingkan. Kau tidak boleh berpikir berat dulu saat ini. Ingatlah juga dengan kondisimu."Matthew mengangguk, tak lama disusul dengan suara pintu kamar mandi yang terbuka. Nampak seorang pria paruh baya tengah bersenandung seraya menggosok rambutnya yang masih basah. "Eh, Salsha? Kau data
"Kau masih tidak ingin tidur?"David menggeleng, "Aku belum mengantuk. Kau tidur duluan saja."Tiffany menggeleng, "Aku tidak mengantuk, aku akan menemanimu di sini."David hanya terdiam lalu tersenyum geli, Tiffany memang tak pandai berbohong. Kedua matanya sangat sayu ditambah lagi dengan gadis itu yang terus menguap. Jelas sekali, jika gadis itu sedang menahan ngantuk. Akhirnya, mereka melanjutkan menonton televisi hingga jam sudah menunjukkan pukul setengah dua malam. David menoleh ke arah sisi kanannya, Tiffany sudah tertidur pulas dengan dengkuran halus. Pria itu terkekeh sejenak sebelum ia membaringkan kepala Tiffany pada pundaknya lalu menciumnya sekilas. David memposisikan tubuhnya agar nyaman dan meletakkan kepalanya pada tumpuan kepala Tiffany. Mereka tertidur di sofa ruang tengah. ***Pagi hari, Tiffany menggeliat dari tidurnya. Tubuh bagian belakangnya terasa sedikit sakit dan juga ngilu. Ia mengedarkan pandangannya ke arah penjuru ruangan. Sepi sekali. Tak ada tanda-ta
"Tiffany, ayo kita pulang. Aku ingin menjemput Rosa di bandara. Dia baru saja sampai."Gadis itu menoleh lalu mengangguk, mengiyakan."Rosa? Kenapa dia datang?" tanya Gilang yang penasaran."Dia sekarang aku tugaskan untuk membantuku di sini. Aku berniat membuka cabang restoran di sekitar Jakarta. Jadi, aku rasa, aku memerlukannya.""Ah, aku sangat ingin menjadi David. Dia selalu dikelilingi oleh gadis-gadis cantik." ucap sok dramatis dari Romeo. Tiffany lagi-lagi hanya bisa terkekeh, ia melirik sekilas ke arah Philip yang malah memainkan gitarnya tanpa berniat ikut campur ke dalam candaan temannya. Pria satu itu memang berbeda, tapi mereka masih bisa bersahabat. Tiffany rasa, Philip lebih cenderung dekat dengan David. Entahlah."Baiklah, kami pamit lebih dulu." ucap Tiffany lalu mengikuti langkah besar David yang sudah jalan lebih dulu."Kau tak keberatan jika aku menjemput Rosa lebih dulu di bandara?" tanya David langsung ketika Tiffany sudah berada di bangku penumpang, disampingny
Tiffany memasukkan ponselnya ke dalam tas selempang yang ada pada pangkuannya."Siapa?" tanya David, tanpa menghilangkan fokusnya ke arah jalanan."Salsha, dia menanyakan kenapa aku tidak datang ke rumah sakit dan memberikan kabar bahwa Matthew sudah jauh lebih baik dan bisa pulang secepatnya."David hanya ber-oh ria, Tiffany melirik ke bagian kaca kecil di atas dasbor mobil yang menyorot ke arah belakang, di sana ada Rosa yang sedang memainkan ponselnya dengan sesekali terkekeh. "Kau sudah berapa lama bekerja dengan David?" tanya Tiffany memecah keheningan di antara mereka. "Aku baru dua tahun ini bekerja bersama David." Rosa memamerkan senyumnya. Tiffany tak bohong, gadis itu cantik sekali."Ah, jadi, kau belum terlalu lama, ya?""Bisa dibilang begitu, tapi aku sudah mengenal David dari kecil, kami sering bermain bersama dulu karena rumah kami sangat dekat."Tiffany menoleh ke arah Rosa, "Kalian teman masa kecil?" Lalu, menoleh ke arah David dan diangguki keduanya."Ya, Tiffany. K
Hujan deras mengguyur ibu kota dengan derasnya. Suara gemuruh di atas sana terdengar bersahutan menyuarakan kencangnya. Dedaunan dan juga pohon bergerak mengikuti irama angin yang membawanya. Matthew sendiri di ruangan serba putih nan besar itu dengan gitar kesayangannya. Kedua matanya menatap lurus ke arah objek luar sana yang menampilkan jalanan ibu kota yang sangat padat dihiasi oleh gemerlap lampu jalanan dan kendaraan yang mendominasi. "Apa dia pria yang dikatakan oleh Tiffany tadi? Jika, dia adalah pria dari masa lalu Tiffany, seharusnya kau adalah pemenangnya. Kau berhasil meyakinkan Tiffany ke sebuah hubungan baru. Aku rasa, Tiffany juga masih menyimpan rasa padamu, jika tidak, ia tidak mungkin menemui sekaligus menunggumu di sini. Jika, pria masa lalunya itu tidak hadir kembali, aku rasa kau masih bersama Tiffany sekarang. Bukan begitu?"Pikirannya kembali mengarah pada perkataan sang ayah tempo hari. Sebenarnya, ia juga tidak tahu bagaimana posisi yang sebenarnya yang ada
Mereka akhirnya tiba di sebuah apartemen yang sebelumnya sudah dijanjikan oleh David. Tak menunggu lama, mereka segera berjalan menuju ruang administrasi untuk mengklaim kamar yang sudah mereka booking. Kebetulan juga, hujan saat ini sudah reda dan menyisahkan aroma tanah yang menyeruak masuk ke dalam hidung."Ini kuncinya. Apakah ingin ditinggali sekarang juga?" tanya seorang wanita yang nampak anggun di balik mejanya. "Iya, salah satu kamar akan dihuni malam ini juga.""Kamar yang mana, ya?""Kamar nomor 389.""Baiklah, staff kami akan membersihkannya terlebih dahulu. Mohon tunggu tiga puluh sampai empat puluh lima menit."David mengiyakan. Setelahnya, ia berjalan mendekati Tiffany dan Rosa yang sedang menunggu di kursi tunggu. Pria itu menyerahkan kunci yang diberi staff apartment pada Rosa. "Ah, terima kasih." Tiffany yang melihat itu, sontak bertanya. "Kalian satu unit?"Rosa menatap ke arah David kikuk, wajah Tiffany seperti sedang mengintimidasi dan itu membuatnya tidak nyam
Derap langkah kaki Tiffany terdengar keras, menuju dapur yang terletak dibagian sudut ruangan. Sesampainya didapur, ia mengulurkan tangannya ke kabinet atas, ia meraih dua buah mie instan khas Korea itu yang tergeletak didalamnya. Lalu, meletakkannya disamping penggorengan yang sudah disediakan. Ia membuka lemari ice yang tidak jauh dari posisinya, sebuah butir telur ia dapatkan. Dan tidak lupa, ia meracik bumbu untuk makanan yang akan dibuatnya.Setelah semuanya siap, ia menumis bumbu racikannya itu ke penggorengan yang sudah diberikan minyak sedikit dan dalam keadaan menyala. Dan, ia juga menambahkan daging yang sudah ia cincang lalu ia aduk hingga merata. Tidak ketinggalan, ia juga menambahkan beberapa penyedap rasa kedalam masakannya. Tangannya lihai memotong paprika dan juga mentimun yang akan menjadi bahan pelengkap. Lalu, memasukannya bersama bahan masakan lainnya. Terakhir, ia masukkan mie ramyeon kedalam penggorengan.Setelah yakin jika masakannya sudah matang, Tiffany mengam
Tepat pukul satu pagi, pintu apartemennya terbuka, Tiffany segera berjalan mendekat dan langsung mendapati David yang sedang menuntun Rosa disampingnya. Tiffany terkejut saat melihat wajah pucat Rosa, "Astaga, kau kenapa? Sini, biar aku bantu."Dengan sigap, Tiffany segera mengambil alih tubuh Rosa dan membawanya ke sofa. Ia melirik ke arah David, lalu berkata."Kau baik-baik saja?" David mengangguk."Kau tunggu di sini. Aku akan siapkan air hangat untuk kalian mandi."David lagi-lagi mengangguk, sedangkan Rosa masih diam saja seraya memeluk dirinya sendiri. Bibirnya pucat dan bergetar. Selagi menunggu air hangat, Tiffany memberikan segelas coklat hangat pada Rosa. Kelihatannya, gadis itu benar-benar dalam keadaan menggigil."Ini, minum dulu untuk menghangatkan tubuhmu." Rosa perlahan menoleh ke arah Tiffany dan menggumamkan kalimat terimakasih.Setelahnya, Tiffany mendekati David yang baru saja keluar dari kamar berganti pakaiannya. Ia lalu menyeka air yang membahasi kening pria itu