"Tiffany, ayo kita pulang. Aku ingin menjemput Rosa di bandara. Dia baru saja sampai."Gadis itu menoleh lalu mengangguk, mengiyakan."Rosa? Kenapa dia datang?" tanya Gilang yang penasaran."Dia sekarang aku tugaskan untuk membantuku di sini. Aku berniat membuka cabang restoran di sekitar Jakarta. Jadi, aku rasa, aku memerlukannya.""Ah, aku sangat ingin menjadi David. Dia selalu dikelilingi oleh gadis-gadis cantik." ucap sok dramatis dari Romeo. Tiffany lagi-lagi hanya bisa terkekeh, ia melirik sekilas ke arah Philip yang malah memainkan gitarnya tanpa berniat ikut campur ke dalam candaan temannya. Pria satu itu memang berbeda, tapi mereka masih bisa bersahabat. Tiffany rasa, Philip lebih cenderung dekat dengan David. Entahlah."Baiklah, kami pamit lebih dulu." ucap Tiffany lalu mengikuti langkah besar David yang sudah jalan lebih dulu."Kau tak keberatan jika aku menjemput Rosa lebih dulu di bandara?" tanya David langsung ketika Tiffany sudah berada di bangku penumpang, disampingny
Tiffany memasukkan ponselnya ke dalam tas selempang yang ada pada pangkuannya."Siapa?" tanya David, tanpa menghilangkan fokusnya ke arah jalanan."Salsha, dia menanyakan kenapa aku tidak datang ke rumah sakit dan memberikan kabar bahwa Matthew sudah jauh lebih baik dan bisa pulang secepatnya."David hanya ber-oh ria, Tiffany melirik ke bagian kaca kecil di atas dasbor mobil yang menyorot ke arah belakang, di sana ada Rosa yang sedang memainkan ponselnya dengan sesekali terkekeh. "Kau sudah berapa lama bekerja dengan David?" tanya Tiffany memecah keheningan di antara mereka. "Aku baru dua tahun ini bekerja bersama David." Rosa memamerkan senyumnya. Tiffany tak bohong, gadis itu cantik sekali."Ah, jadi, kau belum terlalu lama, ya?""Bisa dibilang begitu, tapi aku sudah mengenal David dari kecil, kami sering bermain bersama dulu karena rumah kami sangat dekat."Tiffany menoleh ke arah Rosa, "Kalian teman masa kecil?" Lalu, menoleh ke arah David dan diangguki keduanya."Ya, Tiffany. K
Hujan deras mengguyur ibu kota dengan derasnya. Suara gemuruh di atas sana terdengar bersahutan menyuarakan kencangnya. Dedaunan dan juga pohon bergerak mengikuti irama angin yang membawanya. Matthew sendiri di ruangan serba putih nan besar itu dengan gitar kesayangannya. Kedua matanya menatap lurus ke arah objek luar sana yang menampilkan jalanan ibu kota yang sangat padat dihiasi oleh gemerlap lampu jalanan dan kendaraan yang mendominasi. "Apa dia pria yang dikatakan oleh Tiffany tadi? Jika, dia adalah pria dari masa lalu Tiffany, seharusnya kau adalah pemenangnya. Kau berhasil meyakinkan Tiffany ke sebuah hubungan baru. Aku rasa, Tiffany juga masih menyimpan rasa padamu, jika tidak, ia tidak mungkin menemui sekaligus menunggumu di sini. Jika, pria masa lalunya itu tidak hadir kembali, aku rasa kau masih bersama Tiffany sekarang. Bukan begitu?"Pikirannya kembali mengarah pada perkataan sang ayah tempo hari. Sebenarnya, ia juga tidak tahu bagaimana posisi yang sebenarnya yang ada
Mereka akhirnya tiba di sebuah apartemen yang sebelumnya sudah dijanjikan oleh David. Tak menunggu lama, mereka segera berjalan menuju ruang administrasi untuk mengklaim kamar yang sudah mereka booking. Kebetulan juga, hujan saat ini sudah reda dan menyisahkan aroma tanah yang menyeruak masuk ke dalam hidung."Ini kuncinya. Apakah ingin ditinggali sekarang juga?" tanya seorang wanita yang nampak anggun di balik mejanya. "Iya, salah satu kamar akan dihuni malam ini juga.""Kamar yang mana, ya?""Kamar nomor 389.""Baiklah, staff kami akan membersihkannya terlebih dahulu. Mohon tunggu tiga puluh sampai empat puluh lima menit."David mengiyakan. Setelahnya, ia berjalan mendekati Tiffany dan Rosa yang sedang menunggu di kursi tunggu. Pria itu menyerahkan kunci yang diberi staff apartment pada Rosa. "Ah, terima kasih." Tiffany yang melihat itu, sontak bertanya. "Kalian satu unit?"Rosa menatap ke arah David kikuk, wajah Tiffany seperti sedang mengintimidasi dan itu membuatnya tidak nyam
Derap langkah kaki Tiffany terdengar keras, menuju dapur yang terletak dibagian sudut ruangan. Sesampainya didapur, ia mengulurkan tangannya ke kabinet atas, ia meraih dua buah mie instan khas Korea itu yang tergeletak didalamnya. Lalu, meletakkannya disamping penggorengan yang sudah disediakan. Ia membuka lemari ice yang tidak jauh dari posisinya, sebuah butir telur ia dapatkan. Dan tidak lupa, ia meracik bumbu untuk makanan yang akan dibuatnya.Setelah semuanya siap, ia menumis bumbu racikannya itu ke penggorengan yang sudah diberikan minyak sedikit dan dalam keadaan menyala. Dan, ia juga menambahkan daging yang sudah ia cincang lalu ia aduk hingga merata. Tidak ketinggalan, ia juga menambahkan beberapa penyedap rasa kedalam masakannya. Tangannya lihai memotong paprika dan juga mentimun yang akan menjadi bahan pelengkap. Lalu, memasukannya bersama bahan masakan lainnya. Terakhir, ia masukkan mie ramyeon kedalam penggorengan.Setelah yakin jika masakannya sudah matang, Tiffany mengam
Tepat pukul satu pagi, pintu apartemennya terbuka, Tiffany segera berjalan mendekat dan langsung mendapati David yang sedang menuntun Rosa disampingnya. Tiffany terkejut saat melihat wajah pucat Rosa, "Astaga, kau kenapa? Sini, biar aku bantu."Dengan sigap, Tiffany segera mengambil alih tubuh Rosa dan membawanya ke sofa. Ia melirik ke arah David, lalu berkata."Kau baik-baik saja?" David mengangguk."Kau tunggu di sini. Aku akan siapkan air hangat untuk kalian mandi."David lagi-lagi mengangguk, sedangkan Rosa masih diam saja seraya memeluk dirinya sendiri. Bibirnya pucat dan bergetar. Selagi menunggu air hangat, Tiffany memberikan segelas coklat hangat pada Rosa. Kelihatannya, gadis itu benar-benar dalam keadaan menggigil."Ini, minum dulu untuk menghangatkan tubuhmu." Rosa perlahan menoleh ke arah Tiffany dan menggumamkan kalimat terimakasih.Setelahnya, Tiffany mendekati David yang baru saja keluar dari kamar berganti pakaiannya. Ia lalu menyeka air yang membahasi kening pria itu
Rosa melirik ke arah David yang sedari tadi hanya diam saja memakan nasi gorengnya, "Eh, sebentar."Tangan Rosa segera mengambil alih nasi goreng yang di makan David lalu menyingkirkan bawang goreng yang berada di sisi nasi itu. "Kau tidak suka bawang goreng, kan?"Tiffany yang melihat itu hanya bisa diam, dalam hatinya terus meronta. David tidak menyukai bawang goreng? Kenapa ia tidak tahu? Astaga, mengapa ia seperti selalu kalah cepat dengan Rosa.David yang menyadari perubahan raut wajah Tiffany sontak menghentikan tangan Rosa dari piringnya."Tak apa, aku sudah menyukainya sekarang.""Wah? Kau sudah menyukainya? Sungguh?" David mengangguk seraya mengambil alih kembali piring itu. "Lanjutkan saja makanmu itu." Dan, Rosa menurut."Apa kalian setelah ini akan langsung bekerja?" Tiffany mencairkan suasana yang sempat canggung tersebut."Ya, aku ingin melihat tempat yang akan aku jadikan kafe nanti dan segera menghubungi pekerja untuk memperbaiki sekaligus merenovasinya. Aku juga akan
Saat ini, Tiffany beralih pada rambutnya. Di sisi nakas sudah berada tiga jenis jepitan rambut dengan berbagai bentuk. Ia kembali mencari inspirasi gaya rambut yang cocok dengannya.Gadis itu mulai membagi kedua sisi rambut lalu menyatukannya ke belakang menggunakan salah satu dari jepitan tersebut."Apakah seperti ini bagus?" Tiffany bertanya pada Matthew yang baru saja ingin membaringkan tubuhnya. Matthew mengangguk, "Bagus. Cocok untukmu.""Ah, tapi ini terlalu biasa." Tiffany mengubah ulang tatanan rambutnya.Matthew hanya bisa terkekeh melihat kelakukan Tiffany. Sungguh, ini bukan seperti Tiffany yang dulu nampak angkuh dan sombong, kini gadis itu menjadi sosok gadis yang banyak bicara dan ceria, membuatnya jauh lebih menarik."Kau sudah memberitahu Salsha?" tanya Tiffany seraya sibuk dengan rambutnya."Sudah, tapi dia sedang ada beberapa pasien, mungkin setelahnya baru datang ke sini." Matthew fokus menatap ponselnya yang menampilkan banyak komentar dari penggemarnya, kebanyaka