Cuaca ibu kota saat ini sangat mendukung suasana hati Tiffany. Sedari tadi, senyuman itu tidak pernah luntur dari wajah cantiknya, apalagi David yang terkadang mencuri pandang ke arahnya seraya tersenyum. "Kau ingin makan sesuatu?"Tiffany menoleh lalu berdehem, "Aku ingin makan sesuatu yang pedas."David melirik seraya menaikkan satu alisnya, "Kau yakin? Bukankah kau paling tidak suka makanan pedas?""Aku hanya ingin saja. Ayolah."David terkekeh, "Baiklah."Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore saat mereka akhirnya tiba di sebuah restoran yang tak jauh dari apartemen milik Tiffany. Restoran dengan nama Odyssey Resto memang cukup terkenal dengan makanan khas nasional yang beragam, rasa yang ditawarkan pun juga sangat menggiurkan. Pilihan yang tepat jika ingin mencicipi makanan dari beberapa daerah Nusantara.Setelah memesan makanan yang mereka inginkan, Tiffany memperhatikan sekitar selagi menunggu. Ini kali pertamanya ia datang ke sini, suasananya cukup nyaman, banyak se
"Ah, menyebalkan sekali!" Rosa menjatuhkan tubuhnya pada sisi ranjang, emosinya benar-benar sudah mencapai puncak, ia tidak suka melihat David yang terus berdekatan dengan Tiffany.Selama mereka bekerja di Bali, ia benar-benar tidak tahu jika David sudah memiliki kekasih di Jakarta, jadi ia tidak terlalu memusingkan dan sangat senang saat David menyuruhnya untuk ikut bersamanya ke Jakarta. Pada awalnya, ia memang ingin menyatakan perasaannya pada David di Jakarta. Namun, semuanya naas saat setibanya ia di bandara, ia malah melihat David bersama sosok gadis lain yang ia kenalkan sebagai kekasihnya."Aku dan David sudah sangat mengenal saat masih kecil, aku juga sudah menaruh rasa ini sudah sangat lama. Tidak adil jika Tiffany yang malah mendapatkan David, aku tidak akan menyerah begitu saja." Rosa bergumam dengan kesal seraya mengepalkan tangannya. "Ah, sial!" Gadis cantik itu mengumpat saat ia kembali mengingat hari ini. "Kau ingin kemana?" Rosa bertanya saat David dengan tergesa-ge
Rosa yang sedang memoleskan lipstik pada bibirnya mendengar ponselnya yang bergetar. Ia menoleh dan mendapatkan sebuah pesan dari Zelo yang mengatakan ingin berkumpul bersama malam ini karena memang kebetulan mereka sudah lama sekali tidak berkumpul. Dengan cepat, Rosa mengiyakan.Secata tiba-tiba, ia mempunyai suatu pemikiran yang ia harap dapat mendekatkannya dengan David. Ia dengan cepat mendial nomor pria itu."Ada apa?""Apa kau sedang sibuk hari ini?""Tentu saja, aku harus pergi bekerja. Kau pun begitu.""Ah, maksudku, bisakah kau menjemputku? Aku sedang kesulitan karena masih tidak terbiasa dengan suasana Jakarta. Kau tidak keberatan, kan?" Rosa menggigit bibir bawahnya yang berharap cemas menunggu jawaban David. "Baiklah, tapi aku harus mengantar Tiffany ke tempat kerjanya. Tak apa?"Rosa memutar bola matanya, malas. "Baiklah. Aku tunggu."Setelahnya, panggil itu terputus. Rosa menarik sebuah laci dan mengeluarkan sebuah gambar anak kecil.***Tiffany berduduk santai di bali
Sesampainya di ruangan serba putih itu, ia tersenyum lebar mengingat ketika David mengecup keningnya. Astaga, awalan pagi hari yang sangat menyenangkan. Ia segera memakai jas putih kebanggaannya dan segera melangkah keluar karena ia hendak membuat kopi di salah satu pantry yang ada di sana, terletak di ujung lorong dan paling belakang. "Astaga, apakah ini Dokter Tiffany?" ujar salah satu perawat yang kerap dipanggil Mary itu ke arah Tiffany dan berjalan menghampiri. Mary memang sedang ada di sana, membuat kopi seperti Tiffany.Tiffany terkekeh, "Ya, ini aku. Memangnya kau sudah lupa dengan diriku setelah aku hanya cuti satu Minggu?""Ah, tidak. Bukan begitu maksudku, Dokter. Tapi, hari ini kau jauh lebih cantik! Astaga, lihatlah riasan itu, benar-benar cocok denganmu." "Kau bisa saja." Tiffany lagi-lagi hanya bisa terkekeh dan segera membuat kopinya."Aku tidak menyangka kau akan berubah secepat ini."Dari banyaknya perawat yang ada di rumah sakit ini, hanya Mary yang sangat akrab d
"Ah, itu, pasien itu bernama Nina, dia mengidap artritis yang cukup kronis pada sendi lututnya."Tiffany menoleh pada Philip, "Dia pasienmu?"Philip mengangguk, "Ya, aku yang melanjutkan untuk merawatnya. Usianya masih sangat muda, sekitar dua puluh lima tahun. Awal mulanya, ia mengalami kecelakaan hebat saat pulang bekerja, hal itu yang menyebabkan penyakitnya sekarang. Apalagi, orang tuanya belum lama meninggal dunia. Maka dari itu, Nina benar-benar membutuhkan perawatan yang khusus, mentalnya juga mengalami sedikit gangguan."Tiffany mengulum bibirnya. Ia ikut prihatin mendengar perkataan Philip mengenai salah satu pasiennya itu. Memang tidak terbayangkan bagaikan hidup yang harus Nina jalani. "Ah, ya. Apa kau hadir acara malam ini?"Tiffany menoleh seraya mengangguk, "David mengajakku. Sejujurnya, aku juga tidak enak karena itu adalah acara kalian, teman lama yang sudah lama berpisah. Aku hanyalah orang baru.""Astaga, kau tidak usah berlebihan seperti itu. Kami welcome pada siap
"Kita akan mengantar Rosa lebih dulu." Tiffany mengangguk, namun saat ia hendak memasuki mobil, David dengan cepat menahannya."Apa kau bisa duduk di belakang saja? Rosa sedang mabuk, biasanya dia selalu berbuat yang aneh-aneh hingga menganggu aku menyetir."Tiffany yang memang tertegun sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya memilih untuk duduk di belakang bersama Rosa."Maaf." Philip mencegah mereka, ia menoleh ke arah David."Biarkan aku mengantar Rosa jika kalian mengalami kesulitan. Kebetulan aku sedang kosong malam ini." "Tidak usah, biar aku saja. Aku bisa mengantar Rosa pulang. Kau duluan saja, ini sudah larut, rumahmu paling jauh." David yang menanggapi.Tiffany mengangguk, "Ya, tak apa. Lagipula, Rosa datang bersama kami, jadi biarkan kami saja yang mengantarnya.""Kau baik-baik saja?" ujar Philip yang sedikit berbisik, Tiffany terkejut. Entah apa maksud dari perkataan Philip itu."Ayo, ini sudah malam." David menginterupsi seraya masuk ke dalam mobil.Tiffany berpamitan pa
Matthew menatap rumah sakit yang bertuliskan Jakarta Jaya Hospital. Sudah lima belas menit ia hanya duduk diam di dalam mobil. Di kursi penumpang sampingnya itu terdapat bingkisan yang ingin ia berikan pada Salsha. Sebenarnya, pagi tadi, Ayahnya datang dan memintanya untuk menyerahkan itu pada Salsha sebagai tanda terimakasih karena telah merawatnya kemarin.Namun, bukannya segera masuk dan menemui Salsha, Matthew hanya terdiam di mobilnya memperhatikan banyak orang yang berlalu lalang masuk ke dalam loby rumah sakit.Barulah ketika dua puluh menit hanya terdiam di dalam mobil, Matthew berjalan keluar memasuki loby. Saat ia menoleh ke samping, ia menemukan sebuah vending machine yang berisi banyak sekali minuman, dari minuman air biasa hingga jus dalam kemasan. Matthew berniat membeli jus jambu, terlihat segar. Namun, saat ia baru saja mengambil minuman itu dan hendak meminumnya, tiba-tiba saja Salsha datang dan langsung mengambil jus yang ia pegang lalu menegaknya hingga habis tak t
"Kenapa kau tidak memberitahuku?""Aku hanya tidak ingin dikasihani dan nantinya kau akan menatap iba ke arahku. Lagipula, ini urusanku dan aku bisa mengata—""Kau salah, urusanmu adalah urusanku juga. Aku tidak akan mengasihanimu apalagi malah menjelekkanmu. Ayolah, kita sudah mengenal lama. Aku terbuka padamu sampai kau menjaga dan merawatku saat sakit, tapi mengapa kau tidak terbuka padaku?"Salsha agaknya sedikit terkejut, "Bukan begitu, hanya saja aku masih belum siap."Matthew menghembuskan napasnya kasar, "Aku mohon, katakan apapun mengenai dirimu padaku, aku akan membantumu."Salsha hanya mengangguk kikuk, mereka sudah mengenal sejak lama namun ini kali pertamanya ia melihat Matthew sangat memperhatikan dirinya."Ini." Salsha melihat bingkisan yang disodorkan oleh Matthew lalu menerimanya."Wah, terima kasih." Salsha tersenyum melihat isi bingkisan itu. Berbagai jenis pastry kesukaan Salsha ada di sana. Saat Matthew sedang tertidur kala itu, mereka mengobrol banyak mengenai sa