"Ah, menyebalkan sekali!" Rosa menjatuhkan tubuhnya pada sisi ranjang, emosinya benar-benar sudah mencapai puncak, ia tidak suka melihat David yang terus berdekatan dengan Tiffany.Selama mereka bekerja di Bali, ia benar-benar tidak tahu jika David sudah memiliki kekasih di Jakarta, jadi ia tidak terlalu memusingkan dan sangat senang saat David menyuruhnya untuk ikut bersamanya ke Jakarta. Pada awalnya, ia memang ingin menyatakan perasaannya pada David di Jakarta. Namun, semuanya naas saat setibanya ia di bandara, ia malah melihat David bersama sosok gadis lain yang ia kenalkan sebagai kekasihnya."Aku dan David sudah sangat mengenal saat masih kecil, aku juga sudah menaruh rasa ini sudah sangat lama. Tidak adil jika Tiffany yang malah mendapatkan David, aku tidak akan menyerah begitu saja." Rosa bergumam dengan kesal seraya mengepalkan tangannya. "Ah, sial!" Gadis cantik itu mengumpat saat ia kembali mengingat hari ini. "Kau ingin kemana?" Rosa bertanya saat David dengan tergesa-ge
Rosa yang sedang memoleskan lipstik pada bibirnya mendengar ponselnya yang bergetar. Ia menoleh dan mendapatkan sebuah pesan dari Zelo yang mengatakan ingin berkumpul bersama malam ini karena memang kebetulan mereka sudah lama sekali tidak berkumpul. Dengan cepat, Rosa mengiyakan.Secata tiba-tiba, ia mempunyai suatu pemikiran yang ia harap dapat mendekatkannya dengan David. Ia dengan cepat mendial nomor pria itu."Ada apa?""Apa kau sedang sibuk hari ini?""Tentu saja, aku harus pergi bekerja. Kau pun begitu.""Ah, maksudku, bisakah kau menjemputku? Aku sedang kesulitan karena masih tidak terbiasa dengan suasana Jakarta. Kau tidak keberatan, kan?" Rosa menggigit bibir bawahnya yang berharap cemas menunggu jawaban David. "Baiklah, tapi aku harus mengantar Tiffany ke tempat kerjanya. Tak apa?"Rosa memutar bola matanya, malas. "Baiklah. Aku tunggu."Setelahnya, panggil itu terputus. Rosa menarik sebuah laci dan mengeluarkan sebuah gambar anak kecil.***Tiffany berduduk santai di bali
Sesampainya di ruangan serba putih itu, ia tersenyum lebar mengingat ketika David mengecup keningnya. Astaga, awalan pagi hari yang sangat menyenangkan. Ia segera memakai jas putih kebanggaannya dan segera melangkah keluar karena ia hendak membuat kopi di salah satu pantry yang ada di sana, terletak di ujung lorong dan paling belakang. "Astaga, apakah ini Dokter Tiffany?" ujar salah satu perawat yang kerap dipanggil Mary itu ke arah Tiffany dan berjalan menghampiri. Mary memang sedang ada di sana, membuat kopi seperti Tiffany.Tiffany terkekeh, "Ya, ini aku. Memangnya kau sudah lupa dengan diriku setelah aku hanya cuti satu Minggu?""Ah, tidak. Bukan begitu maksudku, Dokter. Tapi, hari ini kau jauh lebih cantik! Astaga, lihatlah riasan itu, benar-benar cocok denganmu." "Kau bisa saja." Tiffany lagi-lagi hanya bisa terkekeh dan segera membuat kopinya."Aku tidak menyangka kau akan berubah secepat ini."Dari banyaknya perawat yang ada di rumah sakit ini, hanya Mary yang sangat akrab d
"Ah, itu, pasien itu bernama Nina, dia mengidap artritis yang cukup kronis pada sendi lututnya."Tiffany menoleh pada Philip, "Dia pasienmu?"Philip mengangguk, "Ya, aku yang melanjutkan untuk merawatnya. Usianya masih sangat muda, sekitar dua puluh lima tahun. Awal mulanya, ia mengalami kecelakaan hebat saat pulang bekerja, hal itu yang menyebabkan penyakitnya sekarang. Apalagi, orang tuanya belum lama meninggal dunia. Maka dari itu, Nina benar-benar membutuhkan perawatan yang khusus, mentalnya juga mengalami sedikit gangguan."Tiffany mengulum bibirnya. Ia ikut prihatin mendengar perkataan Philip mengenai salah satu pasiennya itu. Memang tidak terbayangkan bagaikan hidup yang harus Nina jalani. "Ah, ya. Apa kau hadir acara malam ini?"Tiffany menoleh seraya mengangguk, "David mengajakku. Sejujurnya, aku juga tidak enak karena itu adalah acara kalian, teman lama yang sudah lama berpisah. Aku hanyalah orang baru.""Astaga, kau tidak usah berlebihan seperti itu. Kami welcome pada siap
"Kita akan mengantar Rosa lebih dulu." Tiffany mengangguk, namun saat ia hendak memasuki mobil, David dengan cepat menahannya."Apa kau bisa duduk di belakang saja? Rosa sedang mabuk, biasanya dia selalu berbuat yang aneh-aneh hingga menganggu aku menyetir."Tiffany yang memang tertegun sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya memilih untuk duduk di belakang bersama Rosa."Maaf." Philip mencegah mereka, ia menoleh ke arah David."Biarkan aku mengantar Rosa jika kalian mengalami kesulitan. Kebetulan aku sedang kosong malam ini." "Tidak usah, biar aku saja. Aku bisa mengantar Rosa pulang. Kau duluan saja, ini sudah larut, rumahmu paling jauh." David yang menanggapi.Tiffany mengangguk, "Ya, tak apa. Lagipula, Rosa datang bersama kami, jadi biarkan kami saja yang mengantarnya.""Kau baik-baik saja?" ujar Philip yang sedikit berbisik, Tiffany terkejut. Entah apa maksud dari perkataan Philip itu."Ayo, ini sudah malam." David menginterupsi seraya masuk ke dalam mobil.Tiffany berpamitan pa
Matthew menatap rumah sakit yang bertuliskan Jakarta Jaya Hospital. Sudah lima belas menit ia hanya duduk diam di dalam mobil. Di kursi penumpang sampingnya itu terdapat bingkisan yang ingin ia berikan pada Salsha. Sebenarnya, pagi tadi, Ayahnya datang dan memintanya untuk menyerahkan itu pada Salsha sebagai tanda terimakasih karena telah merawatnya kemarin.Namun, bukannya segera masuk dan menemui Salsha, Matthew hanya terdiam di mobilnya memperhatikan banyak orang yang berlalu lalang masuk ke dalam loby rumah sakit.Barulah ketika dua puluh menit hanya terdiam di dalam mobil, Matthew berjalan keluar memasuki loby. Saat ia menoleh ke samping, ia menemukan sebuah vending machine yang berisi banyak sekali minuman, dari minuman air biasa hingga jus dalam kemasan. Matthew berniat membeli jus jambu, terlihat segar. Namun, saat ia baru saja mengambil minuman itu dan hendak meminumnya, tiba-tiba saja Salsha datang dan langsung mengambil jus yang ia pegang lalu menegaknya hingga habis tak t
"Kenapa kau tidak memberitahuku?""Aku hanya tidak ingin dikasihani dan nantinya kau akan menatap iba ke arahku. Lagipula, ini urusanku dan aku bisa mengata—""Kau salah, urusanmu adalah urusanku juga. Aku tidak akan mengasihanimu apalagi malah menjelekkanmu. Ayolah, kita sudah mengenal lama. Aku terbuka padamu sampai kau menjaga dan merawatku saat sakit, tapi mengapa kau tidak terbuka padaku?"Salsha agaknya sedikit terkejut, "Bukan begitu, hanya saja aku masih belum siap."Matthew menghembuskan napasnya kasar, "Aku mohon, katakan apapun mengenai dirimu padaku, aku akan membantumu."Salsha hanya mengangguk kikuk, mereka sudah mengenal sejak lama namun ini kali pertamanya ia melihat Matthew sangat memperhatikan dirinya."Ini." Salsha melihat bingkisan yang disodorkan oleh Matthew lalu menerimanya."Wah, terima kasih." Salsha tersenyum melihat isi bingkisan itu. Berbagai jenis pastry kesukaan Salsha ada di sana. Saat Matthew sedang tertidur kala itu, mereka mengobrol banyak mengenai sa
"Sepertinya, kau jago masak." Rosa tersenyum, "Sejak kecil, aku memang hobi masak, diajari ibunya David.""Masakan Rosa tidak pernah gagal, apapun yang dia masak pasti akan enak." Andre berkomentar dengan mulut yang penuh dengan pizza. "Ah, aku sangat menyukai pizza ini.""Ah, begitu rupanya. Baiklah, aku juga ingin mencicipinya." Tiffany menatap Rosa dengan kagum. Ternyata benar, masakan Rosa sangat enak. "Wah benar, masakanmu sangat enak!" Rosa tersenyum mendengar ucapan Tiffany."Kau makanlah juga yang banyak, aku memasak banyak untuk kalian." Tiffany sontak mengangguk."Kau ingin nambah? Ini ada bagian dada, kau sangat menyukai dada kan?"David mengangguk dan menerima potongan ayam itu, "Kau benar-benar tidak berubah, masakanmu tetap enak. Tidak sia-sia ibuku mengajarimu.""Tentu saja! Berkat ibumu, aku memang jadi menyukai masak. Apa kau suka ayam betutu ini?"David mengangguk dengan semangat, "Aku sangat menyukainya, rasanya tidak jauh berbeda dengan masakan Ibuku.""Jika, kau
Menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya dokter yang menangani Rosa keluar. "Bagaimana keadaannya, Dok?""Rosa baik-baik saja, dia hanya kelelahan saja. Bayinya juga baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Gilang yang mendengar itu, tanpa basa-basi lagi langsung menyerobot masuk ke dalam, ia ingin melihat keadaan Rosa secara langsung. Rupanya, gadis itu sudah sadar, tatapannya nampak kosong, ia hanya menatap datar ke arah Gilang yang kini sedang menatapnya sendu."Aku akan menikahimu, Rosa. Jadi, aku mohon, jangan melakukan hal yang tidak-tidak padanya, dia tidak salah apapun. Bagaimanapun aku ini ayahnya, aku ingin membesarkannya."Samar-samar, Rosa mendengar suara David yang sangat perhatian pada Tiffany, penuh kasih sayang dan sangat lembut. Rosa hanya tersenyum kecil, sedetik kemudian, ia merasa tubuhnya hangat dalam dekapan Gilang.***Satu bulan kemudian...Tiffany sedang menatap hamparan laut biru depannya, sepanjang mata memandang hanya ada keindahan air yang
Gilang yang sedang memainkan ponselnya, menanyakan bagaimana kabar Rosa sekarang. Namun, sudah dari setengah jam yang lalu, gadis itu tak kunjung membalas. Detik berikutnya, David kembali ke dalam mobil. Wajahnya kali ini nampak lebih segar dari sebelumnya, dapat ditebak jika sesuatu yang baik baru saja terjadi."Ey, ada apa, nih? Wajahmu sumringah seperti itu. Bagaimana dengan Tiffany tadi?""Tiffany akhirnya percaya padaku, tapi aku harus membuktikan semuanya.""Ya, kau memang harus melakukannya. Kebenaran yang ditutupi juga tidak akan berkunjung baik.""Jadi, apa rencanamu, David?""Aku akan melakukan tes DNA besok. Gilang, kau tolong sampaikan ini pada Rosa."***Saat ini, mereka semua berada di dalam sebuah ruangan VIP yang memang telah disediakan khusus, menunggu hasil pemeriksaan test DNA keluar. Tiffany, David, Zelo, Andre, Mario, Philip, Gilang, dan Rosa tidak ada yang bersuara. Ruangan itu nampak senyap, hanya terdengar suara jarum jam yang beputar. Dari sudut pandangnya,
"Rosa? Apa ini Rosa?" gumamnya pelan, ia sontak mengeluarkan ponselnya, meyakinkan asumsinya bahwa itu benar Rosa melalui nomor ponsel yang terdaftar di sana, ia ingin mencocokannya.Sedetik kemudian, Tiffany terkejut bukan main bahwa itu benar Rosa, sahabat David yang ia kenal selama ini. Jadi, Rosa hamil? Dengan siapa?Masih terkejut, Tiffany malah mendapati sebuah pesan email masuk dari orang yang tidak ia kenal. Ia mengklik sebuah dokumen di sana. Lagi, napasnya seperti tercekat, pasokan udara terasa menipis di dadanya. Lututnya kembali lemas dan ia terjatuh begitu saja. Ia sungguh terkejut melihat foto David dan Rosa yang berbaring tanpa busana. Jadi, mungkinkah anak yang dikandung Rosa anaknya David?"Tiffany!"Itu, suara Philip. Pria itu berlari mendekat dan mengambil posisi di samping Tiffany. Dari raut wajahnya, jelas memperlihatkan jika gadis itu sudah mengetahuinya."Tiff, kau baik-baik saja?"Tiffany menggeleng, wajahnya pucat pasi. "Philip, apa benar Rosa hamil anaknya Da
David mengkliknya dan sontak ia membulatkan kedua matanya. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang, di sana terdapat banyak sekali foto yang menampilkan dirinya dengan Rosa yang sedang berbaring tanpa busana. David jelas tahu dimana tempat itu, di sebuah ruangan kecil yang memang ia sediakam untuk beristirahat. Dalam hati, ia meronta-ronta. Sungguh, ia berani bersumpah bahwa ia tidak yakin pernah berbuat sejauh ini dengan gadis itu. Yang ia ingat, ia hanya tertidur di ruangan itu, tidak lebih. Bahkan, ia juga ingat betul jika dirinya sangat bugar dan segar saat bangun, tidak seperti orang yang baru saja mengeluarkan tenaga banyak. Lagipula, ia tidak mengingat apapun. Sekalipun mabuk, ia yakin seratus persen jika ia tidak meminum jenis alkohol apapun saat ini. "David? Kau sudah melihatnya?""Tidak, aku tidak melakukannya. Sungguh, aku tidak pernah melakukannya. Aku harus meluruskannya langsung dengan Rosa.""Kau jangan gegabah. Aku dan yang lainnya sedang menuju ke tempatm
Baru saja, saat Tiffany ingin membuka ujung antiseptik, Philip dengan cepat menahan lengannya hingga pergerakannya terhenti secara tiba-tiba."Biar aku saja yang obati." ucap pria itu seraya mengambil alih lagi antiseptik itu. Ia meneteskan antiseptik pada kapas yang sudah dibalut kain kasa."Jangan diulangi lagi, aku tidak mau kau terluka."''Tidak perlu cemas, ini hanyalah luka kecil. Tidak seberapa."Philip tidak menggubris. Ia fokus mengobati bibir tipis Tiffany. Ia terdiam mengamati pemandangan dihadapannya. Bibir merah ranum itu lebih menggiurkan ketika dilihat dengan jarak dekat. Ya, seperti buah persik, atau mungkin rasanya juga sama. Pikir Philip. Ia semakingugup sekarang ketika membayangkan bagaimana tekstur dan rasanya. Namun, dengan cepat ia menepis semua pikiran jeleknya."Sudah. Jangan diulangi lagi."Tiffany tersenyum kecil, "Terima kasih."Tidak sengaja, saat ia hendak membereskan kotak P3K, matanya tidak sengaja melirik ke arah benda pipih yang tergeletak begitu saja
Di dalam mobil, Tiffany tentu mendengar teriakan itu. Ia hanya bisa diam dan sesekali melihat ke arah kaca spion yang masih menampilkan David hingga mereka berbelok di perempatan."Kau sebaiknya beristirahat malam ini. Kau tidak usah masuk dulu besok, aku akan memberitahu staff rumah sakit."Tak ada sahutan, Tiffany hanya diam saja seraya menatap lurus ke luar jendela. Ia sudah tidak menangis lagi, tenaganya sudah habis terkuras tadi. Yang tersisa hanya jejak air mata yang mengering di wajahnya. Philip memaklumi, ia tidak akan banyak omong.***Esok paginya, Tiffany terbangun dengan tubuhnya yang masih terasa lemas, juga wajahnya yang membengkak akibat menangis. Ia berada di apartemennya. Sebenarnya, ia sudah bangun sejak dua jam yang lalu, tapi rasanya ia sangat malas beranjak dari atas kasur. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Tidak ada yang ingin ia lakukan hari ini, apalagi mengingat kejadian semalam. Rasanya, seperti mimpi. Ia tidak pernah menyangka jika hub
"Tiffany, kau ingin keluar? Aku tidak nyaman berada di tengah-tengah mereka." "Baiklah. Sepertinya, udara di luar lebih sejuk." Tiffany merasakan hal yang sama, bau ruangan itu sudah bukan lagi aroma lezat makanan tapi sudah didominasi aroma minuman alkohol, ia tidak menyukainya.Tanpa berpamitan lagi pada David, Tiffany segera menyusul Rosa yang sudah lebih dulu keluar. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah sebuah danau kecil dengan beberapa pohon rindang di pinggirnya, gemerlap lampu yang temaram membuat suasana semakin nyaman dinikmati.Kedua gadis itu terus berjalan hingga mereka akhirnya tiba di sebuah jembatan kecil yang digunakan untuk menyebrangi sungai. Memang, di seberang sana ada kandang kuda dan juga lapangan golf. Besar sekali memang rumah Zelo. "Aroma parfummu sama sepertiku." Tiffany menyeletuk saat ia tidak sengaja mencium bau badan Rosa."Benarkah? Aku memakai parfum Channel no 5.""Benar! Aku juga memakainya, pemberian dari David."Rosa terkekeh, "Sepertinya, it
"Kau tidak ikut bermain?"Tiffany menoleh, Rosa sudah di sampingnya sedang mengikat rambut. "Tidak, aku tidak bisa bermain baseball.""Oh, benarkah? Padahal, David sangat menyukai permainan olahraga ini. Dari kecil, dia sudah sangat jago dan berlatih setelah pulang sekolah. Aku juga bisa bermain baseball karena David." Rosa berkata dengan senyumannya."Lebih menyenangkan jika kau bisa bermain baseball dengan seseorang yang kau sayangi, bukan?" Rosa melanjutkan dengan nada yang sedikit berbeda, seolah menyudutkan Tiffany.Tidak ada respon apapun yang diberikan Tiffany, ia hanya diam seraya memperhatikan Rosa yang tengah tersenyum miring ke arahnya seraya berjalan menuju sekumpulan pria itu. Di tempatnya, Tiffany hanya bisa memperhatikan mereka yang sedang asik bermain. Meski pandangannya tertuju pada lapangan juga David, tapi pikirannya sedang mengambang, ia kembali mengingat kejadian semalam dengan Salsha. Bukan hal yang tidak mungkin jika Rosa menaruh perasaan pada David, mereka sud
"Kau masih ingat bagaimana prianya?"Salsha mencoba mengingat kembali, "Sedikit. Aku ingat rambutnya."Tiffany dengan segera mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto yang berisi enam pria yang sedang tersenyum lebar di tengah-tengah lapangan baseball, lengkap dengan pakaian juga sebuah piala di sana."Apa ada di salah satu pria ini?"Salsha mengamatinya dengan teliti hingga ia merasa familiar dengan seorang pria di tengah-tengah, "Ini! Dia orangnya."Itu, Gilang.Setelahnya, Tiffany tidak banyak bicara, ia hanya diam mencoba mencerna apa yang terjadi selama ini. Mendapati hal ini, rasa curiga yang tadi sempat terpendam kini muncul kembali, ia menggali ingatannya dengan beberapa kejadian yang melibat Rosa belakangan ini. Gadis itu memang selalu hadir menjadi topik pertengkaran ia dan David hingga berujung salah paham."Tiffany, jika aku boleh menyarankan, kau harus berhati-hati dengan dia. Kau jangan terlalu percaya padanya. Dia memang sahabat David, tapi dia tetap orang asin