"Ah, itu, pasien itu bernama Nina, dia mengidap artritis yang cukup kronis pada sendi lututnya."Tiffany menoleh pada Philip, "Dia pasienmu?"Philip mengangguk, "Ya, aku yang melanjutkan untuk merawatnya. Usianya masih sangat muda, sekitar dua puluh lima tahun. Awal mulanya, ia mengalami kecelakaan hebat saat pulang bekerja, hal itu yang menyebabkan penyakitnya sekarang. Apalagi, orang tuanya belum lama meninggal dunia. Maka dari itu, Nina benar-benar membutuhkan perawatan yang khusus, mentalnya juga mengalami sedikit gangguan."Tiffany mengulum bibirnya. Ia ikut prihatin mendengar perkataan Philip mengenai salah satu pasiennya itu. Memang tidak terbayangkan bagaikan hidup yang harus Nina jalani. "Ah, ya. Apa kau hadir acara malam ini?"Tiffany menoleh seraya mengangguk, "David mengajakku. Sejujurnya, aku juga tidak enak karena itu adalah acara kalian, teman lama yang sudah lama berpisah. Aku hanyalah orang baru.""Astaga, kau tidak usah berlebihan seperti itu. Kami welcome pada siap
"Kita akan mengantar Rosa lebih dulu." Tiffany mengangguk, namun saat ia hendak memasuki mobil, David dengan cepat menahannya."Apa kau bisa duduk di belakang saja? Rosa sedang mabuk, biasanya dia selalu berbuat yang aneh-aneh hingga menganggu aku menyetir."Tiffany yang memang tertegun sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya memilih untuk duduk di belakang bersama Rosa."Maaf." Philip mencegah mereka, ia menoleh ke arah David."Biarkan aku mengantar Rosa jika kalian mengalami kesulitan. Kebetulan aku sedang kosong malam ini." "Tidak usah, biar aku saja. Aku bisa mengantar Rosa pulang. Kau duluan saja, ini sudah larut, rumahmu paling jauh." David yang menanggapi.Tiffany mengangguk, "Ya, tak apa. Lagipula, Rosa datang bersama kami, jadi biarkan kami saja yang mengantarnya.""Kau baik-baik saja?" ujar Philip yang sedikit berbisik, Tiffany terkejut. Entah apa maksud dari perkataan Philip itu."Ayo, ini sudah malam." David menginterupsi seraya masuk ke dalam mobil.Tiffany berpamitan pa
Matthew menatap rumah sakit yang bertuliskan Jakarta Jaya Hospital. Sudah lima belas menit ia hanya duduk diam di dalam mobil. Di kursi penumpang sampingnya itu terdapat bingkisan yang ingin ia berikan pada Salsha. Sebenarnya, pagi tadi, Ayahnya datang dan memintanya untuk menyerahkan itu pada Salsha sebagai tanda terimakasih karena telah merawatnya kemarin.Namun, bukannya segera masuk dan menemui Salsha, Matthew hanya terdiam di mobilnya memperhatikan banyak orang yang berlalu lalang masuk ke dalam loby rumah sakit.Barulah ketika dua puluh menit hanya terdiam di dalam mobil, Matthew berjalan keluar memasuki loby. Saat ia menoleh ke samping, ia menemukan sebuah vending machine yang berisi banyak sekali minuman, dari minuman air biasa hingga jus dalam kemasan. Matthew berniat membeli jus jambu, terlihat segar. Namun, saat ia baru saja mengambil minuman itu dan hendak meminumnya, tiba-tiba saja Salsha datang dan langsung mengambil jus yang ia pegang lalu menegaknya hingga habis tak t
"Kenapa kau tidak memberitahuku?""Aku hanya tidak ingin dikasihani dan nantinya kau akan menatap iba ke arahku. Lagipula, ini urusanku dan aku bisa mengata—""Kau salah, urusanmu adalah urusanku juga. Aku tidak akan mengasihanimu apalagi malah menjelekkanmu. Ayolah, kita sudah mengenal lama. Aku terbuka padamu sampai kau menjaga dan merawatku saat sakit, tapi mengapa kau tidak terbuka padaku?"Salsha agaknya sedikit terkejut, "Bukan begitu, hanya saja aku masih belum siap."Matthew menghembuskan napasnya kasar, "Aku mohon, katakan apapun mengenai dirimu padaku, aku akan membantumu."Salsha hanya mengangguk kikuk, mereka sudah mengenal sejak lama namun ini kali pertamanya ia melihat Matthew sangat memperhatikan dirinya."Ini." Salsha melihat bingkisan yang disodorkan oleh Matthew lalu menerimanya."Wah, terima kasih." Salsha tersenyum melihat isi bingkisan itu. Berbagai jenis pastry kesukaan Salsha ada di sana. Saat Matthew sedang tertidur kala itu, mereka mengobrol banyak mengenai sa
"Sepertinya, kau jago masak." Rosa tersenyum, "Sejak kecil, aku memang hobi masak, diajari ibunya David.""Masakan Rosa tidak pernah gagal, apapun yang dia masak pasti akan enak." Andre berkomentar dengan mulut yang penuh dengan pizza. "Ah, aku sangat menyukai pizza ini.""Ah, begitu rupanya. Baiklah, aku juga ingin mencicipinya." Tiffany menatap Rosa dengan kagum. Ternyata benar, masakan Rosa sangat enak. "Wah benar, masakanmu sangat enak!" Rosa tersenyum mendengar ucapan Tiffany."Kau makanlah juga yang banyak, aku memasak banyak untuk kalian." Tiffany sontak mengangguk."Kau ingin nambah? Ini ada bagian dada, kau sangat menyukai dada kan?"David mengangguk dan menerima potongan ayam itu, "Kau benar-benar tidak berubah, masakanmu tetap enak. Tidak sia-sia ibuku mengajarimu.""Tentu saja! Berkat ibumu, aku memang jadi menyukai masak. Apa kau suka ayam betutu ini?"David mengangguk dengan semangat, "Aku sangat menyukainya, rasanya tidak jauh berbeda dengan masakan Ibuku.""Jika, kau
"David, aku harus pergi, aku sudah terlambat, aku ada shift siang di jam satu." Tiffany berbisik pada David yang disampingnya seraya membereskan perlengkapannya masuk ke dalam tas. David melihat jarum jam yang melingkar di tangannya, "Ah, ya benar juga. Sebentar, aku akan mengantarmu." Pria itu bangkit dari duduknya dan mengambil kunci mobil."David, kau ingin kemana?""Aku harus mengantar Tiffany pergi ke rumah sakit. Dia ada shift siang di jam satu. Tiffany sudah terlambat."Ketiga pria tampan yang lain hanya mengangguk paham dan melanjutkan kesibukan mereka masing-masing. Rosa ikut diantar mereka. Tidak memperhatikan David yang hendak mengantar Tiffany.Namun, saat David ingin memegang gagang pintu, tiba-tiba saja ponselnya berdering, itu dari salah satu koleganya yang mengatakan bahwa telah terjadi sesuatu di proyek dan mengharuskan David mengeceknya. David menghela napas lalu menoleh ke arah Tiffany dengan tatapan bingung. "Tak apa, jika itu urusan yang penting, kau pergi saj
"Apa kontrak bersama vendor sudah ditandatangani?" David menelepon salah satu staffnya yang ada di kantor pusat di Bali sana, ia membutuhkan catatan vendor untuk langsung memulai proyeknya."Baiklah, sore ini segera kirimkan pada emailku, aku membutuhkannya. Lakukan dengan segera."David memantau proyeknya itu dimana ada kesalahan mencatat sebuah vendor. Bahkan, ada beberapa yang salah kaprah dengan proyek yang ingin ia lakukan. Apalagi, biaya yang ia keluarkan melebihi dari anggaran. Jika terus seperti ini, bisa saja proyek ini gagal dilakukan, David tidak mau itu terjadi.Pria itu menghela napasnya kasar lalu meminum kopi hangatnya, "Tidak terlalu banyak, namun aku harus cepat meluruskannya. Sebentar lagi, setelah vendor menandatangani, proyek ini akan langsung berjalan besok."Tok! Tok! Tok!"Masuk.""Rosa?"Rosa mendekati David yang sibuk dengan berbagai macam lembar dokuem di atas meja."Kau ke sini? Bagaimana dengan yang lain?""Yang lain merasa bosan karena kau ternyata lama di
Kedua matanya tidak sengaja menatap ke arah ponsel David yang berkedip, itu pasti pesan masuk dari Tiffany. Rosa diam-diam tersenyum miring. David tidak akan menyadari jika ada notifikasi di ponselnya. Tadi, saat pria itu sedang di dalam kamar mandi, Rosa telah mematikan bunyi notifikasi. Biar saja, ia hanya ingin menghabiskan waktu berdua dengan David. Hanya berdua saja tanpa ada Tiffany yang pengacau."Kau ingin mencoba sekali lagi?" David menggeleng, "Sudahlah, aku tidak ingin. Aku ingin beristirahat saja.""Baiklah. Jika begitu, aku akan menghapus tanda kekalahan dari wajahmu." Rosa berkata seraya mengambil beberapa lembar tissue. David yang mendengar itu hanya terkekeh dan membiarkan Rosa membersihkan wajahnya.Dalam hati, sebenarnya jantung Rosa berdegup sangat kencang. Dari jarak sedekat ini ia bisa melihat dengan jelas pahatan wajah tampan pria itu. Sangat sempurna! Rasanya, Rosa ingin menyentuhnya langsung tanpa tissue sebagai penghalangnya."Sudah?"Rosa mengerjap, "Sudah.