Tiffany memasukkan ponselnya ke dalam tas selempang yang ada pada pangkuannya."Siapa?" tanya David, tanpa menghilangkan fokusnya ke arah jalanan."Salsha, dia menanyakan kenapa aku tidak datang ke rumah sakit dan memberikan kabar bahwa Matthew sudah jauh lebih baik dan bisa pulang secepatnya."David hanya ber-oh ria, Tiffany melirik ke bagian kaca kecil di atas dasbor mobil yang menyorot ke arah belakang, di sana ada Rosa yang sedang memainkan ponselnya dengan sesekali terkekeh. "Kau sudah berapa lama bekerja dengan David?" tanya Tiffany memecah keheningan di antara mereka. "Aku baru dua tahun ini bekerja bersama David." Rosa memamerkan senyumnya. Tiffany tak bohong, gadis itu cantik sekali."Ah, jadi, kau belum terlalu lama, ya?""Bisa dibilang begitu, tapi aku sudah mengenal David dari kecil, kami sering bermain bersama dulu karena rumah kami sangat dekat."Tiffany menoleh ke arah Rosa, "Kalian teman masa kecil?" Lalu, menoleh ke arah David dan diangguki keduanya."Ya, Tiffany. K
Hujan deras mengguyur ibu kota dengan derasnya. Suara gemuruh di atas sana terdengar bersahutan menyuarakan kencangnya. Dedaunan dan juga pohon bergerak mengikuti irama angin yang membawanya. Matthew sendiri di ruangan serba putih nan besar itu dengan gitar kesayangannya. Kedua matanya menatap lurus ke arah objek luar sana yang menampilkan jalanan ibu kota yang sangat padat dihiasi oleh gemerlap lampu jalanan dan kendaraan yang mendominasi. "Apa dia pria yang dikatakan oleh Tiffany tadi? Jika, dia adalah pria dari masa lalu Tiffany, seharusnya kau adalah pemenangnya. Kau berhasil meyakinkan Tiffany ke sebuah hubungan baru. Aku rasa, Tiffany juga masih menyimpan rasa padamu, jika tidak, ia tidak mungkin menemui sekaligus menunggumu di sini. Jika, pria masa lalunya itu tidak hadir kembali, aku rasa kau masih bersama Tiffany sekarang. Bukan begitu?"Pikirannya kembali mengarah pada perkataan sang ayah tempo hari. Sebenarnya, ia juga tidak tahu bagaimana posisi yang sebenarnya yang ada
Mereka akhirnya tiba di sebuah apartemen yang sebelumnya sudah dijanjikan oleh David. Tak menunggu lama, mereka segera berjalan menuju ruang administrasi untuk mengklaim kamar yang sudah mereka booking. Kebetulan juga, hujan saat ini sudah reda dan menyisahkan aroma tanah yang menyeruak masuk ke dalam hidung."Ini kuncinya. Apakah ingin ditinggali sekarang juga?" tanya seorang wanita yang nampak anggun di balik mejanya. "Iya, salah satu kamar akan dihuni malam ini juga.""Kamar yang mana, ya?""Kamar nomor 389.""Baiklah, staff kami akan membersihkannya terlebih dahulu. Mohon tunggu tiga puluh sampai empat puluh lima menit."David mengiyakan. Setelahnya, ia berjalan mendekati Tiffany dan Rosa yang sedang menunggu di kursi tunggu. Pria itu menyerahkan kunci yang diberi staff apartment pada Rosa. "Ah, terima kasih." Tiffany yang melihat itu, sontak bertanya. "Kalian satu unit?"Rosa menatap ke arah David kikuk, wajah Tiffany seperti sedang mengintimidasi dan itu membuatnya tidak nyam
Derap langkah kaki Tiffany terdengar keras, menuju dapur yang terletak dibagian sudut ruangan. Sesampainya didapur, ia mengulurkan tangannya ke kabinet atas, ia meraih dua buah mie instan khas Korea itu yang tergeletak didalamnya. Lalu, meletakkannya disamping penggorengan yang sudah disediakan. Ia membuka lemari ice yang tidak jauh dari posisinya, sebuah butir telur ia dapatkan. Dan tidak lupa, ia meracik bumbu untuk makanan yang akan dibuatnya.Setelah semuanya siap, ia menumis bumbu racikannya itu ke penggorengan yang sudah diberikan minyak sedikit dan dalam keadaan menyala. Dan, ia juga menambahkan daging yang sudah ia cincang lalu ia aduk hingga merata. Tidak ketinggalan, ia juga menambahkan beberapa penyedap rasa kedalam masakannya. Tangannya lihai memotong paprika dan juga mentimun yang akan menjadi bahan pelengkap. Lalu, memasukannya bersama bahan masakan lainnya. Terakhir, ia masukkan mie ramyeon kedalam penggorengan.Setelah yakin jika masakannya sudah matang, Tiffany mengam
Tepat pukul satu pagi, pintu apartemennya terbuka, Tiffany segera berjalan mendekat dan langsung mendapati David yang sedang menuntun Rosa disampingnya. Tiffany terkejut saat melihat wajah pucat Rosa, "Astaga, kau kenapa? Sini, biar aku bantu."Dengan sigap, Tiffany segera mengambil alih tubuh Rosa dan membawanya ke sofa. Ia melirik ke arah David, lalu berkata."Kau baik-baik saja?" David mengangguk."Kau tunggu di sini. Aku akan siapkan air hangat untuk kalian mandi."David lagi-lagi mengangguk, sedangkan Rosa masih diam saja seraya memeluk dirinya sendiri. Bibirnya pucat dan bergetar. Selagi menunggu air hangat, Tiffany memberikan segelas coklat hangat pada Rosa. Kelihatannya, gadis itu benar-benar dalam keadaan menggigil."Ini, minum dulu untuk menghangatkan tubuhmu." Rosa perlahan menoleh ke arah Tiffany dan menggumamkan kalimat terimakasih.Setelahnya, Tiffany mendekati David yang baru saja keluar dari kamar berganti pakaiannya. Ia lalu menyeka air yang membahasi kening pria itu
Rosa melirik ke arah David yang sedari tadi hanya diam saja memakan nasi gorengnya, "Eh, sebentar."Tangan Rosa segera mengambil alih nasi goreng yang di makan David lalu menyingkirkan bawang goreng yang berada di sisi nasi itu. "Kau tidak suka bawang goreng, kan?"Tiffany yang melihat itu hanya bisa diam, dalam hatinya terus meronta. David tidak menyukai bawang goreng? Kenapa ia tidak tahu? Astaga, mengapa ia seperti selalu kalah cepat dengan Rosa.David yang menyadari perubahan raut wajah Tiffany sontak menghentikan tangan Rosa dari piringnya."Tak apa, aku sudah menyukainya sekarang.""Wah? Kau sudah menyukainya? Sungguh?" David mengangguk seraya mengambil alih kembali piring itu. "Lanjutkan saja makanmu itu." Dan, Rosa menurut."Apa kalian setelah ini akan langsung bekerja?" Tiffany mencairkan suasana yang sempat canggung tersebut."Ya, aku ingin melihat tempat yang akan aku jadikan kafe nanti dan segera menghubungi pekerja untuk memperbaiki sekaligus merenovasinya. Aku juga akan
Saat ini, Tiffany beralih pada rambutnya. Di sisi nakas sudah berada tiga jenis jepitan rambut dengan berbagai bentuk. Ia kembali mencari inspirasi gaya rambut yang cocok dengannya.Gadis itu mulai membagi kedua sisi rambut lalu menyatukannya ke belakang menggunakan salah satu dari jepitan tersebut."Apakah seperti ini bagus?" Tiffany bertanya pada Matthew yang baru saja ingin membaringkan tubuhnya. Matthew mengangguk, "Bagus. Cocok untukmu.""Ah, tapi ini terlalu biasa." Tiffany mengubah ulang tatanan rambutnya.Matthew hanya bisa terkekeh melihat kelakukan Tiffany. Sungguh, ini bukan seperti Tiffany yang dulu nampak angkuh dan sombong, kini gadis itu menjadi sosok gadis yang banyak bicara dan ceria, membuatnya jauh lebih menarik."Kau sudah memberitahu Salsha?" tanya Tiffany seraya sibuk dengan rambutnya."Sudah, tapi dia sedang ada beberapa pasien, mungkin setelahnya baru datang ke sini." Matthew fokus menatap ponselnya yang menampilkan banyak komentar dari penggemarnya, kebanyaka
Cuaca ibu kota saat ini sangat mendukung suasana hati Tiffany. Sedari tadi, senyuman itu tidak pernah luntur dari wajah cantiknya, apalagi David yang terkadang mencuri pandang ke arahnya seraya tersenyum. "Kau ingin makan sesuatu?"Tiffany menoleh lalu berdehem, "Aku ingin makan sesuatu yang pedas."David melirik seraya menaikkan satu alisnya, "Kau yakin? Bukankah kau paling tidak suka makanan pedas?""Aku hanya ingin saja. Ayolah."David terkekeh, "Baiklah."Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore saat mereka akhirnya tiba di sebuah restoran yang tak jauh dari apartemen milik Tiffany. Restoran dengan nama Odyssey Resto memang cukup terkenal dengan makanan khas nasional yang beragam, rasa yang ditawarkan pun juga sangat menggiurkan. Pilihan yang tepat jika ingin mencicipi makanan dari beberapa daerah Nusantara.Setelah memesan makanan yang mereka inginkan, Tiffany memperhatikan sekitar selagi menunggu. Ini kali pertamanya ia datang ke sini, suasananya cukup nyaman, banyak se
Menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya dokter yang menangani Rosa keluar. "Bagaimana keadaannya, Dok?""Rosa baik-baik saja, dia hanya kelelahan saja. Bayinya juga baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Gilang yang mendengar itu, tanpa basa-basi lagi langsung menyerobot masuk ke dalam, ia ingin melihat keadaan Rosa secara langsung. Rupanya, gadis itu sudah sadar, tatapannya nampak kosong, ia hanya menatap datar ke arah Gilang yang kini sedang menatapnya sendu."Aku akan menikahimu, Rosa. Jadi, aku mohon, jangan melakukan hal yang tidak-tidak padanya, dia tidak salah apapun. Bagaimanapun aku ini ayahnya, aku ingin membesarkannya."Samar-samar, Rosa mendengar suara David yang sangat perhatian pada Tiffany, penuh kasih sayang dan sangat lembut. Rosa hanya tersenyum kecil, sedetik kemudian, ia merasa tubuhnya hangat dalam dekapan Gilang.***Satu bulan kemudian...Tiffany sedang menatap hamparan laut biru depannya, sepanjang mata memandang hanya ada keindahan air yang
Gilang yang sedang memainkan ponselnya, menanyakan bagaimana kabar Rosa sekarang. Namun, sudah dari setengah jam yang lalu, gadis itu tak kunjung membalas. Detik berikutnya, David kembali ke dalam mobil. Wajahnya kali ini nampak lebih segar dari sebelumnya, dapat ditebak jika sesuatu yang baik baru saja terjadi."Ey, ada apa, nih? Wajahmu sumringah seperti itu. Bagaimana dengan Tiffany tadi?""Tiffany akhirnya percaya padaku, tapi aku harus membuktikan semuanya.""Ya, kau memang harus melakukannya. Kebenaran yang ditutupi juga tidak akan berkunjung baik.""Jadi, apa rencanamu, David?""Aku akan melakukan tes DNA besok. Gilang, kau tolong sampaikan ini pada Rosa."***Saat ini, mereka semua berada di dalam sebuah ruangan VIP yang memang telah disediakan khusus, menunggu hasil pemeriksaan test DNA keluar. Tiffany, David, Zelo, Andre, Mario, Philip, Gilang, dan Rosa tidak ada yang bersuara. Ruangan itu nampak senyap, hanya terdengar suara jarum jam yang beputar. Dari sudut pandangnya,
"Rosa? Apa ini Rosa?" gumamnya pelan, ia sontak mengeluarkan ponselnya, meyakinkan asumsinya bahwa itu benar Rosa melalui nomor ponsel yang terdaftar di sana, ia ingin mencocokannya.Sedetik kemudian, Tiffany terkejut bukan main bahwa itu benar Rosa, sahabat David yang ia kenal selama ini. Jadi, Rosa hamil? Dengan siapa?Masih terkejut, Tiffany malah mendapati sebuah pesan email masuk dari orang yang tidak ia kenal. Ia mengklik sebuah dokumen di sana. Lagi, napasnya seperti tercekat, pasokan udara terasa menipis di dadanya. Lututnya kembali lemas dan ia terjatuh begitu saja. Ia sungguh terkejut melihat foto David dan Rosa yang berbaring tanpa busana. Jadi, mungkinkah anak yang dikandung Rosa anaknya David?"Tiffany!"Itu, suara Philip. Pria itu berlari mendekat dan mengambil posisi di samping Tiffany. Dari raut wajahnya, jelas memperlihatkan jika gadis itu sudah mengetahuinya."Tiff, kau baik-baik saja?"Tiffany menggeleng, wajahnya pucat pasi. "Philip, apa benar Rosa hamil anaknya Da
David mengkliknya dan sontak ia membulatkan kedua matanya. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang, di sana terdapat banyak sekali foto yang menampilkan dirinya dengan Rosa yang sedang berbaring tanpa busana. David jelas tahu dimana tempat itu, di sebuah ruangan kecil yang memang ia sediakam untuk beristirahat. Dalam hati, ia meronta-ronta. Sungguh, ia berani bersumpah bahwa ia tidak yakin pernah berbuat sejauh ini dengan gadis itu. Yang ia ingat, ia hanya tertidur di ruangan itu, tidak lebih. Bahkan, ia juga ingat betul jika dirinya sangat bugar dan segar saat bangun, tidak seperti orang yang baru saja mengeluarkan tenaga banyak. Lagipula, ia tidak mengingat apapun. Sekalipun mabuk, ia yakin seratus persen jika ia tidak meminum jenis alkohol apapun saat ini. "David? Kau sudah melihatnya?""Tidak, aku tidak melakukannya. Sungguh, aku tidak pernah melakukannya. Aku harus meluruskannya langsung dengan Rosa.""Kau jangan gegabah. Aku dan yang lainnya sedang menuju ke tempatm
Baru saja, saat Tiffany ingin membuka ujung antiseptik, Philip dengan cepat menahan lengannya hingga pergerakannya terhenti secara tiba-tiba."Biar aku saja yang obati." ucap pria itu seraya mengambil alih lagi antiseptik itu. Ia meneteskan antiseptik pada kapas yang sudah dibalut kain kasa."Jangan diulangi lagi, aku tidak mau kau terluka."''Tidak perlu cemas, ini hanyalah luka kecil. Tidak seberapa."Philip tidak menggubris. Ia fokus mengobati bibir tipis Tiffany. Ia terdiam mengamati pemandangan dihadapannya. Bibir merah ranum itu lebih menggiurkan ketika dilihat dengan jarak dekat. Ya, seperti buah persik, atau mungkin rasanya juga sama. Pikir Philip. Ia semakingugup sekarang ketika membayangkan bagaimana tekstur dan rasanya. Namun, dengan cepat ia menepis semua pikiran jeleknya."Sudah. Jangan diulangi lagi."Tiffany tersenyum kecil, "Terima kasih."Tidak sengaja, saat ia hendak membereskan kotak P3K, matanya tidak sengaja melirik ke arah benda pipih yang tergeletak begitu saja
Di dalam mobil, Tiffany tentu mendengar teriakan itu. Ia hanya bisa diam dan sesekali melihat ke arah kaca spion yang masih menampilkan David hingga mereka berbelok di perempatan."Kau sebaiknya beristirahat malam ini. Kau tidak usah masuk dulu besok, aku akan memberitahu staff rumah sakit."Tak ada sahutan, Tiffany hanya diam saja seraya menatap lurus ke luar jendela. Ia sudah tidak menangis lagi, tenaganya sudah habis terkuras tadi. Yang tersisa hanya jejak air mata yang mengering di wajahnya. Philip memaklumi, ia tidak akan banyak omong.***Esok paginya, Tiffany terbangun dengan tubuhnya yang masih terasa lemas, juga wajahnya yang membengkak akibat menangis. Ia berada di apartemennya. Sebenarnya, ia sudah bangun sejak dua jam yang lalu, tapi rasanya ia sangat malas beranjak dari atas kasur. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Tidak ada yang ingin ia lakukan hari ini, apalagi mengingat kejadian semalam. Rasanya, seperti mimpi. Ia tidak pernah menyangka jika hub
"Tiffany, kau ingin keluar? Aku tidak nyaman berada di tengah-tengah mereka." "Baiklah. Sepertinya, udara di luar lebih sejuk." Tiffany merasakan hal yang sama, bau ruangan itu sudah bukan lagi aroma lezat makanan tapi sudah didominasi aroma minuman alkohol, ia tidak menyukainya.Tanpa berpamitan lagi pada David, Tiffany segera menyusul Rosa yang sudah lebih dulu keluar. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah sebuah danau kecil dengan beberapa pohon rindang di pinggirnya, gemerlap lampu yang temaram membuat suasana semakin nyaman dinikmati.Kedua gadis itu terus berjalan hingga mereka akhirnya tiba di sebuah jembatan kecil yang digunakan untuk menyebrangi sungai. Memang, di seberang sana ada kandang kuda dan juga lapangan golf. Besar sekali memang rumah Zelo. "Aroma parfummu sama sepertiku." Tiffany menyeletuk saat ia tidak sengaja mencium bau badan Rosa."Benarkah? Aku memakai parfum Channel no 5.""Benar! Aku juga memakainya, pemberian dari David."Rosa terkekeh, "Sepertinya, it
"Kau tidak ikut bermain?"Tiffany menoleh, Rosa sudah di sampingnya sedang mengikat rambut. "Tidak, aku tidak bisa bermain baseball.""Oh, benarkah? Padahal, David sangat menyukai permainan olahraga ini. Dari kecil, dia sudah sangat jago dan berlatih setelah pulang sekolah. Aku juga bisa bermain baseball karena David." Rosa berkata dengan senyumannya."Lebih menyenangkan jika kau bisa bermain baseball dengan seseorang yang kau sayangi, bukan?" Rosa melanjutkan dengan nada yang sedikit berbeda, seolah menyudutkan Tiffany.Tidak ada respon apapun yang diberikan Tiffany, ia hanya diam seraya memperhatikan Rosa yang tengah tersenyum miring ke arahnya seraya berjalan menuju sekumpulan pria itu. Di tempatnya, Tiffany hanya bisa memperhatikan mereka yang sedang asik bermain. Meski pandangannya tertuju pada lapangan juga David, tapi pikirannya sedang mengambang, ia kembali mengingat kejadian semalam dengan Salsha. Bukan hal yang tidak mungkin jika Rosa menaruh perasaan pada David, mereka sud
"Kau masih ingat bagaimana prianya?"Salsha mencoba mengingat kembali, "Sedikit. Aku ingat rambutnya."Tiffany dengan segera mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto yang berisi enam pria yang sedang tersenyum lebar di tengah-tengah lapangan baseball, lengkap dengan pakaian juga sebuah piala di sana."Apa ada di salah satu pria ini?"Salsha mengamatinya dengan teliti hingga ia merasa familiar dengan seorang pria di tengah-tengah, "Ini! Dia orangnya."Itu, Gilang.Setelahnya, Tiffany tidak banyak bicara, ia hanya diam mencoba mencerna apa yang terjadi selama ini. Mendapati hal ini, rasa curiga yang tadi sempat terpendam kini muncul kembali, ia menggali ingatannya dengan beberapa kejadian yang melibat Rosa belakangan ini. Gadis itu memang selalu hadir menjadi topik pertengkaran ia dan David hingga berujung salah paham."Tiffany, jika aku boleh menyarankan, kau harus berhati-hati dengan dia. Kau jangan terlalu percaya padanya. Dia memang sahabat David, tapi dia tetap orang asin