Tak lama ponselnya berdering kembali, tertera nama Om Nathan di sana. Tiffany menghembuskan napasnya sebelum ia memencet tombol hijau."Ya, halo Paman?""Tiffany, bagaimana keadaan Matthew? Perasaan paman tidak enak."Tiffany terdiam, ia meremas roti yang ia genggam. David yang menyadari itu segera menyentuh tangan gadisnya dan mengelusnya, memberikan kekuatan."Tiffany, kau masih di sana?""Ah, ya. Iya, Paman. Matthew sedang ditangani oleh Dokter.""Bagaimana dengan kondisinya? Dia baik-baik saja, kan?"Tiffany terdiam sejenak, "Matthew hanya perlu banyak istirahat saja, Paman. Aku rasa jadwalnya sangat padat kemarin, jadi kondisi tubuhnya menurun."Terdengar suara batuk di sana, "Ah, syukurlah. Terima kasih banyak, Tiffany. Kau gadis yang benar-benar bisa aku andalkan.""Ya, Paman. Paman sudah minum obat?""Sudah, Tiffany. Baru saja Paman minum obat.""Baiklah, jaga kondisi kesehatan Paman, ya. Kabari aku jika Paman butuh sesuatu."Pria paruh baya di sana terkekeh, "Baiklah, Tiffan
"Seharusnya, aku lebih menyadarinya.""Sudahlah, tak ada yang bisa kau sesali sekarang. Kau hanya perlu tahu bagaimana keadaan Matthew yang sebenarnya dan jaga dia dengan baik."Tiffany mengangguk, "Ya, baiklah. Terimakasih, David."David tersenyum simpul. Sebenarnya, ia memang agak tidak rela, namun sebisa mungkin ia menepis itu semua."Ngomong-ngomong, bukankah kau itu juga dokter? Apa kau tidak bekerja?""Ah itu, aku sedang mengajukan cuti.""Kau bekerja di rumah sakit ini?""Tidak, bukan. Aku bekerja di salah satu rumah sakit swasta yang tak jauh dari sini. Cutiku akan habis Minggu depan."David mengangguk paham."Kau bagaimana?""Apa yang bagaimana?""Pekerjaanmu. Bukankah, kau yang mengelola perusahaan sekarang? Jika, kau di sini siapa yang akan memantau itu semua?""Aku ke sini juga karena ada urusan pekerjaan, aku rasa jika aku membuka anak perusahaan di sini akan menjadi sebuah peluang yang hebat."Gadis itu hanya ber-oh ria. "Memangnya, kapan kau akan muka bekerja?""Lusa. A
"Bagaimana keadaanmu? Sudah merasa lebih baik?"Matthew mengangguk, "Ya, aku sudah merasa lebih baik."Senyap. Tiffany tiba-tiba saja tidak tahu apa yang harus dia lakukan. "Sebenarnya, apa yang kau sembunyikan dariku, Matthew?" "Sembunyikan? Aku sembunyikan apa?"Tiffany berdecak gemas, mengapa pria ini malah mengajaknya bercanda di saat seperti ini?"Aku tidak sedang bercanda, Matthew. Apa yang terjadi sebenarnya padamu?"Matthew malah terkekeh, "Kau ini lucu sekali.""Aku sudah katakan padamu jika akan sedang tidak bercanda. Kau ingin aku pukul?""Baiklah, baiklah. Aku mengalami kanker usus.""Hah? Apa?""Ya, aku mengalami kanker usus."Tiffany tidak berkata apa-apa, ia hanya bisa terdiam seraya terus memandangi wajah Matthew yang sialnya masih bisa tersenyum begitu lebar."Kau sedang tidak bercanda, kan?""Aku tidak sedang bercanda, Tiffany. Apa yang terjadi sebenarnya padamu?""Aish!" Tiffany sontak saja memukul pelan lengan pria itu yang malah membalikan ucapannya tadi. Sangat
Tuk!David memberikan sebuah minuman kaleng di hadapan Tiffany. Kini, sepasang manusia itu berada di kafetaria untuk mengisi perut mereka. "Terima kasih, aku haus sekali." Tiffany segera membuka tutup botol itu dan menegaknya hingga habis setengah."Pelan-pelan jika ingin minum."Tiffany hanya terdiam seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ah ya, tadi kau mengatakan akan lama di sini?"David mengangguk."Berapa lama?""Aku tidak tahu, yang jelas hingga perusahaan aku berkembang di sini. Lagipula, aku yang akan memegang alih di sini.""Oh, itu tandanya kau akan terus berada di sini?""Aku rasa begitu."Tiffany hanya menganggukkan kepalanya kecil. Meski dalam hatinya, ia sudah menjerit senang."Kau, bagaimana?""Bagaimana apanya?""Katanya, kau sedang ambil cuti dari pekerjaanmu, memangnya ada apa?""Ah, itu." Tiffany mencoba menyusun kalimat agar David tidak salah paham. Bukannya apa, ia memang mengajukan cuti agar bertemu Matthew dan melangsungkan pertunangan di sana."Ada a
Matthew sontak saja terkejut ketika Tiffany malah bicara seperti itu. Astaga, ia bahkan belum mengumpulkan niatnya."Ah, baiklah. Ini, Matthew. Ayahmu."Mau tak mau, pria itu menerima telpon yang disodorkan gadis itu."Halo, Ayah?""Astaga, Nak. Bagaimana keadaanmu? Kau sudah baik-baik saja kan? Kau sudah makan?""Sudah, Ayah. Aku sudah merasa lebih baik. Aku sudah makan dan minum obat juga. Ayah bagaimana kabarnya?""Ayah baik-baik saja. Di sini juga ada asistenmu. Jadi, Ayah tidak sendiri. Besok Ayah akan ke sana.""Ayah besok ke sini? Ada perlu apa, Yah?""Astaga, kau keterlaluan sekali. Aku ingin melihat anakku yang sedang sakit, baru di operasi. Apa itu sebuah kesalahan?""Bukan seperti itu maksudku, Yah. Ayah juga baru saja lebih baik dari batuk Ayah. Di sini banyak polusi dan udara kotor. Jadi, lebih baik Ayah istirahat saja di rumah.""Aish, kau ini tetap saja menyebalkan. Besok Ayah akan tetap ke sana, diantar oleh asistenmu. Kau mengerti?"Matthew menghela napas panjang. Bag
"Meski aku masih merasa bahwa aku yang merebutmu dari Matthew tapi kau tetap gadisku sejak lima tahun lalu. Jadi, aku tidak akan melepaskanmu begitu saja kali ini."Tiffany menatap ke arah David yang sedang menampilkan wajah seriusnya. Rupanya, pria itu sedang tidak main-main. Yang dilakukan Tiffany hanya mengulum senyumnya, ia juga merasa bahagia mendengar penuturan David. "Ah ya, besok kau akan ke rumah sakit lagi?"Tiffany menoleh lalu mengangguk."Sepertinya, besok aku tidak bisa ikut bersamamu.""Eh, ada apa?""Aku harus terjun ke lapangan besok untuk memantau proses pembangunan. Setelah selesai nanti, aku akan menyusulmu."Tiffany hanya mengangguk, hati kecilnya berkata syukur bahwa sekiranya David tidak bertemu dengan Ayahnya Matthew. Namun, satu sisi ia juga sedikit merasa kecewa."Baiklah."Kini, mereka sudah tiba di depan mobil berwarna hitam milik David."Masuklah." Tiffany mengangguk dan menurut.***"Matthew."Pria itu menoleh saat ada seseorang yang memantau namanya."K
"Duduklah!" Masih dalam mode terkejut, Tiffany mengikuti perintah David yang lebih dulu menghempaskan bokongnya dikursimeja makan.Tiffany berdehem, menetralkan detakjantungnya yang bekerja tidak normal, "Maaf. Aku hanya bisa memasak omelet untukmu. Aku pikir, kau akan pergi pagi ini jadi agak susah jika harus memasak yang berat-berat.""Tidak masalah. Aku menyukainya." David terkekeh, ia tahu jika gadis dihadapannya ini sedang salah tingkah."Ah, iya! Ini, ini omelet milikmu. Tidak ada bawang disitu. Kau tidak menyukai bawang, 'kan?" David mengangguk.Tiffany memberikan sepiring omelet yang memang sengaja tidak diberi bawang didalamnya, karena ia sudah yakin jika David tidak menyukai bawang. Entah alergi atau apa, yang jelas setiap ia memakan bawang perut pria itu terasa mual dan ingin muntah."Kau tahu darimana jika aku tidak menyukai bawang, hmm?" Tanyanya lembut disela sela sarapannya."I--tu," Mata Tiffany tidak fokus,manik hitamnya terlihat berkeliaran,"Aku tahu dari ibumu,
"Aku tidak tahu harus mengatakan apa nanti.""Katakan saja yang sejujurnya pada Ayahnya Matthew. Ah ya, nanti setelah dia datang kau bisa langsung ke ruanganku? Aku ingin mengecek kondisinya sebentar."Tiffany mengangguk, "Baiklah. Lebih baik jika kita tahu bagaimana keadaan Ayahnya sebelum memberitahunya. Untung saja, David sedang tidak berada di sini.""Ya, hari ini beruntung. Tapi, kau juga harus memastikan jika David tidak mendengar sesuatu yang bisa saja membuatnya salah paham.""Ya, aku tahu. Semoga saja, Ayahnya Matthew dalam keadaan baik-baik saja dan masalah ini dapat selesai.""Kau ingin masalah ini cepat selesai dan bisa hidup berdua dengan David?"Tiffany mengerjap, tubuhnya mendadak kaku digerakkan. Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa itu yang ia inginkan. ***Tok! Tok!Pintu itu terbuka dan menampilkan pria paruh baya dengan kemeja coklat dan kaca matanya diikuti seorang gadis muda berambut pendek, itu asistennya Matthew."Ayah!" Matthew berseru saat melihat
Menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya dokter yang menangani Rosa keluar. "Bagaimana keadaannya, Dok?""Rosa baik-baik saja, dia hanya kelelahan saja. Bayinya juga baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Gilang yang mendengar itu, tanpa basa-basi lagi langsung menyerobot masuk ke dalam, ia ingin melihat keadaan Rosa secara langsung. Rupanya, gadis itu sudah sadar, tatapannya nampak kosong, ia hanya menatap datar ke arah Gilang yang kini sedang menatapnya sendu."Aku akan menikahimu, Rosa. Jadi, aku mohon, jangan melakukan hal yang tidak-tidak padanya, dia tidak salah apapun. Bagaimanapun aku ini ayahnya, aku ingin membesarkannya."Samar-samar, Rosa mendengar suara David yang sangat perhatian pada Tiffany, penuh kasih sayang dan sangat lembut. Rosa hanya tersenyum kecil, sedetik kemudian, ia merasa tubuhnya hangat dalam dekapan Gilang.***Satu bulan kemudian...Tiffany sedang menatap hamparan laut biru depannya, sepanjang mata memandang hanya ada keindahan air yang
Gilang yang sedang memainkan ponselnya, menanyakan bagaimana kabar Rosa sekarang. Namun, sudah dari setengah jam yang lalu, gadis itu tak kunjung membalas. Detik berikutnya, David kembali ke dalam mobil. Wajahnya kali ini nampak lebih segar dari sebelumnya, dapat ditebak jika sesuatu yang baik baru saja terjadi."Ey, ada apa, nih? Wajahmu sumringah seperti itu. Bagaimana dengan Tiffany tadi?""Tiffany akhirnya percaya padaku, tapi aku harus membuktikan semuanya.""Ya, kau memang harus melakukannya. Kebenaran yang ditutupi juga tidak akan berkunjung baik.""Jadi, apa rencanamu, David?""Aku akan melakukan tes DNA besok. Gilang, kau tolong sampaikan ini pada Rosa."***Saat ini, mereka semua berada di dalam sebuah ruangan VIP yang memang telah disediakan khusus, menunggu hasil pemeriksaan test DNA keluar. Tiffany, David, Zelo, Andre, Mario, Philip, Gilang, dan Rosa tidak ada yang bersuara. Ruangan itu nampak senyap, hanya terdengar suara jarum jam yang beputar. Dari sudut pandangnya,
"Rosa? Apa ini Rosa?" gumamnya pelan, ia sontak mengeluarkan ponselnya, meyakinkan asumsinya bahwa itu benar Rosa melalui nomor ponsel yang terdaftar di sana, ia ingin mencocokannya.Sedetik kemudian, Tiffany terkejut bukan main bahwa itu benar Rosa, sahabat David yang ia kenal selama ini. Jadi, Rosa hamil? Dengan siapa?Masih terkejut, Tiffany malah mendapati sebuah pesan email masuk dari orang yang tidak ia kenal. Ia mengklik sebuah dokumen di sana. Lagi, napasnya seperti tercekat, pasokan udara terasa menipis di dadanya. Lututnya kembali lemas dan ia terjatuh begitu saja. Ia sungguh terkejut melihat foto David dan Rosa yang berbaring tanpa busana. Jadi, mungkinkah anak yang dikandung Rosa anaknya David?"Tiffany!"Itu, suara Philip. Pria itu berlari mendekat dan mengambil posisi di samping Tiffany. Dari raut wajahnya, jelas memperlihatkan jika gadis itu sudah mengetahuinya."Tiff, kau baik-baik saja?"Tiffany menggeleng, wajahnya pucat pasi. "Philip, apa benar Rosa hamil anaknya Da
David mengkliknya dan sontak ia membulatkan kedua matanya. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang, di sana terdapat banyak sekali foto yang menampilkan dirinya dengan Rosa yang sedang berbaring tanpa busana. David jelas tahu dimana tempat itu, di sebuah ruangan kecil yang memang ia sediakam untuk beristirahat. Dalam hati, ia meronta-ronta. Sungguh, ia berani bersumpah bahwa ia tidak yakin pernah berbuat sejauh ini dengan gadis itu. Yang ia ingat, ia hanya tertidur di ruangan itu, tidak lebih. Bahkan, ia juga ingat betul jika dirinya sangat bugar dan segar saat bangun, tidak seperti orang yang baru saja mengeluarkan tenaga banyak. Lagipula, ia tidak mengingat apapun. Sekalipun mabuk, ia yakin seratus persen jika ia tidak meminum jenis alkohol apapun saat ini. "David? Kau sudah melihatnya?""Tidak, aku tidak melakukannya. Sungguh, aku tidak pernah melakukannya. Aku harus meluruskannya langsung dengan Rosa.""Kau jangan gegabah. Aku dan yang lainnya sedang menuju ke tempatm
Baru saja, saat Tiffany ingin membuka ujung antiseptik, Philip dengan cepat menahan lengannya hingga pergerakannya terhenti secara tiba-tiba."Biar aku saja yang obati." ucap pria itu seraya mengambil alih lagi antiseptik itu. Ia meneteskan antiseptik pada kapas yang sudah dibalut kain kasa."Jangan diulangi lagi, aku tidak mau kau terluka."''Tidak perlu cemas, ini hanyalah luka kecil. Tidak seberapa."Philip tidak menggubris. Ia fokus mengobati bibir tipis Tiffany. Ia terdiam mengamati pemandangan dihadapannya. Bibir merah ranum itu lebih menggiurkan ketika dilihat dengan jarak dekat. Ya, seperti buah persik, atau mungkin rasanya juga sama. Pikir Philip. Ia semakingugup sekarang ketika membayangkan bagaimana tekstur dan rasanya. Namun, dengan cepat ia menepis semua pikiran jeleknya."Sudah. Jangan diulangi lagi."Tiffany tersenyum kecil, "Terima kasih."Tidak sengaja, saat ia hendak membereskan kotak P3K, matanya tidak sengaja melirik ke arah benda pipih yang tergeletak begitu saja
Di dalam mobil, Tiffany tentu mendengar teriakan itu. Ia hanya bisa diam dan sesekali melihat ke arah kaca spion yang masih menampilkan David hingga mereka berbelok di perempatan."Kau sebaiknya beristirahat malam ini. Kau tidak usah masuk dulu besok, aku akan memberitahu staff rumah sakit."Tak ada sahutan, Tiffany hanya diam saja seraya menatap lurus ke luar jendela. Ia sudah tidak menangis lagi, tenaganya sudah habis terkuras tadi. Yang tersisa hanya jejak air mata yang mengering di wajahnya. Philip memaklumi, ia tidak akan banyak omong.***Esok paginya, Tiffany terbangun dengan tubuhnya yang masih terasa lemas, juga wajahnya yang membengkak akibat menangis. Ia berada di apartemennya. Sebenarnya, ia sudah bangun sejak dua jam yang lalu, tapi rasanya ia sangat malas beranjak dari atas kasur. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Tidak ada yang ingin ia lakukan hari ini, apalagi mengingat kejadian semalam. Rasanya, seperti mimpi. Ia tidak pernah menyangka jika hub
"Tiffany, kau ingin keluar? Aku tidak nyaman berada di tengah-tengah mereka." "Baiklah. Sepertinya, udara di luar lebih sejuk." Tiffany merasakan hal yang sama, bau ruangan itu sudah bukan lagi aroma lezat makanan tapi sudah didominasi aroma minuman alkohol, ia tidak menyukainya.Tanpa berpamitan lagi pada David, Tiffany segera menyusul Rosa yang sudah lebih dulu keluar. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah sebuah danau kecil dengan beberapa pohon rindang di pinggirnya, gemerlap lampu yang temaram membuat suasana semakin nyaman dinikmati.Kedua gadis itu terus berjalan hingga mereka akhirnya tiba di sebuah jembatan kecil yang digunakan untuk menyebrangi sungai. Memang, di seberang sana ada kandang kuda dan juga lapangan golf. Besar sekali memang rumah Zelo. "Aroma parfummu sama sepertiku." Tiffany menyeletuk saat ia tidak sengaja mencium bau badan Rosa."Benarkah? Aku memakai parfum Channel no 5.""Benar! Aku juga memakainya, pemberian dari David."Rosa terkekeh, "Sepertinya, it
"Kau tidak ikut bermain?"Tiffany menoleh, Rosa sudah di sampingnya sedang mengikat rambut. "Tidak, aku tidak bisa bermain baseball.""Oh, benarkah? Padahal, David sangat menyukai permainan olahraga ini. Dari kecil, dia sudah sangat jago dan berlatih setelah pulang sekolah. Aku juga bisa bermain baseball karena David." Rosa berkata dengan senyumannya."Lebih menyenangkan jika kau bisa bermain baseball dengan seseorang yang kau sayangi, bukan?" Rosa melanjutkan dengan nada yang sedikit berbeda, seolah menyudutkan Tiffany.Tidak ada respon apapun yang diberikan Tiffany, ia hanya diam seraya memperhatikan Rosa yang tengah tersenyum miring ke arahnya seraya berjalan menuju sekumpulan pria itu. Di tempatnya, Tiffany hanya bisa memperhatikan mereka yang sedang asik bermain. Meski pandangannya tertuju pada lapangan juga David, tapi pikirannya sedang mengambang, ia kembali mengingat kejadian semalam dengan Salsha. Bukan hal yang tidak mungkin jika Rosa menaruh perasaan pada David, mereka sud
"Kau masih ingat bagaimana prianya?"Salsha mencoba mengingat kembali, "Sedikit. Aku ingat rambutnya."Tiffany dengan segera mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto yang berisi enam pria yang sedang tersenyum lebar di tengah-tengah lapangan baseball, lengkap dengan pakaian juga sebuah piala di sana."Apa ada di salah satu pria ini?"Salsha mengamatinya dengan teliti hingga ia merasa familiar dengan seorang pria di tengah-tengah, "Ini! Dia orangnya."Itu, Gilang.Setelahnya, Tiffany tidak banyak bicara, ia hanya diam mencoba mencerna apa yang terjadi selama ini. Mendapati hal ini, rasa curiga yang tadi sempat terpendam kini muncul kembali, ia menggali ingatannya dengan beberapa kejadian yang melibat Rosa belakangan ini. Gadis itu memang selalu hadir menjadi topik pertengkaran ia dan David hingga berujung salah paham."Tiffany, jika aku boleh menyarankan, kau harus berhati-hati dengan dia. Kau jangan terlalu percaya padanya. Dia memang sahabat David, tapi dia tetap orang asin