Tuk!David memberikan sebuah minuman kaleng di hadapan Tiffany. Kini, sepasang manusia itu berada di kafetaria untuk mengisi perut mereka. "Terima kasih, aku haus sekali." Tiffany segera membuka tutup botol itu dan menegaknya hingga habis setengah."Pelan-pelan jika ingin minum."Tiffany hanya terdiam seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ah ya, tadi kau mengatakan akan lama di sini?"David mengangguk."Berapa lama?""Aku tidak tahu, yang jelas hingga perusahaan aku berkembang di sini. Lagipula, aku yang akan memegang alih di sini.""Oh, itu tandanya kau akan terus berada di sini?""Aku rasa begitu."Tiffany hanya menganggukkan kepalanya kecil. Meski dalam hatinya, ia sudah menjerit senang."Kau, bagaimana?""Bagaimana apanya?""Katanya, kau sedang ambil cuti dari pekerjaanmu, memangnya ada apa?""Ah, itu." Tiffany mencoba menyusun kalimat agar David tidak salah paham. Bukannya apa, ia memang mengajukan cuti agar bertemu Matthew dan melangsungkan pertunangan di sana."Ada a
Matthew sontak saja terkejut ketika Tiffany malah bicara seperti itu. Astaga, ia bahkan belum mengumpulkan niatnya."Ah, baiklah. Ini, Matthew. Ayahmu."Mau tak mau, pria itu menerima telpon yang disodorkan gadis itu."Halo, Ayah?""Astaga, Nak. Bagaimana keadaanmu? Kau sudah baik-baik saja kan? Kau sudah makan?""Sudah, Ayah. Aku sudah merasa lebih baik. Aku sudah makan dan minum obat juga. Ayah bagaimana kabarnya?""Ayah baik-baik saja. Di sini juga ada asistenmu. Jadi, Ayah tidak sendiri. Besok Ayah akan ke sana.""Ayah besok ke sini? Ada perlu apa, Yah?""Astaga, kau keterlaluan sekali. Aku ingin melihat anakku yang sedang sakit, baru di operasi. Apa itu sebuah kesalahan?""Bukan seperti itu maksudku, Yah. Ayah juga baru saja lebih baik dari batuk Ayah. Di sini banyak polusi dan udara kotor. Jadi, lebih baik Ayah istirahat saja di rumah.""Aish, kau ini tetap saja menyebalkan. Besok Ayah akan tetap ke sana, diantar oleh asistenmu. Kau mengerti?"Matthew menghela napas panjang. Bag
"Meski aku masih merasa bahwa aku yang merebutmu dari Matthew tapi kau tetap gadisku sejak lima tahun lalu. Jadi, aku tidak akan melepaskanmu begitu saja kali ini."Tiffany menatap ke arah David yang sedang menampilkan wajah seriusnya. Rupanya, pria itu sedang tidak main-main. Yang dilakukan Tiffany hanya mengulum senyumnya, ia juga merasa bahagia mendengar penuturan David. "Ah ya, besok kau akan ke rumah sakit lagi?"Tiffany menoleh lalu mengangguk."Sepertinya, besok aku tidak bisa ikut bersamamu.""Eh, ada apa?""Aku harus terjun ke lapangan besok untuk memantau proses pembangunan. Setelah selesai nanti, aku akan menyusulmu."Tiffany hanya mengangguk, hati kecilnya berkata syukur bahwa sekiranya David tidak bertemu dengan Ayahnya Matthew. Namun, satu sisi ia juga sedikit merasa kecewa."Baiklah."Kini, mereka sudah tiba di depan mobil berwarna hitam milik David."Masuklah." Tiffany mengangguk dan menurut.***"Matthew."Pria itu menoleh saat ada seseorang yang memantau namanya."K
"Duduklah!" Masih dalam mode terkejut, Tiffany mengikuti perintah David yang lebih dulu menghempaskan bokongnya dikursimeja makan.Tiffany berdehem, menetralkan detakjantungnya yang bekerja tidak normal, "Maaf. Aku hanya bisa memasak omelet untukmu. Aku pikir, kau akan pergi pagi ini jadi agak susah jika harus memasak yang berat-berat.""Tidak masalah. Aku menyukainya." David terkekeh, ia tahu jika gadis dihadapannya ini sedang salah tingkah."Ah, iya! Ini, ini omelet milikmu. Tidak ada bawang disitu. Kau tidak menyukai bawang, 'kan?" David mengangguk.Tiffany memberikan sepiring omelet yang memang sengaja tidak diberi bawang didalamnya, karena ia sudah yakin jika David tidak menyukai bawang. Entah alergi atau apa, yang jelas setiap ia memakan bawang perut pria itu terasa mual dan ingin muntah."Kau tahu darimana jika aku tidak menyukai bawang, hmm?" Tanyanya lembut disela sela sarapannya."I--tu," Mata Tiffany tidak fokus,manik hitamnya terlihat berkeliaran,"Aku tahu dari ibumu,
"Aku tidak tahu harus mengatakan apa nanti.""Katakan saja yang sejujurnya pada Ayahnya Matthew. Ah ya, nanti setelah dia datang kau bisa langsung ke ruanganku? Aku ingin mengecek kondisinya sebentar."Tiffany mengangguk, "Baiklah. Lebih baik jika kita tahu bagaimana keadaan Ayahnya sebelum memberitahunya. Untung saja, David sedang tidak berada di sini.""Ya, hari ini beruntung. Tapi, kau juga harus memastikan jika David tidak mendengar sesuatu yang bisa saja membuatnya salah paham.""Ya, aku tahu. Semoga saja, Ayahnya Matthew dalam keadaan baik-baik saja dan masalah ini dapat selesai.""Kau ingin masalah ini cepat selesai dan bisa hidup berdua dengan David?"Tiffany mengerjap, tubuhnya mendadak kaku digerakkan. Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa itu yang ia inginkan. ***Tok! Tok!Pintu itu terbuka dan menampilkan pria paruh baya dengan kemeja coklat dan kaca matanya diikuti seorang gadis muda berambut pendek, itu asistennya Matthew."Ayah!" Matthew berseru saat melihat
Tiffany yang teringat dengan ucapan Salsha tadi sontak mencegah pria itu yang baru saja hendak duduk di kursinya."Maaf, Yah. Lebih baik kita mengecek kondisi kesehatan jantung Ayah lebih dulu sebelum lebih lama di sini. Bagaimana?""Ah, baiklah, baiklah. Kau memang gadis yang sangat pengertian, Tiff."Tiffany hanya mengulum senyumnya lalu menuntun pria paruh baya itu menuju ke ruang Salsha, hingga menyisahkan Matthew dan asistennya saja di ruangan itu. Matthew yang dapat menangkap sinyal dari Tiffany hanya bisa tersenyum miris. ***"Sekarang, Paman berbaring saja ya di sini. Aku akan memeriksa kesehatan Paman. Tiffany menunggu di luar."Pria paruh baya itu hanya mengangguk, lalu ia membaringkan dirinya di ranjang sempit untuk pasien seraya memperhatikan Salsha yang tengah bergelut dengan perlengkapan dokternya."Paman masih ingat padaku?""Kau? Bukannya Salsha? Teman band-nya Matthew saat itu?"Salsha yang mendengar itu sontak terkekeh, "Ya, aku Salsha, Paman. Sudah lama sekali kita
"Tiffany, maafkan Matthew yang menggantungmu lama sekali. Anak ini memang tidak pernah mau mendengarkan ucapan Ayahnya."Tiffany tak merespon apapun, ia hanya diam mematung menyaksikan pria paruh baya itu yang masih mengoceh pada Matthew. Sedangkan, Matthew juga sama sepertinya, hanya mampu terdiam dan terkadang mencuri pandang ke arahnya. "Astaga, kau ini menyebalkan. Kalau begitu, kau lamar saja Tiffany sekarang."Bersamaan, kedua anak manusia muda di sana membulatkan kedua matanya mendengar penuturan pria paruh baya itu. Bagaimana bisa semudah itu? Melamar di sini? "Ah, aku tidak bisa Ayah.""Mengapa tidak bisa? Kau sudah sehat, jauh lebih baik. Sudah ada Tiffany juga di sini. Kau hanya tinggal mengatakan ingin menikahinya dan Tiffany akan menjawab, lalu setelahnya kau memasangkan cincin itu pada jemarinya. Sudah selesai. Ayah juga telah menghubungi keluarga Tiffany di Korea sana dan mereka setuju dengan keputusan Ayah."Matthew lagi-lagi hanya terdiam. Baiklah, memang akan lebih
Pria paruh baya itu nampak menghela napasnya panjang, "Jadi, apa alasan kalian mengakhiri hubungan?"Tiffany melirik ke arah Matthew. Pria itu mengigit bibir bawahnya."Aku rasa, aku sudah tidak cocok dengan Tiffany, Yah.""Tidak cocok? Kalian sudah lama menjalin hubungan, Matthew. Mustahil jika kalian hanya berpisah karena tidak cocok. Dan kau Matthew, tidak mungkin kau sampai berniat memesan cincin khusus untuk melamar Tiffany hanya kau ingin mengakhiri hubungan dengan alasan tidak cocok. Kau pikir aku percaya?" nada pria itu sedikit meninggi. Tatapannya sontak saja berubah marah. Jujur saja, selama hidupnya ia tidak pernah berharap pada suatu hal sampai seperti ini."Maafkan aku, Ayah.""Astaga, Matthew. Aku yakin pasti ada yang terjadi di antara kalian. Jika ada masalah, kalian bisa bicarakan baik-baik. Kalau belum selesai juga, salah satu dari kalian bisa menghubungiku untuk menanyakan pendapat. Tidak harus mengakhirinya, bukan? Kalian sudah lama menjalin hubungan. Seharusnya, ka