Keluarga Qin, menguasai bisnis perjudian dari generasi ke generasi. Selain itu, Keluarga Qin juga menguasai bisnis di bidang lainnya, seperti rumah sakit, pusat perbelanjaan dan perhotelan. Beberapa anggota Keluarga Qin juga terlibat dalam pemerintahan.
Dapat dibilang, Keluarga Qin adalah keluarga terpandang dan terhormat di negaranya.
Hanya ada satu rahasia, yang membuat Keluarga Qin dapat semakin berjaya di setiap generasinya. Rahasia itu adalah kesetiaan. Keluarga Qin hanya mengakui pewaris dari hubungan yang sah. Itu artinya, tidak ada celah bagi mereka yang tamak untuk merebut warisan atau pun jabatan. Semua sudah ditetapkan pada saat pewaris menikah dan melahirkan calon pewaris berikutnya.
Robert Qin, generasi ke-10 dari Keluarga Qin, harus menunggu 20 tahun untuk mendapatkan pewaris sah. Robert Qin menikah dengan Anya Chai, putri dari hakim kota. Selama 20 tahun menjadi seorang istri, dirinya telah mengalami 5 kali keguguran.
Di usia ke 40 tahun, akhirnya Anya memiliki kesempatan hamil untuk keenam kalinya. Setelah positif hamil, Anya langsung pindah dan tinggal di rumah sakit. Mendapatkan perawatan terbaik, untuk mencegah keguguran yang telah sering dialaminya.
Anya berhasil mempertahankan kehamilannya sampai usia 7 bulan. Kehamilan itu membuat kesehatannya menurun drastis, tetapi dirinya harus bertanggung jawab melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Bayi dilahirkan pada usia prematur dan Anya menghembuskan napas terakhir di meja operasi.
Robert Qin, bersukacita atas lahirnya sang pewaris. Perayaan berlangsung bersamaan dengan upacara duka. Tentu ada rasa sedih di hati Robert Qin. Walaupun hubungannya dengan sang istri bukanlah cinta, tetapi kebersamaan selama 20 tahun menumbuhkan rasa pertemanan dan hormat. Akhirnya, wanita itu memenuhi kewajibannya dan Robert Qin berterima kasih akan hal tersebut.
Bayi itu diberi nama Maximillian Qin. Setelah lahir, ayahnya mencarikan seorang inang dan pengasuh profesional. Bayi itu dikirim ke negara tetangga. Negara dengan kualitas udara dan pendidikan yang terbaik. Robert Qin sudah mempersiapkan semua rencana pendidikan putranya. Mempersiapkan putranya itu, menjadi pewaris berikutnya kerajaan bisnis Keluarga Qin.
Max diasuh oleh seorang pengasuh yang kompeten. Menyayanginya sepenuh hati dan memberinya perhatian, hal yang tidak diberikan oleh sang ayah.
Di usia 2 tahun, sang ayah datang menjenguk putranya. Memberi hadiah mewah, berupa mobil sport dan perangkat permainan canggih. Tentu itu tidak berguna, untuk bocah berusia 2 tahun.
"Bukankah hadiah itu terlalu berlebihan, Tuan?" tanya sang pengasuh.
"Tidak ada yang berlebihan untuk pewaris Keluarga Qin!" jawab Robert Qin dan menatap putranya yang duduk di lantai, sibuk bermain mobil-mobilan.
"Mengapa dia tidak berbicara? Atau memanggilku?" tanya Robert Qin.
"Oh, Tuan..., Max baru berusia 2 tahun!" seru sang pengasuh dan duduk di samping Max, menemaninya bermain.
Walupun kecewa, setidaknya penjelasan sang pengasuh masuk di akal dan dirinya pergi setelah melihat putranya.
Di usia 4 tahun, sang ayah kembali berkunjung.
"Mengapa dia sama sekali tidak berbicara?" tanya Robert Qin mulai kesal.
"Apa yang kamu lakukan padanya? Mengapa Max belum berbicara sampai sekarang?" Suara Robert Qin meninggi.
"Tidak ada yang aku lakukan padanya! Lagipula Max adalah anak ke-5 yang aku asuh!" jawab sang pengasuh.
"Lalu, mengapa Max belum dapat berbicara?" tanya Robert Qin kembali.
Sang pengasuh menatap penuh khawatir kepada Max dan berusaha bersikap tenang, lalu berkata, "Max sudah bisa menulis!"
"Apa gunanya bisa menulis? Dia harus bisa berbicara dulu!" teriak Robert Qin murka.
"Max sudah bisa menulis! Hal itu tidak dapat dilakukan anak lain seusianya!" ujar sang pengasuh, berusaha menunjukkan kelebihan Max.
BRAKKK!
Robert Qin memukul meja dengan begitu kuat. Hal itu membuat tubuh mungil Max terlonjak dan menatap penuh ketakutan ke arah ayahnya.
"UCAPKAN SESUATU!" raung Robert Qin.
Tubuh mungil Max gemetar hebat dan matanya mulai berkaca-kaca. Namun, saat itulah Max membuka suara untuk pertama kalinya dan berkata, "A-a-a-a-a-ayah, Max t-t-t-t-takut!"
Robert Qin menatap tidak percaya ke arah putra semata wayangnya. Dengan berkacak pinggang, Robert Qin berjalan ke arah Max yang berdiri di hadapannya. Membungkuk sedikit dan menatap tajam ke mata putranya, seraya berkata, "Kau membuatku malu! Bodoh!"
Lalu, Robert Qin keluar dari rumah itu dan membanting pintu dengan kasar.
Luka tertoreh pasti di hati Max kecil. Rasa sedih dan malu, menguasai jiwa murninya. Namun, sang pengasuh tidak menyerah, dirinya yakin Max adalah anak yang pintar dan mendedikasikan dirinya untuk mengajar Max, membimbingnya.
Untuk menghindari aib itu, Robert Qin tidak mengijinkan putranya keluar untuk bersekolah. Beliau memberikan pendidikan kepada putranya melalui home schooling. Hal itu semakin memacu Max agar dapat segera berbicara dengan lancar.
Sang pengasuh begitu sabar dan mengajarkan agar Max berpikir dahulu sebelum mengucapkan sesuatu. Itu berhasil dan di usia ke-11, Max memutuskan untuk mengunjungi sang ayah untuk menunjukkan, bahwa dirinya bukanlah aib. Benar, selama 7 tahun sang ayah tidak lagi pernah mengunjungi dirinya.
Penuh tekad, Max dan sang pengasuh pergi mengunjungi sang ayah. Namun, intimidasi dan cacian sang ayah membuat kepercayaan diri Max menguap. Hal itu, membuat Max kembali berbicara tergagap di hadapan sang ayah. Kembali cacian dan hinaan akan Max yang bodoh adalah aib memalukan bagi Keluarga Qin, berhamburan keluar dari mulut sang ayah.
Max yang berada dalam pelukan sang pengasuh menangis sejadi-jadinya. Rasa sedih berubah menjadi amarah, amarah berubah menjadi benci dan benci berubah menjadi dendam. Max yang berusia 11 tahun, bersumpah dalam hati bahwa dirinya akan menjadi pria normal dan tidak akan memenuhi satupun harapan sang ayah. Tidak akan!
Max menjalani pendidikan di rumah sampai di usianya ke-15. Setelah itu dengan bantuan sang pengasuh, dirinya masuk ke sekolah internasional ternama dan meraih peringkat pertama. Pendidikannya dilanjutkan ke jenjang universitas. Kembali Max mendapatkan nilai sempurna.
Max dikenal sebagai pewaris dan pria arogan. Dirinya jarang berkata-kata. Apa yang terlontar dari mulutnya adalah semua yang penting. Hal itu membuat setiap leluconnya terasa tajam dan kata-katanya penuh makna. Para pria selalu meminta pendapatnya akan segala hal dan para wanita bertekuk lutut di hadapannya.
Karena prestasi serta namanya yang harum, membuat sang ayah mulai meliriknya. Usia yang renta, membuat tubuh Robert Qin tidak lagi sekuat dulu. Mau tidak mau, dirinya butuh putranya untuk melanjutkan kerajaan bisnis Keluarga Qin.
Sang ayah, meminta Max berkunjung. Tentu Max memenuhi undangan itu, tetapi tentu tidak di waktu yang ditetapkan. Max melewati undangan itu sampai satu minggu ke depan.
Namun, kedatangannya yang diam-diam, membuat Max harus menyaksikan hubungan intim sang ayah dengan seorang wanita muda. Hal itu kembali menorehkan luka di hatinya. Melihat bagaimana sang ayah berciuman dengan gadis muda, membuatnya mual.
Hal itulah yang membuat Max tidak mengijinkan wanita mana pun mencium bibirnya. Dirinya tumbuh menjadi playboy ulung. Pria yang tidak akan bercinta dengan wanita yang sama lebih dari satu kali. Pria yang tidak pernah berciuman.
***
Madeline Lu, wanita biasa dengan cita-cita biasa. Menjadi yatim piatu di usia belia, Madeline diasuh oleh kakek dan neneknya. Dilimpahi kasih sayang dan perhatian, membuat Madeline tumbuh menjadi pribadi yang baik hati dan perhatian.
Madeline cerdas dan karirnya cemerlang. Banyak orang iri akan kecantikan dan nasibnya yang bagus. Di puncak karir, Madeline memutuskan untuk pensiun dan mendedikasikan hidupnya untuk suami tercinta.
Dirinya tidak menyangka di usia 30 tahun, harus dihadapkan dengan bayinya yang meninggal dan perceraian.
Sialnya, sebelum perceraian disahkan, dirinya terlilit dalam hutang judi sang suami.
Hal itulah, yang membawa Madeline Lu ke hadapan Maximillian Qin.
Madeline menatap keluar jendela rumah kecil dan sederhana, milik neneknya dulu. Dirinya menghela napas dengan berat, meratapi kehidupannya yang berubah 360°. Pernikahannya selama 5 tahun, akhirnya kandas. Itu karena emosi sesaat, di mana dirinya menuntut cerai tanpa pikir panjang dan menolak semua kompensasi dari mantan suaminya itu.Saat ini, barulah dirinya menyesal. Benar, bukan menyesal karena perceraian, tetapi karena bodoh menolak harta dari suaminya. Madeline Lu adalah menantu keluarga Kang, keluarga kaya yang memiliki bisnis travel. Suaminya, tepatnya mantan suaminya adalah putra tunggal dan pewaris bisnis keluarga itu. Namun, mantan suaminya itu sangat penurut kepada sang ibu, sebenarnya itu bukanlah hal yang buruk. Namun, mantan suaminya adalah anak mami tulen. Semua hal yang berhubungan dengan mantan suaminya diatur oleh sang ibu, bahkan setelah mereka menikah.Dulu, Madeline mengenal suaminya saat dirinya bekerja di salah satu Bank swasta ternama di kota. Saa
TOK TOK TOK!Madeline terkejut, saat pintu depan rumah mungil ini diketuk dengan begitu kasar. Buru-buru, Madeline berjalan ke arah pintu dan membukanya.Bruk!Mantan suaminya, ya Madeline begitu yakin pria itu sudah menjadi mantannya, tersungkur di depan kakinya dengan wajah babak belur. Di belakangnya ada beberapa pria berbadan kekar dengan pakaian serba hitam."I-ini istriku! D-dia mencuri semua uangku dan melarikan diri! Uangku ada padanya!" ujar David Kang terbata-bata dan menunjuk ke arahnya."Serahkan uang itu!" perintah satu pria bertubuh kekar yang melangkah masuk ke dalam rumah mungil ini.Madeline mundur teratur dan otaknya berusaha mencerna apa yang sedang terjadi."K-kita sudah bercerai!" seru Madeline."Serahkan uangnya!" perintah pria itu sekali lagi."A-ku tidak mengerti apa maksud Anda!" ujar Madeline."BRENGSEK! KELUARKAN UANG YANG KAMU BAWA LARI!
"Ehm! Benar, Tuan."Pria itu menjawab sambil menundukkan kepalanya. Madeline ikut menunduk, bahkan tanpa sadar kakinya mundur satu langkah.Maximillian berdiri dari duduknya dan memberikan kode agar wanita-wanita itu keluar dari ruangan ini. Ketiga wanita itu patuh dan mengambil pakaian mereka yang berserakan di lantai, lalu keluar dari ruangan ini.Pria itu masih menundukkan kepala, saat Tuannya berjalan melewatinya menghampiri Madeline.Max berdiri di hadapan Madeline dengan tatapan malas. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana."Sudah berapa lama kamu bekerja untukku, Jay?" tanya Max kepada pria itu."Ehm, sudah hampir 5 tahun, Tuan!" jawab pria itu masih menundukkan kepala."Jadi mengapa kamu membawa wanita seperti ini ke hadapanku?" tanya Max sambil menendang pelan karpet dengan sepatu kulit aslinya."Ehm, karena David Kang tidak dapat melunasi hutangnya, jadi–""Jadi, k
Ruangan yang dibersihkan tadi adalah ruang tamu. Sofa mewah berada di tengah ruangan dengan perapian digital di depannya. Ada juga televisi layar datar begitu besar, yang tergantung di dinding. Tirai tebal berwarna merah tua tertutup rapat.Madeline berjalan ke arah tirai dan menariknya hingga terbuka. Tatapannya silau, karena sinar mentari yang menembus kaca jendela raksasa itu. Hal itu membuat Madeline merasakan hangat dan suasana hatinya sedikit membaik.Dirinya berbalik dan menatap ruangan ini yang suasananya berubah, menjadi lebih hangat. Lalu, Madeline berjalan ke arah belakang yang ternyata terdapat dapur dan meja makan besar berwarna hitam.Madeline melangkah ke arah dapur yang begitu lengkap dan bersih. Memeriksa isi lemari dan kulkas. Seperti perkiraannya itu kosong, tanpa bahan makanan apapun. Dirinya mengambil sebotol air mineral dari kulkas dan meneguknya.Kemudian meninggalkan dapur dan berjalan ke pintu yang ada di ruang
Selain wanita yang bergelantungan di tiang, ada juga yang duduk di sofa menemani para pria, termasuk Maximillian Qin.Max menatap ke arah Madeline dan tatapan mereka bertemu. Max memintanya ke tempatnya dengan anggukan kepala, Madeline patuh dan berjalan ke arah di mana pria itu duduk.Musik di ruangan ini tidak terlalu kencang dan apa yang dibicarakan para pria itu dapat terdengar jelas. Mereka sedang membahas tubuh para wanita yang duduk di samping mereka. Tidak hanya itu, mereka juga menyentuh setiap bagian yang dibicarakan dan tertawa keras.Madeline mulai merasa mual. Wanita tidak ada harga di depan pria hidung belang tersebut."Bersihkan itu!" perintah Max sambil menaikkan satu kakinya ke atas meja.Madeline terpaku saat menatap sepatu kulit berwarna hitam itu sedikit bernoda. Sepertinya terkena tumpahan anggur."Max, apakah kamu sudah berganti selera?""Benar! Sejak kapan kamu suka wanita gemuk?"
Madeline pun terlelap. Ya, tubuh dan otaknya kelelahan, belum lagi masa depan yang akan dilaluinya tidak jelas. Namun, baru terlelap sebentar, kesadarannya terpanggil kembali karena keributan yang sayup-sayup terdengar.Merenggangkan tubuhnya membuka mata, seketika Madeline duduk tegak dan menatap ke asal suara."Oh My God!" pekik Madeline.Bagaimana tidak, saat ini Madeline menatap seorang wanita meliuk-liuk seksi di hadapan Maximillian Qin dan itu membuatnya mual.Ini tidak dapat diterima. Madeline melompat berdiri dan berlari ke arah dapur. Mengambil sapu dengan gagang kayu dan berjalan ke arah dua manusia yang tidak bertingkah sesuai dengan sebutan itu."Hei! Kalian, masuk ke dalam kamar!" ujar Madeline garang. Satu tangan memegang sapu dan tangan satu lagi berkacak di pinggang."Hei, perempuan! Untuk apa sapu itu?" tanya Max dingin, dengan seorang wanita bergelayut manja pada tubuhnya. Wanita yang bah
"Hei! Lepaskan! Apa yang kamu lakukan?" pekik wanita itu dengan memeluk selimutnya erat."Mengusirmu!" jawab Madeline singkat.Terus menarik dan mengabaikan protes wanita itu. Madeline membuka pintu kaca dan mendorong wanita berselimut itu ke depan. Dua pria bertubuh tegap menatap tidak percaya, dengan mata terbelalak lebar."Jangan biarkan wanita ini masuk! Aku akan melemparkan barangnya keluar. Tunggu sebentar!" ujar Madeline dan berbalik masuk kembali.Dua pengawal itu hanya dapat mematuhi perkataannya dan menahan wanita yang mengamuk ini.Dengan gusar, Madeline mengambil sarung tangan karet di dapur, mengenakannya. Lalu, ke kamar dan memungut pakaian wanita itu yang berserakan. Ya, pakaian dalam termasuk dan itu membuat Madeline tambah murka.Mengambil dengan ujung jari, sampai di depan ruangan dan melemparkannya tepat di hadapan wanita itu."Kamu..., kamu kurang ajar!" geram wanita itu yang tampak beg
Gila! Ya, ini gila. Jelas-jelas semua ini untuk memelihara tikus penggerogot harta dan Madeline yakin, semua tikus itu gemuk. Dari puluhan dokumen itu semua penuh dengan nilai yang dilebih-lebihkan. Madeline heran bagaimana perusahaan ini dapat bertahan sampai saat ini.Tidak! Dirinya tidak dapat mendiamkan ini. Jika uang pria itu begitu banyak, alangkah baiknya memberikan sumbangan kepada mereka yang butuh, daripada memelihara tikus berdasi.Madeline menutup map itu dan mengumpulkannya ke samping. Yang dapat dilakukannya adalah menunggu Maximillian Qin datang ke ruang bermainnya ini dan jika pria itu tidak mabuk, maka dirinya akan mencoba menyampaikan pendapatnya.Sampai siang hari, pria itu juga belum muncul. Madeline berjalan ke arah pintu depan dan mencoba menemukan Jay. Dirinya tidak ingin Jay terlibat masalah karena Madeline tidak menandatangani semua dokumen itu."Kapan Jay akan kemari?" tanya Madeline kepada dua pengawal ya
Satu bulan, ya satu bulan Madeline berada di sisi Max. Rutinitas mereka setiap hari adalah melakukan konseling dan beberapa perawatan lainnya. Saat malam tiba, Madeline akan tidur di samping pria itu, menemaninya.Sesekali saat Madeline berbicara, Max akan menatap dirinya. Namun, hanya sesekali.Setelah pertimbangan yang matang, Madeline memutuskan untuk membawa Max junior ke tempat ini.Hari itu pun tiba.Bibi Lian datang bersama dengan Max junior, semua tranportasi diatur oleh Robert Qin."Mommy!" panggil Max junior saat bertemu dengan Madeline.Madeline memeluk putranya itu dan mendaratkan kecupan bertubi-tubi di wajah tampan itu."Apakah Bibi lelah?" tanya Madeline dengan Max junior sudah berada dalam gendongnya."Tidak, tidak," jawab Bibi Lian yang sibuk menatap ke sekeliling rumah mewah ini."Mari saya antar ke kamar Anda, Nyonya," pinta salah seorang staff kepada Bib
Madeline menggandeng lengan Max dan mereka meninggalkan hotel, menuju ke rumah besar.Di dalam perjalanan, Madeline menggenggam tangan Max dengan tatapan yang terus menatap wajah pria itu."Sudah berapa lama dia seperti ini?" tanya Madeline pelan."Semenjak Nona pergi, sikap Tuan mulai berubah," jawab sang pengawal yang mengemudikan mobil."Apakah ayahnya tidak melakukan apa pun?" tanya Madeline kembali."Sudah banyak Dokter handal yang diterbangkan kemari untuk memeriksa Tuan. Namun, kesehatan Tuan semakin memburuk."Setelah itu, mereka tidak lagi berbicara. Madeline selalu menatap wajah pria itu, tetapi Max selalu menatap kosong keluar jendela mobil.Mobil berbelok masuk, melewati gerbang utama kediaman besar Keluarga Qin. Madeline sudah pernah sekali datang ke rumah ini, saat masih menjadi sekretaris pria itu.Mobil berhenti di depan gedung bergaya Eropa dan mereka turun. Madeline ma
Tuan Besar pasti akan mengakui cucunya itu. Bagaimana tidak, Maximillian Qin hanya memiliki keturunan dari wanita itu.Di dalam kapal laut, ponsel Jay berdering dan itu adalah panggilan dari Tuan Besar."Ya, Tuan."[Setelah menemukan mereka, bawa mereka ke hadapanku sesegera mungkin!]"Baik, Tuan!"Lalu, sambungan telepon diputus. Jay berharap, kehadiran Madeline dan putranya mampu menyembuhkan Tuannya.***Madeline melangkah masuk ke dalam lobi hotel milik Keluarga Qin. Tempat di mana dirinya pertama kali bertemu dengan Maximillian Qin. Apakah dirinya ingin bernostalgia? Benar, Madeline merindukan tempat ini. Merindukan pria brengsek itu.Berdiri di depan meja resepsionis, Madeline memesan kamar. Tentu saja, kamar standar bukan kamar tipe mahal. Itu disesuaikan dengan uang yang ada dalam dompetnya."Ini kartu kamar Anda, Nona Madeline."Madeline menerima kartu itu dan menuju ke lantai di m
Di Negara Z, Max dirawat di salah satu rumah sakit swasta ternama di sana dan menempati satu lantai rumah sakit itu. Lantai ruang rawat untuk pasien VVIP, biasanya untuk para publik figur ternama. Ya, Robert Qin menyewa seluruh lantai VVIP itu, tentu saja agar penyakit putranya tidak terendus.Di perusahaan, Maximillian Qin dikatakan mengambil cuti panjang untuk berpelesiran bersama sang istri. Siapa yang berani berkomentar di saat pewaris perusahaan melakukan hal tersebut. Namun nyatanya, Max dirawat di sini."Kapan dia bisa meninggalkan rumah sakit?" tanya Robert Qin kepada Dokter Cha, yang juga merupakan Direktur rumah sakit.Robert Qin dan Dokter Cha berdiri di depan pintu ruangan rawat inap Maximillian Qin."Tidakkah kamu bisa melakukan hipnoterapi lain untuk membantunya sadar?" tanya Robert Qin."Biar aku katakan sejujurnya. Saat ini, kondisi putramu sangat buruk. Dia hanya dapat menerima perawatan melalui obat-obatan.
Belum sempat Robert Qin menyapa, Max sudah kehilangan kesadarannya. Max pingsan di hadapan ayahnya, karena ketakutan.Apakah Robert Qin menyesal? Tidak. Hal tersebut dianggap sebagai harga yang harus dibayar, atas pernikahan yang akan segera dilangsungkan. Robert Qin dapat menerima bahwa putranya kembali tidak mampu bertemu dengannya, tetapi setidaknya kali ini Max mematuhi perkataannya.Max dilarikan ke rumah sakit dan tinggal di sana selama satu minggu. Mendapatkan perawatan psikis dari psikiater ternama di kota ini, tentu dengan pegangan catatan medis dari Dokter Cha.***Madeline membersihkan kaca jendela yang buram, karena jejak debu yang begitu tebal. Sudah satu minggu dirinya berada di pulau ini. Seperti perkataan almarhum neneknya, penduduk sangat ramah dan udara di sini amatlah segar.Satu minggu yang lalu, setelah turun dari kapal, Madeline mencari rumah untuk disewa. Beruntung, harga sewa rumah di pulau ini
Ha ha ha!Madeline tertawa dingin, sebelum berkata, "Ini adalah pilihanku. Aku memilih untuk mengambil kesempatan itu dan mempercayai Max. Semua itu adalah keputusanku, lagipula usiaku sudah 30 tahun, tidak ada masalah jika aku tidur dengan pria bukan? Jadi, aku mohon jangan memperbesar masalah!" ujar Madeline dingin. Setidaknya dengan terlihat tidak peduli, Madeline berharap dapat melindungi harga dirinya yang tersisa. Apakah harga dirinya masih tersisa? batinnya miris."Benar, kamu adalah wanita dewasa, bahkan seorang janda! Tentu kamu bebas hendak bercinta dengan pria mana pun yang kamu inginkan!" balas Hans dingin dan maju beberapa langkah mendekati Madeline."Jika begitu, mari kita bercinta!" bisik Hans tepat di telinga Madeline.Tangan Hans diselipkan ke pinggang Madeline dan menarik tubuh itu, agar menempel pada tubuhnya. Tanpa permisi, Hans langsung mendaratkan ciuman ke bibir indah Madeline Lu.Madeline tidak
"Aku menyukai wanita cantik dan kamu, salah satunya! Bukankah kamu sudah jelas tahu akan hal tersebut?" tanya Max dingin.Madeline memejamkan matanya untuk sesaat, menahan emosinya yang hendak meledak."Baik! Aku mengerti," jawab Madeline.Max menghela napas lega, bersyukur wanita itu tidak bersikeras. Bersikeras agar Max hanya setia pada dirinya, pada satu wanita. Karena, itu tidaklah mungkin."Bagus, jika kamu mengerti. Lagipula, aku menyukai cara kerjamu dan berharap, kamu terus menjadi sekretarisku!" jelas Max, sambil berbalik menatap Madeline.Madeline membuka mata dan menatap dingin ke arah pria itu, dingin. Dirinya yang begitu bodoh, mempercayai harapan palsu yang diberikan oleh pria itu. Bukankah sudah cukup dirinya dikecewakan oleh mantan suaminya dan kini, dirinya kembali masuk dalam jeratan pria yang sama brengseknya.DING!Pintu lift terbuka dan seorang wanita cantik melangkah masuk.&nbs
Spontan Max bangkit dari duduknya dan mengejar wanita itu. Mengejar Madeline Lu.Di tengah-tengah restoran itu, Max menarik pergelangan tangan Madeline Lu. Tarikan yang cukup kuat, membuat tubuh Madeline membentur dada bidang Max.Madeline yang kesal, langsung menghentakkan tangannya agar terlepas dari pegangan Max. Lalu, berbalik dan berjalan cepat, meninggalkan restoran, meninggalkan pria brengsek itu.Mendorong pintu kayu restoran hingga terbuka lebar, Madeline berlari menuruni beberapa anak tangga yang ada di sana. Max mengejarnya."Berhenti!" perintah Max.Madeline mengabaikan perintah pria itu dan berlari kecil, menjauhi Max. Tidak tahu berjalan ke arah atau menuju mana, Madeline hanya terus berlari menjauhi pria itu. Namun, sepatu hak tinggi membatasi langkah kakinya dan Max kembali berhasil menangkap pergelangan tangannya, saat Madeline berbelok ke jalan kecil yang ada di sana.Max tidak tahu apa y
Madeline melihat isi amplop itu dan menatap Max dengan tatapan gembira. Bagaimana tidak, ini adalah surat cerai yang sudah ditandatangani oleh David Kang."Bagaimana? Bagaimana kamu membuatnya menandatangani ini?" tanya Madeline penasaran."Bukan masalah besar," jawab Max sambil mengangkat bahu.Madeline tersenyum. Dirinya ingin bertanya, apakah setelah dirinya bercerai, Max ingin menjalin hubungan serius dengannya? Namun, Madeline tidak berani mengutarakan pertanyaan itu. Dirinya takut. Takut ditolak, takut dikecewakan.Max tersenyum puas, saat melihat Madeline menandatangani surat cerai itu. Setelah dipukul babak belur dan diancam, David Kang masih menolak untuk menandatangani surat cerai itu. Akhirnya, Max menawarkan sejumlah uang yang tidak mampu ditolak. Ya, akhirnya pria bajingan itu bersedia melepaskan Madeline Lu."Baiklah! Nanti kita makan malam," ujar Max dan mengecup kening kekasihnya itu.Madeline me