"Ehm! Benar, Tuan."
Pria itu menjawab sambil menundukkan kepalanya. Madeline ikut menunduk, bahkan tanpa sadar kakinya mundur satu langkah.
Maximillian berdiri dari duduknya dan memberikan kode agar wanita-wanita itu keluar dari ruangan ini. Ketiga wanita itu patuh dan mengambil pakaian mereka yang berserakan di lantai, lalu keluar dari ruangan ini.
Pria itu masih menundukkan kepala, saat Tuannya berjalan melewatinya menghampiri Madeline.
Max berdiri di hadapan Madeline dengan tatapan malas. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.
"Sudah berapa lama kamu bekerja untukku, Jay?" tanya Max kepada pria itu.
"Ehm, sudah hampir 5 tahun, Tuan!" jawab pria itu masih menundukkan kepala.
"Jadi mengapa kamu membawa wanita seperti ini ke hadapanku?" tanya Max sambil menendang pelan karpet dengan sepatu kulit aslinya.
"Ehm, karena David Kang tidak dapat melunasi hutangnya, jadi–"
"Jadi, kamu membawa wanita ini sebagai jaminan?" tanya Max memotong ucapan bawahannya itu.
"Y-ya Tuan!" jawab pria itu masih sambil menunduk. Jelas dari suaranya, pria itu terdengar ketakutan.
Max maju satu langkah dan berdiri di hadapan wanita yang sama sekali bukan tipenya.
Mencengkeram wajah bulat itu dengan tangannya. Mengangkat wajah itu dan menggoyangkannya ke kiri dan ke kanan.
"Kau tahu, terkadang ada beberapa orang yang menyelesaikan hutang dengan tubuh mereka. Namun, aku pemilih dan memiliki kriteria yang sangat tinggi bagi wanita yang memiliki kehormatan untuk tidur di ranjangku!"
Max melepaskan wajah wanita itu dan menunduk agar tatapan mereka sejajar.
"Namun, kamu sama sekali tidak memenuhi kriteria. Aku suka wanita muda dengan ukuran tubuh S! Tidak lebih dan tidak kurang. Artinya, kamu tidak dapat menebus hutang suamimu menggunakan tubuh itu!" ujar Max sambil menunjuk ke arah Madeline.
Madeline membalas tatapan pria di hadapannya. Memang apa salahnya memiliki tubuh berisi. Dirinya baru melahirkan tiga bulan yang lalu dan dirinya juga tidak sudi menggunakan tubuhnya untuk membayar hutang suami bajingannya itu.
"Bukan aku yang berjudi! Bukan pula aku yang berhutang. Jadi apa Anda kira aku bersedia membayar hutang orang lain menggunakan tubuh ini? Walaupun seperti kata Anda, tubuh ini tidak memenuhi kriteria! Bukankah lebih baik Anda menagih ke orang yang berhutang! Siapa tahu Anda akan bergairah dengan pria. Mengapa tidak dicoba?" ujar Madeline dingin.
Dirinya muak selalu diperlakukan hina. Dulu ibu mertuanya memperlakukannya layaknya sampah setelah melahirkan bayinya. Sekarang pria arogan ini juga merendahkannya dan sialnya ini semua disebabkan oleh suaminya.
Pria yang sedari tadi menunduk, saat ini menatap Madeline dengan wajah pucat pasi. Tidak ada yang berani berkata sepanjang itu kepada Tuannya. Apakah wanita itu akan mati malam ini? batinnya ngeri.
Ha ha ha!
Max tertawa. Ya, pria itu tertawa begitu keras sampai tubuhnya yang tinggi terguncang.
Madeline menatap tidak percaya. Awalnya, Madeline mengira akan ditampar atau dimaki kembali. Namun, reaksi pria di hadapannya sungguh mengejutkan.
Max berhenti tertawa dan kembali menunduk, menatap Madeline.
"Sebenarnya, jika tadi kamu berlutut dan memohon ampun, maka aku akan mengabaikan hutang itu. Anggap saja amal kebaikan, karena rupamu yang buruk! Namun, mulutmu cukup tajam dan itu membuatku mengurungkan niat baikku itu!"
"Semua hutang harus dibayar! Baik itu hutang budi ataupun uang. Jadi, jika kamu tidak memiliki uang, maka bayar dengan tenagamu. Karena tubuhmu juga tidak memiliki harga bagiku."
Maximillian mengucapkan kata-katanya dengan tatapan dingin. Hal itu membuat Madeline merasa sedikit takut dan mengigit lidahnya, menahan makian yang hendak dilontarkannya lagi.
"Biarkan wanita ini melakukan pekerjaan paling kotor, dalam arti sesungguhnya! Dan pastikan aku sering melihatnya! Aku yakin kamu akan segera kehilangan taringmu itu dan kembali memohon padaku!" ujar Max dan kembali berdiri tegak. Lalu, berbalik dan hendak berjalan pergi.
"Tunggu! Bukankah seharusnya Anda meminta David bertanggung jawab akan hutang ini? Bahkan Anda bisa meminta pertanggungjawaban kedua orang tuanya, yang aku yakin masih memiliki sedikit harta yang disembunyikan mereka!" seru Madeline sambil mengepalkan kedua tangannya.
Maximillian mendesah dan berbalik, dengan langkah lebar berjalan ke arah Madeline. Berdiri tepat di hadapannya, Max menangkup wajahnya dengan satu tangannya. Kali ini begitu kuat dan Madeline merasa kesakitan. Madeline hendak melepaskan cengkeraman di wajahnya itu, tetapi hal itu membuat Max memperkuat cengkeramannya.
"Jangan terlalu yakin aku tidak akan menyakiti dirimu! Kamu cukup beruntung dapat berbicara begitu banyak kepadaku, tetapi tetap harus tahu diri! Kedua orang tua bajingan itu sudah menyatakan putus hubungan. Artinya, semua tindak tanduknya bukan lagi tanggung jawab mereka. Dirimu, Madeline Lu adalah istri sahnya. Tidak ada harga yang tersisa dari suami busukmu itu! Jadi, tutup mulutmu selagi aku berbaik hati!" ujar Max dan melepaskan wajah Madeline dengan kasar, membuat tubuh Madeline terjatuh ke belakang.
Lalu, Max berbalik dan berjalan pergi meninggalkan Madeline dengan pria yang bernama Jay itu.
"A-apa maksudnya?" tanya Madeline.
"Maksud Tuan, Nona akan bekerja untuknya. Mengurus sisa-sisa pestanya dan mengusir wanita yang tidak mau pergi. Seperti ini!" jawab Jay sambil menunjuk ke arah meja.
Madeline menatap ke arah yang ditunjuk Jay dan melihat meja yang berserakan botol minuman keras. Belum lagi abu dan puntung cerutu yang berserakan di atas karpet.
"Hanya itu?" tanya Madeline, menatap Jay. Apakah dirinya hanya perlu menjadi staff kebersihan? Bukankah ini lebih baik, daripada membayar menggunakan tubuhnya.
"Ya! Nona, akan berada di dekat Tuan dan melakukan hal-hal seperti ini atau yang diperintahkan olehnya!" jawab Jay.
Madeline bangkit dan merapikan pakaiannya.
"Baik! Tidak masalah!" ujarnya pasti dengan senyum lebar.
Jay menatap tidak percaya ke arah wanita di hadapannya. Apakah wanita itu idiot? Karena ini lebih buruk daripada menghangatkan ranjang Tuannya. Tuannya terkenal memperlakukan teman tidurnya dengan lembut. Namun, apa yang akan dialami wanita itu jauh lebih buruk dan Jay tidak tahu berapa lama, wanita itu akan mampu bertahan.
"Di mana alat pembersih? Apakah ini tempat di mana Tuanmu tinggal?" tanya Madeline.
"Ini ruang bermain Tuan!" jawab Jay dan berjalan ke arah pintu lain di bagian belakang ruangan ini, yang berisi peralatan kebersihan.
Madeline mengambil apa yang diperlukan dan kembali ke sofa tadi. Mulai membersihkan kekacauan itu.
"Letakkan gelas dan botol di depan pintu! Nanti, akan ada staff hotel yang mengambilnya. Kamu tetap di ruangan ini, aku akan datang jika Tuan membutuhkan tenagamu!" ujar Jay dan berjalan meninggalkan ruangan ini.
Madeline menghela napas dan berpikir, ini tidak terlalu buruk. Berakhir menjadi seorang pembantu, itu lebih baik daripada tunawisma. Ya, dirinya tidak memiliki uang dan rumah neneknya hancur berantakan. Dirinya juga tidak tahu berapa banyak pihak yang memberikan pinjaman pada suaminya itu.
Madeline mulai membersihkan dan dirinya mual saat melihat kondom yang telah dipakai ada di atas sofa. Beruntung dirinya menggunakan sarung tangan karet dan dengan ujung jari mengambil kondom itu, lalu melemparkannya ke dalam tempat sampah.
Madeline segera mengambil semprotan disinfektan dan menyemprotkan di atas sofa tadi. Apakah ini yang disebut pekerjaan kotor? Dirinya harus merapikan kekacauan yang ditimbulkan pria itu dengan para pelacur? Untuk sesaat, Madeline mulai mengkhawatirkan sebenarnya dirinya terlibat dalam masalah apa? Apakah seharusnya, dirinya melarikan diri? batinnya.
Madeline meletakkan botol dan gelas di depan pintu kaca hitam yang dijaga begitu banyak pria berbadan kekar. Lalu kembali ke dalam ruangan itu dan mulai melihat-lihat.
Ruangan yang dibersihkan tadi adalah ruang tamu. Sofa mewah berada di tengah ruangan dengan perapian digital di depannya. Ada juga televisi layar datar begitu besar, yang tergantung di dinding. Tirai tebal berwarna merah tua tertutup rapat.Madeline berjalan ke arah tirai dan menariknya hingga terbuka. Tatapannya silau, karena sinar mentari yang menembus kaca jendela raksasa itu. Hal itu membuat Madeline merasakan hangat dan suasana hatinya sedikit membaik.Dirinya berbalik dan menatap ruangan ini yang suasananya berubah, menjadi lebih hangat. Lalu, Madeline berjalan ke arah belakang yang ternyata terdapat dapur dan meja makan besar berwarna hitam.Madeline melangkah ke arah dapur yang begitu lengkap dan bersih. Memeriksa isi lemari dan kulkas. Seperti perkiraannya itu kosong, tanpa bahan makanan apapun. Dirinya mengambil sebotol air mineral dari kulkas dan meneguknya.Kemudian meninggalkan dapur dan berjalan ke pintu yang ada di ruang
Selain wanita yang bergelantungan di tiang, ada juga yang duduk di sofa menemani para pria, termasuk Maximillian Qin.Max menatap ke arah Madeline dan tatapan mereka bertemu. Max memintanya ke tempatnya dengan anggukan kepala, Madeline patuh dan berjalan ke arah di mana pria itu duduk.Musik di ruangan ini tidak terlalu kencang dan apa yang dibicarakan para pria itu dapat terdengar jelas. Mereka sedang membahas tubuh para wanita yang duduk di samping mereka. Tidak hanya itu, mereka juga menyentuh setiap bagian yang dibicarakan dan tertawa keras.Madeline mulai merasa mual. Wanita tidak ada harga di depan pria hidung belang tersebut."Bersihkan itu!" perintah Max sambil menaikkan satu kakinya ke atas meja.Madeline terpaku saat menatap sepatu kulit berwarna hitam itu sedikit bernoda. Sepertinya terkena tumpahan anggur."Max, apakah kamu sudah berganti selera?""Benar! Sejak kapan kamu suka wanita gemuk?"
Madeline pun terlelap. Ya, tubuh dan otaknya kelelahan, belum lagi masa depan yang akan dilaluinya tidak jelas. Namun, baru terlelap sebentar, kesadarannya terpanggil kembali karena keributan yang sayup-sayup terdengar.Merenggangkan tubuhnya membuka mata, seketika Madeline duduk tegak dan menatap ke asal suara."Oh My God!" pekik Madeline.Bagaimana tidak, saat ini Madeline menatap seorang wanita meliuk-liuk seksi di hadapan Maximillian Qin dan itu membuatnya mual.Ini tidak dapat diterima. Madeline melompat berdiri dan berlari ke arah dapur. Mengambil sapu dengan gagang kayu dan berjalan ke arah dua manusia yang tidak bertingkah sesuai dengan sebutan itu."Hei! Kalian, masuk ke dalam kamar!" ujar Madeline garang. Satu tangan memegang sapu dan tangan satu lagi berkacak di pinggang."Hei, perempuan! Untuk apa sapu itu?" tanya Max dingin, dengan seorang wanita bergelayut manja pada tubuhnya. Wanita yang bah
"Hei! Lepaskan! Apa yang kamu lakukan?" pekik wanita itu dengan memeluk selimutnya erat."Mengusirmu!" jawab Madeline singkat.Terus menarik dan mengabaikan protes wanita itu. Madeline membuka pintu kaca dan mendorong wanita berselimut itu ke depan. Dua pria bertubuh tegap menatap tidak percaya, dengan mata terbelalak lebar."Jangan biarkan wanita ini masuk! Aku akan melemparkan barangnya keluar. Tunggu sebentar!" ujar Madeline dan berbalik masuk kembali.Dua pengawal itu hanya dapat mematuhi perkataannya dan menahan wanita yang mengamuk ini.Dengan gusar, Madeline mengambil sarung tangan karet di dapur, mengenakannya. Lalu, ke kamar dan memungut pakaian wanita itu yang berserakan. Ya, pakaian dalam termasuk dan itu membuat Madeline tambah murka.Mengambil dengan ujung jari, sampai di depan ruangan dan melemparkannya tepat di hadapan wanita itu."Kamu..., kamu kurang ajar!" geram wanita itu yang tampak beg
Gila! Ya, ini gila. Jelas-jelas semua ini untuk memelihara tikus penggerogot harta dan Madeline yakin, semua tikus itu gemuk. Dari puluhan dokumen itu semua penuh dengan nilai yang dilebih-lebihkan. Madeline heran bagaimana perusahaan ini dapat bertahan sampai saat ini.Tidak! Dirinya tidak dapat mendiamkan ini. Jika uang pria itu begitu banyak, alangkah baiknya memberikan sumbangan kepada mereka yang butuh, daripada memelihara tikus berdasi.Madeline menutup map itu dan mengumpulkannya ke samping. Yang dapat dilakukannya adalah menunggu Maximillian Qin datang ke ruang bermainnya ini dan jika pria itu tidak mabuk, maka dirinya akan mencoba menyampaikan pendapatnya.Sampai siang hari, pria itu juga belum muncul. Madeline berjalan ke arah pintu depan dan mencoba menemukan Jay. Dirinya tidak ingin Jay terlibat masalah karena Madeline tidak menandatangani semua dokumen itu."Kapan Jay akan kemari?" tanya Madeline kepada dua pengawal ya
Madeline tenggelam dalam lautan dokumen dan tulisannya. Setelah semua selesai, Madeline mulai mengetik rangkumannya ke dalam laptop. Saat semua selesai, langit sudah gelap dan Madeline terkejut saat melihat waktu yang ternyata sudah pukul 10 malam. Dirinya, melupakan makan malam dan itu tidak bagus.Dokumen bertebaran di lantai dan Madeline harus melompat untuk melewati lautan kertas itu. Pergi ke dapur dan menyeduh teh. Madeline bersyukur, Jay tidak datang mengganggunya. Lebih tepatnya, bersyukur karena Max tidak memanggilnya.Madeline memasukkan satu sendok gula ke dalam tehnya dan mengambil buah, lalu memakannya. Hmmm, tinggal diperiksa ulang sekali lagi, maka apa yang dikerjakannya sudah dapat dikirim ke alamat surel pria itu."MADELINE!" panggil Jay yang berlari masuk dalam ruangan.Teriakan Jay membuat Madeline terkejut, beruntung cangkirnya tidak terlepas dari pegangannya."Ada apa?" tanya Madeline yang berlari kelua
"Aku tidak menyukaimu!" balas Madeline dingin."Mengapa harus sejujur itu?" keluh Hans dan memasang wajah sedih."Oh, ayolah! Aku tidak tahu semua pria Qin begitu murahan," ejek Madeline."Itu kasar!" jawab Hans, sambil tersenyum.Madeline mengangkat bahu dan lanjut mengetik. Dirinya senang berseluncur di dunia maya, mencari informasi tentang perusahaan keluarga Qin. Setelah memeriksa semua dokumen itu, membuat Madeline penasaran."Apa yang kamu kerjakan?" tanya Hans penasaran."Hmmm, aku membuat pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen itu dan dari sana banyak yang ingin aku ketahui!" ujar Madeline sambil menunjuk ke lantai dekat jendela, ya dokumen itu masih berserakan di sana."Benarkah? Boleh aku lihat apa yang kamu temukan?" tanya Hans.Madeline mengangguk dan membuka file miliknya, lalu membalikkan laptop ke hadapan Hans.Hans membaca rangkuman yang dibuat Madeline dan berde
Maximillian Qin berada di ruang pakaian yang ada di ruang kerjanya. Semalam dirinya tidak dapat terlelap. Lusa, perjalanannya ke Negara Z membuat Max cemas. Dirinya merapikan dasi dan mengenakan jas, lalu menatap tampilannya di cermin. Seorang artis pemula sudah menandatangani kontrak dengannya, tentu dengan bayaran yang besar. Lagipula, selain uang, pamor artis itu akan langsung melejit jika terlibat rumor percintaan dengannya. Apalagi, rumor yang dibuat adalah Max mengejar wanita itu mati-matian. Ya, tiga artis pemula yang sebelumnya terikat kontrak dengannya, sudah begitu terkenal dan Max yakin artis ini juga akan mengalami hal yang sama.Semua ini terjadi karena kecelakaan yang dialaminya saat berusia 11 tahun. Saat dirinya memergoki sang ayah bercumbu dengan seorang wanita muda. Ya, ingatan itu masih menguasai dirinya. Dirinya yang baru berusia 11 tahun, berlari keluar dengan cepat setelah menyaksikan hal tersebut. Dengan pandangan kabur karena genangan air ma
Satu bulan, ya satu bulan Madeline berada di sisi Max. Rutinitas mereka setiap hari adalah melakukan konseling dan beberapa perawatan lainnya. Saat malam tiba, Madeline akan tidur di samping pria itu, menemaninya.Sesekali saat Madeline berbicara, Max akan menatap dirinya. Namun, hanya sesekali.Setelah pertimbangan yang matang, Madeline memutuskan untuk membawa Max junior ke tempat ini.Hari itu pun tiba.Bibi Lian datang bersama dengan Max junior, semua tranportasi diatur oleh Robert Qin."Mommy!" panggil Max junior saat bertemu dengan Madeline.Madeline memeluk putranya itu dan mendaratkan kecupan bertubi-tubi di wajah tampan itu."Apakah Bibi lelah?" tanya Madeline dengan Max junior sudah berada dalam gendongnya."Tidak, tidak," jawab Bibi Lian yang sibuk menatap ke sekeliling rumah mewah ini."Mari saya antar ke kamar Anda, Nyonya," pinta salah seorang staff kepada Bib
Madeline menggandeng lengan Max dan mereka meninggalkan hotel, menuju ke rumah besar.Di dalam perjalanan, Madeline menggenggam tangan Max dengan tatapan yang terus menatap wajah pria itu."Sudah berapa lama dia seperti ini?" tanya Madeline pelan."Semenjak Nona pergi, sikap Tuan mulai berubah," jawab sang pengawal yang mengemudikan mobil."Apakah ayahnya tidak melakukan apa pun?" tanya Madeline kembali."Sudah banyak Dokter handal yang diterbangkan kemari untuk memeriksa Tuan. Namun, kesehatan Tuan semakin memburuk."Setelah itu, mereka tidak lagi berbicara. Madeline selalu menatap wajah pria itu, tetapi Max selalu menatap kosong keluar jendela mobil.Mobil berbelok masuk, melewati gerbang utama kediaman besar Keluarga Qin. Madeline sudah pernah sekali datang ke rumah ini, saat masih menjadi sekretaris pria itu.Mobil berhenti di depan gedung bergaya Eropa dan mereka turun. Madeline ma
Tuan Besar pasti akan mengakui cucunya itu. Bagaimana tidak, Maximillian Qin hanya memiliki keturunan dari wanita itu.Di dalam kapal laut, ponsel Jay berdering dan itu adalah panggilan dari Tuan Besar."Ya, Tuan."[Setelah menemukan mereka, bawa mereka ke hadapanku sesegera mungkin!]"Baik, Tuan!"Lalu, sambungan telepon diputus. Jay berharap, kehadiran Madeline dan putranya mampu menyembuhkan Tuannya.***Madeline melangkah masuk ke dalam lobi hotel milik Keluarga Qin. Tempat di mana dirinya pertama kali bertemu dengan Maximillian Qin. Apakah dirinya ingin bernostalgia? Benar, Madeline merindukan tempat ini. Merindukan pria brengsek itu.Berdiri di depan meja resepsionis, Madeline memesan kamar. Tentu saja, kamar standar bukan kamar tipe mahal. Itu disesuaikan dengan uang yang ada dalam dompetnya."Ini kartu kamar Anda, Nona Madeline."Madeline menerima kartu itu dan menuju ke lantai di m
Di Negara Z, Max dirawat di salah satu rumah sakit swasta ternama di sana dan menempati satu lantai rumah sakit itu. Lantai ruang rawat untuk pasien VVIP, biasanya untuk para publik figur ternama. Ya, Robert Qin menyewa seluruh lantai VVIP itu, tentu saja agar penyakit putranya tidak terendus.Di perusahaan, Maximillian Qin dikatakan mengambil cuti panjang untuk berpelesiran bersama sang istri. Siapa yang berani berkomentar di saat pewaris perusahaan melakukan hal tersebut. Namun nyatanya, Max dirawat di sini."Kapan dia bisa meninggalkan rumah sakit?" tanya Robert Qin kepada Dokter Cha, yang juga merupakan Direktur rumah sakit.Robert Qin dan Dokter Cha berdiri di depan pintu ruangan rawat inap Maximillian Qin."Tidakkah kamu bisa melakukan hipnoterapi lain untuk membantunya sadar?" tanya Robert Qin."Biar aku katakan sejujurnya. Saat ini, kondisi putramu sangat buruk. Dia hanya dapat menerima perawatan melalui obat-obatan.
Belum sempat Robert Qin menyapa, Max sudah kehilangan kesadarannya. Max pingsan di hadapan ayahnya, karena ketakutan.Apakah Robert Qin menyesal? Tidak. Hal tersebut dianggap sebagai harga yang harus dibayar, atas pernikahan yang akan segera dilangsungkan. Robert Qin dapat menerima bahwa putranya kembali tidak mampu bertemu dengannya, tetapi setidaknya kali ini Max mematuhi perkataannya.Max dilarikan ke rumah sakit dan tinggal di sana selama satu minggu. Mendapatkan perawatan psikis dari psikiater ternama di kota ini, tentu dengan pegangan catatan medis dari Dokter Cha.***Madeline membersihkan kaca jendela yang buram, karena jejak debu yang begitu tebal. Sudah satu minggu dirinya berada di pulau ini. Seperti perkataan almarhum neneknya, penduduk sangat ramah dan udara di sini amatlah segar.Satu minggu yang lalu, setelah turun dari kapal, Madeline mencari rumah untuk disewa. Beruntung, harga sewa rumah di pulau ini
Ha ha ha!Madeline tertawa dingin, sebelum berkata, "Ini adalah pilihanku. Aku memilih untuk mengambil kesempatan itu dan mempercayai Max. Semua itu adalah keputusanku, lagipula usiaku sudah 30 tahun, tidak ada masalah jika aku tidur dengan pria bukan? Jadi, aku mohon jangan memperbesar masalah!" ujar Madeline dingin. Setidaknya dengan terlihat tidak peduli, Madeline berharap dapat melindungi harga dirinya yang tersisa. Apakah harga dirinya masih tersisa? batinnya miris."Benar, kamu adalah wanita dewasa, bahkan seorang janda! Tentu kamu bebas hendak bercinta dengan pria mana pun yang kamu inginkan!" balas Hans dingin dan maju beberapa langkah mendekati Madeline."Jika begitu, mari kita bercinta!" bisik Hans tepat di telinga Madeline.Tangan Hans diselipkan ke pinggang Madeline dan menarik tubuh itu, agar menempel pada tubuhnya. Tanpa permisi, Hans langsung mendaratkan ciuman ke bibir indah Madeline Lu.Madeline tidak
"Aku menyukai wanita cantik dan kamu, salah satunya! Bukankah kamu sudah jelas tahu akan hal tersebut?" tanya Max dingin.Madeline memejamkan matanya untuk sesaat, menahan emosinya yang hendak meledak."Baik! Aku mengerti," jawab Madeline.Max menghela napas lega, bersyukur wanita itu tidak bersikeras. Bersikeras agar Max hanya setia pada dirinya, pada satu wanita. Karena, itu tidaklah mungkin."Bagus, jika kamu mengerti. Lagipula, aku menyukai cara kerjamu dan berharap, kamu terus menjadi sekretarisku!" jelas Max, sambil berbalik menatap Madeline.Madeline membuka mata dan menatap dingin ke arah pria itu, dingin. Dirinya yang begitu bodoh, mempercayai harapan palsu yang diberikan oleh pria itu. Bukankah sudah cukup dirinya dikecewakan oleh mantan suaminya dan kini, dirinya kembali masuk dalam jeratan pria yang sama brengseknya.DING!Pintu lift terbuka dan seorang wanita cantik melangkah masuk.&nbs
Spontan Max bangkit dari duduknya dan mengejar wanita itu. Mengejar Madeline Lu.Di tengah-tengah restoran itu, Max menarik pergelangan tangan Madeline Lu. Tarikan yang cukup kuat, membuat tubuh Madeline membentur dada bidang Max.Madeline yang kesal, langsung menghentakkan tangannya agar terlepas dari pegangan Max. Lalu, berbalik dan berjalan cepat, meninggalkan restoran, meninggalkan pria brengsek itu.Mendorong pintu kayu restoran hingga terbuka lebar, Madeline berlari menuruni beberapa anak tangga yang ada di sana. Max mengejarnya."Berhenti!" perintah Max.Madeline mengabaikan perintah pria itu dan berlari kecil, menjauhi Max. Tidak tahu berjalan ke arah atau menuju mana, Madeline hanya terus berlari menjauhi pria itu. Namun, sepatu hak tinggi membatasi langkah kakinya dan Max kembali berhasil menangkap pergelangan tangannya, saat Madeline berbelok ke jalan kecil yang ada di sana.Max tidak tahu apa y
Madeline melihat isi amplop itu dan menatap Max dengan tatapan gembira. Bagaimana tidak, ini adalah surat cerai yang sudah ditandatangani oleh David Kang."Bagaimana? Bagaimana kamu membuatnya menandatangani ini?" tanya Madeline penasaran."Bukan masalah besar," jawab Max sambil mengangkat bahu.Madeline tersenyum. Dirinya ingin bertanya, apakah setelah dirinya bercerai, Max ingin menjalin hubungan serius dengannya? Namun, Madeline tidak berani mengutarakan pertanyaan itu. Dirinya takut. Takut ditolak, takut dikecewakan.Max tersenyum puas, saat melihat Madeline menandatangani surat cerai itu. Setelah dipukul babak belur dan diancam, David Kang masih menolak untuk menandatangani surat cerai itu. Akhirnya, Max menawarkan sejumlah uang yang tidak mampu ditolak. Ya, akhirnya pria bajingan itu bersedia melepaskan Madeline Lu."Baiklah! Nanti kita makan malam," ujar Max dan mengecup kening kekasihnya itu.Madeline me