Ruangan yang dibersihkan tadi adalah ruang tamu. Sofa mewah berada di tengah ruangan dengan perapian digital di depannya. Ada juga televisi layar datar begitu besar, yang tergantung di dinding. Tirai tebal berwarna merah tua tertutup rapat.
Madeline berjalan ke arah tirai dan menariknya hingga terbuka. Tatapannya silau, karena sinar mentari yang menembus kaca jendela raksasa itu. Hal itu membuat Madeline merasakan hangat dan suasana hatinya sedikit membaik.
Dirinya berbalik dan menatap ruangan ini yang suasananya berubah, menjadi lebih hangat. Lalu, Madeline berjalan ke arah belakang yang ternyata terdapat dapur dan meja makan besar berwarna hitam.
Madeline melangkah ke arah dapur yang begitu lengkap dan bersih. Memeriksa isi lemari dan kulkas. Seperti perkiraannya itu kosong, tanpa bahan makanan apapun. Dirinya mengambil sebotol air mineral dari kulkas dan meneguknya.
Kemudian meninggalkan dapur dan berjalan ke pintu yang ada di ruangan itu. Madeline memutar kenop pintu yang ternyata tidak dikunci. Pintu terbuka dan Madeline melihat ranjang raksasa di tengah ruangan dengan seprai putih yang berantakan. Tirai di kamar itu juga tertutup rapat dan Madeline segera membukanya.
Madeline mulai merapikan ranjang itu dan melepaskan seprai yang begitu kotor. Kotor dalam arti terlihat jelas apa yang terjadi di sana dari jejak yang ditinggalkan. Madeline membuka lemari dan mengambil seprai baru dan memasangkannya kembali.
Seprai kotor diletakkan di depan ruangan itu, di hadapan para pengawal bertubuh kekar itu.
Madeline membuka jendela kecil yang memang dapat dibuka. Ruangan ini berkabut, karena asap rokok dan udaranya sangat buruk. Begitu juga di kamar, Madeline membuka jendela. Beruntung kamar mandi begitu bersih, jadi Madeline tidak perlu berkutat dengan sikat toilet.
Tidak lama seorang pengawal berjalan masuk dan menghampirinya.
"Nona, ini makan siang Nona dan ini pakaian ganti, serta alat mandi! Gunakan kamar mandi di belakang!" ujar pengawal itu dan menunjuk ke arah meja makan. Di atas meja makan sudah ada sepiring makanan dan di sampingnya ada kantongan.
"Terima kasih!" ujar Madeline.
Dirinya lapar dan mulai melahap makanannya. Beruntung mereka masih ingat memberinya makan, jika tidak Madeline mungkin akan pingsan karena kelaparan.
Setelah makan, Madeline mandi menggunakan kamar mandi kecil yang ada di dekat dapur. Ada keran air panas dan peralatan mandi yang lengkap.
Selesai mandi, Madeline mengeringkan rambut panjangnya yang tebal dan berwarna hitam, dengan pengering rambut yang tersedia di sana.
Madeline menatap pantulan dirinya di cermin. Kulit wajahnya masih sebagus dulu. Namun, karena bobot tubuhnya yang naik drastis, membuat lesung pipinya menghilang karena lemak di wajahnya. Matanya tertarik dan tidak sebesar dulu. Madeline menghela napas dan bertekad akan menurunkan berat badannya ke berat semula. Tentu bukan agar Tuan Max mau tidur dengannya, tetapi dirinya sangat kesal direndahkan karena ukuran tubuh.
Madeline membuka kantongan itu dan melihat ada beberapa setel pakaian kasual, dengan ukuran besar. Terlihat jelas ini pakaian mahal, karena Madeline tahu merek ini. Namun, siapa yang memilih pakaian ini terlihat sangat tidak fashionable. Madeline yakin, ini pilihan Jay.
Madeline mengenakan kemeja broken white dan menggulung lengannya ke atas. Kemeja itu dipadukan dengan celana jeans biru tua yang ukurannya terlalu besar untuknya. Namun, itu tidak masalah karena ada ikat pinggang untuk menahan agar celana itu tidak melorot. Apakah dirinya terlihat begitu besar? Karena ukuran pakaian untuknya, yang dipilih begitu besar. Ini lebih baik daripada kekecilan, batinnya.
Madeline menemukan karet gelang di kamar mandi dan mengikat rambut tebalnya ke atas kepala, berbentuk sanggup longgar.
Setelah itu, Madeline mengeluarkan sepasang sepatu kets berwarna putih, beruntung ukurannya pas.
Madeline duduk di kursi meja makan dan menunggu di sana. Dirinya enggan duduk di sofa itu, karena tahu apa yang baru saja terjadi di sana dan itu membuatnya kembali merasa mual.
Ponselnya berdering dan buru-buru Madeline mengangkat. Itu nomor yang tidak dikenal.
"Halo!"
[Kamu baik-baik saja?]
Itu David Kang, suami brengseknya.
Madeline bangkit dari duduknya dan berteriak berkata, "Lunasi hutangmu! Setidaknya keluarkan aku dari lilitan hutang!"
[Syukurlah kamu baik-baik saja! Maafkan aku!]
Lalu, sambungan telepon diputus dan itu membuat Madeline berteriak kesal.
"ARGHHH!"
Beruntung, dirinya dapat menahan diri tidak membanting ponselnya. Itu satu-satunya harta yang dimilikinya saat ini.
Madeline kembali duduk di kursi meja makan dan melipat kedua tangannya di atas meja. Lalu, merebahkan kepalanya di atas lipatan tangannya itu dan berpikir berapa lama dirinya akan terjebak di tempat ini?
"Nona!"
Madeline terbangun saat mendengar seseorang bersuara. Membuka mata dan menatap ke sekeliling ruangan. Seketika pikirannya pulih dan ingat di mana dirinya saat ini.
Madeline merapikan rambutnya dan berdiri, menatap Jay yang berdiri di sampingnya.
"Ada apa?" tanya Madeline.
"Tuan memanggilmu!" ujar Jay datar.
Lalu, Jay berjalan keluar diikuti oleh Madeline yang sempat menatap keluar jendela dan langit sudah gelap.
Madeline mengeluarkan ponsel dari sakunya dan memeriksa waktu. Sudah pukul 9 lewat dan dirinya baru mulai akan bekerja. Sungguh hidup yang sangat menyenangkan, batinnya miris.
"Di mana aku dapat meminjam pengisi daya ponsel?" tanya Madeline.
Jay berhenti melangkah dan berbalik menatap Madeline.
"Mana ponselmu?" tanya Jay.
Madeline tanpa curiga menyerahkan ponselnya kepada pria itu. Mungkin Jay hendak melihat pengisi daya seperti apa yang dibutuhkannya.
Jay mengambil ponsel itu dan melemparkannya ke lantai, lalu dengan satu pijakan keras menghancurkan ponsel itu.
"HEIII!" teriak Madeline dan air matanya hampir mengalir melihat harta satu-satunya hancur berkeping-keping.
"Ayo!" ujar Jay, mengabaikan teriakan sakit hati Madeline.
"Tolong taruh ke dalam ruangan Tuan!" pinta Madeline kepada salah satu pengawal yang menjaga pintu.
Jay mengangguk, barulah pengawal lain melakukan permintaan Madeline.
Dengan lesu, Madeline mengikuti Jay berjalan ke arah lift. Lift turun ke lantai 20 dan begitu pintu lift terbuka, Madeline disambut dentuman musik yang memekakkan telinga. Ini klub malam ternama di kota dan kali pertama bagi Madeline masuk ke dalam klub ini.
Lift yang mereka gunakan, khusus bagi penghuni hotel yang membawa mereka langsung di tengah-tengah klub.
Madeline menatap ke sekeliling ruangan klub yang begitu luas. Lampu disko besar tergantung di tengah langit-langit yang tinggi. Selain itu, banyak lampu sorot warna warni tergantung di atas, yang memeriahkan suasana klub.
DJ seksi berdiri di tengah panggung tinggi dan sibuk memainkan musik, yang membuat semua pengunjung menyentak tubuh mengikuti dentuman musik.
Lautan orang memenuhi lantai dansa dan sibuk menari dengan pasangan mereka. Penampilan semua pengunjung begitu seksi dan memukau, membuat Madeline sulit mengalihkan tatapannya.
Sambil melihat ke sekeliling, Madeline mengikuti Jay berjalan ke arah belakang lantai dansa. Tiba di sana ada beberapa pria kekar yang berjaga di bawah tangga putar yang cukup mewah.
Saling menganggukkan kepala, lalu Jay dipersilahkan lewat bersama dengannya. Mereka menaiki anak tangga yang dilapisi karpet tebal. Tangga itu membawa mereka ke ruangan khusus Tuan Maximillian.
Jay membuka pintu satu-satunya yang ada di lantai itu dan Madeline di sambut ruangan berkabut, bau asap rokok.
Ruangan dengan dinding kaca mengelilingi. Ternyata dari ruangan ini dapat melihat jelas pada lantai dansa di bawah. Namun, perhatian Madeline tertuju pada seorang wanita yang berputar-putar pada sebatang besi yang ada di tengah ruangan.
Selain wanita yang bergelantungan di tiang, ada juga yang duduk di sofa menemani para pria, termasuk Maximillian Qin.Max menatap ke arah Madeline dan tatapan mereka bertemu. Max memintanya ke tempatnya dengan anggukan kepala, Madeline patuh dan berjalan ke arah di mana pria itu duduk.Musik di ruangan ini tidak terlalu kencang dan apa yang dibicarakan para pria itu dapat terdengar jelas. Mereka sedang membahas tubuh para wanita yang duduk di samping mereka. Tidak hanya itu, mereka juga menyentuh setiap bagian yang dibicarakan dan tertawa keras.Madeline mulai merasa mual. Wanita tidak ada harga di depan pria hidung belang tersebut."Bersihkan itu!" perintah Max sambil menaikkan satu kakinya ke atas meja.Madeline terpaku saat menatap sepatu kulit berwarna hitam itu sedikit bernoda. Sepertinya terkena tumpahan anggur."Max, apakah kamu sudah berganti selera?""Benar! Sejak kapan kamu suka wanita gemuk?"
Madeline pun terlelap. Ya, tubuh dan otaknya kelelahan, belum lagi masa depan yang akan dilaluinya tidak jelas. Namun, baru terlelap sebentar, kesadarannya terpanggil kembali karena keributan yang sayup-sayup terdengar.Merenggangkan tubuhnya membuka mata, seketika Madeline duduk tegak dan menatap ke asal suara."Oh My God!" pekik Madeline.Bagaimana tidak, saat ini Madeline menatap seorang wanita meliuk-liuk seksi di hadapan Maximillian Qin dan itu membuatnya mual.Ini tidak dapat diterima. Madeline melompat berdiri dan berlari ke arah dapur. Mengambil sapu dengan gagang kayu dan berjalan ke arah dua manusia yang tidak bertingkah sesuai dengan sebutan itu."Hei! Kalian, masuk ke dalam kamar!" ujar Madeline garang. Satu tangan memegang sapu dan tangan satu lagi berkacak di pinggang."Hei, perempuan! Untuk apa sapu itu?" tanya Max dingin, dengan seorang wanita bergelayut manja pada tubuhnya. Wanita yang bah
"Hei! Lepaskan! Apa yang kamu lakukan?" pekik wanita itu dengan memeluk selimutnya erat."Mengusirmu!" jawab Madeline singkat.Terus menarik dan mengabaikan protes wanita itu. Madeline membuka pintu kaca dan mendorong wanita berselimut itu ke depan. Dua pria bertubuh tegap menatap tidak percaya, dengan mata terbelalak lebar."Jangan biarkan wanita ini masuk! Aku akan melemparkan barangnya keluar. Tunggu sebentar!" ujar Madeline dan berbalik masuk kembali.Dua pengawal itu hanya dapat mematuhi perkataannya dan menahan wanita yang mengamuk ini.Dengan gusar, Madeline mengambil sarung tangan karet di dapur, mengenakannya. Lalu, ke kamar dan memungut pakaian wanita itu yang berserakan. Ya, pakaian dalam termasuk dan itu membuat Madeline tambah murka.Mengambil dengan ujung jari, sampai di depan ruangan dan melemparkannya tepat di hadapan wanita itu."Kamu..., kamu kurang ajar!" geram wanita itu yang tampak beg
Gila! Ya, ini gila. Jelas-jelas semua ini untuk memelihara tikus penggerogot harta dan Madeline yakin, semua tikus itu gemuk. Dari puluhan dokumen itu semua penuh dengan nilai yang dilebih-lebihkan. Madeline heran bagaimana perusahaan ini dapat bertahan sampai saat ini.Tidak! Dirinya tidak dapat mendiamkan ini. Jika uang pria itu begitu banyak, alangkah baiknya memberikan sumbangan kepada mereka yang butuh, daripada memelihara tikus berdasi.Madeline menutup map itu dan mengumpulkannya ke samping. Yang dapat dilakukannya adalah menunggu Maximillian Qin datang ke ruang bermainnya ini dan jika pria itu tidak mabuk, maka dirinya akan mencoba menyampaikan pendapatnya.Sampai siang hari, pria itu juga belum muncul. Madeline berjalan ke arah pintu depan dan mencoba menemukan Jay. Dirinya tidak ingin Jay terlibat masalah karena Madeline tidak menandatangani semua dokumen itu."Kapan Jay akan kemari?" tanya Madeline kepada dua pengawal ya
Madeline tenggelam dalam lautan dokumen dan tulisannya. Setelah semua selesai, Madeline mulai mengetik rangkumannya ke dalam laptop. Saat semua selesai, langit sudah gelap dan Madeline terkejut saat melihat waktu yang ternyata sudah pukul 10 malam. Dirinya, melupakan makan malam dan itu tidak bagus.Dokumen bertebaran di lantai dan Madeline harus melompat untuk melewati lautan kertas itu. Pergi ke dapur dan menyeduh teh. Madeline bersyukur, Jay tidak datang mengganggunya. Lebih tepatnya, bersyukur karena Max tidak memanggilnya.Madeline memasukkan satu sendok gula ke dalam tehnya dan mengambil buah, lalu memakannya. Hmmm, tinggal diperiksa ulang sekali lagi, maka apa yang dikerjakannya sudah dapat dikirim ke alamat surel pria itu."MADELINE!" panggil Jay yang berlari masuk dalam ruangan.Teriakan Jay membuat Madeline terkejut, beruntung cangkirnya tidak terlepas dari pegangannya."Ada apa?" tanya Madeline yang berlari kelua
"Aku tidak menyukaimu!" balas Madeline dingin."Mengapa harus sejujur itu?" keluh Hans dan memasang wajah sedih."Oh, ayolah! Aku tidak tahu semua pria Qin begitu murahan," ejek Madeline."Itu kasar!" jawab Hans, sambil tersenyum.Madeline mengangkat bahu dan lanjut mengetik. Dirinya senang berseluncur di dunia maya, mencari informasi tentang perusahaan keluarga Qin. Setelah memeriksa semua dokumen itu, membuat Madeline penasaran."Apa yang kamu kerjakan?" tanya Hans penasaran."Hmmm, aku membuat pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen itu dan dari sana banyak yang ingin aku ketahui!" ujar Madeline sambil menunjuk ke lantai dekat jendela, ya dokumen itu masih berserakan di sana."Benarkah? Boleh aku lihat apa yang kamu temukan?" tanya Hans.Madeline mengangguk dan membuka file miliknya, lalu membalikkan laptop ke hadapan Hans.Hans membaca rangkuman yang dibuat Madeline dan berde
Maximillian Qin berada di ruang pakaian yang ada di ruang kerjanya. Semalam dirinya tidak dapat terlelap. Lusa, perjalanannya ke Negara Z membuat Max cemas. Dirinya merapikan dasi dan mengenakan jas, lalu menatap tampilannya di cermin. Seorang artis pemula sudah menandatangani kontrak dengannya, tentu dengan bayaran yang besar. Lagipula, selain uang, pamor artis itu akan langsung melejit jika terlibat rumor percintaan dengannya. Apalagi, rumor yang dibuat adalah Max mengejar wanita itu mati-matian. Ya, tiga artis pemula yang sebelumnya terikat kontrak dengannya, sudah begitu terkenal dan Max yakin artis ini juga akan mengalami hal yang sama.Semua ini terjadi karena kecelakaan yang dialaminya saat berusia 11 tahun. Saat dirinya memergoki sang ayah bercumbu dengan seorang wanita muda. Ya, ingatan itu masih menguasai dirinya. Dirinya yang baru berusia 11 tahun, berlari keluar dengan cepat setelah menyaksikan hal tersebut. Dengan pandangan kabur karena genangan air ma
Max menenggak anggur miliknya dan berkata, "Ini kali pertama kita membahas seorang wanita. Bukankah menggelikan, perempuan itu yang kita bahas?""Itu tidak menggelikan! Bukankah kita sudah sepakat untuk membahas segala sesuatu yang mengganjal," balas Hans santai dan menenggak anggur miliknya.Lalu, mereka berdua duduk dalam diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Entah berapa lama mereka duduk di sana, yang pasti 3 botol anggur telah kosong dan itu artinya sudah cukup."Istirahalah!" ujar Hans dan berdiri dari duduknya.Max mengangguk dan menatap sampai Hans menghilang dari pandangannya. Lalu, memanggil Jay."Ya, Tuan!""Panggil perempuan itu!" ujar Max sambil menuangkan anggur yang tersisa di gelasnya ke celana panjang mahalnya, tepat di bagian paha.Jay mengangguk dan langsung berlari menuju ke ruang bermain Tuannya itu, untuk memanggil Madeline. Perasaannya tidak enak, biasanya beberapa hari sebel
Satu bulan, ya satu bulan Madeline berada di sisi Max. Rutinitas mereka setiap hari adalah melakukan konseling dan beberapa perawatan lainnya. Saat malam tiba, Madeline akan tidur di samping pria itu, menemaninya.Sesekali saat Madeline berbicara, Max akan menatap dirinya. Namun, hanya sesekali.Setelah pertimbangan yang matang, Madeline memutuskan untuk membawa Max junior ke tempat ini.Hari itu pun tiba.Bibi Lian datang bersama dengan Max junior, semua tranportasi diatur oleh Robert Qin."Mommy!" panggil Max junior saat bertemu dengan Madeline.Madeline memeluk putranya itu dan mendaratkan kecupan bertubi-tubi di wajah tampan itu."Apakah Bibi lelah?" tanya Madeline dengan Max junior sudah berada dalam gendongnya."Tidak, tidak," jawab Bibi Lian yang sibuk menatap ke sekeliling rumah mewah ini."Mari saya antar ke kamar Anda, Nyonya," pinta salah seorang staff kepada Bib
Madeline menggandeng lengan Max dan mereka meninggalkan hotel, menuju ke rumah besar.Di dalam perjalanan, Madeline menggenggam tangan Max dengan tatapan yang terus menatap wajah pria itu."Sudah berapa lama dia seperti ini?" tanya Madeline pelan."Semenjak Nona pergi, sikap Tuan mulai berubah," jawab sang pengawal yang mengemudikan mobil."Apakah ayahnya tidak melakukan apa pun?" tanya Madeline kembali."Sudah banyak Dokter handal yang diterbangkan kemari untuk memeriksa Tuan. Namun, kesehatan Tuan semakin memburuk."Setelah itu, mereka tidak lagi berbicara. Madeline selalu menatap wajah pria itu, tetapi Max selalu menatap kosong keluar jendela mobil.Mobil berbelok masuk, melewati gerbang utama kediaman besar Keluarga Qin. Madeline sudah pernah sekali datang ke rumah ini, saat masih menjadi sekretaris pria itu.Mobil berhenti di depan gedung bergaya Eropa dan mereka turun. Madeline ma
Tuan Besar pasti akan mengakui cucunya itu. Bagaimana tidak, Maximillian Qin hanya memiliki keturunan dari wanita itu.Di dalam kapal laut, ponsel Jay berdering dan itu adalah panggilan dari Tuan Besar."Ya, Tuan."[Setelah menemukan mereka, bawa mereka ke hadapanku sesegera mungkin!]"Baik, Tuan!"Lalu, sambungan telepon diputus. Jay berharap, kehadiran Madeline dan putranya mampu menyembuhkan Tuannya.***Madeline melangkah masuk ke dalam lobi hotel milik Keluarga Qin. Tempat di mana dirinya pertama kali bertemu dengan Maximillian Qin. Apakah dirinya ingin bernostalgia? Benar, Madeline merindukan tempat ini. Merindukan pria brengsek itu.Berdiri di depan meja resepsionis, Madeline memesan kamar. Tentu saja, kamar standar bukan kamar tipe mahal. Itu disesuaikan dengan uang yang ada dalam dompetnya."Ini kartu kamar Anda, Nona Madeline."Madeline menerima kartu itu dan menuju ke lantai di m
Di Negara Z, Max dirawat di salah satu rumah sakit swasta ternama di sana dan menempati satu lantai rumah sakit itu. Lantai ruang rawat untuk pasien VVIP, biasanya untuk para publik figur ternama. Ya, Robert Qin menyewa seluruh lantai VVIP itu, tentu saja agar penyakit putranya tidak terendus.Di perusahaan, Maximillian Qin dikatakan mengambil cuti panjang untuk berpelesiran bersama sang istri. Siapa yang berani berkomentar di saat pewaris perusahaan melakukan hal tersebut. Namun nyatanya, Max dirawat di sini."Kapan dia bisa meninggalkan rumah sakit?" tanya Robert Qin kepada Dokter Cha, yang juga merupakan Direktur rumah sakit.Robert Qin dan Dokter Cha berdiri di depan pintu ruangan rawat inap Maximillian Qin."Tidakkah kamu bisa melakukan hipnoterapi lain untuk membantunya sadar?" tanya Robert Qin."Biar aku katakan sejujurnya. Saat ini, kondisi putramu sangat buruk. Dia hanya dapat menerima perawatan melalui obat-obatan.
Belum sempat Robert Qin menyapa, Max sudah kehilangan kesadarannya. Max pingsan di hadapan ayahnya, karena ketakutan.Apakah Robert Qin menyesal? Tidak. Hal tersebut dianggap sebagai harga yang harus dibayar, atas pernikahan yang akan segera dilangsungkan. Robert Qin dapat menerima bahwa putranya kembali tidak mampu bertemu dengannya, tetapi setidaknya kali ini Max mematuhi perkataannya.Max dilarikan ke rumah sakit dan tinggal di sana selama satu minggu. Mendapatkan perawatan psikis dari psikiater ternama di kota ini, tentu dengan pegangan catatan medis dari Dokter Cha.***Madeline membersihkan kaca jendela yang buram, karena jejak debu yang begitu tebal. Sudah satu minggu dirinya berada di pulau ini. Seperti perkataan almarhum neneknya, penduduk sangat ramah dan udara di sini amatlah segar.Satu minggu yang lalu, setelah turun dari kapal, Madeline mencari rumah untuk disewa. Beruntung, harga sewa rumah di pulau ini
Ha ha ha!Madeline tertawa dingin, sebelum berkata, "Ini adalah pilihanku. Aku memilih untuk mengambil kesempatan itu dan mempercayai Max. Semua itu adalah keputusanku, lagipula usiaku sudah 30 tahun, tidak ada masalah jika aku tidur dengan pria bukan? Jadi, aku mohon jangan memperbesar masalah!" ujar Madeline dingin. Setidaknya dengan terlihat tidak peduli, Madeline berharap dapat melindungi harga dirinya yang tersisa. Apakah harga dirinya masih tersisa? batinnya miris."Benar, kamu adalah wanita dewasa, bahkan seorang janda! Tentu kamu bebas hendak bercinta dengan pria mana pun yang kamu inginkan!" balas Hans dingin dan maju beberapa langkah mendekati Madeline."Jika begitu, mari kita bercinta!" bisik Hans tepat di telinga Madeline.Tangan Hans diselipkan ke pinggang Madeline dan menarik tubuh itu, agar menempel pada tubuhnya. Tanpa permisi, Hans langsung mendaratkan ciuman ke bibir indah Madeline Lu.Madeline tidak
"Aku menyukai wanita cantik dan kamu, salah satunya! Bukankah kamu sudah jelas tahu akan hal tersebut?" tanya Max dingin.Madeline memejamkan matanya untuk sesaat, menahan emosinya yang hendak meledak."Baik! Aku mengerti," jawab Madeline.Max menghela napas lega, bersyukur wanita itu tidak bersikeras. Bersikeras agar Max hanya setia pada dirinya, pada satu wanita. Karena, itu tidaklah mungkin."Bagus, jika kamu mengerti. Lagipula, aku menyukai cara kerjamu dan berharap, kamu terus menjadi sekretarisku!" jelas Max, sambil berbalik menatap Madeline.Madeline membuka mata dan menatap dingin ke arah pria itu, dingin. Dirinya yang begitu bodoh, mempercayai harapan palsu yang diberikan oleh pria itu. Bukankah sudah cukup dirinya dikecewakan oleh mantan suaminya dan kini, dirinya kembali masuk dalam jeratan pria yang sama brengseknya.DING!Pintu lift terbuka dan seorang wanita cantik melangkah masuk.&nbs
Spontan Max bangkit dari duduknya dan mengejar wanita itu. Mengejar Madeline Lu.Di tengah-tengah restoran itu, Max menarik pergelangan tangan Madeline Lu. Tarikan yang cukup kuat, membuat tubuh Madeline membentur dada bidang Max.Madeline yang kesal, langsung menghentakkan tangannya agar terlepas dari pegangan Max. Lalu, berbalik dan berjalan cepat, meninggalkan restoran, meninggalkan pria brengsek itu.Mendorong pintu kayu restoran hingga terbuka lebar, Madeline berlari menuruni beberapa anak tangga yang ada di sana. Max mengejarnya."Berhenti!" perintah Max.Madeline mengabaikan perintah pria itu dan berlari kecil, menjauhi Max. Tidak tahu berjalan ke arah atau menuju mana, Madeline hanya terus berlari menjauhi pria itu. Namun, sepatu hak tinggi membatasi langkah kakinya dan Max kembali berhasil menangkap pergelangan tangannya, saat Madeline berbelok ke jalan kecil yang ada di sana.Max tidak tahu apa y
Madeline melihat isi amplop itu dan menatap Max dengan tatapan gembira. Bagaimana tidak, ini adalah surat cerai yang sudah ditandatangani oleh David Kang."Bagaimana? Bagaimana kamu membuatnya menandatangani ini?" tanya Madeline penasaran."Bukan masalah besar," jawab Max sambil mengangkat bahu.Madeline tersenyum. Dirinya ingin bertanya, apakah setelah dirinya bercerai, Max ingin menjalin hubungan serius dengannya? Namun, Madeline tidak berani mengutarakan pertanyaan itu. Dirinya takut. Takut ditolak, takut dikecewakan.Max tersenyum puas, saat melihat Madeline menandatangani surat cerai itu. Setelah dipukul babak belur dan diancam, David Kang masih menolak untuk menandatangani surat cerai itu. Akhirnya, Max menawarkan sejumlah uang yang tidak mampu ditolak. Ya, akhirnya pria bajingan itu bersedia melepaskan Madeline Lu."Baiklah! Nanti kita makan malam," ujar Max dan mengecup kening kekasihnya itu.Madeline me