Madeline pun terlelap. Ya, tubuh dan otaknya kelelahan, belum lagi masa depan yang akan dilaluinya tidak jelas. Namun, baru terlelap sebentar, kesadarannya terpanggil kembali karena keributan yang sayup-sayup terdengar.
Merenggangkan tubuhnya membuka mata, seketika Madeline duduk tegak dan menatap ke asal suara.
"Oh My God!" pekik Madeline.
Bagaimana tidak, saat ini Madeline menatap seorang wanita meliuk-liuk seksi di hadapan Maximillian Qin dan itu membuatnya mual.
Ini tidak dapat diterima. Madeline melompat berdiri dan berlari ke arah dapur. Mengambil sapu dengan gagang kayu dan berjalan ke arah dua manusia yang tidak bertingkah sesuai dengan sebutan itu.
"Hei! Kalian, masuk ke dalam kamar!" ujar Madeline garang. Satu tangan memegang sapu dan tangan satu lagi berkacak di pinggang.
"Hei, perempuan! Untuk apa sapu itu?" tanya Max dingin, dengan seorang wanita bergelayut manja pada tubuhnya. Wanita yang bahkan, namanya tidak diingat oleh Max. Untuk apa repot mengingat nama mereka yang hanya akan berhubungan dengannya satu malam saja? Itu yang dipikirkan oleh Max.
"Hei, kamu tidak mengatakan kalau kita akan bermain bertiga. Tapi..., tidak masalah. Aku menyukai ide itu!" ujar wanita mabuk itu sambil tertawa senang.
Madeline menelan ludah. Dirinya tidak bisa tinggal di kamar kotor itu. Jika mereka hendak melakukan seks, maka itu harus dilakukan di kamar. Tidak di ruang tamu ini, karena ini akan menjadi area di mana Madeline akan menghabiskan waktunya.
"Aku tidak akan memukulmu dengan ini!" ujar Madeline sambil mengangkat sapu di tangannya itu.
"Namun, jika kalian tidak masuk ke kamar dan mengunci pintu, maka sapu ini akan mendekatimu dan akan menghilangkan semua keberuntunganmu!" ujar Madeline lantang.
Max menaikkan sebelah alisnya dan menatap geli ke arah wanita itu yang dipanggilnya dengan sebutan perempuan. Lagipula, siapa yang bersedia menjadi tontonan. Perempuan itu terlalu berlebihan dan itu cukup menggelikan.
Tidak menjawab, Max langsung membopong wanita mabuk itu dan berjalan masuk ke dalam kamar. Tentu wanita yang berada dalam gendongannya memekik gembira. Tidak lupa, Max menutup pintu dengan tendangan kakinya, cukup kuat.
BAMMM!
Pintu terbanting cukup kuat dan menggetarkan seisi ruangan ini. Madeline akhirnya dapat bernapas lega dan melempar sapu itu ke lantai. Berjalan ke arah dapur, membuka kulkas dan membuka sebotol air mineral. Meneguknya banyak, untuk meredakan emosinya.
Suara-suara yang terdengar olehnya, jelas menunjukkan apa yang sedang terjadi di sana. Apakah pria itu tidak tahu malu? Apakah pria itu sama sekali tidak bermoral? batin Madeline kesal. Rasa kantuknya sudah menguap dan dirinya kembali duduk di atas selimut di depan jendela, menatap ke arah sang rembulan yang bersinar begitu terang. Suasana hatinya buruk, rasa bersyukur tidak berakhir menjadi tuan wisma langsung pupus. Buruk, sungguh buruk apa yang harus dilaluinya.
Madeline berbaring di atas selimut tipis itu dan menutup kedua telinganya menggunakan tangan. Tidak tahu berapa lama dirinya berusaha mengabaikan suara itu, pada akhirnya rasa lelah mengambil alih dan Madeline kembali terlelap.
Di dalam kamar tidur.
Maximillian mengenakan kemeja dan celananya kembali, kancing dipasang asal. Wanita itu telungkup dan terlelap di atas ranjang, telanjang. Max melemparkan selembar cek ke atas ranjang dan melangkah pergi. Seperti inilah hidupnya, menjalankan bisnis dan memuaskan kebutuhan fisiknya. Namun, kepuasan yang diterimanya semakin berkurang dan tidak lagi istimewa. Bahkan, dirinya mulai malas melakukan hal ini. Namun, reputasi buruknya harus tetap dipupuk agar tetap tumbuh subur.
Hari ini, dua kali dirinya memuaskan hasratnya. Ya, hanya dua kali bahkan kadang hanya satu kali. Semua wanita sama dan tidak ada harganya. Karena, semua begitu murah dan memuakkan.
Senyum sinis tersungging di bibir tipisnya dan Max mengeluarkan sebatang rokok, menyalakannya. Menghisap dalam dan menghembuskan keluar asap yang lembut. Dirinya tidak akan menikah, apalagi memiliki keturunan. Ya, inilah hukuman yang akan diberikan kepada sang ayah. Max tidak akan memberikan cucu. Jika, sang ayah memaksa, maka Max akan meminta sang ayah menikah lagi dan membuat anak.
Walaupun Max yakin, di luar sana banyak anak haram milik ayahnya yang berkeliaran. Max tahu, hanya dirinya keturunan yang diakui keluarga besar Qin. Mungkin, semua ini akan diwariskan pada anak sepupunya nanti dan dirinya tidak pernah peduli.
Dengan rokok terselip di antara bibir tipisnya, Max melangkah meninggalkan kamar. Saat tiba di luar kamar, langkah kakinya terhenti, mencoba menemukan perempuan itu. Max melihat ke sofa dan tidak menemukannya, lalu melangkah ke dapur, sama, perempuan itu tidak ada. Namun, Max yakin tidak mungkin dapat keluar dari ruangan ini tanpa dicegat oleh para penjaga.
Max kembali ke ruang tamu dan mengedarkan pandangan. Tatapan matanya terjatuh di dekat jendela besar ruangan ini. Max menatap dari jauh dan melihat bagaimana perempuan itu, yang sungguh berani atau mungkin bodoh. Namun, ada sesuatu yang menarik mengenai perempuan itu. Max tidak yakin apa itu, mungkin karena kondisinya cukup malang. Ya, Max telah memeriksa latar belakang Madeline Lu. Kehidupannya sebagai menantu keluarga Kang cukup buruk, tidak dihargai. Mungkin karena itulah, Max menaruh perhatiannya pada perempuan itu. Ya, mereka sama, sama-sama diperlakukan buruk dan tidak dihargai.
Namun perempuan itu, tidak tahu diri dan mulutnya sangat tajam, terlalu lancang. Max akan memberi hukuman karena kelancangannya itu. Hukuman tetap berada di sampingnya. Tidak ada yang tahan melayani dirinya, setelah kepergian Bibi Luo, pengasuhnya. Setelah itu, tidak ada yang tahan, sampai dirinya bertemu dengan Jay 5 tahun lalu. Ya, pria itu satu-satunya orang yang mengikutinya paling lama.
Sambil menghisap rokoknya, Max berbalik pergi meninggalkan ruangan ini, ruang bermainnya.
***
Keesokan paginya, sinar mentari yang terik membangunkan Madeline.
Madeline merenggangkan tubuhnya dan duduk. Tubuhnya sakit karena tidur di lantai, saat kesadarannya telah kembali. Pikirannya kembali melayang pada apa yang dialaminya dan itu membuat Madeline menghela napas berat.
Dirinya berdiri dan melipat selimut itu. Tidak yakin, apakah pasangan mesum itu sudah meninggalkan kamar atau belum. Madeline tidak mau mencari tahu dan berjalan ke kamar mandi di dekat dapur, mandi.
Tepat saat Madeline keluar dari kamar mandi, saat itu juga wanita mabuk kemarin keluar dari kamar dengan tubuhnya terbalut selimut.
"Max..., Maximillian!" panggil wanita itu dengan suara serak.
Madeline menelan ludah dan menghampiri wanita itu. Wanita muda dan sangat cantik.
"Di mana Max?" tanya wanita itu gusar.
"Entahlah!" jawab Madeline jujur.
"Kau..., siapa kamu?" tanya wanita itu kembali dan menatap tajam pada Madeline dengan riasan luntur di wajahnya.
"Apa?" tanya Madeline.
Belum sempat mencerna maksud wanita itu, rambutnya sudah ditarik kuat oleh wanita itu dan membuat Madeline terduduk di lantai.
"Panggil Max! PANGGIL MAX!" teriak wanita itu.
"Arghhh!" teriak Madeline sambil berusaha melepaskan tarikan di rambutnya.
"Aku tidak tahu di mana pria itu! Aku hanya pembantu!" teriak Madeline.
Perkataan Madeline, membuat wanita itu melepaskan rambutnya dan mengambil selimut yang terlepas, lalu membalut tubuh telanjangnya kembali.
Ha ha ha!
Wanita itu tertawa sinis, penuh ejekan.
"Apa yang aku pikirkan! Benar kamu pembantu! Max tidak mungkin memiliki kekasih dengan penampilan seperti itu!" ujar wanita itu sambil merapikan rambut merahnya yang kusut.
Hinaan lagi dan itu membuat Madeline murka.
"Lalu, apakah dengan penampilan seperti itu, kamu dapat menjadi kekasihnya?" tanya Madeline sambil menunjukan ke tubuh wanita itu.
"KAU–"
"Apa? Apa kamu yakin pantas menyandang status kekasih? Aku yakin tidak, karena kamu bahkan tidak dapat mencium bibirnya!" balas Madeline, memotong ucapan wanita itu.
Tangan wanita itu melayang tinggi, hendak mendaratkan tamparan. Madeline menangkap tangan wanita itu dan menariknya keras, ya menarik dan menyeret wanita itu ke arah pintu depan ruangan ini.
"Hei! Lepaskan! Apa yang kamu lakukan?" pekik wanita itu dengan memeluk selimutnya erat."Mengusirmu!" jawab Madeline singkat.Terus menarik dan mengabaikan protes wanita itu. Madeline membuka pintu kaca dan mendorong wanita berselimut itu ke depan. Dua pria bertubuh tegap menatap tidak percaya, dengan mata terbelalak lebar."Jangan biarkan wanita ini masuk! Aku akan melemparkan barangnya keluar. Tunggu sebentar!" ujar Madeline dan berbalik masuk kembali.Dua pengawal itu hanya dapat mematuhi perkataannya dan menahan wanita yang mengamuk ini.Dengan gusar, Madeline mengambil sarung tangan karet di dapur, mengenakannya. Lalu, ke kamar dan memungut pakaian wanita itu yang berserakan. Ya, pakaian dalam termasuk dan itu membuat Madeline tambah murka.Mengambil dengan ujung jari, sampai di depan ruangan dan melemparkannya tepat di hadapan wanita itu."Kamu..., kamu kurang ajar!" geram wanita itu yang tampak beg
Gila! Ya, ini gila. Jelas-jelas semua ini untuk memelihara tikus penggerogot harta dan Madeline yakin, semua tikus itu gemuk. Dari puluhan dokumen itu semua penuh dengan nilai yang dilebih-lebihkan. Madeline heran bagaimana perusahaan ini dapat bertahan sampai saat ini.Tidak! Dirinya tidak dapat mendiamkan ini. Jika uang pria itu begitu banyak, alangkah baiknya memberikan sumbangan kepada mereka yang butuh, daripada memelihara tikus berdasi.Madeline menutup map itu dan mengumpulkannya ke samping. Yang dapat dilakukannya adalah menunggu Maximillian Qin datang ke ruang bermainnya ini dan jika pria itu tidak mabuk, maka dirinya akan mencoba menyampaikan pendapatnya.Sampai siang hari, pria itu juga belum muncul. Madeline berjalan ke arah pintu depan dan mencoba menemukan Jay. Dirinya tidak ingin Jay terlibat masalah karena Madeline tidak menandatangani semua dokumen itu."Kapan Jay akan kemari?" tanya Madeline kepada dua pengawal ya
Madeline tenggelam dalam lautan dokumen dan tulisannya. Setelah semua selesai, Madeline mulai mengetik rangkumannya ke dalam laptop. Saat semua selesai, langit sudah gelap dan Madeline terkejut saat melihat waktu yang ternyata sudah pukul 10 malam. Dirinya, melupakan makan malam dan itu tidak bagus.Dokumen bertebaran di lantai dan Madeline harus melompat untuk melewati lautan kertas itu. Pergi ke dapur dan menyeduh teh. Madeline bersyukur, Jay tidak datang mengganggunya. Lebih tepatnya, bersyukur karena Max tidak memanggilnya.Madeline memasukkan satu sendok gula ke dalam tehnya dan mengambil buah, lalu memakannya. Hmmm, tinggal diperiksa ulang sekali lagi, maka apa yang dikerjakannya sudah dapat dikirim ke alamat surel pria itu."MADELINE!" panggil Jay yang berlari masuk dalam ruangan.Teriakan Jay membuat Madeline terkejut, beruntung cangkirnya tidak terlepas dari pegangannya."Ada apa?" tanya Madeline yang berlari kelua
"Aku tidak menyukaimu!" balas Madeline dingin."Mengapa harus sejujur itu?" keluh Hans dan memasang wajah sedih."Oh, ayolah! Aku tidak tahu semua pria Qin begitu murahan," ejek Madeline."Itu kasar!" jawab Hans, sambil tersenyum.Madeline mengangkat bahu dan lanjut mengetik. Dirinya senang berseluncur di dunia maya, mencari informasi tentang perusahaan keluarga Qin. Setelah memeriksa semua dokumen itu, membuat Madeline penasaran."Apa yang kamu kerjakan?" tanya Hans penasaran."Hmmm, aku membuat pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen itu dan dari sana banyak yang ingin aku ketahui!" ujar Madeline sambil menunjuk ke lantai dekat jendela, ya dokumen itu masih berserakan di sana."Benarkah? Boleh aku lihat apa yang kamu temukan?" tanya Hans.Madeline mengangguk dan membuka file miliknya, lalu membalikkan laptop ke hadapan Hans.Hans membaca rangkuman yang dibuat Madeline dan berde
Maximillian Qin berada di ruang pakaian yang ada di ruang kerjanya. Semalam dirinya tidak dapat terlelap. Lusa, perjalanannya ke Negara Z membuat Max cemas. Dirinya merapikan dasi dan mengenakan jas, lalu menatap tampilannya di cermin. Seorang artis pemula sudah menandatangani kontrak dengannya, tentu dengan bayaran yang besar. Lagipula, selain uang, pamor artis itu akan langsung melejit jika terlibat rumor percintaan dengannya. Apalagi, rumor yang dibuat adalah Max mengejar wanita itu mati-matian. Ya, tiga artis pemula yang sebelumnya terikat kontrak dengannya, sudah begitu terkenal dan Max yakin artis ini juga akan mengalami hal yang sama.Semua ini terjadi karena kecelakaan yang dialaminya saat berusia 11 tahun. Saat dirinya memergoki sang ayah bercumbu dengan seorang wanita muda. Ya, ingatan itu masih menguasai dirinya. Dirinya yang baru berusia 11 tahun, berlari keluar dengan cepat setelah menyaksikan hal tersebut. Dengan pandangan kabur karena genangan air ma
Max menenggak anggur miliknya dan berkata, "Ini kali pertama kita membahas seorang wanita. Bukankah menggelikan, perempuan itu yang kita bahas?""Itu tidak menggelikan! Bukankah kita sudah sepakat untuk membahas segala sesuatu yang mengganjal," balas Hans santai dan menenggak anggur miliknya.Lalu, mereka berdua duduk dalam diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Entah berapa lama mereka duduk di sana, yang pasti 3 botol anggur telah kosong dan itu artinya sudah cukup."Istirahalah!" ujar Hans dan berdiri dari duduknya.Max mengangguk dan menatap sampai Hans menghilang dari pandangannya. Lalu, memanggil Jay."Ya, Tuan!""Panggil perempuan itu!" ujar Max sambil menuangkan anggur yang tersisa di gelasnya ke celana panjang mahalnya, tepat di bagian paha.Jay mengangguk dan langsung berlari menuju ke ruang bermain Tuannya itu, untuk memanggil Madeline. Perasaannya tidak enak, biasanya beberapa hari sebel
Madeline terdiam sejenak, dirinya yakin jika menjawab ya, maka pria mesum itu benar-benar akan memintanya melakukan itu. Walaupun, Madeline bukan gadis perawan, tetapi dirinya mual memikirkan sudah berapa banyak wanita yang melepaskan celana pria itu.Madeline menggeleng kepalanya dan berkata, "Lakukan sendiri dan berikan padaku celana itu!"Max tersenyum tipis dan mengangguk, masih berdiri di hadapan Madeline, tangannya mulai melepaskan sabuk yang melingkari pinggangnya."K-kamu melepaskannya di sini?" tanya Madeline tergagap. Ya, dirinya tahu tubuh pria itu sempurna, tetapi ini keterlaluan. Apakah pria itu tidak memiliki rasa malu? Tentu tidak, setelah bercinta dengan begitu banyak wanita, pria itu pasti sudah tidak tahu malu."Mengapa? Bukankah kamu sudah berpengalaman? Bahkan, bukankah dirimu sudah memiliki suami? Ah, tentu saja, tubuh suamimu tidak dapat dibandingkan denganku!" ujar Max tersenyum dan menarik sabuknya lepas dalam sat
Madeline dapat bernapas lega setelah pria itu meninggalkan ruangan ini. Buru-buru Madeline membawa cangkir tadi ke dapur dan mencucinya segera. Apakah perkataan pria itu berarti, dirinya tidak perlu melakukan apapun selama satu bulan ini? Hanya perlu memeriksa dokumen dan mengirimkan laporan? Kenyataan itu membuat Madeline bersorak gembira."Apa yang membuatmu begitu senang?" tanya Hans yang baru tiba dan bersandar di dinding pintu masuk ke dapur.Madeline berbalik dan berjalan ke arah Hans, lalu berkata, "Apakah ajakanmu masih berlaku? Mengajak diriku berkeliling?""Tentu! Sekarang?" tanya Hans hendak berbalik.Madeline menangkap lengan pria itu dan berkata, "Besok! Besok saja. Aku tidak mau mencari masalah dengan pria itu.""Maksudmu Max? Dirinya sibuk hari ini. Max perlu mempersiapkan diri untuk perjalanan besok!" ujar Hans dan menarik kursi meja makan, lalu duduk."Oh ya?" tanya Madeline penasaran dan duduk di hadapan H
Satu bulan, ya satu bulan Madeline berada di sisi Max. Rutinitas mereka setiap hari adalah melakukan konseling dan beberapa perawatan lainnya. Saat malam tiba, Madeline akan tidur di samping pria itu, menemaninya.Sesekali saat Madeline berbicara, Max akan menatap dirinya. Namun, hanya sesekali.Setelah pertimbangan yang matang, Madeline memutuskan untuk membawa Max junior ke tempat ini.Hari itu pun tiba.Bibi Lian datang bersama dengan Max junior, semua tranportasi diatur oleh Robert Qin."Mommy!" panggil Max junior saat bertemu dengan Madeline.Madeline memeluk putranya itu dan mendaratkan kecupan bertubi-tubi di wajah tampan itu."Apakah Bibi lelah?" tanya Madeline dengan Max junior sudah berada dalam gendongnya."Tidak, tidak," jawab Bibi Lian yang sibuk menatap ke sekeliling rumah mewah ini."Mari saya antar ke kamar Anda, Nyonya," pinta salah seorang staff kepada Bib
Madeline menggandeng lengan Max dan mereka meninggalkan hotel, menuju ke rumah besar.Di dalam perjalanan, Madeline menggenggam tangan Max dengan tatapan yang terus menatap wajah pria itu."Sudah berapa lama dia seperti ini?" tanya Madeline pelan."Semenjak Nona pergi, sikap Tuan mulai berubah," jawab sang pengawal yang mengemudikan mobil."Apakah ayahnya tidak melakukan apa pun?" tanya Madeline kembali."Sudah banyak Dokter handal yang diterbangkan kemari untuk memeriksa Tuan. Namun, kesehatan Tuan semakin memburuk."Setelah itu, mereka tidak lagi berbicara. Madeline selalu menatap wajah pria itu, tetapi Max selalu menatap kosong keluar jendela mobil.Mobil berbelok masuk, melewati gerbang utama kediaman besar Keluarga Qin. Madeline sudah pernah sekali datang ke rumah ini, saat masih menjadi sekretaris pria itu.Mobil berhenti di depan gedung bergaya Eropa dan mereka turun. Madeline ma
Tuan Besar pasti akan mengakui cucunya itu. Bagaimana tidak, Maximillian Qin hanya memiliki keturunan dari wanita itu.Di dalam kapal laut, ponsel Jay berdering dan itu adalah panggilan dari Tuan Besar."Ya, Tuan."[Setelah menemukan mereka, bawa mereka ke hadapanku sesegera mungkin!]"Baik, Tuan!"Lalu, sambungan telepon diputus. Jay berharap, kehadiran Madeline dan putranya mampu menyembuhkan Tuannya.***Madeline melangkah masuk ke dalam lobi hotel milik Keluarga Qin. Tempat di mana dirinya pertama kali bertemu dengan Maximillian Qin. Apakah dirinya ingin bernostalgia? Benar, Madeline merindukan tempat ini. Merindukan pria brengsek itu.Berdiri di depan meja resepsionis, Madeline memesan kamar. Tentu saja, kamar standar bukan kamar tipe mahal. Itu disesuaikan dengan uang yang ada dalam dompetnya."Ini kartu kamar Anda, Nona Madeline."Madeline menerima kartu itu dan menuju ke lantai di m
Di Negara Z, Max dirawat di salah satu rumah sakit swasta ternama di sana dan menempati satu lantai rumah sakit itu. Lantai ruang rawat untuk pasien VVIP, biasanya untuk para publik figur ternama. Ya, Robert Qin menyewa seluruh lantai VVIP itu, tentu saja agar penyakit putranya tidak terendus.Di perusahaan, Maximillian Qin dikatakan mengambil cuti panjang untuk berpelesiran bersama sang istri. Siapa yang berani berkomentar di saat pewaris perusahaan melakukan hal tersebut. Namun nyatanya, Max dirawat di sini."Kapan dia bisa meninggalkan rumah sakit?" tanya Robert Qin kepada Dokter Cha, yang juga merupakan Direktur rumah sakit.Robert Qin dan Dokter Cha berdiri di depan pintu ruangan rawat inap Maximillian Qin."Tidakkah kamu bisa melakukan hipnoterapi lain untuk membantunya sadar?" tanya Robert Qin."Biar aku katakan sejujurnya. Saat ini, kondisi putramu sangat buruk. Dia hanya dapat menerima perawatan melalui obat-obatan.
Belum sempat Robert Qin menyapa, Max sudah kehilangan kesadarannya. Max pingsan di hadapan ayahnya, karena ketakutan.Apakah Robert Qin menyesal? Tidak. Hal tersebut dianggap sebagai harga yang harus dibayar, atas pernikahan yang akan segera dilangsungkan. Robert Qin dapat menerima bahwa putranya kembali tidak mampu bertemu dengannya, tetapi setidaknya kali ini Max mematuhi perkataannya.Max dilarikan ke rumah sakit dan tinggal di sana selama satu minggu. Mendapatkan perawatan psikis dari psikiater ternama di kota ini, tentu dengan pegangan catatan medis dari Dokter Cha.***Madeline membersihkan kaca jendela yang buram, karena jejak debu yang begitu tebal. Sudah satu minggu dirinya berada di pulau ini. Seperti perkataan almarhum neneknya, penduduk sangat ramah dan udara di sini amatlah segar.Satu minggu yang lalu, setelah turun dari kapal, Madeline mencari rumah untuk disewa. Beruntung, harga sewa rumah di pulau ini
Ha ha ha!Madeline tertawa dingin, sebelum berkata, "Ini adalah pilihanku. Aku memilih untuk mengambil kesempatan itu dan mempercayai Max. Semua itu adalah keputusanku, lagipula usiaku sudah 30 tahun, tidak ada masalah jika aku tidur dengan pria bukan? Jadi, aku mohon jangan memperbesar masalah!" ujar Madeline dingin. Setidaknya dengan terlihat tidak peduli, Madeline berharap dapat melindungi harga dirinya yang tersisa. Apakah harga dirinya masih tersisa? batinnya miris."Benar, kamu adalah wanita dewasa, bahkan seorang janda! Tentu kamu bebas hendak bercinta dengan pria mana pun yang kamu inginkan!" balas Hans dingin dan maju beberapa langkah mendekati Madeline."Jika begitu, mari kita bercinta!" bisik Hans tepat di telinga Madeline.Tangan Hans diselipkan ke pinggang Madeline dan menarik tubuh itu, agar menempel pada tubuhnya. Tanpa permisi, Hans langsung mendaratkan ciuman ke bibir indah Madeline Lu.Madeline tidak
"Aku menyukai wanita cantik dan kamu, salah satunya! Bukankah kamu sudah jelas tahu akan hal tersebut?" tanya Max dingin.Madeline memejamkan matanya untuk sesaat, menahan emosinya yang hendak meledak."Baik! Aku mengerti," jawab Madeline.Max menghela napas lega, bersyukur wanita itu tidak bersikeras. Bersikeras agar Max hanya setia pada dirinya, pada satu wanita. Karena, itu tidaklah mungkin."Bagus, jika kamu mengerti. Lagipula, aku menyukai cara kerjamu dan berharap, kamu terus menjadi sekretarisku!" jelas Max, sambil berbalik menatap Madeline.Madeline membuka mata dan menatap dingin ke arah pria itu, dingin. Dirinya yang begitu bodoh, mempercayai harapan palsu yang diberikan oleh pria itu. Bukankah sudah cukup dirinya dikecewakan oleh mantan suaminya dan kini, dirinya kembali masuk dalam jeratan pria yang sama brengseknya.DING!Pintu lift terbuka dan seorang wanita cantik melangkah masuk.&nbs
Spontan Max bangkit dari duduknya dan mengejar wanita itu. Mengejar Madeline Lu.Di tengah-tengah restoran itu, Max menarik pergelangan tangan Madeline Lu. Tarikan yang cukup kuat, membuat tubuh Madeline membentur dada bidang Max.Madeline yang kesal, langsung menghentakkan tangannya agar terlepas dari pegangan Max. Lalu, berbalik dan berjalan cepat, meninggalkan restoran, meninggalkan pria brengsek itu.Mendorong pintu kayu restoran hingga terbuka lebar, Madeline berlari menuruni beberapa anak tangga yang ada di sana. Max mengejarnya."Berhenti!" perintah Max.Madeline mengabaikan perintah pria itu dan berlari kecil, menjauhi Max. Tidak tahu berjalan ke arah atau menuju mana, Madeline hanya terus berlari menjauhi pria itu. Namun, sepatu hak tinggi membatasi langkah kakinya dan Max kembali berhasil menangkap pergelangan tangannya, saat Madeline berbelok ke jalan kecil yang ada di sana.Max tidak tahu apa y
Madeline melihat isi amplop itu dan menatap Max dengan tatapan gembira. Bagaimana tidak, ini adalah surat cerai yang sudah ditandatangani oleh David Kang."Bagaimana? Bagaimana kamu membuatnya menandatangani ini?" tanya Madeline penasaran."Bukan masalah besar," jawab Max sambil mengangkat bahu.Madeline tersenyum. Dirinya ingin bertanya, apakah setelah dirinya bercerai, Max ingin menjalin hubungan serius dengannya? Namun, Madeline tidak berani mengutarakan pertanyaan itu. Dirinya takut. Takut ditolak, takut dikecewakan.Max tersenyum puas, saat melihat Madeline menandatangani surat cerai itu. Setelah dipukul babak belur dan diancam, David Kang masih menolak untuk menandatangani surat cerai itu. Akhirnya, Max menawarkan sejumlah uang yang tidak mampu ditolak. Ya, akhirnya pria bajingan itu bersedia melepaskan Madeline Lu."Baiklah! Nanti kita makan malam," ujar Max dan mengecup kening kekasihnya itu.Madeline me