TOK TOK TOK!
Madeline terkejut, saat pintu depan rumah mungil ini diketuk dengan begitu kasar. Buru-buru, Madeline berjalan ke arah pintu dan membukanya.
Bruk!
Mantan suaminya, ya Madeline begitu yakin pria itu sudah menjadi mantannya, tersungkur di depan kakinya dengan wajah babak belur. Di belakangnya ada beberapa pria berbadan kekar dengan pakaian serba hitam.
"I-ini istriku! D-dia mencuri semua uangku dan melarikan diri! Uangku ada padanya!" ujar David Kang terbata-bata dan menunjuk ke arahnya.
"Serahkan uang itu!" perintah satu pria bertubuh kekar yang melangkah masuk ke dalam rumah mungil ini.
Madeline mundur teratur dan otaknya berusaha mencerna apa yang sedang terjadi.
"K-kita sudah bercerai!" seru Madeline.
"Serahkan uangnya!" perintah pria itu sekali lagi.
"A-ku tidak mengerti apa maksud Anda!" ujar Madeline.
"BRENGSEK! KELUARKAN UANG YANG KAMU BAWA LARI!" teriak David Kang menatap Madeline dengan gusar.
"KAU GILA!" teriak Madeline.
"Geledah!" perintah pria bertubuh kekar itu dan segera, empat orang pria lainnya berlari masuk ke dalam rumah.
Menggeledah rumah mungil ini, tepatnya menghancurkan. Karena, semua barang dibanting sampai hancur.
Madeline hanya dapat menatap dengan ngeri dan tidak mampu berkata apa-apa.
Tidak sampai 5 menit, rumah mungil ini sudah selesai digeledah dan semua barang hancur serta berantakan.
BUK!
Satu tinju melayang tepat di wajah David Kang dan membuatnya terpental ke belakang menghantam dinding, lalu pingsan.
"Bawa wanita itu!" perintah pria berbadan tegap, yang terlihat seperti atasan mereka.
Lalu, dua pria masing-masing mencengkeram lengannya dan menarik Madeline keluar, mengabaikan dirinya yang berteriak meronta-ronta. Dengan kasar, dirinya didorong masuk ke dalam mobil van hitam dan pintu dibanting kasar tepat di depan wajahnya.
Dua orang pria berbadan kekar duduk di kursi penumpang dan pengemudi pada bagian depan.
"Jangan mempersulit pekerjaan kami!" ujar pria yang mengendarai mobil van ini, sebelum menginjak pedal gas dalam dan mobil melaju kencang.
"Ini penculikan! S-setidaknya katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi!" ujar Madeline yang berusaha terdengar berani.
"Suamimu berhutang di kasino milik Bos kami!" jelas salah satu pria berbadan kekar.
"Lalu, minta pada orang tuanya! Mereka sangat kaya dan pasti akan melunasi hutang anak kesayangan mereka!" ujar Madeline langsung.
"Tidak bisa!" jawab pria itu datar.
"MENGAPA?" tanya Madeline frustasi.
"Karena usaha mereka bangkrut dan semua aset sudah di sita pihak Bank! Jadi, kami hanya bisa menagih dari uang tunai yang kamu bawa lari!" jawab pria itu.
"Uang? Uang apa? Kami hendak bercerai, bahkan aku tidak menuntut sepeser pun dari perceraian itu!" jelas Madeline.
"Uang yang dikatakan suamimu kamu curi darinya!" jawab pria itu kembali.
Ha ha ha!
Madeline tertawa getir dan berkata, "Kalian ditipu!"
"Kami tidak peduli! Kami hanya butuh membawa seseorang yang bertanggung jawab ke hadapan Bos!" jawab pria itu kembali.
Madeline tidak lagi membalas perkataan pria itu. Dirinya mulai mencoba membuka pintu mobil dan sia-sia, karena itu terkunci. Lalu, Madeline melepaskan sepatunya berpikir untuk memecahkan kaca jendela.
"Kaca mobil adalah kaca tahan peluru! Jadi, lebih baik simpan tenaga Anda!" ujar pria di depan.
Madeline menatapnya tajam dan mengenakan sepatunya kembali. Lagipula pada zaman sekarang, mereka tentu tidak akan membunuh orang dengan mudah bukan? Dirinya cukup membuktikan tidak memiliki uang dan masalah selesai, batinnya.
Jadi, Madeline mengikuti saran pria itu dan duduk bersandar berusaha mengatur napasnya.
Mobil masuk ke dalam halaman gedung Kasino ternama di kota ini, negara ini tepatnya. Gedung Kasino yang megah, dibangun menyatu dengan gedung hotel bintang lima. Apakah suaminya berjudi di sini? Dasar pria brengsek. Kedua tangan Madeline terkepal erat, menahan amarah yang mulai menguasai dirinya.
Mobil berhenti di pintu samping Kasino. Tentu saja, mereka tidak mau mengambil resiko dirinya berteriak-teriak di tengah lobi yang ramai pengunjung.
Negara S, terkenal dengan bisnis perjudian. Semua orang tahu bisnis perjudian ini adalah milik Keluarga Qin. Di samping memiliki bisnis kelam, mereka juga menguasai beberapa bidang bisnis lainnya, seperti perhotelan dan pusat perbelanjaan. Bahkan beberapa anggota kelurga Qin terlibat dalam dunia politik. Konon, Madeline pernah mendengar bahwa pewaris bisnis ini adalah seorang pria muda yang begitu tampan. Tidak mudah bertemu dengan pewaris Qin itu, yang memang tidak suka tampil di publik.
Madeline menggelengkan kepalanya, membuang jauh-jauh akan pikirannya mengenai sejarah Keluarga Qin. Saat ini, dirinya seharusnya merasa khawatir.
Pengawal itu membuka pintu mobil untuknya dan hendak mencengkeram lengannya kembali. Namun, Madeline berkata dengan dingin, "Aku bisa sendiri!"
Pria itu mengangguk dan mempersilahkan dirinya masuk terlebih dahulu. Madeline melangkah dengan pasti dan mengikuti kedua pria itu menuju lift yang ada di bagian belakang.
Masuk di dalam lift dan salah satu pria menekan tombol lantai 30. Yang membuat Madeline terpukau adalah tombol itu sekalian membaca sidik jari pria itu. Itu artinya lantai 30 adalah lantai yang dibatasi dan sepertinya mereka menuju bagian gedung hotel.
Lift melaju naik tanpa henti ke lantai 30. Lift berdenting dan pintu terbuka saat mereka tiba.
Mereka melangkah keluar dari lift dan Madeline melihat begitu banyak pengawal yang berjaga di satu-satunya pintu di lantai ini. Pintu kaca ganda berwarna hitam yang terlihat kokoh.
Mereka saling menganggukkan kepala dan pengawal segera membukakan pintu. Hanya satu pria yang melangkah masuk dan diikuti oleh Madeline. Ruangan begitu luas dengan cahaya lampu kuning yang menenangkan. Interior ruangan bergaya klasik dengan lantai dilapisi karpet tebal berwarna merah keemasan.
Bukan saatnya mengagumi keindahan ruangan ini. Saat ini, Madeline mulai merasa takut, karena tidak akan berguna dirinya berteriak di tempat ini.
Alunan musik lembut mulai terdengar, saat pria itu membuka pintu ganda kayu besar dengan ukiran rumit.
Madeline mengikuti pria itu terus melangkah masuk. Madeline dapat melihat di tengah ruangan ada satu set sofa kulit yang begitu mewah berwarna hitam. Seorang pria duduk di tengah-tengah, sedang menatap ke arah tiga orang wanita yang menari erotis di hadapannya.
Madeline menelan ludah, karena wanita-wanita itu hanya mengenakan celana dalam mini dan bra. Tentu saja, tubuh mereka begitu indah dan seksi.
"Tuan!" sapa pria yang diikuti Madeline.
Maximillian Qin meniup asap cerutunya keluar dari mulutnya dan menatap ke arah bawahannya.
Madeline mengintip dari belakang dan untuk sesaat dirinya terkesima. Pria yang duduk di tengah sofa masih begitu muda. Namun, tatapannya begitu dingin dan gayanya menunjukkan kesombongan yang hakiki. Wajahnya begitu tampan. Alis mata tebal membingkai mata monolid yang runcing, hidung mancung lurus dan bibir tipis sedikit kemerahan. Semua itu disempurnakan dengan rambut tebal berwarna hitam yang tertata rapi dan setelan yang terlihat memang khusus dijahit untuk tubuh sempurna itu. Kaki yang panjang dan dada yang bidang. Satu kata untuk penampilan pria itu, yaitu muda dan sempurna.
"Maaf, Tuan! David Kang tidak mampu membayar hutang, bahkan bisnisnya bangkrut. Namun, kami mendapatkan informasi, bahwa wanita ini membawa lari uangnya!" jelas pria itu dan bergeser ke samping, agar Tuannya dapat melihat Madeline.
Max yang duduk bersandar, melirik ke arahnya seakan menilai penampilan Madeline.
"Kamu membawa wanita itu ke sini! Itu artinya, kamu tidak mendapatkan uang?" tanya Max sambil menghisap cerutunya.
"Ehm! Benar, Tuan."Pria itu menjawab sambil menundukkan kepalanya. Madeline ikut menunduk, bahkan tanpa sadar kakinya mundur satu langkah.Maximillian berdiri dari duduknya dan memberikan kode agar wanita-wanita itu keluar dari ruangan ini. Ketiga wanita itu patuh dan mengambil pakaian mereka yang berserakan di lantai, lalu keluar dari ruangan ini.Pria itu masih menundukkan kepala, saat Tuannya berjalan melewatinya menghampiri Madeline.Max berdiri di hadapan Madeline dengan tatapan malas. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana."Sudah berapa lama kamu bekerja untukku, Jay?" tanya Max kepada pria itu."Ehm, sudah hampir 5 tahun, Tuan!" jawab pria itu masih menundukkan kepala."Jadi mengapa kamu membawa wanita seperti ini ke hadapanku?" tanya Max sambil menendang pelan karpet dengan sepatu kulit aslinya."Ehm, karena David Kang tidak dapat melunasi hutangnya, jadi–""Jadi, k
Ruangan yang dibersihkan tadi adalah ruang tamu. Sofa mewah berada di tengah ruangan dengan perapian digital di depannya. Ada juga televisi layar datar begitu besar, yang tergantung di dinding. Tirai tebal berwarna merah tua tertutup rapat.Madeline berjalan ke arah tirai dan menariknya hingga terbuka. Tatapannya silau, karena sinar mentari yang menembus kaca jendela raksasa itu. Hal itu membuat Madeline merasakan hangat dan suasana hatinya sedikit membaik.Dirinya berbalik dan menatap ruangan ini yang suasananya berubah, menjadi lebih hangat. Lalu, Madeline berjalan ke arah belakang yang ternyata terdapat dapur dan meja makan besar berwarna hitam.Madeline melangkah ke arah dapur yang begitu lengkap dan bersih. Memeriksa isi lemari dan kulkas. Seperti perkiraannya itu kosong, tanpa bahan makanan apapun. Dirinya mengambil sebotol air mineral dari kulkas dan meneguknya.Kemudian meninggalkan dapur dan berjalan ke pintu yang ada di ruang
Selain wanita yang bergelantungan di tiang, ada juga yang duduk di sofa menemani para pria, termasuk Maximillian Qin.Max menatap ke arah Madeline dan tatapan mereka bertemu. Max memintanya ke tempatnya dengan anggukan kepala, Madeline patuh dan berjalan ke arah di mana pria itu duduk.Musik di ruangan ini tidak terlalu kencang dan apa yang dibicarakan para pria itu dapat terdengar jelas. Mereka sedang membahas tubuh para wanita yang duduk di samping mereka. Tidak hanya itu, mereka juga menyentuh setiap bagian yang dibicarakan dan tertawa keras.Madeline mulai merasa mual. Wanita tidak ada harga di depan pria hidung belang tersebut."Bersihkan itu!" perintah Max sambil menaikkan satu kakinya ke atas meja.Madeline terpaku saat menatap sepatu kulit berwarna hitam itu sedikit bernoda. Sepertinya terkena tumpahan anggur."Max, apakah kamu sudah berganti selera?""Benar! Sejak kapan kamu suka wanita gemuk?"
Madeline pun terlelap. Ya, tubuh dan otaknya kelelahan, belum lagi masa depan yang akan dilaluinya tidak jelas. Namun, baru terlelap sebentar, kesadarannya terpanggil kembali karena keributan yang sayup-sayup terdengar.Merenggangkan tubuhnya membuka mata, seketika Madeline duduk tegak dan menatap ke asal suara."Oh My God!" pekik Madeline.Bagaimana tidak, saat ini Madeline menatap seorang wanita meliuk-liuk seksi di hadapan Maximillian Qin dan itu membuatnya mual.Ini tidak dapat diterima. Madeline melompat berdiri dan berlari ke arah dapur. Mengambil sapu dengan gagang kayu dan berjalan ke arah dua manusia yang tidak bertingkah sesuai dengan sebutan itu."Hei! Kalian, masuk ke dalam kamar!" ujar Madeline garang. Satu tangan memegang sapu dan tangan satu lagi berkacak di pinggang."Hei, perempuan! Untuk apa sapu itu?" tanya Max dingin, dengan seorang wanita bergelayut manja pada tubuhnya. Wanita yang bah
"Hei! Lepaskan! Apa yang kamu lakukan?" pekik wanita itu dengan memeluk selimutnya erat."Mengusirmu!" jawab Madeline singkat.Terus menarik dan mengabaikan protes wanita itu. Madeline membuka pintu kaca dan mendorong wanita berselimut itu ke depan. Dua pria bertubuh tegap menatap tidak percaya, dengan mata terbelalak lebar."Jangan biarkan wanita ini masuk! Aku akan melemparkan barangnya keluar. Tunggu sebentar!" ujar Madeline dan berbalik masuk kembali.Dua pengawal itu hanya dapat mematuhi perkataannya dan menahan wanita yang mengamuk ini.Dengan gusar, Madeline mengambil sarung tangan karet di dapur, mengenakannya. Lalu, ke kamar dan memungut pakaian wanita itu yang berserakan. Ya, pakaian dalam termasuk dan itu membuat Madeline tambah murka.Mengambil dengan ujung jari, sampai di depan ruangan dan melemparkannya tepat di hadapan wanita itu."Kamu..., kamu kurang ajar!" geram wanita itu yang tampak beg
Gila! Ya, ini gila. Jelas-jelas semua ini untuk memelihara tikus penggerogot harta dan Madeline yakin, semua tikus itu gemuk. Dari puluhan dokumen itu semua penuh dengan nilai yang dilebih-lebihkan. Madeline heran bagaimana perusahaan ini dapat bertahan sampai saat ini.Tidak! Dirinya tidak dapat mendiamkan ini. Jika uang pria itu begitu banyak, alangkah baiknya memberikan sumbangan kepada mereka yang butuh, daripada memelihara tikus berdasi.Madeline menutup map itu dan mengumpulkannya ke samping. Yang dapat dilakukannya adalah menunggu Maximillian Qin datang ke ruang bermainnya ini dan jika pria itu tidak mabuk, maka dirinya akan mencoba menyampaikan pendapatnya.Sampai siang hari, pria itu juga belum muncul. Madeline berjalan ke arah pintu depan dan mencoba menemukan Jay. Dirinya tidak ingin Jay terlibat masalah karena Madeline tidak menandatangani semua dokumen itu."Kapan Jay akan kemari?" tanya Madeline kepada dua pengawal ya
Madeline tenggelam dalam lautan dokumen dan tulisannya. Setelah semua selesai, Madeline mulai mengetik rangkumannya ke dalam laptop. Saat semua selesai, langit sudah gelap dan Madeline terkejut saat melihat waktu yang ternyata sudah pukul 10 malam. Dirinya, melupakan makan malam dan itu tidak bagus.Dokumen bertebaran di lantai dan Madeline harus melompat untuk melewati lautan kertas itu. Pergi ke dapur dan menyeduh teh. Madeline bersyukur, Jay tidak datang mengganggunya. Lebih tepatnya, bersyukur karena Max tidak memanggilnya.Madeline memasukkan satu sendok gula ke dalam tehnya dan mengambil buah, lalu memakannya. Hmmm, tinggal diperiksa ulang sekali lagi, maka apa yang dikerjakannya sudah dapat dikirim ke alamat surel pria itu."MADELINE!" panggil Jay yang berlari masuk dalam ruangan.Teriakan Jay membuat Madeline terkejut, beruntung cangkirnya tidak terlepas dari pegangannya."Ada apa?" tanya Madeline yang berlari kelua
"Aku tidak menyukaimu!" balas Madeline dingin."Mengapa harus sejujur itu?" keluh Hans dan memasang wajah sedih."Oh, ayolah! Aku tidak tahu semua pria Qin begitu murahan," ejek Madeline."Itu kasar!" jawab Hans, sambil tersenyum.Madeline mengangkat bahu dan lanjut mengetik. Dirinya senang berseluncur di dunia maya, mencari informasi tentang perusahaan keluarga Qin. Setelah memeriksa semua dokumen itu, membuat Madeline penasaran."Apa yang kamu kerjakan?" tanya Hans penasaran."Hmmm, aku membuat pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen itu dan dari sana banyak yang ingin aku ketahui!" ujar Madeline sambil menunjuk ke lantai dekat jendela, ya dokumen itu masih berserakan di sana."Benarkah? Boleh aku lihat apa yang kamu temukan?" tanya Hans.Madeline mengangguk dan membuka file miliknya, lalu membalikkan laptop ke hadapan Hans.Hans membaca rangkuman yang dibuat Madeline dan berde
Satu bulan, ya satu bulan Madeline berada di sisi Max. Rutinitas mereka setiap hari adalah melakukan konseling dan beberapa perawatan lainnya. Saat malam tiba, Madeline akan tidur di samping pria itu, menemaninya.Sesekali saat Madeline berbicara, Max akan menatap dirinya. Namun, hanya sesekali.Setelah pertimbangan yang matang, Madeline memutuskan untuk membawa Max junior ke tempat ini.Hari itu pun tiba.Bibi Lian datang bersama dengan Max junior, semua tranportasi diatur oleh Robert Qin."Mommy!" panggil Max junior saat bertemu dengan Madeline.Madeline memeluk putranya itu dan mendaratkan kecupan bertubi-tubi di wajah tampan itu."Apakah Bibi lelah?" tanya Madeline dengan Max junior sudah berada dalam gendongnya."Tidak, tidak," jawab Bibi Lian yang sibuk menatap ke sekeliling rumah mewah ini."Mari saya antar ke kamar Anda, Nyonya," pinta salah seorang staff kepada Bib
Madeline menggandeng lengan Max dan mereka meninggalkan hotel, menuju ke rumah besar.Di dalam perjalanan, Madeline menggenggam tangan Max dengan tatapan yang terus menatap wajah pria itu."Sudah berapa lama dia seperti ini?" tanya Madeline pelan."Semenjak Nona pergi, sikap Tuan mulai berubah," jawab sang pengawal yang mengemudikan mobil."Apakah ayahnya tidak melakukan apa pun?" tanya Madeline kembali."Sudah banyak Dokter handal yang diterbangkan kemari untuk memeriksa Tuan. Namun, kesehatan Tuan semakin memburuk."Setelah itu, mereka tidak lagi berbicara. Madeline selalu menatap wajah pria itu, tetapi Max selalu menatap kosong keluar jendela mobil.Mobil berbelok masuk, melewati gerbang utama kediaman besar Keluarga Qin. Madeline sudah pernah sekali datang ke rumah ini, saat masih menjadi sekretaris pria itu.Mobil berhenti di depan gedung bergaya Eropa dan mereka turun. Madeline ma
Tuan Besar pasti akan mengakui cucunya itu. Bagaimana tidak, Maximillian Qin hanya memiliki keturunan dari wanita itu.Di dalam kapal laut, ponsel Jay berdering dan itu adalah panggilan dari Tuan Besar."Ya, Tuan."[Setelah menemukan mereka, bawa mereka ke hadapanku sesegera mungkin!]"Baik, Tuan!"Lalu, sambungan telepon diputus. Jay berharap, kehadiran Madeline dan putranya mampu menyembuhkan Tuannya.***Madeline melangkah masuk ke dalam lobi hotel milik Keluarga Qin. Tempat di mana dirinya pertama kali bertemu dengan Maximillian Qin. Apakah dirinya ingin bernostalgia? Benar, Madeline merindukan tempat ini. Merindukan pria brengsek itu.Berdiri di depan meja resepsionis, Madeline memesan kamar. Tentu saja, kamar standar bukan kamar tipe mahal. Itu disesuaikan dengan uang yang ada dalam dompetnya."Ini kartu kamar Anda, Nona Madeline."Madeline menerima kartu itu dan menuju ke lantai di m
Di Negara Z, Max dirawat di salah satu rumah sakit swasta ternama di sana dan menempati satu lantai rumah sakit itu. Lantai ruang rawat untuk pasien VVIP, biasanya untuk para publik figur ternama. Ya, Robert Qin menyewa seluruh lantai VVIP itu, tentu saja agar penyakit putranya tidak terendus.Di perusahaan, Maximillian Qin dikatakan mengambil cuti panjang untuk berpelesiran bersama sang istri. Siapa yang berani berkomentar di saat pewaris perusahaan melakukan hal tersebut. Namun nyatanya, Max dirawat di sini."Kapan dia bisa meninggalkan rumah sakit?" tanya Robert Qin kepada Dokter Cha, yang juga merupakan Direktur rumah sakit.Robert Qin dan Dokter Cha berdiri di depan pintu ruangan rawat inap Maximillian Qin."Tidakkah kamu bisa melakukan hipnoterapi lain untuk membantunya sadar?" tanya Robert Qin."Biar aku katakan sejujurnya. Saat ini, kondisi putramu sangat buruk. Dia hanya dapat menerima perawatan melalui obat-obatan.
Belum sempat Robert Qin menyapa, Max sudah kehilangan kesadarannya. Max pingsan di hadapan ayahnya, karena ketakutan.Apakah Robert Qin menyesal? Tidak. Hal tersebut dianggap sebagai harga yang harus dibayar, atas pernikahan yang akan segera dilangsungkan. Robert Qin dapat menerima bahwa putranya kembali tidak mampu bertemu dengannya, tetapi setidaknya kali ini Max mematuhi perkataannya.Max dilarikan ke rumah sakit dan tinggal di sana selama satu minggu. Mendapatkan perawatan psikis dari psikiater ternama di kota ini, tentu dengan pegangan catatan medis dari Dokter Cha.***Madeline membersihkan kaca jendela yang buram, karena jejak debu yang begitu tebal. Sudah satu minggu dirinya berada di pulau ini. Seperti perkataan almarhum neneknya, penduduk sangat ramah dan udara di sini amatlah segar.Satu minggu yang lalu, setelah turun dari kapal, Madeline mencari rumah untuk disewa. Beruntung, harga sewa rumah di pulau ini
Ha ha ha!Madeline tertawa dingin, sebelum berkata, "Ini adalah pilihanku. Aku memilih untuk mengambil kesempatan itu dan mempercayai Max. Semua itu adalah keputusanku, lagipula usiaku sudah 30 tahun, tidak ada masalah jika aku tidur dengan pria bukan? Jadi, aku mohon jangan memperbesar masalah!" ujar Madeline dingin. Setidaknya dengan terlihat tidak peduli, Madeline berharap dapat melindungi harga dirinya yang tersisa. Apakah harga dirinya masih tersisa? batinnya miris."Benar, kamu adalah wanita dewasa, bahkan seorang janda! Tentu kamu bebas hendak bercinta dengan pria mana pun yang kamu inginkan!" balas Hans dingin dan maju beberapa langkah mendekati Madeline."Jika begitu, mari kita bercinta!" bisik Hans tepat di telinga Madeline.Tangan Hans diselipkan ke pinggang Madeline dan menarik tubuh itu, agar menempel pada tubuhnya. Tanpa permisi, Hans langsung mendaratkan ciuman ke bibir indah Madeline Lu.Madeline tidak
"Aku menyukai wanita cantik dan kamu, salah satunya! Bukankah kamu sudah jelas tahu akan hal tersebut?" tanya Max dingin.Madeline memejamkan matanya untuk sesaat, menahan emosinya yang hendak meledak."Baik! Aku mengerti," jawab Madeline.Max menghela napas lega, bersyukur wanita itu tidak bersikeras. Bersikeras agar Max hanya setia pada dirinya, pada satu wanita. Karena, itu tidaklah mungkin."Bagus, jika kamu mengerti. Lagipula, aku menyukai cara kerjamu dan berharap, kamu terus menjadi sekretarisku!" jelas Max, sambil berbalik menatap Madeline.Madeline membuka mata dan menatap dingin ke arah pria itu, dingin. Dirinya yang begitu bodoh, mempercayai harapan palsu yang diberikan oleh pria itu. Bukankah sudah cukup dirinya dikecewakan oleh mantan suaminya dan kini, dirinya kembali masuk dalam jeratan pria yang sama brengseknya.DING!Pintu lift terbuka dan seorang wanita cantik melangkah masuk.&nbs
Spontan Max bangkit dari duduknya dan mengejar wanita itu. Mengejar Madeline Lu.Di tengah-tengah restoran itu, Max menarik pergelangan tangan Madeline Lu. Tarikan yang cukup kuat, membuat tubuh Madeline membentur dada bidang Max.Madeline yang kesal, langsung menghentakkan tangannya agar terlepas dari pegangan Max. Lalu, berbalik dan berjalan cepat, meninggalkan restoran, meninggalkan pria brengsek itu.Mendorong pintu kayu restoran hingga terbuka lebar, Madeline berlari menuruni beberapa anak tangga yang ada di sana. Max mengejarnya."Berhenti!" perintah Max.Madeline mengabaikan perintah pria itu dan berlari kecil, menjauhi Max. Tidak tahu berjalan ke arah atau menuju mana, Madeline hanya terus berlari menjauhi pria itu. Namun, sepatu hak tinggi membatasi langkah kakinya dan Max kembali berhasil menangkap pergelangan tangannya, saat Madeline berbelok ke jalan kecil yang ada di sana.Max tidak tahu apa y
Madeline melihat isi amplop itu dan menatap Max dengan tatapan gembira. Bagaimana tidak, ini adalah surat cerai yang sudah ditandatangani oleh David Kang."Bagaimana? Bagaimana kamu membuatnya menandatangani ini?" tanya Madeline penasaran."Bukan masalah besar," jawab Max sambil mengangkat bahu.Madeline tersenyum. Dirinya ingin bertanya, apakah setelah dirinya bercerai, Max ingin menjalin hubungan serius dengannya? Namun, Madeline tidak berani mengutarakan pertanyaan itu. Dirinya takut. Takut ditolak, takut dikecewakan.Max tersenyum puas, saat melihat Madeline menandatangani surat cerai itu. Setelah dipukul babak belur dan diancam, David Kang masih menolak untuk menandatangani surat cerai itu. Akhirnya, Max menawarkan sejumlah uang yang tidak mampu ditolak. Ya, akhirnya pria bajingan itu bersedia melepaskan Madeline Lu."Baiklah! Nanti kita makan malam," ujar Max dan mengecup kening kekasihnya itu.Madeline me