“Selamat datang di dunia orang dewasa, Gemma.”
“Yeah… menyebalkan.”
Gemma dan Jo menempelkan botol bir satu sama lain, menimbulkan suara denting yang memecah kesunyian malam. Mereka duduk di tangga depan rumah sembari menyesap bir dan menikmati udara malam yang dingin.
Gemma menenggak birnya sementara Jo meletakkan botol dan meraup setangkup keripik kentang dari mangkuk.
“Jadi… usahamu tidak berhasil?” tanya Jo, sebelum memasukkan keripik-keripik itu ke dalam mulutnya.
Gemma sebenarnya enggan untuk membahas soal ini. Namun Jo sudah meluangkan waktunya yang padat untuk menemani Gemma melewati keterpurukan, jadi Gemma tak punya pilihan lain selain menceritakan kegagalannya.
Setelah sekitar satu tahun mencoba mendirikan kelas pelatihan untuk anak-anak yang ingin menjadi Archturian, Gemma gagal karena kebanyakan dari mereka tidak kembali setelah waktu percobaan gratisnya habis. Pemasukan yang ia peroleh tidak sebanding dengan biaya hidupnya dan Lysis. Ya, Lysis tidak bisa bekerja di tempat lain dengan wajah kriminalnya, kecuali dia melakukan operasi plastik. Dan itu butuh biaya besar.
“Ya,” jawab Gemma sembari memandangi label yang menempel pada botol bir. Dia mengulurkan tangan dan mengayun-ayunkan botol sementara dirinya memeluk lutut dan menyandarkan dagu di situ. “Ini tidak semudah kelihatannya. Menjalani hidup seperti ini.”
“Apa Michael tidak meninggalkan apapun padamu?”
Gemma menggeleng. “Setidaknya dia tidak meninggalkan hutang.”
Mengucapkan kata hutang membuat Gemma kembali teringat pada masa lalunya, dan apa yang sudah ia lakukan untuk melunasi hutang-hutangnya. Dengan menjual temannya sendiri. Gemma rasa dia tak akan pernah bisa menyingkirkan perasaan bersalah itu sampai kapanpun.
Seandainya ia bisa memutar waktu, dia akan menolak tawaran itu. Mungkin dengan begitu, Maya akan tetap hidup.
Gemma menyandarkan kepala menyamping agar bisa melihat Jo, kemudian dia tersenyum masam. “Pasti ada jalan keluar,” kata Gemma. “Ini bukan pertama kalinya aku hidup susah.”
Jo membalas senyuman Gemma dan menepuk punggungnya pelan. “Yeah,” katanya. “Kau pasti bisa.”
Namun Jo terdengar tak yakin dengan kata-katanya sendiri... dan Gemma pun begitu.
Dia tak punya keahlian selain bertarung dan suaranya yang lumayan. Gemma mencoba peruntungan dengan kembali menjadi penyanyi, tetapi tidak ada tempat di Fiend yang bisa menyalurkan bakatnya. Dengan kondisi keuangannya sekarang, Gemma tak mungkin kembali ke Ayria. Dia tak punya tempat tinggal di sana dan biaya hidup di ibukota jauh lebih tinggi ketimbang di kota menyedihkan seperti Fiend.
“Apa kau tahu sekarang perpustakaan daerah digunakan untuk apa?” tanya Gemma.
“Mereka menghancurkannya lalu membangun gedung baru. Tetapi aku belum mengetahui gedung itu akan digunakan untuk apa.”
Gemma mengembuskan udara melalui mulut, membuat rambut yang menutupi keningnya berterbangan. Setelah itu dia berdiri dan membersihkan bagian belakang celana pendeknya.
“Aku akan tidur. Dan mungkin besok, saat aku bangun, akan ada sebuah keajaiban,” ucap Gemma, sembari mencoba untuk tersenyum, membesarkan hatinya sendiri.
Namun tentu saja, Jo tidak mudah dibohongi. Dia telah mengenal Gemma hampir seumur hidupnya. Ada sengatan air mata yang mengancam keluar dari balik mata Gemma dan ia mati-matian menahannya agar tidak mengalir keluar.
Jo menatap Gemma untuk sejurus lamanya, kemudian menghela napas. “Yah… semoga saja.”
Gemma masuk ke rumah, lalu Jo menyusulnya dengan membawa botol bir dan mangkuk keripik.
Lysis tengah tertidur di sofa dengan televisi yang masih menyala.
Gemma mengambil remote dan hendak mematikan televisi saat judul berita yang tertulis di situ menarik perhatiannya.
PENEMUAN MAYAT YANG MENGERING SEPERTI MUMI DI ULYOS
Ulyos adalah nama kota yang terletak di daerah utara Elenio. Tempatnya berlawanan dengan Fiend.
Gemma terpaku ketika melihat sepotong tangan yang tidak tertutup sensor. Kulit tangan itu kering dan keriput, memang terlihat seperti mumi. Terdapat alur-alur hitam di sepanjang tangan itu, bagaikan pembuluh darah yang dialiri tinta. Jo yang menyusul Gemma tak lama kemudian, ikut terdiam melihat berita itu.
“Apakah kau punya pemikiran yang sama denganku?” tanya Gemma, setelah topik berita berganti.
Gemma mendongak dan memandang Jo, yang balas memandangnya.
“Ya,” kata Jo. “Tapi… apa itu mungkin? Bukankah Lanaya sudah memusnahkan semuanya?”
“Ya, aku pikir juga begitu,” Gemma menelan ludah lalu mengerling ke arah Lysis yang sedang tertidur, “aku berpikir begitu sampai Lysis mengatakan sesuatu… dan menunjukkan sesuatu.”
Kedua alis Jo mengerut hingga ujung-ujungnya nyaris bertaut. “Mengatakan dan menunjukkan apa?”
“Lebih baik kita bangunkan dia.”
Gemma meletakkan botol birnya ke atas konter dapur lalu menghampiri sofa tempat Lysis tidur dan menendangnya sekuat tenaga. Sofa itu bergeser, menimbulkan derit yang memekakkan telinga, dan membuat Lysis terlonjak. Dia berguling hingga terjatuh ke lantai dengan bunyi debam yang menyakitkan.
“Wow, wow, wow! Gemma! Tidak bisakah kau membangunkannya dengan cara yang lebih manusiawi?!” seru Jo. Dia memegang kepala dengan dua tangan karena terlalu terkejut.
“Aku sudah pernah mencobanya, Jo. Tidak berhasil,” sahut Gemma seraya melipat tangan di depan dada, menunggu Lysis berdiri. “Ini cara paling ampuh untuk membuatnya bangun.”
“Tuan Putri!” pekik Lysis, yang langsung berdiri. Kedua kakinya goyah dan kepalanya berputar seperti orang mabuk. “Tuan Putri! Saya tahu Anda akan kembali!”
Gemma menghampiri Lysis dan menamparnya. “Sadarlah, Lysis!” seru Gemma. “Lanaya sudah mati!”
Lysis mengerjap-ngerjapkan mata, nampak bingung dengan keadaan sekitar. Kemudian pandangannya berfokus pada Gemma dan bibirnya mencebik sedih. “Tuan Putri!” dia mengerang.
Gemma muak karena harus melihat rengekan Lysis setiap kali dia bangun tidur. Seolah ingatannya kembali ke masa dimana Lanaya masih hidup.
“Cuci mukamu dan kembali kemari,” perintah Gemma. “Aku tidak mau mendengar rengekan apapun saat kau kembali ke hadapanku.”
Dengan langkah gontai, Lysis menyeret kakinya menuju ke kamar mandi. Sekitar satu menit kemudian, dia kembali dengan wajah segar dan kedua mata yang sudah fokus sepenuhnya.
“Jonathan,” sapanya pada Jo.
Jo mengangguk, mengerling ke arah Gemma dan mengatakan ‘kau tinggal dengan orang aneh’ tanpa suara, lalu kembali memandang Lysis.
Gemma mengedikkan kepala ke arah Jo sembari berbicara kepada Lysis. “Tunjukkan padanya apa saja hal yang sudah kau temukan.”
Lysis terdiam dan berkacak pinggang. “Ini hanya dugaanku saja,” katanya. “Aku tidak ingin menimbulkan keributan atau—“
Gemma melotot dan berdecak kesal. “Bisa tidak, kau tidak banyak bicara dan tunjukkan saja padanya?”
Lysis mengangguk dan menghilang ke balik pintu yang menuju ke kamar Michael. Semenjak tinggal di sini, dia menempati kamar Michael. Gemma senang karena Lysis tidak mencoba mengubah atau menyingkirkan barang-barang ayahnya.
“Bagaimana bisa kau hidup satu atap dengan manusia seperti dia?” desis Jo, sembari menunggu Lysis keluar dari kamar.
Terdengar suara-suara gaduh dari dalam kamar, kemudian teriakan Lysis yang berkata, “Aku baik-baik saja!”
Gemma menghela napas panjang. “Dia bukan manusia,” balas Gemma. “Aku berpegang teguh pada kenyataan itu. Dia bukan manusia. Jadi aku bisa memaklumi semua tingkah bodohnya.”
Tepat setelah Gemma selesai mengatakannya, Lysis keluar dengan sebuah buku besar dan tebal. Beberapa kertas koran mencuat dari tepi-tepi buku itu. Dia melewati Gemma dan Jo, menuju ke meja di depan sofa dan meletakkan buku itu di sana.
Gemma dan Jo mendekat. Jo mencondongkan tubuh agar bisa melihat isi dari buku yang Lysis bawa, sementara Gemma hanya berdiri di dekat mereka sembari melipat kedua tangan.
“Ini,” kata Lysis, “adalah artikel yang aku kumpulkan semenjak kejadian itu.”
“Ini—“ Jo tidak meneruskan kata-katanya. Matanya sibuk menelusuri setiap judul berita yang ada di situ.
“Menurut Lysis,” kata Gemma, “Draconian belum musnah dari Elenio.”
*
Jo membolak-balik kumpulan artikel milik Lysis. Ada banyak catatan dan coretan yang menyoroti satu dua kalimat di dalam berita yang berkaitan dengan gejala akibat serangan Draconian. Beberapa berita terlihat biasa, hal-hal sepele yang tidak dipedulikan orang. Hewan peliharaan yang hilang, kejadian supranatural aneh yang tak masuk akal. Bahkan Jo pun akan mengabaikan berita-berita seperti ini. Namun setelah membaca catatan yang Lysis berikan di samping berita itu, Jo menyadari ada fakta penting yang tersembunyi. Fakta tentang keberadaan Draconian. Jo tak menyangka ada begitu banyak berita yang mengindikasikan keberadaan Draconian. Bagaimana mungkin, ia yang seorang Archturian tidak menyadari hal ini? “Apa kalian sudah menceritakan hal ini kepada ayahku?” “Tidak.” “Belum.” Gemma dan Lysis menjawab nyaris bersamaan. Mereka saling bertukar pandang. Gemma mengangkat kedua tangan dan meletakannya di pinggang sembari memberi tatapan membunuh pada Lys
“Membosankan,” gerutu rekan kerja Jo, Mauryn, yang dikirim untuk menghadiri rapat terbatas dengan Archturian yang bertugas di Noane, kota kecil di daerah utara Elenio. Jo setuju dengan pernyataan Mauryn, pertemuan tadi sangat lama dan membosankan, tetapi Jo tidak mau mengatakannya secara langsung. Mauryn bisa besar kepala dan mengoceh tanpa batas jika Jo kedapatan menyetujui kata-katanya, sekecil apapun itu.Jo membetulkan lengan seragamnya sembari mengerling ke jendela sementara mereka menelusuri lorong menuju ke luar. Hujan menampar-nampar pepohonan dan aspal. Suaranya seperti peluru dalam peperangan. Lalu Jo teringat malam itu… kekacauan di Ayria. Saat itu, cuacanya sama seperti ini….“Hey!” Mauyrn menepuk pundak Jo kuat-kuat. “Jangan melamun!”Jo menoleh kepada Mauryn. Pandangannya berhenti sejenak pada rambut pendek wanita itu, yang berwarna merah menyala dan nampak seperti api yang membara jika terkena sina
Nero dan Jo duduk di kursi di sisi konter dapur. Setelah masuk ke dalam rumah, tempat ini tidak terlihat segelap yang Jo kira. Cahaya suram dari matahari yang tertutup awan mendung menerobos melalui celah di tirai jendela, menjatuhkan garis-garis sinar di sudut-sudut dapur.Nero bertingkah seolah ini adalah rumahnya. Dia mempersilakan Jo masuk, menyuruhnya duduk di kursi lalu Nero menutup pintu belakang. Dia mengintip sekali lagi ke jendela, memastikan tidak ada orang di luar sana. Setelah itu, dia duduk di seberang Jo, kedua tangan menumpu dagu.“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Nero. Dia bersikap seperti penegak hukum yang tengah menginterogasi tersangka.“Aku bisa menanyakan hal yang sama padamu,” balas Jo, yang tidak bisa menerima sikap Nero begitu saja. “Ini bukan rumahmu. Apa yang kau lakukan di sini?”Nero memalingkan wajah, berdeham, lalu kembali menatap Jo dengan pandangan tajamnya yang khas. “Ada tan
Matahari sudah mulai menghilang di garis batas cakrawala saat Jo dan Nero berlari keluar dari sarang Draconian itu. Mereka menyusuri jalan setapak keluar desa, dan di sepanjang pelarian itu Jo menyadari satu hal janggal yang sedari tadi mengganggunya. Tidak ada satupun manusia di sini. Daerah ini bagaikan daerah mati yang sudah bertahun-tahun ditinggal para penduduknya. Hutan-hutan di sekeliling pemukiman begitu rapat namun sunyi. Tak ada satupun lampu yang menyala dari rumah manapun. Semuanya gelap dan mencekam.Sepertinya Nero punya pemikiran yang sama dengannya. Karena ketika mereka memperlambat langkah dan memastikan bahwa para Draconian itu tak bisa mengikuti mereka, Nero memandang ke sekeliling dan berkata, “Tak ada orang lain selain kita di sini.”“Yeah. Apa menurutmu—““Ya. Kemungkinan besar Draconian telah menghabisi para pendduduk di sini. Dan sekarang rumah-rumah itu menjadi sarang mereka.”Meskipun mer
Ini hari yang membosankan, seperti biasanya. Tak ada yang bisa Gemma lakukan selain duduk di sofa yang menghadap ke jendela, memandangi jalan lengang yang terik. Setelah memasak bersama Lysis, membersihkan rumah, memeriksa kotak surat yang tentu saja kosong, Gemma duduk di titik favoritnya di dalam rumah, yang konon adalah tempat favorit Michael saat Gemma tak ada di sini. Lysis menonton televisi seperti biasa, mencoba mengikuti perkembangan zaman dan menyesuaikan gaya hidup dengan manusia. Sebagai alien, masih banyak hal yang membuatnya bingung dan canggung. Seperti fakta bahwa wanita mengandung dan mengeluarkan anak. Ya, dia menggunakan kata mengeluarkan, bukan melahirkan.Saat Gemma bertanya bagaimana cara bangsa Archturian berkembang biak, Lysis memberi jawaban samar soal bintang bernyawa dan jiwa tanpa raga. Lain kali Gemma akan meminta penjelasan yang lebih rinci soal itu.“Tuan putri,” panggil Lysis. Walaupun sudah berulang kali Gemma menyuruhnya men
Tembakan peringatan terdengar dari luar gudang, disusul teriakan yang memerintahkan semua orang yang bersembunyi untuk keluar.“Sialan,” umpat Lysis. Satu tangannya memegang pistol yang menggantung di samping tubuh, sementara matanya menatap cemas ke arah Gemma yang berdiri di seberangnya. Mereka berdua tengah bersembunyi di balik tumpukan kotak-kotak kayu berisi senjata ilegal. “Seharusnya kita di rumah saja! Aku tidak peduli jika kita mati kelaparan ketimbang harus berada dalam situasi seperti ini!” desisnya dalam suara yang melengking.Gemma hanya bisa memelototi Lysis dan memberi isyarat agar dia diam dengan menggerakkan tangan di depan leher, seperti hendak memotongnya.“Tutup mulutmu!” pekik salah seorang rekan kerja mereka, yang bersembunyi di sebelah Gemma. “Bos sudah menyiapkan jalan keluar rahasia jika terjadi sesuatu seperti ini.”“Lalu kenapa kita ada di sini dan bukannya kabur bersama dia?
Gemma menurunkan kedua tangannya. Hal yang paling ia takutkan terjadi. Mengapa dari semua prajurit Archturian, orang yang harus bertemu dengannya adalah Jo? Gemma tak akan menyalahkan Jo jika dia merasa kesal dan menembak kaki Gemma.“Aku bisa menjelaskan,” bisik Gemma. Dia melirik cemas ke arah prajurit lain yang berada di belakang Jo. Oh, bagus sekali. Itu Nero.“Jangan sekarang,” kata Jo. Ia terdengar kesal dan Gemma bisa mengerti hal itu. Bukan kali ini saja Jo mendapati Gemma membuat masalah, kan?Jo memberi isyarat agar Gemma menutup mulut, kemudian dia mengerling melewati pundak Gemma. Ada seseorang di belakang mereka. Detik berikutnya Gemma mendengar desing peluru melintas di samping lengannya. Hampir saja Gemma berteriak saat timah panas itu menembus lengan Jo. Darah mengalir dengan cepat membasahi seragam tempurnya. Namun luka itu tak lantas membuat Jo ketakutan, dia mendorong Gemma ke samping dan memberikan tembakan balasan. Ge
“Senjata,” bisik Gemma sambil memukul lengan Nero, “berikan aku senjata. Einar atau Alfhild.” “Aku hanya membawa Einar.” Mereka berdiri berdampingan dalam kegelapan. Tempat ini adalah loteng dari gudang tua yang terbengkalai dan Gemma sama sekali tidak memperhitungkan kalau dia bakal bertemu Draconian di sini. Seharusnya dia membawa Einarnya. Einar milik Nero yang dulu dia berikan pada Gemma, kini hanya menjadi pajangan berdebu di atas lemari pakaiannya. Nero mencabut Einar dari pinggang dan geraman-geraman dari makhluk berbau busuk itu semakin keras. Kurang dari sedetik kemudian, geraman berubah menjadi raungan dan langkah-langkah berat mendekat dengan cepat. Gemma menunduk saat Nero menyabetkan Einar melewati atas kepala Gemma dan terdengar lolongan panjang sebelum suara ledakan yang memekakkan telinga. Gemma mengumpat saat serpihan-serpihan tubuh Draconian jatuh menimpa kepalanya. Gemma menjulurkan kaki dan menendang tulang kering Draconian y