“Membosankan,” gerutu rekan kerja Jo, Mauryn, yang dikirim untuk menghadiri rapat terbatas dengan Archturian yang bertugas di Noane, kota kecil di daerah utara Elenio. Jo setuju dengan pernyataan Mauryn, pertemuan tadi sangat lama dan membosankan, tetapi Jo tidak mau mengatakannya secara langsung. Mauryn bisa besar kepala dan mengoceh tanpa batas jika Jo kedapatan menyetujui kata-katanya, sekecil apapun itu.
Jo membetulkan lengan seragamnya sembari mengerling ke jendela sementara mereka menelusuri lorong menuju ke luar. Hujan menampar-nampar pepohonan dan aspal. Suaranya seperti peluru dalam peperangan. Lalu Jo teringat malam itu… kekacauan di Ayria. Saat itu, cuacanya sama seperti ini….
“Hey!” Mauyrn menepuk pundak Jo kuat-kuat. “Jangan melamun!”
Jo menoleh kepada Mauryn. Pandangannya berhenti sejenak pada rambut pendek wanita itu, yang berwarna merah menyala dan nampak seperti api yang membara jika terkena sinar matahari, lalu beralih pada raut wajahnya yang memiliki rahang persegi. Semua wanita yang menjadi Archturian memiliki fitur wajah khas yang sama; mereka memancarkan ketegasan dan ketangguhan. Tak terkecuali Mauryn.
“Kau sedang memikirkan apa?” tanya Mauryn dengan pandangan cemas. “Apa Girga Contner menekanmu?”
Mauryn menyinggung soal atasan baru mereka, Girga Contner, pengganti Girga Lyon, yang menurut Jo tidak jauh berbeda dengan Lyon. Hanya saja Contner tidak suka menghisap cerutu.
“Tidak,” sahut Jo. “Aku tidak ada masalah dengannya.” Jo hanya berharap semoga saja Contner bukan pengkhianat seperti Lyon, atau yang lebih parah lagi semoga saja dia bukan Draconian jadi-jadian.
“Sebetulnya aku merasa jahat karena punya pemikiran seperti ini… tetapi, aku senang karena Girga Lyon telah tiada,” ucap Mauryn dengan nada rendah. Dia mengatakannya setelah melihat ke sekeliling dan memastikan tidak ada orang lain bersama mereka.
Mereka berbelok di ujung lorong dan menuruni tangga menuju ke lantai dasar, tempat mobil dinas mereka terparkir.
“Aku tidak pernah menyukainya,” lanjut Mauryn. “Ada sesuatu yang salah dengannya.” Mauryn menoleh dan memandang Jo, meminta tanggapan.
Jo mengerling untuk sesaat lalu berkata, “Aku tak bisa berkomentar apa-apa.”
“Dari semua Archturian di divisi kita, hanya kau yang tidak banyak bicara setelah kejadian itu. Bukankah kau ikut berperang melawan Draconian di Ayria? Kau ikut mengatasi kerusuhan itu kan?”
Mauryn, sama seperti rekan-rekan Jo yang lain, tak henti-hentinya mencoba mengorek informasi sekecil apapun darinya. Sementara mereka saling bertukar cerita dan pengalaman tentang kejadian yang memporak-porandakan Elenio itu, Jo tak pernah sekalipun bercerita tentang kejadian yang ia alami.
Dia tak akan menceritakan apapun, dan sebaiknya seperti itu. Tidak ada yang boleh tahu soal Gemma, ataupun Lyon yang ternyata adalah pengkhianat. Soal eksperimen yang mengubah manusia menjadi Draconian. Terlebih lagi soal Lanaya dan Anugerah yang ia terima.
Jonah memerintahkan Jo, Nero, dan Sarah, tiga orang Archturian yang terlibat langsung dalam pertempuran malam itu di lab terbengkalai, untuk menutup mulut mereka selama-lamanya.
“Aku sudah menceritakan semua yang aku tahu,” jawab Jo. Nada bicaranya mengisyaratkan bahwa dia tak ingin membicarakan hal itu lebih lanjut, dan seharusnya Mauryn mengerti.
Mereka berhenti di depan Jeep hitam dengan lambang The Arc di kap mobil dan pintu-pintunya. Jo menekan tombol untuk membuka kunci kemudian dia mengambil payung berwarna hitam dari jok belakang, lalu keluar dari mobil.
“Kau bisa pulang sendiri kan?” tanya Jo sembari melempar kunci mobil kepada Mauryn. Mauryn memandangnya bingung sambil menangkap kunci itu.
“Kau mau kemana?” tanyanya.
“Bertemu teman,” jawab Jo asal. Dan dia setengah berlari menuju ke tangga yang mengarah ke atas, tak memberikan kesempatan kepada Mauryn untuk bertanya lebih jauh.
*
Noane merupakan sebuah kota kecil yang luasnya hanya seperempat dari luas Meubena. Namun, walaupun kecil, kota ini sangat indah dan termasuk kota dengan tingkat kejahatan yang rendah. Tindakan kriminal atau kematian yang tak wajar yang terjadi di sini pasti selalu menarik perhatian publik dan dimuat di koran nasional, karena nyaris tak pernah terjadi hal seperti itu di sini.
Itulah kenapa sebuah kejadian pembunuhan terhadap seorang aktivis anti kekerasan di Noane beberapa waktu yang lalu membuat Archturian memerintahkan divisi Jo untuk datang ke sini. Semenjak tragedi pemberontakan Ayria, para petinggi Archturian kini lebih serius menangani kejadian-kejadian yang terindikasi mengarah pada pemberontakan. Hal yang seharusnya mereka lakukan sedari dulu.
Sebelum mendatangi tempat tujuannya, Jo sudah menghapalkan letaknya melalui peta yang ia baca. Sepatu botnya bermandikan lumpur ketika dia menelusuri jalan setapak yang belum tersentuh aspal. Perjalanan selama sekitar satu jam ini membawanya ke sebuah permukiman di tepi hutan, dengan rumah-rumah berhalaman luas dan suasana alam yang begitu tenang. Hal yang sudah sangat jarang terlihat di kota besar. Jika saja hari sedang tidak hujan, pastilah wilayah ini akan sangat menyenangkan untuk dikunjungi. Jo jadi sedikit membayangkan rasanya tinggal di sini bersama dengan Gemma, menjalani kehidupan yang damai tanpa harus berurusan dengan Archturian atau makhluk-makhluk luar angkasa.
Bayangan itu sungguh menyenangkan.
Jo menggeleng pelan, menyadarkan diri bahwa hal itu tak mungkin terjadi, kemudian dia berhenti di sebuah rumah dengan pagar yang terbuat dari potongan kayu mentah. Pintu pagarnya sedikit terbuka dan insting Jo langsung mengatakan bahwa ada yang tidak beres.
Dia mendongak untuk melihat ke arah pintu masuk yang bercat putih. Pintu itu terbuka kira-kira selebar sepuluh sentimeter dan tak ada yang bisa dilihat dari celahnya selain kegelapan. Di luar sini mendung membuat segalanya menjadi suram, tetapi warna hitam pekat yang nampak dari dalam rumah itu sungguh tak wajar.
Jo menimbang langkahnya untuk beberapa saat, dan memutuskan mengitari rumah itu, menuju ke halaman belakang. Di sana terdapat sebuah rumah anjing yang terbuat dari kayu. Rumah mungil itu bercat putih seperti rumah pemiliknya, dan rahang Jo mengeras ketika mendapati terdapat noda hitam pudar yang memanjang di bagian depan. Jo menutup payung dan menyandarkannya di pagar lalu tangannya merogoh ke bagian dalam seragam, mencari gagang Alfhild.
Tepat setelah Jo melompati pagar setinggi paha dan mendarat tanpa suara di halaman belakang rumah, ia mendengar suara yang berasal dari dalam rumah. Genggaman tangan Jo semakin erat pada Alfhild, siap mencabut senjata itu kapan saja.
Jo berjalan perlahan menuju ke rumah dan menempelkan tubuhnya ke dinding terdekat sembari merunduk. Lalu dengan hati-hati, dia menuju ke pintu belakang yang tertutup rapat.
Suara itu terdengar semakin jelas, semakin dekat, menuju ke arahnya.
Ada seseorang di dalam. Apakah pemilik rumah?
Namun lagi-lagi perasaan Jo mengatakan bahwa seseorang yang sedang bergerak ke arahnya sekarang bukanlah orang yang tinggal di rumah ini.
Jo memicingkan mata untuk melihat ke dalam rumah anjing yang berjarak sekitar dua meter dari tempatnya berdiri dan dia terkesiap.
Kaki belakang anjing itu menjuntai keluar melewati pintu, tampak kering dan menghitam.
Itu nampak seperti… ulah Draconian.
Mayat-mayat kering di King’s Door berkelebat cepat dalam pikiran Jo, mengganggu konsentrasinya.
Jo menarik napas dalam-dalam, mencoba mengembalikan kesadaran dan fokus pada apa yang tengah ia lakukan sekarang.
Segera setelah Jo mendapatkan kesadaran sepenuhnya, pintu belakang rumah terbuka.
Jo menarik Alfhild, tetapi dia kalah cepat. Sepucuk pistol tertodong ke arahnya, dengan moncong yang nyaris menyentuh keningnya.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Jo mengenal suara itu. Dia mendongak cepat dan mendapati Nero tengah berdiri di hadapannya. Ia kelihatan sangat terkejut dengan kedua mata membelalak dan alis yang nyaris menyatu. Jo berani bertaruh bahwa ekspresinya sekarang tak jauh berbeda dengan Nero.
Ini benar-benar tidak terduga.
*
Nero dan Jo duduk di kursi di sisi konter dapur. Setelah masuk ke dalam rumah, tempat ini tidak terlihat segelap yang Jo kira. Cahaya suram dari matahari yang tertutup awan mendung menerobos melalui celah di tirai jendela, menjatuhkan garis-garis sinar di sudut-sudut dapur.Nero bertingkah seolah ini adalah rumahnya. Dia mempersilakan Jo masuk, menyuruhnya duduk di kursi lalu Nero menutup pintu belakang. Dia mengintip sekali lagi ke jendela, memastikan tidak ada orang di luar sana. Setelah itu, dia duduk di seberang Jo, kedua tangan menumpu dagu.“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Nero. Dia bersikap seperti penegak hukum yang tengah menginterogasi tersangka.“Aku bisa menanyakan hal yang sama padamu,” balas Jo, yang tidak bisa menerima sikap Nero begitu saja. “Ini bukan rumahmu. Apa yang kau lakukan di sini?”Nero memalingkan wajah, berdeham, lalu kembali menatap Jo dengan pandangan tajamnya yang khas. “Ada tan
Matahari sudah mulai menghilang di garis batas cakrawala saat Jo dan Nero berlari keluar dari sarang Draconian itu. Mereka menyusuri jalan setapak keluar desa, dan di sepanjang pelarian itu Jo menyadari satu hal janggal yang sedari tadi mengganggunya. Tidak ada satupun manusia di sini. Daerah ini bagaikan daerah mati yang sudah bertahun-tahun ditinggal para penduduknya. Hutan-hutan di sekeliling pemukiman begitu rapat namun sunyi. Tak ada satupun lampu yang menyala dari rumah manapun. Semuanya gelap dan mencekam.Sepertinya Nero punya pemikiran yang sama dengannya. Karena ketika mereka memperlambat langkah dan memastikan bahwa para Draconian itu tak bisa mengikuti mereka, Nero memandang ke sekeliling dan berkata, “Tak ada orang lain selain kita di sini.”“Yeah. Apa menurutmu—““Ya. Kemungkinan besar Draconian telah menghabisi para pendduduk di sini. Dan sekarang rumah-rumah itu menjadi sarang mereka.”Meskipun mer
Ini hari yang membosankan, seperti biasanya. Tak ada yang bisa Gemma lakukan selain duduk di sofa yang menghadap ke jendela, memandangi jalan lengang yang terik. Setelah memasak bersama Lysis, membersihkan rumah, memeriksa kotak surat yang tentu saja kosong, Gemma duduk di titik favoritnya di dalam rumah, yang konon adalah tempat favorit Michael saat Gemma tak ada di sini. Lysis menonton televisi seperti biasa, mencoba mengikuti perkembangan zaman dan menyesuaikan gaya hidup dengan manusia. Sebagai alien, masih banyak hal yang membuatnya bingung dan canggung. Seperti fakta bahwa wanita mengandung dan mengeluarkan anak. Ya, dia menggunakan kata mengeluarkan, bukan melahirkan.Saat Gemma bertanya bagaimana cara bangsa Archturian berkembang biak, Lysis memberi jawaban samar soal bintang bernyawa dan jiwa tanpa raga. Lain kali Gemma akan meminta penjelasan yang lebih rinci soal itu.“Tuan putri,” panggil Lysis. Walaupun sudah berulang kali Gemma menyuruhnya men
Tembakan peringatan terdengar dari luar gudang, disusul teriakan yang memerintahkan semua orang yang bersembunyi untuk keluar.“Sialan,” umpat Lysis. Satu tangannya memegang pistol yang menggantung di samping tubuh, sementara matanya menatap cemas ke arah Gemma yang berdiri di seberangnya. Mereka berdua tengah bersembunyi di balik tumpukan kotak-kotak kayu berisi senjata ilegal. “Seharusnya kita di rumah saja! Aku tidak peduli jika kita mati kelaparan ketimbang harus berada dalam situasi seperti ini!” desisnya dalam suara yang melengking.Gemma hanya bisa memelototi Lysis dan memberi isyarat agar dia diam dengan menggerakkan tangan di depan leher, seperti hendak memotongnya.“Tutup mulutmu!” pekik salah seorang rekan kerja mereka, yang bersembunyi di sebelah Gemma. “Bos sudah menyiapkan jalan keluar rahasia jika terjadi sesuatu seperti ini.”“Lalu kenapa kita ada di sini dan bukannya kabur bersama dia?
Gemma menurunkan kedua tangannya. Hal yang paling ia takutkan terjadi. Mengapa dari semua prajurit Archturian, orang yang harus bertemu dengannya adalah Jo? Gemma tak akan menyalahkan Jo jika dia merasa kesal dan menembak kaki Gemma.“Aku bisa menjelaskan,” bisik Gemma. Dia melirik cemas ke arah prajurit lain yang berada di belakang Jo. Oh, bagus sekali. Itu Nero.“Jangan sekarang,” kata Jo. Ia terdengar kesal dan Gemma bisa mengerti hal itu. Bukan kali ini saja Jo mendapati Gemma membuat masalah, kan?Jo memberi isyarat agar Gemma menutup mulut, kemudian dia mengerling melewati pundak Gemma. Ada seseorang di belakang mereka. Detik berikutnya Gemma mendengar desing peluru melintas di samping lengannya. Hampir saja Gemma berteriak saat timah panas itu menembus lengan Jo. Darah mengalir dengan cepat membasahi seragam tempurnya. Namun luka itu tak lantas membuat Jo ketakutan, dia mendorong Gemma ke samping dan memberikan tembakan balasan. Ge
“Senjata,” bisik Gemma sambil memukul lengan Nero, “berikan aku senjata. Einar atau Alfhild.” “Aku hanya membawa Einar.” Mereka berdiri berdampingan dalam kegelapan. Tempat ini adalah loteng dari gudang tua yang terbengkalai dan Gemma sama sekali tidak memperhitungkan kalau dia bakal bertemu Draconian di sini. Seharusnya dia membawa Einarnya. Einar milik Nero yang dulu dia berikan pada Gemma, kini hanya menjadi pajangan berdebu di atas lemari pakaiannya. Nero mencabut Einar dari pinggang dan geraman-geraman dari makhluk berbau busuk itu semakin keras. Kurang dari sedetik kemudian, geraman berubah menjadi raungan dan langkah-langkah berat mendekat dengan cepat. Gemma menunduk saat Nero menyabetkan Einar melewati atas kepala Gemma dan terdengar lolongan panjang sebelum suara ledakan yang memekakkan telinga. Gemma mengumpat saat serpihan-serpihan tubuh Draconian jatuh menimpa kepalanya. Gemma menjulurkan kaki dan menendang tulang kering Draconian y
Cuaca bulan Juli yang hangat tak lantas membuat Gemma tidak menggigil saat merayap keluar dari sungai. Karena ini kota Fiend, Gemma hapal setiap jengkal jalan di sini. Tanpa banyak berpikir dia berjalan menelusuri trotoar rusak, menjauh dari pinggiran kota. Tubuhnya yang basah meneteskan air di sepanjang jalan. Ia ingin memeluk dirinya sendiri, tetapi kedua tangannya tak sanggup melakukan itu. Setelah keluar dari sungai, rasa perih di telapak tangannya seolah minta diperhatikan. Luka itu, ditambah dengan pakaiannya yang basah, membuat sekujur tubuhnya mati rasa.Gemma berjalan menunduk melewati gang-gang sempit yang sepi guna menghindari tatapan penasaran dari orang lain. tangannya menggantung di samping tubuh, sementara bibirnya bergetar pelan menahan gigil. Gemma bisa merasakan kehadiran Nero yang mengikutinya seperti bayangan. Tatapan mata tajamnya seolah menusuk bagian belakang kepala Gemma. Saat sudah hampir sampai di rumah, dia berbalik dan mendapati Nero berdiri sekita
Jo, masih mengenakan pakaian tempur tanpa helm, berhenti di samping Lysis dan ikut melongo. Wajahnya memerah dengan cepat dan kedua tangannya mengepal di samping tubuh.“Apa yang kau lakukan?!” Dia bergegas menghampiri Nero dan Gemma dan mengarahkan kaki kanannya sekuat tenaga ke wajah Nero.“Tunggu, Jo!” teriak Gemma, tetapi Jo tidak mendengarkannya.Dia menendang wajah Nero dan jika saja itu bukan Nero pasti tulang pipinya sudah retak sekarang. Nero mengangkat satu tangan dan menangkap ujung sepatu Jo sementara tangannya yang lain menahan tubuh agar tidak menindih Gemma. Dengan kekuatannya, Nero memuntir kaki Jo dan membuat Jo kehilangan keseimbangan. Pertarungan ini akan menjadi kemenangan mudah kalau saja Jo bukanlah prajurit terbaik kedua Archturian. Dia menggunakan cengkeraman Nero sebagai tumpuan dan saat Nero memutarnya, Jo melompat dan ikut memutar tubuhnya. Dia mengarahkan kaki kiri ke sisi wajah Nero. Tendangan itu sekali lagi