Matahari sudah mulai menghilang di garis batas cakrawala saat Jo dan Nero berlari keluar dari sarang Draconian itu. Mereka menyusuri jalan setapak keluar desa, dan di sepanjang pelarian itu Jo menyadari satu hal janggal yang sedari tadi mengganggunya. Tidak ada satupun manusia di sini. Daerah ini bagaikan daerah mati yang sudah bertahun-tahun ditinggal para penduduknya. Hutan-hutan di sekeliling pemukiman begitu rapat namun sunyi. Tak ada satupun lampu yang menyala dari rumah manapun. Semuanya gelap dan mencekam.
Sepertinya Nero punya pemikiran yang sama dengannya. Karena ketika mereka memperlambat langkah dan memastikan bahwa para Draconian itu tak bisa mengikuti mereka, Nero memandang ke sekeliling dan berkata, “Tak ada orang lain selain kita di sini.”
“Yeah. Apa menurutmu—“
“Ya. Kemungkinan besar Draconian telah menghabisi para pendduduk di sini. Dan sekarang rumah-rumah itu menjadi sarang mereka.”
Meskipun mereka berdua adalah prajurit-prajurit tangguh Archturian, mereka tetap tidak bisa melawan Draconian dalam jumlah yang terlalu banyak. Jika benar apa yang Nero katakan, bahwa wilayah ini telah menjadi sarang Draconian, maka Jo memperkirakan ada lebih dari seratus Draconian di sini.
Mereka harus cepat pergi dari sini.
“Semenjak pemerintah menyatakan bahwa Draconian telah musnah, banyak masyarakat yang melepas The Arc dari pintu-pintu rumah mereka,” kata Nero. “Seharusnya mereka tidak melakukan itu.”
“Pilihan apa yang mereka punya, Nero?” sahut Jo. “Jika mereka tetap memasangnya, pemerintah bisa berpikir kalau rakyatnya tidak percaya pada pemerintah. Dan hal itu bisa disamakan dengan pemberontakan.”
Ya. Pemberontakan kini merupakan sebuah isu sensitif yang terus menjadi perbincangan meskipun dua tahun telah berlalu.
Nero menggumamkan sesuatu lalu mengangguk. “Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, mengapa mereka ada di sini? Dan mengapa mereka tidak menyebar ke daerah di sekitar sini?”
“Sepertinya kita tidak bisa mengambil kesimpulan secepat itu,” sanggah Jo, “soal penyebarannya. Karena kasus kematian serupa terjadi di beberapa daerah lain juga. Ada kemungkinan hal yang sama terjadi di daerah tersebut.”
Nero hanya menggumam lagi, menyatakan persetujuannya pada perkataan Jo.
Nero mengeluarkan kunci mobil dari saku celana dan menuju ke sebuah Rubicon berwarna hitam yang terparkir di tepi jalan, sekitar satu kilometer dari wilayah yang mereka datangi.
“Ini mobil Archturian?” tanya Jo setelah melompat masuk ke dalam mobil dan memasang sabuk pengaman.
“Mobilku,” jawab Nero.
Jo mengumpat dalam hati. Sepertinya gaji di divisi Nero lebih besar dari gajinya sehingga Nero bisa membeli mobil ini. Nero menginjak pedal gas dan mesin mobil itu meraung sebelum meluncur pergi dari situ.
Tak ada pembicaraan selama sekitar sepuluh menit perjalanan. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Jo tengah memikirkan cara untuk memberitahu Gemma karena dia tidak mau mengabari hal sepenting ini pada Gemma melalui sambungan telepon. Jo harus menemuinya langsung, tetapi dia baru bisa pergi ke Fiend seminggu lagi, setelah perjalanan dinasnya selesai.
“Kau akan memberitahu Gemma?” Pertanyaan Nero membuat Jo tersentak. Apa manusia ini bisa membaca pikiran orang?
“Rencananya begitu,” jawab Jo.
“Biar aku saja.”
“Kau?” Suara Jo bergema dalam ketidakpercayaan. Dia tidak salah dengar, kan?
Pada awal kedekatan Nero dan Gemma, Jo sempat berpikir ada sesuatu di antara mereka. Dari cara Gemma memperhatikan dan membicarakan Nero, Gemma belum pernah bersikap seperti itu sebelumnya. Gemma bahkan tanpa sadar mengakui bahwa dia memiliki ketertarikan pada Nero. Jo sama sekali tidak masalah soal itu, soal Gemma yang jatuh cinta. Tetapi yang Jo permasalahkan adalah lelaki yang dicintainya. Meskipun Jo tahu sekelumit tentang asal-usul Nero dan fakta bahwa dia adalah murid ayahnya, Nero tetap menjadi seseorang yang misterius di mata Jo. Hal itu membuatnya gelisah. Dia takut Nero akan menyakiti Gemma.
Dan ketakutannya pun terjadi.
Tiba-tiba saja di suatu hari, Nero yang biasanya rutin datang ke rumah Gemma bersama dengan Sarah dan Jo, tiba-tiba menghilang. Jo mengira hal itu terjadi karena Jonah yang sudah tak lagi tinggal di situ, jadi tak ada alasan bagi Nero untuk datang berkunjung lagi. Namun lama-lama alasan itu terdengar tak masuk akal. Nero bisa saja datang ke rumah Gemma hanya karena ingin, kan? Tidak ada yang menghalanginya, dan dia tak perlu alasan. Tinggal katakan saja kalau dia ingin menemui Gemma. Ataukah alasan sesederhana itu bisa melukai harga dirinya sebagai laki-laki? Apakah dia sebenarnya memiliki perasaan tertentu pada Gemma, ataukah sikapnya selama ini hanya karena tugas yang Jonah berikan padanya?
Jo tidak akan pernah mengerti jalan pikiran Nero, karena mereka tidak dekat. Nero pun tak banyak bicara, bukan jenis orang yang bisa membuka diri pada siapapun.
“Apa yang akan kau katakan padanya?” tanya Jo kemudian. “Setelah beberapa bulan kau menghilang… tanpa kabar sama sekali. Kau pikir Gemma akan menerimamu begitu saja?”
“Kenapa tidak?” Nero mengerling kepada Jo. “Bukankah datang dan pergi adalah hal yang biasa dalam hidup? Aku bukan seseorang yang terikat kepadanya hingga tidak punya hak untuk menghilang dari hadapannya.”
Perkataan itu bagaikan sebuah tamparan yang menyadarkan Jo. Tentu saja. Kata-kata Nero terdengar menyebalkan dan brengsek, tapi perkataannya benar. Dia tak memiliki hubungan apapun dengan Gemma. Dan mungkin Gemma memiliki jalan pikiran yang sama dengan Nero, bahwa dia tak masalah dengan Nero yang menghilang begitu saja. Mungkin selama ini, Jo lah yang terlalu memikirkan ini semua.
Jo tidak bisa membalas perkataan Nero, jadi dia melanjutkan percakapan soal Gemma.
“Kau akan datang bersama Sarah?”
“Tidak.” Mobil berbelok ke kanan di ujung jalan, dan kini mereka melintasi jalan antar kota yang mengarah ke Meubena. “Ada sebuah tawaran yang ingin aku sampaikan pada Gemma. Dan tidak ada seorang pun yang boleh tahu.”
“Aku anggap aku adalah pengecualian,” timpal Jo. “Katakan padaku tawaran apa yang kau maksud.”
Nero mendenguskan tawa. “Kau terdengar seperti orangtua Gemma.” Namun dia tetap memberi penjelasan pada Jo. “Divisi kami tengah membentuk cabang divisi tak resmi untuk menyelidiki apa yang sebenarnya tengah terjadi di Elenio.”
Jo menggeser posisi duduk, tertarik dengan informasi yang Nero berikan. “Cabang divisi tak resmi? Bagaimana cara mereka beroperasi jika mereka tak resmi? Apakah mereka akan menyandang status sebagai bagian dari Archturian?”
“Tentu saja tidak,” Nero menggeleng. “Mereka seperti organisasi yang keberadaannya tidak akan diakui oleh Archturian. Jika terjadi sesuatu pada mereka, Archturian tidak akan ikut campur.”
“Dan kau akan menempatkan Gemma pada situasi seperti itu?” Jo mengepalkan tangan. “Kau menempatkannya dalam bahaya?”
Nero menoleh sejenak, rahangnya mengencang. “Sampai kapan kau akan bertingkah seperti itu?”
“Seperti apa?”
“Tidak memercayai kemampuan Gemma menghadapi bahaya.”
“Dia sudah tidak punya siapa-siapa! Bagaimana bisa aku membiarkannya menerjang bahaya dan menempatkannya pada posisi di mana nyawanya terancam! Dia adalah keluargaku!”
“Justru karena dia sudah tidak memiliki siapa-siapa, dia harus bisa menghadapi kejamnya dunia,” balas Nero, dingin. “Kau tak bisa terus-terusan menimang dan menyembunyikannya, mengasihaninya. Dia wanita yang kuat, Jo. Dia wanita yang hebat jika kau memberinya kesempatan untuk berkembang. Apakah kau sadar bahwa kau terdengar persis seperti Michael?”
“Tahu apa kau soal Michael?!”
“Girga Jonah banyak bercerita padaku soal hubungan Michael dan Gemma.”
Lagi-lagi dia menyombongkan hubungannya dengan ayah Jo?
Jo ingin memukul sesuatu karena rasa kesal yang sudah tak terbendung. Dia tidak tahu mengapa dia seperti ini. Mungkin karena semua kata-kata Nero ada benarnya.
“Terserah kau saja. Toh, keputusannya ada di tangan Gemma,” kata Jo kemudian. “Tapi ingat. Kalau sampai terjadi sesuatu pada Gemma, aku akan mencarimu dan memastikan kau mendapatkan pelajaran setimpal.”
Nero mendengus. “Silakan saja. Kau tahu dimana harus mencariku.”
*
Ini hari yang membosankan, seperti biasanya. Tak ada yang bisa Gemma lakukan selain duduk di sofa yang menghadap ke jendela, memandangi jalan lengang yang terik. Setelah memasak bersama Lysis, membersihkan rumah, memeriksa kotak surat yang tentu saja kosong, Gemma duduk di titik favoritnya di dalam rumah, yang konon adalah tempat favorit Michael saat Gemma tak ada di sini. Lysis menonton televisi seperti biasa, mencoba mengikuti perkembangan zaman dan menyesuaikan gaya hidup dengan manusia. Sebagai alien, masih banyak hal yang membuatnya bingung dan canggung. Seperti fakta bahwa wanita mengandung dan mengeluarkan anak. Ya, dia menggunakan kata mengeluarkan, bukan melahirkan.Saat Gemma bertanya bagaimana cara bangsa Archturian berkembang biak, Lysis memberi jawaban samar soal bintang bernyawa dan jiwa tanpa raga. Lain kali Gemma akan meminta penjelasan yang lebih rinci soal itu.“Tuan putri,” panggil Lysis. Walaupun sudah berulang kali Gemma menyuruhnya men
Tembakan peringatan terdengar dari luar gudang, disusul teriakan yang memerintahkan semua orang yang bersembunyi untuk keluar.“Sialan,” umpat Lysis. Satu tangannya memegang pistol yang menggantung di samping tubuh, sementara matanya menatap cemas ke arah Gemma yang berdiri di seberangnya. Mereka berdua tengah bersembunyi di balik tumpukan kotak-kotak kayu berisi senjata ilegal. “Seharusnya kita di rumah saja! Aku tidak peduli jika kita mati kelaparan ketimbang harus berada dalam situasi seperti ini!” desisnya dalam suara yang melengking.Gemma hanya bisa memelototi Lysis dan memberi isyarat agar dia diam dengan menggerakkan tangan di depan leher, seperti hendak memotongnya.“Tutup mulutmu!” pekik salah seorang rekan kerja mereka, yang bersembunyi di sebelah Gemma. “Bos sudah menyiapkan jalan keluar rahasia jika terjadi sesuatu seperti ini.”“Lalu kenapa kita ada di sini dan bukannya kabur bersama dia?
Gemma menurunkan kedua tangannya. Hal yang paling ia takutkan terjadi. Mengapa dari semua prajurit Archturian, orang yang harus bertemu dengannya adalah Jo? Gemma tak akan menyalahkan Jo jika dia merasa kesal dan menembak kaki Gemma.“Aku bisa menjelaskan,” bisik Gemma. Dia melirik cemas ke arah prajurit lain yang berada di belakang Jo. Oh, bagus sekali. Itu Nero.“Jangan sekarang,” kata Jo. Ia terdengar kesal dan Gemma bisa mengerti hal itu. Bukan kali ini saja Jo mendapati Gemma membuat masalah, kan?Jo memberi isyarat agar Gemma menutup mulut, kemudian dia mengerling melewati pundak Gemma. Ada seseorang di belakang mereka. Detik berikutnya Gemma mendengar desing peluru melintas di samping lengannya. Hampir saja Gemma berteriak saat timah panas itu menembus lengan Jo. Darah mengalir dengan cepat membasahi seragam tempurnya. Namun luka itu tak lantas membuat Jo ketakutan, dia mendorong Gemma ke samping dan memberikan tembakan balasan. Ge
“Senjata,” bisik Gemma sambil memukul lengan Nero, “berikan aku senjata. Einar atau Alfhild.” “Aku hanya membawa Einar.” Mereka berdiri berdampingan dalam kegelapan. Tempat ini adalah loteng dari gudang tua yang terbengkalai dan Gemma sama sekali tidak memperhitungkan kalau dia bakal bertemu Draconian di sini. Seharusnya dia membawa Einarnya. Einar milik Nero yang dulu dia berikan pada Gemma, kini hanya menjadi pajangan berdebu di atas lemari pakaiannya. Nero mencabut Einar dari pinggang dan geraman-geraman dari makhluk berbau busuk itu semakin keras. Kurang dari sedetik kemudian, geraman berubah menjadi raungan dan langkah-langkah berat mendekat dengan cepat. Gemma menunduk saat Nero menyabetkan Einar melewati atas kepala Gemma dan terdengar lolongan panjang sebelum suara ledakan yang memekakkan telinga. Gemma mengumpat saat serpihan-serpihan tubuh Draconian jatuh menimpa kepalanya. Gemma menjulurkan kaki dan menendang tulang kering Draconian y
Cuaca bulan Juli yang hangat tak lantas membuat Gemma tidak menggigil saat merayap keluar dari sungai. Karena ini kota Fiend, Gemma hapal setiap jengkal jalan di sini. Tanpa banyak berpikir dia berjalan menelusuri trotoar rusak, menjauh dari pinggiran kota. Tubuhnya yang basah meneteskan air di sepanjang jalan. Ia ingin memeluk dirinya sendiri, tetapi kedua tangannya tak sanggup melakukan itu. Setelah keluar dari sungai, rasa perih di telapak tangannya seolah minta diperhatikan. Luka itu, ditambah dengan pakaiannya yang basah, membuat sekujur tubuhnya mati rasa.Gemma berjalan menunduk melewati gang-gang sempit yang sepi guna menghindari tatapan penasaran dari orang lain. tangannya menggantung di samping tubuh, sementara bibirnya bergetar pelan menahan gigil. Gemma bisa merasakan kehadiran Nero yang mengikutinya seperti bayangan. Tatapan mata tajamnya seolah menusuk bagian belakang kepala Gemma. Saat sudah hampir sampai di rumah, dia berbalik dan mendapati Nero berdiri sekita
Jo, masih mengenakan pakaian tempur tanpa helm, berhenti di samping Lysis dan ikut melongo. Wajahnya memerah dengan cepat dan kedua tangannya mengepal di samping tubuh.“Apa yang kau lakukan?!” Dia bergegas menghampiri Nero dan Gemma dan mengarahkan kaki kanannya sekuat tenaga ke wajah Nero.“Tunggu, Jo!” teriak Gemma, tetapi Jo tidak mendengarkannya.Dia menendang wajah Nero dan jika saja itu bukan Nero pasti tulang pipinya sudah retak sekarang. Nero mengangkat satu tangan dan menangkap ujung sepatu Jo sementara tangannya yang lain menahan tubuh agar tidak menindih Gemma. Dengan kekuatannya, Nero memuntir kaki Jo dan membuat Jo kehilangan keseimbangan. Pertarungan ini akan menjadi kemenangan mudah kalau saja Jo bukanlah prajurit terbaik kedua Archturian. Dia menggunakan cengkeraman Nero sebagai tumpuan dan saat Nero memutarnya, Jo melompat dan ikut memutar tubuhnya. Dia mengarahkan kaki kiri ke sisi wajah Nero. Tendangan itu sekali lagi
Gemma berlari keluar dari rumah, seperti biasanya. Dia selalu menghindar dari masalah, dari pembicaraan tentang perasaan yang membuat suasana tidak menyenangkan. Gemma tak pernah bisa menghadapi semua itu. Dia selalu memilih lari, sama seperti ketika ayahnya mengungkapkan rahasia pahit tentang dirinya. Kali ini pun Gemma berharap melarikan diri akan mampu menyelesaikan masalah.Gemma menuruni tangga dan berjalan cepat menelusuri trotoar, tetapi dia tak bisa pergi jauh. Langkahnya terhenti saat dia melihat dua orang, pria dan wanita, berdiri menghalangi jalannya.“Gemma Ammaire?” panggil salah seorang dari mereka. Seorang pria berbadan besar dengan kepala yang bersih tanpa rambut.Gemma tak menjawab sapaan lelaki itu. Dia hanya berdiri diam sembari menatap tajam dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana.Kali ini giliran si wanita yang angkat bicara. Wanita itu berbadan gempal dan berwajah garang, dengan rambut yang diikat kencang ke belakang. “Kami harus membawamu.”Gemma menelen
“Kalian….” Jonah menggelengkan kepala tak percaya sembari menekan pelipis. “Bukankah sudah kukatakan untuk bicara baik-baik padanya? Kenapa kalian malah menggunakan pistol kejut??”“Dia… melawan kami,” jawab Clay, satu dari dua anggota divisi tak resmi yang Jonah utus untuk menjemput Gemma dan membawanya ke markas divisi Intelijen.“Tidak. Mereka yang memulai pertarungan terlebih dulu,” sahut Jo.Jonah mengerling kepada Jo yang duduk di kursi yang ada di ujung meja kerja, kemudian menghela napas panjang. Anak buahnya bertarung dengan anaknya. Jonah tak tahu siapa yang harus ia bela sekarang. Tugas sederhana ini justru membuat kepalanya pening. Apalagi mereka semua sekarang dalam kondisi babak belur.“Kau tak ada di sana, bagaimana kau bisa bicara seperti itu??” geram Clay.“Aku mengenal Gemma. Dia tak akan memukul orang begitu saja jika tak ada pemicunya,” jawab Jo, tajam dan mantap.“Kita tunggu Gemma terlebih dahulu,” potong Jonah. Dia tak mau adu mulut ini menjadi berkepanjangan da