Nero dan Jo duduk di kursi di sisi konter dapur. Setelah masuk ke dalam rumah, tempat ini tidak terlihat segelap yang Jo kira. Cahaya suram dari matahari yang tertutup awan mendung menerobos melalui celah di tirai jendela, menjatuhkan garis-garis sinar di sudut-sudut dapur.
Nero bertingkah seolah ini adalah rumahnya. Dia mempersilakan Jo masuk, menyuruhnya duduk di kursi lalu Nero menutup pintu belakang. Dia mengintip sekali lagi ke jendela, memastikan tidak ada orang di luar sana. Setelah itu, dia duduk di seberang Jo, kedua tangan menumpu dagu.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Nero. Dia bersikap seperti penegak hukum yang tengah menginterogasi tersangka.
“Aku bisa menanyakan hal yang sama padamu,” balas Jo, yang tidak bisa menerima sikap Nero begitu saja. “Ini bukan rumahmu. Apa yang kau lakukan di sini?”
Nero memalingkan wajah, berdeham, lalu kembali menatap Jo dengan pandangan tajamnya yang khas. “Ada tanda kehadiran Draconian di sini.” Dia menyugar rambut dan mendesah. Ada jejak keraguan pada tatapannya sebelum dia meneruskan kata-katanya. “Kematian seorang pria, pemilik rumah ini dinilai tak wajar. Kau pasti sudah membaca beritanya di koran. Dokter dan kepolisian setempat menyatakan orang itu meninggal karena penyakit langka yang belum pernah ada sebelumnya. Tetapi ada hal yang tidak dituliskan dalam berita. Dan hal itu yang membawaku kemari.”
“Apa?”
“Keluarga pria ini menghilang di hari yang sama dengan kematiannya. Hanya menyisakan anjing mereka. Namun seperti yang kau lihat tadi, anjing itu sudah—“
“Mati.”
“Yeah.”
Jadi Archturian sudah mencurigai hal ini juga? Atau mungkin asumsi itu hanya terbatas pada divisi Nero saja? Karena Jo tidak mendengar kejanggalan apapun pada kasus ini. Jika saja Gemma tidak membahasnya, Jo tak akan menyadarinya.
“Sekarang jawab pertanyaanku,” ucap Nero, cepat. “Apa yang kau lakukan di sini?”
Jo menelan ludah. Dia harus menjawabnya karena Nero sudah menjawab pertanyaannya. Namun itu berarti dia bakal melanggar sumpahnya kepada Gemma. Gemma bakal marah besar kalau tahu hal itu. Sial.
“Aku…,” Jo memutar otak, mencari alasan yang masuk akal tetapi tidak menemukannya. Akhirnya dia memberikan kebohongan terbaik yang bisa dia katakan. “Divisiku menyuruhku kemari untuk menyelidiki kematian janggal di tempat ini.”
“Kematian aktivis anti pemberontakan itu?” tebak Nero.
“Ya.”
“Bukankah kejadiannya di sebelah selatan Noane? Bukan di sini. Dan ini juga bukan rumahnya.”
Sialan. Jo hampir saja lupa betapa hebat prajurit di hadapannya ini. Bukan hanya soal bertarung, Nero juga terkenal akan kemampuannya menginterogasi, bernegosiasi, dan mendesak lawan bicara untuk berkata jujur. Seharusnya Jo bisa mengimbanginya, membuat karangan soal bagaimana kematian aktivis itu ternyata terhubung dengan kejadian di rumah ini. Namun Jo benar-benar tidak menyiapkan diri untuk kebohongan apapun, dan lagi kehadiran Nero saja sudah membuat rasa percaya dirinya menciut. Yeah, silakan bilang Jo pecundang, tetapi itulah yang dia rasakan terhadap Nero.
Rasa kagum Jo pada Nero sama besarnya dengan rasa bencinya terhadap pemuda ini. Apalagi jika ia teringat kalau Nero adalah murid ayahnya, dada Jo kembali merasa sesak. Namun ini bukan saatnya untuk mengingat hal menyebalkan seperti itu.
“Begini,” Jo menggosok tangan, berusaha mengenyahkan kegelisahan. “Seseorang memintaku untuk menyelidiki hal yang sama denganmu.” Jo mengatakannya dalam satu rentetan kata yang cepat sembari menahan napas. Ketika ia mengembuskan napasnya, Nero berkata, “Gemma?” dan tebakan Nero, yang lagi-lagi tepat sasaran, membuat embusan napas Jo berubah menjadi batuk.
Jo terbatuk sampai tenggorokannya terasa sakit. Dia tidak mengiyakan tebakan Nero, tetapi sepertinya Nero bisa mengambil kesimpulan dari reaksi Jo.
“Bagaimana kabarnya?”
Pertanyaan Nero membuat emosi Jo langsung berbalik. Ia yang tadinya merasa gugup karena intimidasi Nero kini menjadi marah karena pertanyaan itu.
“Kenapa kau tidak datang ke Fiend dan tanyakan sendiri padanya?” tukas Jo ketus. Ia memajukan badan sembari menggertakkan gigi. “Kapan terakhir kali kau datang berkunjung? Hanya untuk sekadar mengetahui kondisinya?” Jo mengerling ke lengan Nero, melihat jaket yang Nero kenakan. Itu jaket pemberian Gemma, dan bahkan Gemma belum mengembalikan uang yang ia pinjam dari Jo untuk membeli jaket itu.
Seketika itu Jo menjadi muak pada Nero. “Aku pikir kau peduli pada Gemma.”
“Ya. Aku peduli padanya.”
“Omong kosong,” hardik Jo.
“Aku peduli padanya, tetapi keadaan memaksaku untuk bertindak sebaliknya.”
Jo mengepalkan tangan. “Tutup mulutmu atau aku akan—“
Jo berhenti berbicara, dan sikap Nero juga langsung berubah waspada. Satu tangan Jo sudah terangkat, hendak memukul Nero, sementara tangannya yang lain mencengkeram kerah jaket Nero. Mereka berdua merasakan kehadiran lain di rumah ini, yang bersembunyi dalam kegelapan di ujung lorong.
“Kau sudah menggeledah rumah ini?” tanya Jo dalam bisikan.
Nero menggeleng. “Aku belum lama datang. Kira-kira lima menit sebelum kemunculanmu.”
“Sialan,” gumam Jo pelan. Dia melepaskan cengkeramannya dari Nero, lalu terdengar suara geraman.
“Apa ini seperti yang aku pikirkan?” ucap Jo pada dirinya sendiri. Dia mengeluarkan Alfhild dari balik seragam dan Nero mencabut pistol miliknya dari sarung pistol di pinggang.
“Draconian,” bisik Nero. “Mereka ada di sini.”
“Anjing di luar itu… di halaman belakang—“
“Ya. Itu ulah mereka.”
“Bagaimana bisa kita duduk santai di dapur rumah yang menjadi sarang Draconian?” Jo mengumpat pelan dan segera bangkit dari kursi, begitu juga dengan Nero.
Bukan. Bukan itu pertanyaan yang tepat sekarang. Pertanyaannya adalah, bagaimana bisa masih ada Draconian di Elenio? Bukankah kematian Lanaya waktu itu memusnahkan semua Draconian yang ada?
“Aku berencana menggeledah rumah ini setelah menginterogasimu,” terang Nero sembari memicingkan mata untuk melihat lebih jelas dalam kegelapan yang semakin pekat. Sore perlahan berganti malam, dan dengan mendung yang tak kunjung usai, kegelapan datang lebih cepat dari yang seharusnya.
“Sialan, Nero. Tidak usah sok menjadi bos di sini. Kedudukan kita sama, kau tak berhak menginterogasiku.” Jo berdecak kesal sembari mengerling ke arah lorong yang gelap di luar dapur.
Geraman rendah semakin terdengar jelas. Nero melangkah maju terlebih dahulu menuju ke sumber suara itu, dan Jo menyusul di belakangnya. Tepat saat mereka mencapai pintu dapur, Draconian menerjang Nero, menyabetkan cakarnya dan mengenai lengan Nero. Jo menembakkan Alfhild, menyasar kepala Draconian itu, dan Nero yang berhasil menangkis serangan mengarahkan Alfhildnya ke jantung Draconian. Monster itu meraung dan jatuh ke belakang. Tubuh batunya yang berbau busuk mengejang hebat sebelum meledak menjadi serpihan-serpihan kecil.
Jo tak henti-hentinya bersumpah serapah saat Draconian terus muncul dari kegelapan. Nero menembakkan Alfhild, satu peluru untuk satu Draconian. Semua tembakannya tepat mengenai titik vital, menumbangkan Draconian-draconian itu kurang dari satu menit.
Mereka sudah cukup lama tidak bertemu, dan Nero semakin hebat saja. Argh. Jo benci karena tanpa sadar dirinya telah memuji Nero.
Jo terlalu sibuk dengan pikirannya hingga ia tidak sadar ada Draconian yang menerjang ke arahnya.
“Jonathan!” teriakan Nero membahana di dapur, tetapi terlambat. Cakar Draconian itu mendarat di wajah Jo.
Jo mengerang hebat, terhuyung mundur hingga punggungnya menabrak konter dapur. Sialan. Ternyata hanya sampai di sini perjalanan hidupnya. Bagaimana dengan Gemma? Apa dia bisa hidup tanpa dirinya?
Lalu… bagaimana dengan Jonah? Akankah dia menangisi kematian Jo? Atau selama ini Jonah hanya menganggapnya sebagai satu dari sekian ribu prajurit Archturian, yang kematiannya hanya menjadi penghias sudut pengumuman di koran pagi hari, dan namanya tenggelam dalam daftar para prajurit yang telah gugur di medan perang?
Darah mengalir di sisi wajah Jo, membasahi pelipis dan pipinya, membanjiri seragamnya. Jo mendengar suara tembakan dan Draconian yang menyerangnya meledak menjadi serpihan.
“Jo?”
Suara Nero menariknya dari pikiran kematian. Jo mengerjap, merasakan perih di kening dan sebelah penglihatannya kabur karena darah masuk ke matanya.
Tunggu dulu. Darah?
Seharusnya cakar Draconian tidak memberikan luka berdarah, tetapi luka kematian.
Jo masih hidup? Bagaimana bisa?
Nero menghampirinya, mencengkeram pundaknya. “Kau terluka. Kita harus pergi dari sini,” katanya.
Jo mengangguk, masih bingung dengan semua kejadian ini. Hingga dia menyadari apa yang membuatnya tetap hidup.
Anugerah dari Lanaya.
*
Matahari sudah mulai menghilang di garis batas cakrawala saat Jo dan Nero berlari keluar dari sarang Draconian itu. Mereka menyusuri jalan setapak keluar desa, dan di sepanjang pelarian itu Jo menyadari satu hal janggal yang sedari tadi mengganggunya. Tidak ada satupun manusia di sini. Daerah ini bagaikan daerah mati yang sudah bertahun-tahun ditinggal para penduduknya. Hutan-hutan di sekeliling pemukiman begitu rapat namun sunyi. Tak ada satupun lampu yang menyala dari rumah manapun. Semuanya gelap dan mencekam.Sepertinya Nero punya pemikiran yang sama dengannya. Karena ketika mereka memperlambat langkah dan memastikan bahwa para Draconian itu tak bisa mengikuti mereka, Nero memandang ke sekeliling dan berkata, “Tak ada orang lain selain kita di sini.”“Yeah. Apa menurutmu—““Ya. Kemungkinan besar Draconian telah menghabisi para pendduduk di sini. Dan sekarang rumah-rumah itu menjadi sarang mereka.”Meskipun mer
Ini hari yang membosankan, seperti biasanya. Tak ada yang bisa Gemma lakukan selain duduk di sofa yang menghadap ke jendela, memandangi jalan lengang yang terik. Setelah memasak bersama Lysis, membersihkan rumah, memeriksa kotak surat yang tentu saja kosong, Gemma duduk di titik favoritnya di dalam rumah, yang konon adalah tempat favorit Michael saat Gemma tak ada di sini. Lysis menonton televisi seperti biasa, mencoba mengikuti perkembangan zaman dan menyesuaikan gaya hidup dengan manusia. Sebagai alien, masih banyak hal yang membuatnya bingung dan canggung. Seperti fakta bahwa wanita mengandung dan mengeluarkan anak. Ya, dia menggunakan kata mengeluarkan, bukan melahirkan.Saat Gemma bertanya bagaimana cara bangsa Archturian berkembang biak, Lysis memberi jawaban samar soal bintang bernyawa dan jiwa tanpa raga. Lain kali Gemma akan meminta penjelasan yang lebih rinci soal itu.“Tuan putri,” panggil Lysis. Walaupun sudah berulang kali Gemma menyuruhnya men
Tembakan peringatan terdengar dari luar gudang, disusul teriakan yang memerintahkan semua orang yang bersembunyi untuk keluar.“Sialan,” umpat Lysis. Satu tangannya memegang pistol yang menggantung di samping tubuh, sementara matanya menatap cemas ke arah Gemma yang berdiri di seberangnya. Mereka berdua tengah bersembunyi di balik tumpukan kotak-kotak kayu berisi senjata ilegal. “Seharusnya kita di rumah saja! Aku tidak peduli jika kita mati kelaparan ketimbang harus berada dalam situasi seperti ini!” desisnya dalam suara yang melengking.Gemma hanya bisa memelototi Lysis dan memberi isyarat agar dia diam dengan menggerakkan tangan di depan leher, seperti hendak memotongnya.“Tutup mulutmu!” pekik salah seorang rekan kerja mereka, yang bersembunyi di sebelah Gemma. “Bos sudah menyiapkan jalan keluar rahasia jika terjadi sesuatu seperti ini.”“Lalu kenapa kita ada di sini dan bukannya kabur bersama dia?
Gemma menurunkan kedua tangannya. Hal yang paling ia takutkan terjadi. Mengapa dari semua prajurit Archturian, orang yang harus bertemu dengannya adalah Jo? Gemma tak akan menyalahkan Jo jika dia merasa kesal dan menembak kaki Gemma.“Aku bisa menjelaskan,” bisik Gemma. Dia melirik cemas ke arah prajurit lain yang berada di belakang Jo. Oh, bagus sekali. Itu Nero.“Jangan sekarang,” kata Jo. Ia terdengar kesal dan Gemma bisa mengerti hal itu. Bukan kali ini saja Jo mendapati Gemma membuat masalah, kan?Jo memberi isyarat agar Gemma menutup mulut, kemudian dia mengerling melewati pundak Gemma. Ada seseorang di belakang mereka. Detik berikutnya Gemma mendengar desing peluru melintas di samping lengannya. Hampir saja Gemma berteriak saat timah panas itu menembus lengan Jo. Darah mengalir dengan cepat membasahi seragam tempurnya. Namun luka itu tak lantas membuat Jo ketakutan, dia mendorong Gemma ke samping dan memberikan tembakan balasan. Ge
“Senjata,” bisik Gemma sambil memukul lengan Nero, “berikan aku senjata. Einar atau Alfhild.” “Aku hanya membawa Einar.” Mereka berdiri berdampingan dalam kegelapan. Tempat ini adalah loteng dari gudang tua yang terbengkalai dan Gemma sama sekali tidak memperhitungkan kalau dia bakal bertemu Draconian di sini. Seharusnya dia membawa Einarnya. Einar milik Nero yang dulu dia berikan pada Gemma, kini hanya menjadi pajangan berdebu di atas lemari pakaiannya. Nero mencabut Einar dari pinggang dan geraman-geraman dari makhluk berbau busuk itu semakin keras. Kurang dari sedetik kemudian, geraman berubah menjadi raungan dan langkah-langkah berat mendekat dengan cepat. Gemma menunduk saat Nero menyabetkan Einar melewati atas kepala Gemma dan terdengar lolongan panjang sebelum suara ledakan yang memekakkan telinga. Gemma mengumpat saat serpihan-serpihan tubuh Draconian jatuh menimpa kepalanya. Gemma menjulurkan kaki dan menendang tulang kering Draconian y
Cuaca bulan Juli yang hangat tak lantas membuat Gemma tidak menggigil saat merayap keluar dari sungai. Karena ini kota Fiend, Gemma hapal setiap jengkal jalan di sini. Tanpa banyak berpikir dia berjalan menelusuri trotoar rusak, menjauh dari pinggiran kota. Tubuhnya yang basah meneteskan air di sepanjang jalan. Ia ingin memeluk dirinya sendiri, tetapi kedua tangannya tak sanggup melakukan itu. Setelah keluar dari sungai, rasa perih di telapak tangannya seolah minta diperhatikan. Luka itu, ditambah dengan pakaiannya yang basah, membuat sekujur tubuhnya mati rasa.Gemma berjalan menunduk melewati gang-gang sempit yang sepi guna menghindari tatapan penasaran dari orang lain. tangannya menggantung di samping tubuh, sementara bibirnya bergetar pelan menahan gigil. Gemma bisa merasakan kehadiran Nero yang mengikutinya seperti bayangan. Tatapan mata tajamnya seolah menusuk bagian belakang kepala Gemma. Saat sudah hampir sampai di rumah, dia berbalik dan mendapati Nero berdiri sekita
Jo, masih mengenakan pakaian tempur tanpa helm, berhenti di samping Lysis dan ikut melongo. Wajahnya memerah dengan cepat dan kedua tangannya mengepal di samping tubuh.“Apa yang kau lakukan?!” Dia bergegas menghampiri Nero dan Gemma dan mengarahkan kaki kanannya sekuat tenaga ke wajah Nero.“Tunggu, Jo!” teriak Gemma, tetapi Jo tidak mendengarkannya.Dia menendang wajah Nero dan jika saja itu bukan Nero pasti tulang pipinya sudah retak sekarang. Nero mengangkat satu tangan dan menangkap ujung sepatu Jo sementara tangannya yang lain menahan tubuh agar tidak menindih Gemma. Dengan kekuatannya, Nero memuntir kaki Jo dan membuat Jo kehilangan keseimbangan. Pertarungan ini akan menjadi kemenangan mudah kalau saja Jo bukanlah prajurit terbaik kedua Archturian. Dia menggunakan cengkeraman Nero sebagai tumpuan dan saat Nero memutarnya, Jo melompat dan ikut memutar tubuhnya. Dia mengarahkan kaki kiri ke sisi wajah Nero. Tendangan itu sekali lagi
Gemma berlari keluar dari rumah, seperti biasanya. Dia selalu menghindar dari masalah, dari pembicaraan tentang perasaan yang membuat suasana tidak menyenangkan. Gemma tak pernah bisa menghadapi semua itu. Dia selalu memilih lari, sama seperti ketika ayahnya mengungkapkan rahasia pahit tentang dirinya. Kali ini pun Gemma berharap melarikan diri akan mampu menyelesaikan masalah.Gemma menuruni tangga dan berjalan cepat menelusuri trotoar, tetapi dia tak bisa pergi jauh. Langkahnya terhenti saat dia melihat dua orang, pria dan wanita, berdiri menghalangi jalannya.“Gemma Ammaire?” panggil salah seorang dari mereka. Seorang pria berbadan besar dengan kepala yang bersih tanpa rambut.Gemma tak menjawab sapaan lelaki itu. Dia hanya berdiri diam sembari menatap tajam dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana.Kali ini giliran si wanita yang angkat bicara. Wanita itu berbadan gempal dan berwajah garang, dengan rambut yang diikat kencang ke belakang. “Kami harus membawamu.”Gemma menelen