Ini hari yang membosankan, seperti biasanya. Tak ada yang bisa Gemma lakukan selain duduk di sofa yang menghadap ke jendela, memandangi jalan lengang yang terik. Setelah memasak bersama Lysis, membersihkan rumah, memeriksa kotak surat yang tentu saja kosong, Gemma duduk di titik favoritnya di dalam rumah, yang konon adalah tempat favorit Michael saat Gemma tak ada di sini. Lysis menonton televisi seperti biasa, mencoba mengikuti perkembangan zaman dan menyesuaikan gaya hidup dengan manusia. Sebagai alien, masih banyak hal yang membuatnya bingung dan canggung. Seperti fakta bahwa wanita mengandung dan mengeluarkan anak. Ya, dia menggunakan kata mengeluarkan, bukan melahirkan.
Saat Gemma bertanya bagaimana cara bangsa Archturian berkembang biak, Lysis memberi jawaban samar soal bintang bernyawa dan jiwa tanpa raga. Lain kali Gemma akan meminta penjelasan yang lebih rinci soal itu.
“Tuan putri,” panggil Lysis. Walaupun sudah berulang kali Gemma menyuruhnya menghentikan panggilan itu, tetapi kebiasaan ribuan tahun Lysis saat memanggil Lanaya sepertinya tak bisa dihilangkan.
“Ya?” sahut Gemma, malas. Dia masih memandang ke jalan.
“Apakah aku sudah mengatakan padamu bahwa uang yang kau berikan padaku sudah hampir habis?”
Itu berita buruk di siang hari. Gemma bergeming di sofa, tetapi tiba-tiba saja pikirannya terasa penuh. Dari mana lagi mereka akan mendapatkan uang untuk hidup? Mungkin Gemma bisa mulai mencari pekerjaan yang tidak melibatkan aktivitas rumah tangga seperti mencuci piring atau memasak. Karena dia sudah mencoba beberapa pekerjaan yang berkaitan dengan hal tersebut dan tidak ada yang berakhir bahagia. Sepertinya Gemma pernah melihat lowongan untuk menjadi pengawal pribadi—
Pikiran Gemma tiba-tiba berhenti bekerja ketika melihat sosok yang melintas tepat di trotoar di luar jendela. Gemma langsung menurunkan kaki yang sedari tadi bersila di atas sofa. Dia bangkit untuk menempelkan wajah ke jendela, memastikan bahwa dia tidak salah lihat. Itu Nero. Dan dia berbelok ke tangga di depan pintu rumah Gemma.
Satu detik kemudian terdengar suara ketukan di pintu depan. Lysis menengok dan mengernyit lalu bangkit berdiri untuk membuka pintu. Sementara Gemma hanya berdiri seperti patung di dekat jendela, menunggu kemunculan Nero.
Sedang apa dia di sini? Gemma kira pertemanan mereka sudah selesai semenjak Nero dan Sarah tidak pernah mengunjunginya lagi. Gemma tidak masalah dengan itu. Mereka punya kehidupan sendiri dan Gemma bukanlah bagian dari tanggung jawab mereka. Namun sepertinya Jo tidak sepemahaman dengan Gemma soal itu.
Gemma mendengar suara Lysis dan Nero yang bercakap-cakap. Nero menanyakan kabar Lysis, sementara Lysis berkata bahwa Nero tidak bisa ikut makan siang bersama mereka, karena bahan makanannya hanya cukup untuk dua orang.
Informasi yang sangat bagus, Lysis! ucap Gemma dalam hati. Sebagai teman serumah, Lysis memang sangat pandai mempermalukan Gemma.
“Tidak, aku tidak berniat untuk makan sian bersama kalian,” tukas Nero dengan sopan terhadap tawaran Lysis. “Apa Gemma ada di rumah?”
“Ya, tentu saja. Memang dia mau kemana? Dia kan tidak punya pekerjaan,” balas Lysis.
Lysis sialan. Mengapa sedari tadi dia mengatakan hal yang tidak perlu? gerutu Gemma sembari mengepalkan tangan. Jika ini yang Lysis dapat dari menonton televisi, Gemma harus menyuruh Lysis untuk belajar dari sumber lain.
“Ayo masuk,” ajak Lysis kemudian.
Terdengar suara langkah kaki menuju ke ruang keluarga dan Gemma terperanjat saat berhadapan langsung dengan Nero. Sampai sekarang Gemma masih tidak mengerti mengapa dia selalu merasa canggung di sekitar Nero. Gemma ingin bisa bersikap biasa seperti saat dia bersama Jo. Namun walau sudah mencobanya selama dua tahun ini, Gemma tetap tak bisa melakukannya.
Apalagi saat Gemma melihat Nero memakai jaket pemberiannya, yang separuh uang pembayarannya merupakan hasil berhutang pada Jo.
“Hai,” sapa Nero, tanpa senyum, tapi suaranya terdengar ramah.
“Hai,” balas Gemma. Suaranya terdengar seperti kuda meringkik. Gemma berdeham lalu mengulangi sapaannya. Yang ini terdengar lebih baik.
“Aku datang menggantikan Jonathan,” ucap Nero. “Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”
“Apakah aku boleh ikut dalam pembicaraan?”
Nero melirik ke arah Lysis, dan Gemma tak bisa tidak memutar mata.
“Tentu saja,” jawab Nero.
Gemma mempersilakan Nero duduk di satu dari dua sofa di ruang keluarga. Gemma duduk di seberang Nero, sementara Lysis duduk di sofa panjang di depan televisi, dengan tubuh menghadap ke ruang keluarga.
“Ada apa?”
“Kami bertemu Draconian.”
Itu berita yang mengejutkan, tetapi di saat bersamaan tidak terlalu mengagetkan. Semua berkat analisis Lysis dan kumpulan artikel itu. Jadi memang, Draconian belum benar-benar musnah dari Elenio.
Yang lebih mengganggu Gemma adalah, kedatangan Nero ke sini untuk menyampaikan sebuah berita yang seharusnya menjadi rahasia di antara Gemma dan Jo, dan juga Lysis. Lalu kenapa Nero mengetahuinya? Apakah Jo melanggar sumpahnya pada Gemma?
“Aku bertemu dengan Jo di Noane,” terang Nero, seolah dia bisa membaca pikiran Gemma. “Aku sedang menyelidiki hal yang sama dengannya, karena ada kejanggalan di kasus kematian di sana. Kejanggalan yang sama seperti yang ditimbulkan oleh Draconian.”
Keterangan dari Nero membuat Gemma gelisah. Jadi Archturian sudah mengetahui hal ini? Gemma setengah berharap mereka belum tahu, karena dengan begitu dia bisa menyelidikinya dengan leluasa. Namun memang kemungkinannya kecil.
“Apa Archturian sudah mengetahui hal ini? Kemunculan Draconian?”
“Belum,” jawab Nero. “Aku belum melaporkan apapun kepada divisiku.”
Gemma mengetuk-ngetukkan jemari ke sandaran lengan, matanya bergerak-gerak memandangi lantai beralas karpet. Karpet di ruang keluarga sudah sangat usang. Kalau Gemma punya uang, dia akan menggantinya dengan yang baru. Entah kapan.
“Gemma.” Panggilan dari Nero mengembalikan Gemma dari pikiran soal karpet.
“Ya?”
“Aku datang ke sini bukan sekadar memberitahumu soal Draconian. Aku punya urusan lain.”
Tatapan mata Nero yang serius membuat jantung Gemma berdebar. Apakah ini normal?
“Apa?”
“Aku ingin menawarkan pekerjaan padamu.”
Mendengar kata pekerjaan membuat Gemma bersemangat. “Pekerjaan apa?” tanyanya, mencoba untuk tetap terdengar netral.
“Divisi intelijen Archturian membentuk divisi tak resmi—“
“Archturian?” potong Gemma. “Kau memintaku bekerja di bawah Archturian? Tidak. Terima kasih.” Gemma beranjak dari sofa dan menuju ke foyer. “Silakan pergi jika urusanmu sudah selesai. Aku akan mendiskusikan soal Draconian bersama Jo.”
Nero ikut berdiri dan berjalan mendekati Gemma. Dia punya tinggi yang sama seperti Jo, dan itu berarti Gemma harus mendongak agar bisa melihat wajah Nero jika mereka berhadapan. Wangi tubuh Nero membuat otak Gemma memutar kenangan di antara mereka. Mereka pernah dekat, dan mungkin jika Gemma mengenal Nero sedari kecil sebagaimana dia mengenal Jo, mereka bisa menjadi sahabat.
Namun Gemma tidak menginginkan ikatan persahabatan dengan Nero. Dia ingin sesuatu yang lain….
“Bukankah kau butuh pekerjaan?” tanya Nero. Suaranya rendah dan terdengar dalam.
Gemma memeluk dirinya sendiri lalu menghela napas. “Ya, tapi—“ dia memikirkan kata-kata yang tepat, “—bukan pekerjaan seperti itu.”
“Ini cocok denganmu. Kau pandai bertarung. Kau pernah menjalani pelatihan bersama Girga Jonah.”
Gemma memandang Nero melalui bulu matanya, lalu menunduk dan menatap ujung sepatu Nero yang berkilap. “Aku tidak mau berurusan lagi dengan Archturian.”
“Aku tahu,” balas Nero.
“Tidak. Kau tidak tahu.”
“Baiklah, mungkin aku tidak tahu. Tapi yang aku tahu adalah kau harus melanjutkan hidup agar bisa bertahan.”
Gemma mendongak, lehernya mulai terasa pegal. Seharusnya tadi mereka tetap duduk saja. “Hal buruk pasti terjadi jika aku berurusan dengan Archturian. Mungkin dulu aku memang sangat ingin menjadi salah satu dari mereka. Tapi sekarang tidak lagi.”
“Pikirkan baik-baik.” Nero masih saja bersikeras, dan lama-lama rasanya menyebalkan. “Mereka akan membayarmu setiap bulan. Lalu ada bonus setiap kali kau bisa menyelesaikan misi.”
Nero melanjutkan penjelasannya, menyebutkan nominal yang membuat radar kebutuhan hidup Gemma berbunyi nyaring. Itu nominal yang besar. Gemma bisa memasak Türke Japeño setiap hari jika dia mendapat gaji sebesar itu. Tidak. Gemma bahkan bisa pindah ke rumah yang lebih baik. Dia bisa kembali ke Ayria.
Gemma menggeleng. Tidak, dia tidak bisa kembali jika Lysis masih bersamanya. Terlalu riskan.
“Pikirkan baik-baik,” kata Nero lagi. “Kau masih punya nomorku, kan?”
“Ya,” jawab Gemma sembari memandang Nero bingung. “Memangnya kenapa?”
“Kalau kau sudah menentukan, kau bisa menghubungiku.”
“Kau akan pergi sekarang?”
Gemma tidak mau terdengar seperti wanita kesepian dengan pertanyaan itu, tetapi dia sudah terlanjur mengatakannya. Semoga suaranya tidak terdengar menyedihkan.
“Ya. Ini masih jam kerjaku.”
“Baiklah,” tukas Gemma, sembari mengedikkan bahu.
Gemma berjalan ke arah pintu dan membukakannya untuk Nero. “Aku akan menghubungimu.”
“Bagus.”
Nero mengucapkan salam kepada Lysis yang muncul dan ikut mengantarnya ke pintu. Nero berhenti sejenak di ambang pintu untuk memandang Gemma sekali lagi. Tak ada senyum di bibirnya, hanya anggukan kecil dan kedua mata yang mengerjap satu kali. “Aku tunggu jawaban darimu secepatnya.” Setelah mengatakan itu, Nero pun berjalan keluar.
Gemma memandangi punggung Nero yang tertutup jaket berwarna hitam. Saat Gemma memilih jaket itu, entah kenapa jaket itu sangat menggambarkan Nero. Setiap kali melihat Nero, Gemma hanya melihat satu warna, gelap seperti dasar laut, dan Gemma tak pernah bisa menebak apa yang ada dalam kegelapan itu.
*
Tembakan peringatan terdengar dari luar gudang, disusul teriakan yang memerintahkan semua orang yang bersembunyi untuk keluar.“Sialan,” umpat Lysis. Satu tangannya memegang pistol yang menggantung di samping tubuh, sementara matanya menatap cemas ke arah Gemma yang berdiri di seberangnya. Mereka berdua tengah bersembunyi di balik tumpukan kotak-kotak kayu berisi senjata ilegal. “Seharusnya kita di rumah saja! Aku tidak peduli jika kita mati kelaparan ketimbang harus berada dalam situasi seperti ini!” desisnya dalam suara yang melengking.Gemma hanya bisa memelototi Lysis dan memberi isyarat agar dia diam dengan menggerakkan tangan di depan leher, seperti hendak memotongnya.“Tutup mulutmu!” pekik salah seorang rekan kerja mereka, yang bersembunyi di sebelah Gemma. “Bos sudah menyiapkan jalan keluar rahasia jika terjadi sesuatu seperti ini.”“Lalu kenapa kita ada di sini dan bukannya kabur bersama dia?
Gemma menurunkan kedua tangannya. Hal yang paling ia takutkan terjadi. Mengapa dari semua prajurit Archturian, orang yang harus bertemu dengannya adalah Jo? Gemma tak akan menyalahkan Jo jika dia merasa kesal dan menembak kaki Gemma.“Aku bisa menjelaskan,” bisik Gemma. Dia melirik cemas ke arah prajurit lain yang berada di belakang Jo. Oh, bagus sekali. Itu Nero.“Jangan sekarang,” kata Jo. Ia terdengar kesal dan Gemma bisa mengerti hal itu. Bukan kali ini saja Jo mendapati Gemma membuat masalah, kan?Jo memberi isyarat agar Gemma menutup mulut, kemudian dia mengerling melewati pundak Gemma. Ada seseorang di belakang mereka. Detik berikutnya Gemma mendengar desing peluru melintas di samping lengannya. Hampir saja Gemma berteriak saat timah panas itu menembus lengan Jo. Darah mengalir dengan cepat membasahi seragam tempurnya. Namun luka itu tak lantas membuat Jo ketakutan, dia mendorong Gemma ke samping dan memberikan tembakan balasan. Ge
“Senjata,” bisik Gemma sambil memukul lengan Nero, “berikan aku senjata. Einar atau Alfhild.” “Aku hanya membawa Einar.” Mereka berdiri berdampingan dalam kegelapan. Tempat ini adalah loteng dari gudang tua yang terbengkalai dan Gemma sama sekali tidak memperhitungkan kalau dia bakal bertemu Draconian di sini. Seharusnya dia membawa Einarnya. Einar milik Nero yang dulu dia berikan pada Gemma, kini hanya menjadi pajangan berdebu di atas lemari pakaiannya. Nero mencabut Einar dari pinggang dan geraman-geraman dari makhluk berbau busuk itu semakin keras. Kurang dari sedetik kemudian, geraman berubah menjadi raungan dan langkah-langkah berat mendekat dengan cepat. Gemma menunduk saat Nero menyabetkan Einar melewati atas kepala Gemma dan terdengar lolongan panjang sebelum suara ledakan yang memekakkan telinga. Gemma mengumpat saat serpihan-serpihan tubuh Draconian jatuh menimpa kepalanya. Gemma menjulurkan kaki dan menendang tulang kering Draconian y
Cuaca bulan Juli yang hangat tak lantas membuat Gemma tidak menggigil saat merayap keluar dari sungai. Karena ini kota Fiend, Gemma hapal setiap jengkal jalan di sini. Tanpa banyak berpikir dia berjalan menelusuri trotoar rusak, menjauh dari pinggiran kota. Tubuhnya yang basah meneteskan air di sepanjang jalan. Ia ingin memeluk dirinya sendiri, tetapi kedua tangannya tak sanggup melakukan itu. Setelah keluar dari sungai, rasa perih di telapak tangannya seolah minta diperhatikan. Luka itu, ditambah dengan pakaiannya yang basah, membuat sekujur tubuhnya mati rasa.Gemma berjalan menunduk melewati gang-gang sempit yang sepi guna menghindari tatapan penasaran dari orang lain. tangannya menggantung di samping tubuh, sementara bibirnya bergetar pelan menahan gigil. Gemma bisa merasakan kehadiran Nero yang mengikutinya seperti bayangan. Tatapan mata tajamnya seolah menusuk bagian belakang kepala Gemma. Saat sudah hampir sampai di rumah, dia berbalik dan mendapati Nero berdiri sekita
Jo, masih mengenakan pakaian tempur tanpa helm, berhenti di samping Lysis dan ikut melongo. Wajahnya memerah dengan cepat dan kedua tangannya mengepal di samping tubuh.“Apa yang kau lakukan?!” Dia bergegas menghampiri Nero dan Gemma dan mengarahkan kaki kanannya sekuat tenaga ke wajah Nero.“Tunggu, Jo!” teriak Gemma, tetapi Jo tidak mendengarkannya.Dia menendang wajah Nero dan jika saja itu bukan Nero pasti tulang pipinya sudah retak sekarang. Nero mengangkat satu tangan dan menangkap ujung sepatu Jo sementara tangannya yang lain menahan tubuh agar tidak menindih Gemma. Dengan kekuatannya, Nero memuntir kaki Jo dan membuat Jo kehilangan keseimbangan. Pertarungan ini akan menjadi kemenangan mudah kalau saja Jo bukanlah prajurit terbaik kedua Archturian. Dia menggunakan cengkeraman Nero sebagai tumpuan dan saat Nero memutarnya, Jo melompat dan ikut memutar tubuhnya. Dia mengarahkan kaki kiri ke sisi wajah Nero. Tendangan itu sekali lagi
Gemma berlari keluar dari rumah, seperti biasanya. Dia selalu menghindar dari masalah, dari pembicaraan tentang perasaan yang membuat suasana tidak menyenangkan. Gemma tak pernah bisa menghadapi semua itu. Dia selalu memilih lari, sama seperti ketika ayahnya mengungkapkan rahasia pahit tentang dirinya. Kali ini pun Gemma berharap melarikan diri akan mampu menyelesaikan masalah.Gemma menuruni tangga dan berjalan cepat menelusuri trotoar, tetapi dia tak bisa pergi jauh. Langkahnya terhenti saat dia melihat dua orang, pria dan wanita, berdiri menghalangi jalannya.“Gemma Ammaire?” panggil salah seorang dari mereka. Seorang pria berbadan besar dengan kepala yang bersih tanpa rambut.Gemma tak menjawab sapaan lelaki itu. Dia hanya berdiri diam sembari menatap tajam dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana.Kali ini giliran si wanita yang angkat bicara. Wanita itu berbadan gempal dan berwajah garang, dengan rambut yang diikat kencang ke belakang. “Kami harus membawamu.”Gemma menelen
“Kalian….” Jonah menggelengkan kepala tak percaya sembari menekan pelipis. “Bukankah sudah kukatakan untuk bicara baik-baik padanya? Kenapa kalian malah menggunakan pistol kejut??”“Dia… melawan kami,” jawab Clay, satu dari dua anggota divisi tak resmi yang Jonah utus untuk menjemput Gemma dan membawanya ke markas divisi Intelijen.“Tidak. Mereka yang memulai pertarungan terlebih dulu,” sahut Jo.Jonah mengerling kepada Jo yang duduk di kursi yang ada di ujung meja kerja, kemudian menghela napas panjang. Anak buahnya bertarung dengan anaknya. Jonah tak tahu siapa yang harus ia bela sekarang. Tugas sederhana ini justru membuat kepalanya pening. Apalagi mereka semua sekarang dalam kondisi babak belur.“Kau tak ada di sana, bagaimana kau bisa bicara seperti itu??” geram Clay.“Aku mengenal Gemma. Dia tak akan memukul orang begitu saja jika tak ada pemicunya,” jawab Jo, tajam dan mantap.“Kita tunggu Gemma terlebih dahulu,” potong Jonah. Dia tak mau adu mulut ini menjadi berkepanjangan da
“Gemma!”“Ayah, menyingkir!”Jo dan Nero bergerak secepat kilat menuju ke arah yang berbeda. Jo melompat kepada Jonah dan menubruknya hingga mereka berdua jatuh ke balik meja, sedangkan Nero menerjang Gemma, memeluknya, dan menjatuhkannya. Tangan Gemma masih tegak lurus ke depan, dan kini mengarah ke langit-langit ruang kerja Jonah. Ledakan pun terjadi, meluncur keluar dari telapak tangan Gemma seperti bom waktu. Suaranya memekakkan telinga, cahayanya membutakan.Dalam satu kedipan mata, atap ruang kerja Jonah hancur dan Gemma bisa melihat langit cerah di luar sana sesaat sebelum reruntuhan menimpa dirinya dan Nero.Lalu semuanya terjadi dengan cepat. Orang-orang berdatangan dan mengeluarkan mereka dari puing-puing. Telinga Gemma berdenging akibat ledakan dan matanya perih oleh debu. Dia tak berkata apa-apa, tak bisa berpikir, hanya terus mengikuti kerumunan orang yang berulang kali berbicara kepadanya, menanyakan keadaannya.“Gemma….”Seseorang memanggilnya. Suaranya mengambang, baga
Pengejaran yang Gemma dan Lysis lakukan membawa mereka ke pusat keramaian Ulyos. Sebelum terjadi serangan Draconian, sepertinya tempat ini dipadati oleh penduduk Ulyos yang ingin menghabiskan malam hari di ruang terbuka.Jajaran kios penjual makanan memenuhi sisi jalan. Banyak kendaraan terparkir di beberapa titik dan sampah dari bungkus makanan, yang masih terdapat makanan di dalamnya, berserakan di atas aspal. Masih ada orang-orang yang berlari menuju ke tempat evakuasi. Mereka berteriak histeris ketika melihat Pelayan terbang ke arah mereka dengan pedang di tangan.Gemma mengangkat tangan dan menembakkan energinya kepada Pelayan, yang berhasil ia hindari dengan mudah.Pelayan pun berbalik dan turun. Ia berjalan cepat ke arah Gemma lalu mengayunkan pedangnya, tetapi Lysis dengan sigap menangkisnya dengan tombak.“Hentikan!” bentak Lysis. “Kami bukan musuh!”Pelayan tersenyum mengejek. “Pengkhianat,” katanya. &l
Ulyos dalam keadaan kacau balau ketika Gemma dan yang lainnya tiba. Mobil Jo hanya bisa melaju sampai di pinggir kota. Jembatan yang menuju ke Ulyos nyaris hancur dan hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. “Seperti menyaksikan hari kiamat,” gumam Jo ketika mereka bertiga turun dari mobil dan berdiri di tepi jembatan yang separuh runtuh. Ada keheningan yang ganjil di tengah kota yang porak poranda itu. Padahal Gemma baru mendatangi kota ini beberapa jam yang lalu, tetapi apa yang ia saksikan sekarang sama sekali berbeda dari ingatannya tentang tempat ini. Saat mereka bertiga berjalan lebih jauh ke pusat kota, Gemma menyadari keanehan apa yang sedari tadi ia rasakan. Kota ini terlalu sunyi. Dengan kehancuran di sana-sini, mayat-mayat kering yang menghitam bergelimpangan di tepi jalan, dan aura gelap yang pekat dan menyesakkan. Tak ada pertempuran. Tak ada Draconian melawan Archturian. Lysis berlutut di satu kaki untuk mengambil sesuatu dari jalanan. Serpih-serpih hitam yang sek
Setelah memerintahkan para prajurit Alkalurops untuk membereskan kekacauan dan memastikan semua orang yang terluka mendapat pertolongan medis, Nero menemui Chastity di kantornya. Ketika Nero masuk, wanita itu sedang menelepon seseorang.Sepertinya dia tengah melaporkan kejadian ini ke para petinggi Archturian.Chastity langsung mengakhiri panggilannya begitu melihat Nero.“Kau memperbolehkan seorang pelaku kriminal pergi,” tudingnya. “Bersiaplah karena sebentar lagi para petinggi akan memanggilmu. Jangan salahkan aku jika kau kehilangan pekerjaan.”Ancaman dengan membawa-bawa nama-nama penting itu terasa kosong di telinga Nero.Gemma tidak mungkin mengamuk tanpa sebab.Sebenarnya Nero sudah merasa ada yang tidak beres semenjak kedatangannya semalam. Cara Chastity memperlakukan Gemma dan pandangan para prajurit lain terhadapnya.Terlebih setelah pembagian tugas kemarin, Nero semakin merasa tidak tenang.Meski begitu, Nero tak mungkin mengikuti Gemma di dalam misinya karena dia tidak ma
“Gemma, hentikan!” Teriakan dari suara yang begitu Gemma kenal menyentaknya. Masih dengan tangan teracung ke arah Chastity, Gemma menoleh dan melihat Jo berdiri beberapa meter darinya. Jo tidak terlihat marah padanya, dia justru… khawatir. Seperti yang selalu dia lakukan setiap kali Gemma terlibat dalam masalah. Melihat Jo membuat tangis Gemma nyaris meledak, tetapi dia tak akan menangis di depan orang-orang brengsek ini. Gemma menurunkan tangannya dan mematung. “Jonathan,” katanya lirih. Gemma sangat jarang memanggil Jo dengan nama Jonathan. Jika sampai dia melakukan itu, berarti situasinya sangat serius. Jo menghampirinya dengan langkah panjang dan mencengkeram pergelangan tangannya begitu ia sampai di dekat Gemma. “Ayo pergi,” ajaknya. Dia tidak menanyakan apa yang terjadi, tidak memarahi Gemma, tidak menceramahi Gemma soal tindakan sembrono dan perkelahian yang tidak perlu. Jo tahu Gemma tidak membutuhkan itu semua. Memang Jonathan yang paling mengerti Gemma. Gemma mengang
Tidak. Dia bukan Lanaya. Itu seorang laki-laki. Sesuatu bergerak di belakang laki-laki itu dan tampaklah seorang perempuan dengan rambut hitam yang menjuntai hingga ke bawah pinggang. Laki-laki itu menatap Gemma sejenak dengan mata peraknya yang tajam sebelum berkata, “Habisi dia.” Wanita di belakangnya mengangguk. Sekonyong-konyong munculah pedang di tangan wanita itu. Cahaya dan cara pedang itu menjelma dari udara mengingatkan Gemma akan tombak milik Lysis. “Tunggu sebentar—“ Namun kata-kata Gemma tenggelam dalam serangan yang wanita itu luncurkan dengan secepat kilat. Tak ada belas kasihan atau keraguan sedikitpun di kedua matanya yang berwarna merah seperti bintang yang terbakar. Pedang bercahaya emas itu hampir saja menembus jantung Gemma jika ia tidak segera menghindar. Gemma berkelit ke samping, menarik bahunya hingga ia berada dalam posisi miring dan tatapannya dengan wanita itu bertemu. “Aku tahu siapa kalian! Hentikan!” Gemma membentak, tetapi nada bicaranya yang kasa
Jantung Gemma berdegup kencang. Paru-parunya seperti mau meledak. Tangannya panas hingga mati rasa, dan kakinya kesemutan. Dia tak punya alasan yang bagus untuk meledakkan energinya sehingga dia tak punya pilihan lain selain menahannya dan membiarkan tekanan energi itu menghilang dengan sendirinya.Proses yang sangat menyiksa.Orang-orang yang tadi bersembunyi di bawah meja mulai keluar. Mereka tampak ketakutan dan sebagian besar dari mereka langsung meninggalkan tempat setelah memastikan keadaan telah aman.Sepertinya si bartender menelepon polisi karena tak lama kemudian Gemma mendengar suara sirene di kejauhan.Gemma berbalik untuk mencari bartender itu. Dia ada di sudut bar, dekat pesawat telepon. Gemma menghampirinya dan saat ia membuka mulut untuk berbicara, sesuatu mengalir keluar dari sudut bibirnya.“Miss,” sang bartender memanggilnya dengan raut wajah cemas. “Ada darah di mulutmu.”Gemma tak menjawab, hanya menyeka darah yang kini mengalir di dagunya dengan punggung tangan.
Gemma membeku di tempatnya berdiri.Berubah menjadi Draconian?Ini sama seperti kasus yang dulu menimpa Jo. Darimana orang bernama Jef mendapatkan benda itu?Dari tempatnya sekarang, Gemma bisa melihat Heidi yang duduk membelakanginya di bar.Sialan. Seharusnya tadi Gemma membiarkan Heidi ikut bersamanya, sehingga mereka bisa langsung menyusun strategi sekarang juga.Gemma bisa saja bergerak sendiri, tetapi dia tidak mau menimbulkan masalah atau memberi kesempatan pada Chastity untuk menyalahkannya. Dia akan mencoba mengikuti permainan mereka. Dia juga mempertimbangkan Nero, yang telah menyarankannya untuk bergabung di sini. Gemma tidak mau membuat Nero kesulitan.Gemma kembali memusatkan perhatian pada percakapan Jef dan orang yang hendak membeli benda mengerikan itu.Terdengar bunyi ‘klik’ dan sesaat Gemma mengira seseorang diantara mereka menodongkan pistol. Ternyata itu adalah bunyi kunci koper yang menutup. Lalu seseorang berkata, “Kau tidak menghitung uangnya?”Hening sejenak. “
Ini seperti de javu.Gemma berjalan masuk bersama dengan Heidi ke sebuah bar yang menjadi tempat berkumpul para geng motor di kota Ulyos, sebuah kota yang terkenal dengan tingkat kriminalitas tinggi, hampir setara dengan kota Fiend. Kota ini terletak di sebelah utara Elenio, di balik gunung yang menjadi tempat tragedi besar dua tahun lalu.Semenjak pemerintah mencabut aturan jam malam, kehidupan malam meledak seperti bom waktu, terutama dari orang-orang yang sedari dulu melanggar aturan itu. Banyak kelab dan bar yang beroperasi hingga dini hari, seperti bar yang kini Gemma datangi.Gemma mengerling ke arah jam dinding di atas rak penyimpanan minuman keras di dekat bar. Pukul sembilan malam. Lalu dia memandang ke arah panggung kecil di pojok ruangan, dan melihat mikrofon yang terpasang di sebuah penyangga, serta gitar yang bertengger di tempatnya di pojok panggung.Seketika itu juga kenangan masa lalunya menyeruak dan menghimpit hatinya. Gemma memilih mengalihkan pandangan dan berjalan
Kedua mata Gemma melebar. Itu sesuatu yang tak pernah ia sangka akan diucapkan untuknya. Selama ini orang-orang melihatnya sebagai wanita yang kuat dan ia pun memperlakukan dirinya demikian. Bahkan dihadapan Jo atau Lysis, atau siapapun itu, Gemma tak pernah mengizinkan dirinya untuk tampak terpuruk, meski dalam kondisi yang paling menyedihkan. Dia harus kuat karena dia tak memiliki siapa-siapa selain dirinya sendiri. Nero menjelajah raut wajah Gemma dengan tatapannya yang sendu. Tidak, dia tidak sedang mengasihani Gemma. Namun tetap saja, tatapan itu terasa menyakitkan. “Kenapa kamu meminta hal seperti itu?” tanya Gemma. Dia berpaling dan tersenyum pahit. “Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya untuk bersandar pada orang lain.” “Kau bisa melatihnya denganku,” jawab Nero. Saat Gemma menatapnya lagi, Nero memberinya cengiran kecil, yang membuat Gemma sesaat lupa bahwa Nero kini adalah seorang Girga, hanya satu tingkat lebih rendah dari para petinggi Archturian. Bibir Gemma berk