Bab 43
Aku mengernyitkan keningku bingung melihat Yuda yang seperti tersenyum tapi entah tengah menertawakan apa. Dan bodohnya bibirku tak tahan untuk sekedar bertanya langsung padanya."Padahal Yanti kelihatannya marah lho, tapi kamu malah tersenyum senang. Kenapa?" Kutatap Yuda dengan wajah heran. Adi kembali tidur di kursi belakang."Kenapa kamu sangat penasaran, Mbak?" Masih dengan tarikan senyum, Yuda bicara."Sudahlah, jika kamu tidak mau cerita, tak penting juga," balasku berusaha mengalihkan pandangan menuju ke jalan raya di depan yang seperti berlari."Katakan saja, apa alasannya hingga aku harus bicara padamu. Mungkin jika bisa aku akan jawab." Aku mengangkat bahu, cuek, meski hati sebenarnya penasaran. Tapi mungkin juga Yuda tidak mau bercerita apapun padaku, itu privasinya."Yanti akan menikah karena terpaksa. Sebenarnya sudah lama dia mengejarku, tapi selalu kuabaikan. Dan belakangan ini niatnya untuk menjadi pacarkuBab 44Pada akhirnya keadaanku bener-bener memburuk. Meski tidak benar-benar pingsan, tapi aku merasakan seluruh badanku terasa lemas tak bertenaga. Mungkin karena terlalu terkejut hingga aku tidak bisa menguasai badanku sendiri, akhirnya aku ambruk dan terkulai lemas. Beberapa orang mengangkatku masuk ke rumah setelah kurasakan badanku menggigil hebat dengan kepala yang sangat berat. Entahlah apa yang terjadi setelahnya, aku tidak mengetahuinya saat perlahan-lahan kesadaranku mulai hilang.Kubuka kelopak mata perlahan dan mengerjapkan mataku berkali-kali. Ternyata aku berada di dalam kamar dan hari masih siang saat tak kulihat lampu kamar yang menyala.Sedikit terkejut, aku mengingat kejadian saat di mana aku merasakan kepala yang berat dengan badan yang tidak bisa aku kontrol. Apa yang terjadi setelahnya, akupun tidak terlalu mengingatnya. Suara seorang lelaki bersahutan dengan orang lain terdengar samar dari luar ruangan. Kucoba bergerak perlahan untuk bangkit dan menuju sumber s
Bab 45Tiga hari ini, benar-benar kuhabiskan waktuku untuk berbaring dan beristirahat di kamar. Bu Dewi dan Bu Dian yang bolak-balik ke rumah tidak mengizinkanku bekerja, bahkan untuk sekedar membantunya. kedua wanita itu bahkan telah tampak telaten membuat adonan kue diselingi dengan canda tawa.Adi yang iseng tidak segan-segan ikut menimpali sambil mencolek adonan kue dan menempelkannya ke hidung Bu Dewi.Yuda yang datang di saat hari mulai sore bahkan tidak mau kalah. Dia ikut nimbrung di dapur bahkan membantu mengemas kue-kue kering yang dimasukkan ke dalam toples. Pemuda itu tampak tampan meskipun tengah memakai apron khas ibu-ibu. Tangan kekar dan berototnya tanpa lihai saat memilah kue kering sambil mencicipi sebelum mengemasnya.Sesekali ujung sendok atau sutil mengarah ke ujung tangannya. Bu Dewi melotot karena anak itu banyak memakan kue di depannya. "Aku kan cuma nyicip doang," kata Yuda santai saat
Bab 46"Apa maksud semua ini, Mas." Kutatap Mas Agung yang masih menunduk. Seakan bicara denganku adalah sebuah kesalahan."Ayolah, Agung, jangan menjadi lelaki pengecut. Jelaskan para istrimu apa maksud kedatanganmu," cerca Ayah Mertua seperti tidak sabar. Kutatap wajah lelaki yang pernah membersamaiku selama 10 tahun itu dengan perasaan bertanya-tanya. Ada apa ini sebenarnya. Apa yang ingin dikatakan oleh Mas Agung."Katakanlah Agung, ibu yakin Indira akan mengerti. Semua ini demi kebaikan kalian berdua." Ibu ikut bersuara. Dipandangnya anaknya dengan wajah sedih. Aku menghela nafas pelan, sebisa mungkin bersiap dengan apapun yang akan diutarakan olehnya.Mas Agung diam sebentar, untuk menormalkan suaranya. Matanya menatapku lekat, terlihat jelas kepedihan di dalam manik matanya yang dulu pernah membuatku nyaman. "Katakan saja, Mas.""Indira, sebelumnya maafkan aku aku. Se--sepertinya aku harus mengakhiri r
Bab 47Satu bulan kemudian.Aku menghela nafas lega sekaligus melonggarkan rasa sesak yang berat di dalam dadaku. Tak pernah menyangka bahwa akhirnya hubungan pernikahanku dengan Mas Agung harus berakhir setelah 10 tahun kami menjalaninya dengan bermacam cobaan dan ujian. Salah satunya adalah karena lelaki itu tak kuat menghadapi ujian rumah tangga hingga tersesat jalan salah.Kini, setelah mendengar ketukan palu hakim yang menyatakan bahwa kami bukan lagi suami istri, rasanya ada yang mengganjal di dalam hati. Aku memang yang pertama mendaftarkan gugatan cerai itu, kemudian dilanjutkan dengan ucapan talak dari Mas Agung atas desakan orang tuanya yang tidak rela jika lelaki itu terus-terusan menyiksa batinku dan bersikap tidak adil. Juga atas kesalahan-kesalahan yang lelaki itu perbuat yang tidak mungkin kumaafkan begitu saja.Kini kata janda sudah resmi melekat dalam statusku.Setelah ini aku akan memulai hidupku dengan
Bab 48Aku masih berdiri di tempatku sambil memperhatikan dua orang yang terus menekan bel hingga menimbulkan bunyi nyaring di ruangan ini.Aku tidak tahu siapa orang itu, yang jelas dua lelaki itu terlihat sangar dengan badan yang besar mengenakan jaket berwarna hitam. Aku merasa tidak pernah bertemu dan tidak ada urusan dengan mereka. Ragu, apakah aku harus membuka dan membiarkan mereka masuk atau membiarkannya begitu saja? Hanya saja hati kecilku menolak hal itu."Indira, kenapa kamu diam saja. Ibu pikir kamu sedang shalat di kamar. Siapa yang menekan bel, sampai tak sabar sebegitu." Bu Dian berdiri di belakangku menatap dengan heran ketika aku menoleh."Coba deh Bu Dian perhatikan," kataku sambil bergeser. Wanita paruh baya yang masih mengenakan apron itu, langsung melongo dari kaca yang dilapisi dengan gorden tipis berwarna putih. Bisa kupastikan tidak akan ketahuan dari luar."Badannya kok besar begitu, ka
Bab 49"Aku yakin ini ada hubungannya dengan Agung, ataupun keluarga Zahra waktu itu." Yuda mengacak rambut belakangnya sambil mondar-mandir. Aku masih duduk dan memperhatikannya."Entahlah, Yud. Mbak tidak tau dan tak mau lagi berurusan lagi dengan mereka. Atau mungkin saja ini hanya sebuah kebetulan.""Tapi ini tidak bisa dibiarkan, Mbak. Ini sudah keterlaluan. Mungkin saat ini hanya mengenai kerudungmu tapi bagaimana jika kamu sedang lengah, bisa-bisa wajah atau tanganmu yang kena. Dan jika itu terjadi, maka semuanya sulit untuk diobati lagi. Apa kau tahu, ini bukan masalah karena atau tidak mengenai dirimu. Ini masalahnya adalah kejahatan yang terbilang sangat sadis. Dimana mereka ingin membunuh tanpa menyentuhmu. Harusnya kamu sadar itu." Yuda terlihat marah dengan wajah menegang. Aku hanya bisa bernafas lega, kejadian tadi tidak mengenai sedikitpun tubuhku. Meskipun lelaki itu benar adanya, aku hampir saja menjadi korbannya andai ak
Bab 50Pagi menjelang siang itu, suasana di toko kue milikku terlihat ramai oleh beberapa pengunjung yang sejak dibuka hari kemarin sambutannya begitu antusias. Membuatku merasa bahagia dan senang hati, karena apa yang selama ini kucita-citakan akhirnya terlaksana dengan baik.Ditemani Yuda serta tiga orang pekerja di bagian dapur, kami semua sibuk mempersiapkan kue dan cake yang hari ini mulai mendapat lonjakan pesanan."Jangan capek-capek, Mbak, seharusnya pemilik tempat ini duduk di depan sambil menghitung uang pemasukan, bukan sibuk bermain dengan tepung dan telur di dapur." Yuda menggoda dan sambil mengenakan apron. Lelaki itu tampak tampan dan gagah dalam balutan kaos berwarna putih bermerek Nike yang pas di tubuhnya yang atletis."Apaan sih Yud, lagipula jika Mbak diam saja, malah bosan. Sedangkan di dapur banyak sekali pesanan hari ini. Salahmu sendiri yang langsung menerima orderan pesanan sebanyak ini, jadi aku dan pa
Bab 51."Mbak.""Hmm ….""Mbak ih," kata Yuda lagi, yang entah sudah keberapa kalinya. Sepertinya dia kesal karena terdengar berdecak setelah kuabaikan. Kupingku panas, sejak tadi lelaki itu terus merecoki saat aku tengah menghias red velvet yang akan kukirim sore ini pada konsumen.Sengaja kubiarkan lelaki itu mengoceh seorang diri, saat dari tadi terus saja memaksaku untuk pergi jalan-jalan malam ini. Padahal dikarenakan banyaknya kerjaan, malas rasanya untuk sekedar melangkahkan kaki keluar dari toko."Jawab dong, Mbak, jangan diam saja. Aku dari tadi nungguin kamu loh. Bahkan dua hari ini aku tuh tidak mampir ke kafe karena aku sibuk bantuin Mbak. Masa begitu aja sampai malas untuk menjawabnya." Aku sedikit berdecak sebal. Dasar Yuda. Sepertinya lelaki itu tidak akan berhenti sebelum aku mengiyakan ajakannya. Kuhela nafas pelan, lalu berbalik dan menatap penuh padanya, yang seketika wajah cemberut itu