Bab 31Lelaki bertubuh buncit dengan nafas ngos-ngosan itu terlihat menjatuhkan dirinya di sofa, sambil memijat kepalanya pelan. Mungkin dia stres setelah mendengar pernyataan yang telah dilakukan oleh anaknya. Sementara kini terlihat Ayah Mertua menatap nyalang kepada Doni. Aku dan Mas Agung masih berdiri seperti penonton, melihat drama di depan kami."Apa benar apa yang dikatakan oleh Indira dan Agung barusan?! Jelaskan pada ayah, Doni?!" Ayah Mertua menatap tajam anaknya. Sedangkan lelaki itu masih menunduk dalam, mungkin karena ketakutan rahasianya langsung terbongkar begitu saja didepan semua orang."Doni, ayah tidak pernah menyangka kamu akan mengecewakan kami seperti itu. Dasar anak tidak tahu diri, bisa-bisanya kamu meniduri adik iparmu sendiri?!" Ayah Mertua langsung menarik kaos yang dikenakan oleh Doni dan mengangkat wajah anaknya. Kemudian tanpa ba bi bu, dia langsung melayangkan pukulan di wajah anaknya yang sudah babak belur sebelumnya."Maaf, Yah, maaf …." kata Doni sam
32.BUGH! BUGH!Berkali-kali kulayangkan bogeman, tendangan dan juga pukulan ke lelaki yang badannya paling besar. Cukup lama kami berkelahi dan aku merasa dapat lawan seimbang.Hat! Hat! Aku menghindar saat dia berusaha membalas dan menerjang. Lalu dengan cepat, dilanjutkan dengan menangkis setiap serangan darinya. Gerakannya boleh juga meski kasar. Tapi aku lebih tangkas dan waspada. Terbukti, lebih banyak yang pukulan kena kulayangkan daripada meleset. Kembali lelaki itu berusaha untuk menggapaiku, tapi dengan satu gerakan saja, kutahan dengan gerakan seperti mematahkan batang kayu pada tangan kanannya, hingga dia merintih kesakitan. Jangan dia kira aku wanita lemah seperti Mas Agung yang akan melempem seperti kerupuk kehujanan ketika diancam. Biarpun pekerjaanku hanya tukang pembuat kue dan donat, tapi ilmu beladiriku sangat mumpuni. Terbukti dengan mundurnya lelaki itu dua langkah ke belakang, dengan wajah sudah penuh bercucuran keringat. Terlihat jelas dia kewalahan."Lumayan
Bab 33.Wanita bertubuh tambun dan gempal itu membawaku masuk ke dalam rumahnya, disusul oleh Adi dan Yuda yang baru saja memasukkan ponsel ke dalam sakunya. Sepertinya lelaki itu ikut merekamku tadi."Kamu hebat sekali, Mbak. Aku nggak nyangka kamu jago bertarung seperti itu," katanya dengan wajah antusias. Aku hanya tersenyum tipis saja. Yuda tak tahu kalau aku tengah emosi kala menghajarnya."Iya, Ibu hebat sekali. Adi nggak nyangka Ibu jagoan seperti pendekar-pendekar yang ada di tivi," sahutnya yang diangguki oleh Yuda juga. "Kenapa tidak dari kemarin-kemarin aja Ibu menghajar Ayah, biar dia kapok dan nggak jahat lagi," sambungnya lagi."Eh kok gitu. Nggak baik lho menyuruh ibunya hajar ayahnya," Yuda ikut menimpali. Adi hanya nyengir dan memperlihatkan barisan giginya yang putih. "Eh, maaf, Om. Tadi itu hampir saja aku bertepuk tangan, andai tidak malu, Bu." Yuda mengusap rambutnya pelan sambil tersenyum."Beladiri itu untuk menjaga diri, bukan bebas menghajar siapapun karena j
Bab 34"Indira, apa yang terjadi?" Mas Agung sambil mendekat ke arahku. Beberapa saat yang lalu sempat kudengar suara mesin yang menderu di halaman."Cepat sekali kamu pulang, Mas. Biasanya juga pulang sore atau paling tidak, besok paginya lagi," kataku tanpa menjawab pertanyaannya."Loh, kok ditanya malah balik bertanya," kata Mas Agung terdengar protes. Tangannya sigap meraih sapu yang tengah kepegang."Siapa yang melakukan ini, Indira?" tanyanya lagi sambil menarik pengki yang teronggok di sudut.Dia menatap penuh ke arahku, namun ku balas dengan wajah masam."Entahlah aku juga belum tahu siapa yang melakukan ini. Tapi sesegera mungkin aku akan segera mencari tahu dan tidak akan melepaskan orang itu begitu saja," kataku dengan emosi. Bahkan sambil meremas baju saking kesalnya."Jangan-jangan pelakunya orang yang tadi kamu hajar. Mungkin saja, dia balas dendam karena tak terima kamu hajar." Mas Agung menatapku penuh. Aku mengangkat bahu, cuek. Aku memutuskan untuk mengambil sapu ke
Bab 35 Aku kembali ke dalam rumah saat berpapasan dengan Mas Agung tepat di depan pintu. Tampang lelaki itu tanpa gelisah sambil sesekali mengusap wajahnya saat meraih kunci mobil.Aku mengernyitkan kening, kemudian masih berdiri di tempatku dan membiarkan lelaki itu melewatiku begitu saja. Ketika akan membuka pintu mobil, lelaki itu kembali mendekat ke arahku."Indira, Maafkan Mas kali ini karena harus pergi." Aku mengangguk samar meski tak mengerti.Entah apa maksudnya dia berkata demikian, aku pun tidak tahu. Tapi yang jelas, rasa khawatir itu semakin kentara di wajahnya yang bersih dan mulus tanpa ada sedikitpun janggut atau kumis."Aku tidak mengerti apa yang kamu katakan, Mas. Lagipula jika kamu ingin pergi kemanapun, aku tidak akan repot-repot untuk menahanmu di sisiku," kataku berusaha bersikap acuh agar dia mengerti bahwa rasaku untuknya telah lama pergi. Kini yang tersisa hanya rasa sakit akibat ulahnya.Lelaki itu kem
Bab 36Rasa lelah langsung mendera, saat barusaja aku menginjakkan kakiku di rumah. Cuaca hari ini yang panas membuat keringat berjatuhan. Sudah lima hari Mas Agung pergi tanpa kabar sejak aku mendengar berita yang dibawa oleh Bu Dewi.Karena Adi masih belum pulang sekolah, aku memutuskan untuk mandi agar lebih segar. Dan ternyata benar usai mandi dengan air hangat, tubuhku terasa lebih rileks dan segar sekarang. Untung saja aku tidak menerima orderan untuk hari ini karena setelah beberapa hari kelelahan akibat menerima orderan yang lumayan cukup banyak.Aku duduk di sofa sambil melihat total hasil penjualan hari kemarin yang ternyata lumayan banyak masuk kedalam rekeningku, tentunya setelah dipotong biaya bahan dan upah untuk Bu Dian. Aku mulai berpikir untuk menyewa ruko dan membuka usaha juga akan merekrut beberapa pegawai, karena makin hari orderan yang datang makin banyak dan aku tak bisa menghandle semuanya.Terdengar deru mesin dari halaman. Dan sep
Bab 37Terpaksa sebenarnya aku pergi ke tempat yang alamatnya telah di dikirim lewat aplikasi, setelah mendapat panggilan dari Yuda yang mengatakan untuk datang ke tempat itu. Yang ternyata dia sudah berada disana bersama dengan Adi yang asyik menikmati es kelapa muda dan ayam bakar."Bukanya pulang malah keluyuran bersama om Yuda ya," kataku sambil mengangsurkan tangan yang langsung dicium oleh Adi. Bocah lelaki satu-satunya itu hanya yang nyengir sambil menyeruput minuman yang terlihat sangat segar."Tadi Om Yuda yang menjemputku, Bu," katanya sambil mengajakku makan. "Katanya hari ini om Yuda ulang tahun." Adi bicara lagi dengan mulut penuh makanan. "Benarkan, Om," kata Adi melirik kepada lelaki yang hari ini sangat menawan dengan t-shirt adidas putih yang pas di tubuhnya yang atletis.Lelaki itu tersenyum simpul sambil mengangguk singkat dan menatap lekat ke arahku. Tentu saja aku menjadi salah tingkah, takut ada sesuatu hal yang sal
Bab 38"Lawan aku, sekarang!" Sengaja kubuka pintu gerbang selebar mungkin agar mereka tahu bahwa bermain-main dengan Indira adalah suatu kesalahan yang besar. Jangan mereka pikir aku akan takut dengan ancamannya, justru aku akan menantang lelaki tua tak punya malu itu dan menghajarnya kalau perlu, hingga dikemudian hari mereka tak akan berani menyakitiku apalagi anakku. Jika ayahnya Zahra berpikir bahwa aku hanya wanita lemah yang pekerjaannya hanya berdiam diri di dalam rumah sambil mengurus anak dan suami, maka pikirannya sama sekali salah besar. Aku Indira, dibesarkan dengan kerja keras dan keringat dari kedua orang tuaku, yang bisa membuatku berdiri di atas kakiku sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Aku bukan wanita lemah yang hanya duduk diam diri di rumah sambil meratapi nasib yang kini tengah menimpaku. Tidak sama sekali. Bahkan aku siap maju ke medan perang andaikan diperlukan untuk membela kebenaran."Kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak ber