"Ia sudah pergi…?" Dyah Lokapala hanya terduduk diam menatap kepergian Raka.
Air mata yang bahkan ia tidak tahu apakah itu termasuk bentuk dari kesedihan kehilangan seorang teman atau kehilangan seorang suami yang baru dinikahinya. Semuanya terasa membingungkan, namun ia tetap menangis dan meratapi pilihannya untuk keluar dari desa yang terasa menjadi sia-sia belaka.Kebahagiaan yang ia dapat sebenarnya berasal dari petualangan dirinya bersama teman-temannya. Dan kini ketika seseorang yang menyatukan perjalanan mereka semua telah pergi, maka kelompok kecil itu pun seperti kehilangan penggembalanya."Lalu sekarang kita harus bagaimana?" Aji Pamungkas tertunduk dengan air mata terus terjatuh ke tanah."Mungkin ia memang membutuhkan waktu untuk sendiri. Biarkan saja, kita harus menghormati pilihan dan keputusannya itu," pikir Ki Joko Gendeng."Apa kalian masih ingat ucapan Jayabhaya?" Tiba-tiba Khrisna menyisipkRaka membelakangi wanita itu dengan wajah penuh kekhawatiran. Ia hanya memandang ke arah luar gua dan bersenandung untuk menghilangkan pikiran tentang seorang wanita yang sedang mengganti bajunya di belakang dirinya. "Hei, kau tahu bila bajumu basah, 'kan? Apa kau membawa baju gantinya?" Tanya Raka. "Tidak. Maka dari itu aku akan menjemurnya di batu. Dan kau! Jangan sekali-kali berbalik badan! Aku hanya menyelimuti tubuhku menggunakan daun pisang saja!" Bentak wanita itu. "Namaku, Raka. Tidak enak bila kita hanya mengobrol dengan menggunakan kata sapaan saja. Siapa namamu?" Tanya Raka. "Rara Kencana. Dari mana asalmu?" Tanya wanita itu. Raka tidak langsung menjawabnya. Namun ia malah melemparkan pakaian kering ke arah Rara Kencana. Wanita itu tidak langsung menanggapinya, ia malah memungut baju dari Raka dan melihat modelnya. "Pakaian macam apa ini?" Tanya Rara Kencana. "Aku akan menjelaskannya nanti! Sekarang pakai saja pakaian itu! Aku tidak ingin menahan nafsuku sampai hujan
Raka tidak menyangka bila wanita di depannya begitu terpukau dengan masakannya. Semangatnya itu seakan mengingatkan Raka dengan seseorang yang ia kenal di dunianya. Bahkan ketika kedua mata wanita itu sedang menatap raka seperti mata seekor kucing, Rara mampu membuat sorot mata Raka terdiam sejenak. "Maaf, itu rahasia. Makan saja makananmu, lalu kita bisa beristirahat sampai hujan berhenti," ucap Raka. Ia tidak ingin melibatkan hatinya dalam urusan ini. Baginya Rara Kencana hanyalah orang asing yang ditemuinya di tengah perjalanan. "Baiklah, tapi aku harus berterima kasih padamu. Kau adalah pengembara, bukan? Tolong temani aku ke desa di dekat ibukota kerajaan Sundapura. Aku ingin menemui seseorang di sana. Desanya ada di balik bukit di belakang gua ini," ungkap Rara Kencana yang tidak bisa berhenti menyuap nasi gorengnya. "Bila aku tidak mau?" Sahut Raka. "Aku potong tangan dan kemaluanmu saat kau tidur!" Ucap Rara Kencana yang menatap bagaikan seekor kucing yang sedang kesal.
Mereka menyusuri setiap celah gang sempit di desa itu. Beberapa dari mereka mendapatkan bagian tubuh yang telah terburai dan membusuk. Namun sebagian lainnya justru begitu frustrasi hingga memilih menghancurkan rumah-rumah penduduk. Iblis berwujud manusia yang digabungkan dengan wujud seekor komodo itu selalu mengeluarkan lidahnya. Kulit yang begitu keras setebal sepuluh sentimeter berbahan seperti sebuah rompi anti peluru membuat iblis kadal tersebut tahan terhadap serangan senjata tajam, api atau pun benda keras lainnya. Jumlah mereka bukan hanya puluhan, namun telah mencapai ratusan iblis. Mereka keluar dan mendarat tepat di tengah-tengah desa. Para iblis tersebut langsung berpencar dan menyusuri hutan serta bukit di sekitar desa. "Jumlah mereka sangat banyak, namun sepertinya mereka sedikit kecewa karena tidak ada satu pun manusia yang hidup," pikir Raka. Ia menyusup di antara rumah dan berusaha tetap menjaga jarak dengan para iblis kadal. Sesekali ia mengintip melalui celah r
Pemuda itu meminjam dua buah drone versi kecil yang selalu mengikuti dirinya di sisi kanan dan kiri pundak untuk berjaga-jaga. Dan sekali lagi, Odeth yang mengendalikan mereka dengan sistem yang bisa dibilang begitu sempurna. "Mainanmu seperti hampir mirip dengan punyaku! Apa kau tidak bisa menggunakan teknik lain yang lebih menyegarkan?!" Sindir Rara Kencana dari kejauhan. "Diam dan habisi saja mereka semua! Kita tidak punya waktu untuk saling berdebat!" Teriak Raka. Sayangnya ia pun membalas perkataan Rara dengan sebuah debat ucapan. Beberapa iblis kadal yang muncul telah berhasil ditumbangkan. Semua mayat mereka tergeletak di sela-sela reruntuhan bangunan dan tanah yang menyeruak ke atas. Namun ketika mereka berdua merasa semuanya telah selesai, justru energi yang begitu besar malah keluar dari dalam portal gelombang bencana.DEK!!!Keduanya sampai merasakan tekanan energi yang begitu menghimpit dada mereka. "Apa itu? Perasaan ini, energi ini, kenapa begitu besar hingga membua
Ayunan tangan Chipakali langsung tertuju ke dada Raka. Namun dengan sekali jentikan jarinya, pemuda itu langsung berpindah tempat dan mengayunkan tangan kirinya ke punggung iblis itu. Raka kembali muncul sambil mengayunkan sebuah gada emas ke arah punggung Chipakali.BRAK!!!APA?!Iblis itu malah terlempar jauh karena hantaman gada besar tersebut. Tubuhnya berkali-kali menabrak tanah dan berakhir berhenti setelah menghantam sebuah bangunan di ujung desa. "Perkenalkan, ini adalah gada Kaumodaki. Gada milik sang dewa Wisnu!" Teriak Raka yang begitu bersemangat memamerkan mainan barunya. "Jangan sombong dulu! Kau pikir senjata murahan itu bisa menghajarku untuk yang kedua kalinya?!" Teriak Chipakali dari kejauhan. "Entahlah, mungkin saja. Lagi pula aku tidak akan segan memukulmu sampai menjadikanmu kadal rempeyek," sindir Raka. "Dasar kurang ajar!" Chipakali langsung berlari ke arah Raka dengan sangat cepat. Di lain sisi, ternyata sedari tadi Ki Demang telah hinggap di pundak Raka d
"Kau ingin senjata untuk mengalahkan kami? Apa kau pikir bisa masuk ke dalam menara Kalpawreksa dan tetap hidup?!" Chipakali tertawa setelah mendengar perkataan Raka. Ia tidak mengira bila seorang manusia berani meminta hal bodoh seperti itu kepada sesosok iblis. Ditambah lagi, Chipakali tidak memiliki niat untuk melakukannya. Baginya, kenapa harus memberikan senjata kepada para hewan ternak yang akhirnya menjadi makanan mereka. "Terserah kau saja. Bila kau tidak berminat untuk menangkap si pangeran itu, maka pembicaraan kita selesai di sini. Aku tinggal menghancurkan dirimu saja, bukan?" Ungkap Raka. "Kau ingin membunuhku? Kau tidak akan pernah mengetahui di mana letak jantungku!" Chipakali menatap tegas pemuda itu. "Itu mudah, aku hanya tinggal membakarmu sampai tidak ada yang tersisa, bukan?" Raka berdiri dan menggunakan pena peminjam barang. Ia menuliskan sesuatu di lengan kirinya. Rara Kencana yang melihat pun merasa penasaran dengan apa yang temannya tulis. Dalam hatinya be
Di lain tempat, Ki Joko Gendeng dan yang lainnya sedang bersantai di sebuah warung makan. "Di mana kita bisa mencari orang yang ada di dalam surat Jayabhaya? Tidak ada petunjuk sama sekali. Di tambah lagi, kita hanya bisa berkeliling di ibukota saja," ungkap Ki Joko Gendeng. Mereka berlima begitu kesulitan untuk mencari petunjuk dari orang yang diusulkan oleh ketua perkumpulan klan pendekar. Sudah sepanjang hari mereka bertanya dari satu tempat ke tempat lain, namun belum juga menemukannya. "Apa mungkin nama itu hanya sandi samaran saja?" Pikir Khrisna. "Walau pun ini hanyalah samaran, akan sana saja. Sayangnya kita tidak memiliki orang dalam yang bisa memberi petunjuk pada kita," ungkap Dyah Lokapala. "Maaf, tapi bukankah orang yang ada di surat itu adalah orang dalam kita?" Sahut Aji Pamungkas. "Aji benar," ucap Jaka Tira menahan senyumnya. "Lihatlah, tiba-tiba aku merasa iri kepada rakyat di ibukota ini. Mereka seperti bahagia sekali tinggal di dalam kubah pelindung. Apa Sun
"Rara Asri, apa Ayahanda mengetahui aku pergi?" Tanya Rara Kencana. Ia dan Raka berhasil keluar dari jalur bawah tanah keluar tepat di taman bagian barat dari istana Sundapura. Seorang dayang istana bernama Rara Asri menemukan mereka berdua sedang keluar dari pintu rahasia di balik sebuah patung batu. "Apa yang putri lakukan? Kenapa bisa keluar dari sana? Lalu pria ini siapa?" Pertanyaan Rara Asri terlalu banyak. "Sabar, satu-satu. Aku masih lelah karena harus menempuh perjalanan jauh." Rara Kencana menepuk pundak dayangnya. "Untung saja Anda hanya pergi dua hari. Bila lebih dari itu, Maka aku tidak tahu harus memberi alasan apa sama raja," ungkap Rara Asri. "Aku tahu. Terima kasih untuk itu. Sekarang, tolong antarkan aku ke dalam kamar. Kita harus sembunyikan orang ini," ucap Rara Kencana."Hei, jangan jadikan aku sebagai barang selundupan seperti itu," sindir Raka dengan wajah kesal. "Sudah diam! Ikut saja!" Rara menarik paksa tangan pemuda itu. Istana Sundapura sangatlah bes