"Risa .... "
Karen tidak mampu membendung air matanya saat ia bertemu dengan Risa. Sesak di dada Karen terasa semakin mendalam. Tidak ada tempat terbaik untuk menumpahkan isi hatinya, selain pada Risa sahabatnya.
"Karen ... Kenapa?" Risa menatap Karen dengan bingung. Bagaimana tidak, Karen yang selama ini ia kenal sebagai wanita yang tegar, wanita yang selalu ceria, hari ini menangis sejadi-jadinya didepan mata.
"Katakan Karen! Apa yang terjadi padamu?" Risa memapah tubuh Karen, membawa Karen masuk kedalam rumah.
Karen tidak tahu harus memulai darimana. Ia merasa sangat malu pada Risa. Selama ini, ia selalu membanggakan Robin pada Risa. Karen selalu menceritakan bagaimana Robin memperlakukannya dengan sangat romantis. Termasuk, saat Robin melamarnya.
Karen menceritakan semua yang Robin lakukan padanya. Karen memberitahu Risa perselingkuhan Robin dengan Natalia sekretarisnya sendiri. Ia tidak menyangka jika Robin akan sejahat itu pada dirinya.
Tangis Karen sangat menyayat hati Risa. Risa tahu betul, bagaimana rasa sakit yang kembali dirasakan sahabat, Karen.
"Karen ... Hapus air matamu! Pria jalang seperti Robin, tidak pantas mendapatkan wanita seperti mu Karen." Risa menatap Karen dengan sendu. Dirinya sendiri juga ingin menangis melihat sahabatnya itu. Tapi, ia tidak ingin melihat Karen semakin lemah.
"Risa ... Apa yang harus aku lakukan? Robin ...? Untuk apa dia melamar ku, jika dia akan seperti ini?" Suara Karen terdengar seperti suara orang yang frustasi. Bayang-bayang Robin kembali hadir di ingatannya.
"Karen ... Satu hal yang pasti. Robin dan selingkuhannya harus mendapatkan balasan." Sorot mata Risa terlihat sangat tajam, kebencian sangat terasa dari kedua netranya.
Hubungan yang sudah berjalan selama tiga tahun, berakhir dengan sekejap mata. Karen selama ini sudah berusaha memperjuangkan hubungannya dengan Robin. Namun hasilnya, perjuangan Karen sia-sia.
Bukankah suatu hubungan itu dijalani sepasang manusia yang saling mencintai?
Bukankah hubungan juga harus diperjuangkan kedua belah pihak? Jika salah satu pihak sudah tidak mau berjuang bersama, lantas untuk apa mempertahankan hubungan itu lagi.
Hanya akan ada sakit hati. Begitulah yang dirasakan Karen.
Robin adalah orang yang datang ketika Karen mengalami patah hati untuk pertama kalinya. Kehangatan yang ditawarkan Robin mampu membuat Karen kembali percaya dengan suatu hubungan.
Robin yang datang menyembuhkan luka Karen, bak pahlawan ditengah kehancuran. Namun, hari ini Robin jugalah yang kembali membawa luka itu pada Karen.
Sakit hati terbesar datang dari orang yang paling dekat dengan kita. Itulah yang dialami Karen.
Karen menegakkan kembali pandangannya. Menghapus lembut sisa bulir-bulir air mata di pipinya. Pandangannya kembali lurus. Risa benar. Orang seperti Robin, tidak pantas mendapatkan air matanya.
*****
"Tuan ... Apa anda sedang memikirkan sesuatu? Tuan ... " Han memanggil James berulang kali, namun James tidak menghiraukan panggilan dari Han. James masih asik sendiri dengan pikirannya.
"James Harison ..." Han merasa geram melihat James.
"Han? Sejak kapan kau ada disini?" James menatap Han yang berdiri dibelakangnya, "apa kau tadi memanggil namaku?" James menatap Han dengan sangat tajam.
"Ayolah James. Kau tak mengacuhkan ku. Aku ini teman mu, apa salahnya jika sesekali memanggil namamu yang indah itu."
"Han, apa kau tahu nama gadis yang bertengkar dengan mu tempo hari?"
"Tidak. Aku tidak kenal dan aku tidak mau mengenal wanita galak seperti dia." Han merasa merinding ketika James mengingatkan kejadian itu.
"Semalam aku bertemu dengannya ... Di bar." James menatap kearah Han.
"Bar? Apa kau---" James memotong omongan Han. Ia tahu jika Han akan berburuk sangka padanya.
"Jangan berpikir yang aneh-aneh Han. Aku kasihan melihat gadis itu, sepertinya dia sedang patah hati."
"Lalu? Kau mau mengobati patah hatinya tuan James?"
"Aku akan memenggal kepalamu Han. Berhentilah membuat ku jengkel."
"James, sudah waktunya kau membuka hati mu! Tidak semua perempuan seperti Aline."
"Aku masih ragu Han. Akhir-akhir ini, aku bertemu orang-orang yang patah hati. Aku tidak mau masa lalu yang kejam itu kembali lagi."
"James ... Tidak ada orang yang benar-benar berhasil dalam suatu hubungan. Pertengkaran pasti akan terjadi. Namun, cara mengatasi pertengkaran itu berbeda-beda."
Han menatap James dengan ragu-ragu, "James ... Mantan istri mu sudah kembali dari Belanda. Dia ingin mengundang mu makan malam."
Ucapan Han sontak membuat James terkejut. Netranya masih menatap gedung-gedung pencakar langit dari balik jendela kantornya. Tanpa berkata apa-apa, ia menyuruh Han keluar.
Kenangan sepuluh tahun yang lalu kembali menghampiri James. Istri yang sangat ia cintai memilih pergi bersama pria lain. Alasannya, hanya karena James tidak memiliki apa-apa.
Miskin, adalah alasan James mengalami patah hati. Rasa sakit hati tidak dapat digambarkan dengan kata-kata. Bagaimana tidak, Aline adalah cinta pertama James sekaligus patah hati pertama James.
Sudah sepuluh tahun sejak ia bercerai dengan Aline. Namun, sepertinya trauma masa lalu James, membuatnya enggan untuk kembali membuka hati. Banyak wanita yang tergila-gila pada James. Namun, satu pun tidak ada yang mampu menaklukkan hatinya.
Bercerai? Apakah jalan keluar suatu rumah tangga? Bukankah suami-istri harus saling mendukung? Tapi tidak dengan James. Ia yang masih berusaha mendaki terjalnya jalan kesuksesan malah ditinggalkan istrinya ditengah jalan.
Benar kata pria itu pada James. Jika uang mampu membeli segalanya. Termasuk, istrinya, Aline.
Delapan tahun bukan waktu yang singkat. Ia menjalin hubungan rumah tangga selama delapan tahun dengan Aline. Namun, cinta tidak menjadi penjamin hubungan keduanya.
Selama delapan tahun, Aline menolak untuk memiliki anak. Kemiskinan, menjadi alasan Aline. Namun, James tidak terlalu miskin untuk memiliki anak. Alasan utama Aline adalah, karena ia tidak mau hidupnya selalu terikat pada James setelah punya anak.
Tling ... Tling ...
[James, aku baru saja pulang dari Belanda. Aku ingin mengajak mu bertemu. Aku tidak mau menerima penolakan dari mu! Sampai jumpa.]
Isi pesan Aline memalingkan pandangan James. Tidak pernah sekalipun ia membayangkan jika ia, akan bertemu lagi dengan Aline, mantan istrinya.
James tidak tahu, apakah ia akan datang atau tidak. Sejujurnya, James belum bisa melupakan Aline. Bagaimanapun, Aline adalah cinta pertama James.
Kenyataan memang selalu pahit. Namun, harus diterima. James masih ingat betul, bagaimana Aline mengecup keningnya manja. Wajah Aline yang selalu ia lihat setiap kali bangun di pagi hari maupun saat akan terlelap di malam hari.
Kehangatan yang dulu Aline berikan, membuat James terlena. James tidak pernah sekalipun menaruh curiga pada istrinya itu. Hingga, suatu ketika Aline terang-terangan membawa pria selingkuhannya menemui James, Aline meminta cerai dari James.
Tling ... Tling ...
[Aku akan mengirimkan alamat apartemen ku, kita bertemu disana.] Pesan dari Aline kembali membuyarkan lamunan James.
Untuk apa wanita itu kembali? Bukankah dia sudah bahagia dengan pria pilihannya?, batin James dengan tatapan kosong
"James ... K-kau akhirnya datang juga." Terdengar suara wanita memanggil nama James dengan gemetar."Masuklah James! Aku sudah menunggu mu." Wanita itu mengajak James masuk kedalam rumahnya."Aline ... Aku tidak punya banyak waktu. Jika ada yang penting, maka katakanlah sekarang!""James, aku tidak menyangka kau akan sesukses sekarang ini. Aku bahagia melihat nya." Aline menatap James dengan tatapan kagum, " James ... Aku sudah bercerai. Kau maukan kembali lagi padaku." James terkejut mendengar ucapan Aline."Apa kau sudah tidak waras? Kau meninggalkanku lalu sesuka hati mu meminta ku kembali?""James, aku tahu kau masih sangat mencintai ku. Aku juga masih mencintai mu James." Aline mendekat tubuhnya pada James, "ayo, kita rajut kembali jalinan cinta yang sudah sempat terputus! James. Kau sekarang bukan James yang dulu, aku tidak akan meninggalkan mu lagi.""Sudahlah Aline! Masa lalu tidak mungkin diulang lagi. Kau yang memutus
Karen masih belum bisa menjawab pertanyaan James. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sambil berpikir kenapa ia begitu bodoh. Lupa kalau semalam tidur dirumah James.Karen kembali memandang James. Tergambar senyum manis di bibir mungil Karen. Otaknya masih belum bisa berhenti untuk mengagumi James."Hei! Kenapa kau malah tersenyum?" Suara James menyadarkan Karen."Aa---aku ... Kau yang salah! Kalau saja kau tidak menarik tangan ku pasti aku tidak akan tertidur disini. Aku hanya ingin membawa mu pulang, tapi malah terjebak disini.""Apa? Aku menarik tangan mu? " Giliran James yang mulai mengingat apa yang dialaminya semalam.Ahk, kenapa pesona mu sangat dahsyat? Umurmu pasti jauh lebih tua dariku. Tapi, kharisma mu mengalahkan usiamu, batin Karen memandangi James."Baiklah, aku yang salah. Terimakasih sudah membawa ku pulang." James mengembangkan senyuman hangat pada Karen.
Mobil Karen melaju membelah jalanan ibu kota. Sepanjang jalan ia memutar lagu jazz untuk menghiburnya. Karen sangat menyukai lagu jazz.Mobil Karen berhenti di rumah Risa. Ia menatap rumah Risa dari dalam mobil. Karen menghembuskan nafas dengan berat. Lalu melangkah menuju rumah Risa. Karena Risa adalah tempat terbaik untuk Karen berkeluh kesah.Tok,,, tok,,, tokRisa membuka pintu. Ia melihat Karen. Kemudian, mengajak Karen masuk kerumahnya.Risa membawakan segelas teh hangat untuk sahabatnya itu."Risa ... Coba tebak! Tadi aku habis bertemu dengan siapa?" Karen memegang tangan Risa."Hm, tidak tahu. Emang siapa yang baru saja bertemu dengan mu?""Tadi, aku bertemu dengan Robin dan juga Natalia." Risa terkejut mendengar pernyataan Karen.Semenjak putus dengan Robin, Risa melarang Karen untuk bertemu dengan Robin. Namun, Karen bersikeras ingin membalas perbuatan Robin dan juga Natal
Mobil James berhenti disebuah taman. Ia mengajak Karen untuk singgah di taman. Karena hari ini adalah hari kerja, jadi taman itu tidak terlalu ramai.James turun dari mobil. Ia membuka pintu Karen. Mata Karen terbelalak melihat tempat itu.Taman yang sebulan lalu menjadi tempat bahagianya, sebelum Robin selingkuh dari dirinya.Kenangan itu kembali lagi dalam ingatan Karen. Wajah Robin saat melamar dirinya kembali hadir dalam bayangan Karen.Karen menghela napas dengan dalam. Kedua netranya ia pejamkan, mencoba untuk melupakan semua kenangan sebulan yang lalu itu."Karen ... Kau tidak apa-apa kan?" James tidak tahu apa yang dialami Karen di taman itu.Karen menggelengkan kepalanya, lalu melangkah turun dari mobil James. Mereka pun berjalan menuju taman."Karen, kau tidak suka dengan taman ini?"Karen tidak mendengar apa yang dikatakan oleh James. Hatinya kembali sakit, namun ia mencoba untuk tidak menunjukkan
Ayah Robin masih menerka-nerka penyebab putusnya Robin dan juga Karen. Langkah kakinya semakin dipercepat agar segera sampai di rumah.Sama dengan suaminya. Lusi juga tidak habis pikir, kenapa Robin tidak memberitahu apapun.Kedua pasangan paruh bayah itu sudah sampai di rumah mereka. Wajah Gunawan dan Lusi terlihat sangat tidak bersahabat saat melihat Robin yang sedang menikmati sarapannya."Robin, apa maksud Karen mengatakan bahwa hubungan kalian sudah selesai?" Nada suara Gunawan terdengar berat juga bercampur emosi.Robin terkejut mendengar pertanyaan ayahnya itu. Ia tersendat lalu berbatuk.Mulut Robin sedikit kaku. Ia tahu bahwa ayahnya akan sangat marah jika ia tidak jadi menikah dengan Karen."Jawab Robin! Jangan sampai aku mencari tahu sendiri." Gunawan membangunkan Robin dari lamunannya."Pa ... Darimana papa tahu?""Robin, tadi mama sama papa bertemu dengan Karen. Karen sendiri yang bilang jika kalian sudah putus. Ta
"Karen Alexander, maukah kau menjadi ibu dari calon anak-anakku kelak?"Terdengar suara seorang pria yang sedang melamar wanita.Wanita itu adalah Karen, gadis cantik yang sudah menjalin hubungan selama tiga tahun belakangan ini dengan nya.Dengan posisi berlutut ditengah taman yang sudah sengaja dibooking dan di hias dengan sangat indah, Robin melamar Karen.Tak hanya mereka berdua, Robin juga sudah menyewa beberapa orang untuk menjadi saksi keseriusannya serta menyewa sebuah orkestra musik untuk melantunkan lagu-lagu romantis."Robin apa kau serius?" tanya Karen kaget."Ya, aku serius! Menikah lah denganku," Robin mengeluarkan sebuah cincin dari saku jasnya.Karen menganggukkan kepalanya.Melihat anggukan Karen, Robin meraih tangan Karen seraya memakaikan sebuah cincin dijari manis gadis itu.Semua orang yang ada disana bertepuk tangan, sayup-sayup terdengar lantunan musik yang sangat
Dimana Robin? mengapa ia tak kunjung datang?, batin Karen yang sedari tadi menunggu kedatangan Robin.Sudah hampir jam sepuluh malam, namun Robin tak kunjung datang. Telponnya pun tidak aktif."Besok aku akan datang ke apartemennya, mungkin hari ini dia sangat sibuk. Tapi besok tidak mungkin Robin sibuk, besok adalah hari Minggu bukan?" tanya Karen pada dirinya sendiri seraya meyakinkan dirinya.****"Apa kau tidak lihat bagaimana tunangan mu itu? Beraninya dia Menghusir ku," terdengar manja suara seorang gadis dari kamar apartemen Robin."Maafkan aku sayang, aku tidak tahu jika dia akan datang," jawab Robin seraya mengelus paha mulus gadis itu."Apa kau tahu, aku lebih mengharapkan kedatangan mu kepangkuan ku daripada kedatangannya," hibur Robin."Aku tahu, karena aku bisa memuaskan mu dengan goyangan tubuh ku," ujar gadis itu sambil mencondongkan tubuhnya pada Robin."Kau benar sayang, selama tiga