Saat ini hari sudah sore. Setelah mendapatkan titik lokasi tempat saat ini Hilde dan Michael berada, tanpa menunggu lama, aku pun langsung berangkat menuju ke tempat itu. Beberapa saat kemudian, aku sampai di depan sebuah gang gelap yang di mulut gangnya tampak cukup ramai karena saat ini adalah jam-jam pulang bagi para pekerja kantoran. Mendapati hal itu, aku hanya mengernyitkan dahi, benar-benar tidak habis pikir mengapa Michael membawa Hilde ke tempat seperti itu. "Hm, titik lokasi yang dikirim Chris sudah benar, tetapi aku tidak melihat mereka ... sebenarnya apa yang sedang mereka berdua lakukan di dalam gang itu?" pikirku dengan memusatkan pandanganku pada gang yang berada tepat di depanku. Wajahku sudah kututup oleh masker, jadi dengan begitu penampakkan wajahku bisa sedikit tersamarkan. Aku harus berhati-hati karena mengingat Michael pernah berinteraksi denganku ketika kami berada di pesta Hilde waktu itu. Dia pria jenius, aku yakin hanya dengan sekali lihat saja dia pa
Malam yang gelap gulita, kira-kira sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Waktu yang orang normal gunakan untuk tidur dan beristirahat setelah aktivitas mereka di siang hari. Namun, tidak dengan gadis cantik berambut hitam panjang bermata hijau ini, ia tengah berdiri memandang dingin seorang pria yang tergeletak di hadapannya dengan bermandikan sinar rembulan. Pria itu meringkuk di atas genangan darah yang berasal dari tubuhnya dengan luka menganga akibat tikaman diperutnya. Kulitnya sudah terasa dingin dan badannya kaku, dengan begitu dapat dipastikan bahwa pria itu sudah tewas. Gadis cantik itu tidak terganggu dengan mayat yang tergeletak di hadapannya itu, ia malah menatapnya dengan dingin tanpa ekspresi seakan hal itu bukanlah apa-apa baginya. "Ini terlalu mudah," gumam gadis itu sembari berlalu tanpa memedulikan apa yang baru saja dilihatnya. Wendy Madeline, itulah nama gadis dingin itu. Ia adalah salah satu anggota kelas menengah organisasi mafia Coltello.
Sepulangnya dari kantor Chris, Wendy langsung mengurung diri di ruang kerjanya yang sangat dipenuhi oleh kertas-kertas dan benang-benang merah yang ditempel di dindingnya. Kertas-kertas itu merupakan berkas-berkas mengenai target-targetnya dan benang merah berfungsi sebagai penghubung antara target dengan hal-hal lainnya. Selain itu di ruang kerjanya terdapat beberapa senjata seperti pistol, katana, pisau, dan lain sebagainya yang tersimpan rapi dalam lemari kaca, sungguh ruangan yang sangat menggambarkan sekali seorang eksekutor.Wendy duduk di kursi kebesarannya sembari membuka lembar demi lembar berkas informasi tentang targetnya kali ini, Reynold Clifford.Wendy sangat sulit sekali untuk fokus mempelajari berkas informasi targetnya, karena matanya selalu teralihkan pada potret targetnya yang sangat menawan itu. Merasa terganggu dengan foto itu, ia lalu berdiri dan menghampiri tembok yang masih memiliki ruang kosong dan menempelkan foto targetnya itu di sana."Bagaimana cara untuk
"Kenapa orang ini malah jadi mengikutiku?" pikir Wendy sembari melirik Reynold yang pada akhirnya malah ikut berjalan bersamanya menuju sebuah lapangan di dekat rumahnya."Nah Kita sudah sampai, Kau tadi bilang akan mengelilingi lapangan ini bukan?" tanya Reynold pada Wendy.Lapangan yang berada dekat dengan rumah Reynold itu saat ini terlihat tidak terlalu ramai, ada beberapa orang yang tengah duduk-duduk bercengkerama di lapangan, joging, atau hanya berjalan-jalan saja di sana. Lapangan yang ternyata tidak sepi itu membuat Reynold merasa lega, karena ia akhirnya bisa pergi dengan tenang."Di sini sepertinya tidak terlalu sepi, jadi Aku pulang ya," ucap Reynold yang langsung bergegas meninggalkan Wendy di lapangan.Wendy hanya diam melihat punggung Reynold yang kian lama kian menjauh, ia benar-benar tidak mengerti alasan mengapa Reynold ikut bersamanya ke lapangan dan tiba-tiba meninggalkannya sendirian di sana."Tunggu dulu! Apakah itu maksudnya dia hanya ingin memastikan Aku aman s
Beberapa hari kemudian.Hari ini adalah hari pertama Wendy masuk ke kampus yang sama dengan Reynold. Ia berdandan sangat natural seperti mahasiswi normal pada umumnya dengan tubuhnya yang tidak terlalu tinggi dan wajahnya yang tidak boros membuat sosoknya bisa berbaur dengan mahasiswi-mahasiswi lainnya. Selain itu, ia juga berangkat ke sekolah menggunakan kendaraan umum, menggendong tas yang berisi buku-buku mata kuliah hari ini, tersenyum ramah pada pak satpam yang berjaga di pos satpam universitas, pokonya ia benar-benar sudah seperti mahasiswi ramah normal yang datang ke kampus untuk menuntut ilmu.Beberapa hari sebelum memulai misinya di kampus ini, Wendy mendapatkan beberapa rincian mengenai identitas yang akan ia gunakan dalam misi ini dari Chris. Ia akan menggunakan identitas Bella Valentine untuk menutupi identitas alinya. Chris benar-benar menuliskan semua rinciannya dengan sangat detail, termasuk dengan kepribadian, dandanan, serta gaya berpakaian yang harus Wendy gunakan
Karena di hari pertama perkuliahan tidak ada penyampaian materi perkuliahan, setelah selesai mengabsen dan memberi sedikit pengarahan, serta sesi tanya jawab, Martin pun akhirnya mengakhiri kelas.Semua mahasiswa dan mahasiswi pergi meninggalkan kelas, terkecuali Wendy, karena ia diminta Martin untuk jangan dulu meninggalkan ruangan. Oleh karena itu, Wendy hanya duduk manis di tempat duduknya melihat satu persatu teman kelas melewati pintu.Ia lalu mengalihkan pandangannya pada DPA-nya yang tampak sedang sibuk memeriksa ponselnya sembari menunggu semua orang meninggalkan kelas. "Hm, apa saja yang ingin dia bicarakan denganku ya?" pikir Wendy.Ting!Tiba-tiba ponsel Wendy berdering, pertanda sebuah pesan singkat baru saja terkirim padanya.Menyadari hal itu, Wendy langsung mengambil ponselnya untuk mengetahui siapakah si pengirim pesan itu.Setelah memastikannya seketika wajah manis gadis itu tertekuk, tampak sekali raut wajahnya sangat tidak senang dengan apa yang dibacanya."Semangat
POV Wendy.Aku sudah cukup lama berdiri di sini, berusaha menguping pembicaraan kedua pria itu di dalam sana. Namun sayang sekali aku tidak bisa mendengar dengan jelas mengenai apa yang sedang mereka bicarakan karena situasi di sekitarku yang begitu riuh, ditambah lagi baik suara Reynold maupun Martin, keduanya terdengar sangat pelan sehingga hal itu membuatku terpikir bahwa di dalam sana mereka benar-benar sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius."Apakah mereka benar-benar mencurigaiku sehingga mereka mengikatkan kewaspadaan mereka?" pikirku, memikirkan kemungkinan terburuk itu."Hm, tapi jika demikian, mengapa Martin mencurigaiku? Dia hanya seorang dosen yang tak ada sangkut-pautnya dengan organisasi, dia murni orang luar yang seharusnya tidak ada keterkaitan apa-apa sehingga seharusnya dia bukanlah ancaman ... Seharusnya yang aku khawatirkan adalah Reynold, dia pasti tahu sesuatu mengenai kasus pembunuhan si brengsek itu dari ayahnya, mungkin saja dia saat ini sedang meningk
Gadis itu tampak sangat senang dengan sanjungan yang kulontarkan padanya. Tampangnya yang judes itu berubah menjadi senang dengan diwarnai segaris kebanggaan yang begitu tinggi."Hahahaha, orang bodoh sekali pun akan menyadari betapa beraninya Aku. Well, mau bagaimana lagi, keberadaanku memang tidak bisa disamarkan." Dia malah memuji dirinya sendiri dengan sangat percaya diri. Sungguh kepercayadiriannya patut untuk diapresiasi."Kau benar, Aku harus banyak belajar padamu," timpalku yang masih mengikuti alur, dan tentunya berusaha menarik simpati gadis itu agar di kemudian hari ia mau dengan suka rela membantuku mengejar Reynold.Ia lalu melipat kedua tangannya di depan dadanya dengan senyum penuh kemenangan. "Well, lagi pula sebagai mahasiswi baru seharusnya Kau menyadari bahwa Kau memerlukan seseorang untuk membantumu beradaptasi ... Karena Aku adalah orang baik, jadi tak ada pilihan lain bagiku selain membantumu!" tuturnya."Berhasil!" Jelas, mendengar ungkapan sok itu aku sangat se
Saat ini hari sudah sore. Setelah mendapatkan titik lokasi tempat saat ini Hilde dan Michael berada, tanpa menunggu lama, aku pun langsung berangkat menuju ke tempat itu. Beberapa saat kemudian, aku sampai di depan sebuah gang gelap yang di mulut gangnya tampak cukup ramai karena saat ini adalah jam-jam pulang bagi para pekerja kantoran. Mendapati hal itu, aku hanya mengernyitkan dahi, benar-benar tidak habis pikir mengapa Michael membawa Hilde ke tempat seperti itu. "Hm, titik lokasi yang dikirim Chris sudah benar, tetapi aku tidak melihat mereka ... sebenarnya apa yang sedang mereka berdua lakukan di dalam gang itu?" pikirku dengan memusatkan pandanganku pada gang yang berada tepat di depanku. Wajahku sudah kututup oleh masker, jadi dengan begitu penampakkan wajahku bisa sedikit tersamarkan. Aku harus berhati-hati karena mengingat Michael pernah berinteraksi denganku ketika kami berada di pesta Hilde waktu itu. Dia pria jenius, aku yakin hanya dengan sekali lihat saja dia pa
POV Wendy. "Misi apa yang akan pria itu berikan dengan membuat kita bertiga berkumpul seperti ini?" pikirku sembari menatap sosok Chris yang tengah duduk sembari menatap kami bertiga dengan serius. "Si bajingan Vincent kemarin buka mulut. Dia terus mengoceh, sehingga pada akhirnya mengatakan bahwa ada hal serius yang akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan, dan itu berhubungan Coltello. Mau tidak mau organisasi akan terlibat dalam sebuah perang antar organisasi kecil dan itu tidak bisa dihindari!" Chris mulai menuturkan hal yang menjadi penyebab yang sepertinya membuat pikirannya terganggu. Mendengar hal itu, sontak saja semua orang terlihat semakin serius. "Dia tidak mengatakan detailnya, tetapi itu berhubungan dengan tuan Jimmy Heartnewt. Dia hanya bilang bahwa dengan adanya pejabat itu di sisi mereka, maka Coltello pasti tidak akan baik-baik saja!" Chris melanjutkan perkataannya. Pria itu, melirik ke arahku, kemudian berkata, "Wendy, kuperintahkan Kau untuk mengawasi
Michael memandang Hilde dengan perasaan penuh antusias, benar-benar ingin segera mengetahui apa yang hendak tante girang itu bicarakan dengannya, di samping dia ingin 'benda' yang ada padanya. Sedangkan wanita itu tampak tertunduk sedih di samping pria itu sembari memainkan tangannya. "Hm? Nyonya Hilde, mengapa Anda hanya diam saja?" tanya Michael sambil memasang senyumnya yang menawan. Hilde dengan ragu melirik pria rupawan itu. "Tuan Clifford, Saya merasa ketakutan," ucapnya dengan suara yang bergetar. "Well, itulah yang seharusnya Anda rasakan. Anda baru saja menjadi target pembunuhan, tentu saja hal semacam itulah yang harus Anda rasakan," ujar pria itu. Hilde langsung berdiri tanpa mengalihkan pandangannya dari Michael, lalu berkata dengan menggebu-gebu, "Tuan, Anda sudah menyelamatkan nyawa Saya malam itu. Saya yakin Anda bisa-" "Sejujurnya, Nyonya Hilde, yang Saya lakukan hanyalah menangguhkan waktu pembunuhan Anda. Anda berhasil lolos malam itu, bukan berarti Anda
"Well, Rey, Rob, tunggu sebentar ya! Sebentar lagi kelasku selesai," seru Martin. "Baik, ayah mertua!" timpal Robert dengan bersemangat, berbanding terbalik dengan Reynold yang hanya merespons dengan sebuah anggukan malas. Martin tersenyum, lalu kembali ke dalam kelas, melanjutkan perkuliahannya. Tinggallah kedua pemuda itu sendiri. "Sebenarnya untuk apa Kau menemui Pak Martin?" Reynold yang masih penasaran, menanyakan hal yang menurutnya ganjil itu. "Eh? Aku hanya datang untuk kunjungan rutinku. Takada masalah mengenai itu, kan?" jawab Robert dengan santainya. "Kunjungan rutin apa?" Reynold bertanya makin jauh. "Itu bukan urusanmu~" timpal lawan bicaranya yang terlihat seperti sedang menjahilinya. Mendengar respons itu, Reynold tidak memperpanjangnya lagi karena sejujurnya ia cukup kesal mendengar bagaimana pemuda itu menjawab tiap pertanyaannya. "Tapi ada satu hal pasti yang menjadi urusanmu, yaitu uruslah kekasihmu sendiri, dan jauh-jauhlah dari Bella!" Pemuda it
Beberapa saat kemudian, kami sudah berada di depan pintu masuk gedung aprtement-ku. "Terima kasih, Rey!" ucapku dengan riang gembira. Reynold hanya memandang dengan malas padaku. Aku memeluk erat boneka unicorn pemberian darinya sembari cengengesan. "Terima kasih juga bonekana ... Aku sangat menyukainya," ungkapku. "Aku tidak sengaja memberikannya-" "Aku akan menamainya ReyBell!" selaku, langsung memberitahukan nama boneka pemberiannya. "Hm, Reynold Bella, kah? Dasar gadis aneh!" gumamnya sembari menyalakan kembali motornya, sepertinya ia bersiap untuk pergi. Aku menghadapkan kepala boneka itu pada Reynold, seraya berkata dengan nada jahil, "Reybell, ayo katakan sesuatu pada Papa!" Reynold langsung menoleh padaku dengan tampang terkejut. "Papa, hati-hati di jalan ... sampai jumpa lagi!" Aku mengubah suaraku sembari mengerak-gerakkan kaki depan boneka unicorn itu seakan dia sedang melambai pada pemuda yang sudah memberikan boneka ini padaku. "Dasar gadis aneh!" guma
Belum sempat aku menjawab apa yang ditanyakannya, Reynold menghentikan laju motornya di depan sebuah kedai makanan sederhana. "Em, Rey?" Aku memanggilnya dengan heran. "Turunlah!" serunya. Aku pun melakukan apa yang diserukannya dengan tampang bingung. "Kenapa Kita berhenti di sini?" tanyaku. Pemuda itu menurunkan standar motornya, lalu turun dari motornya, dan setelah itu melengos pergi menuju ke pintu masuk kedai seraya berkata, "Aku lapar!" "Hah? Apa? Eh, tunggu Aku!" Takingin tertinggal olehnya, aku berlari kecil untuk mengejarnya. *** Kini kami duduk berhadapan di dalam kedai itu. Makanan sudah dipesan dan kami hanya tinggal menunggu pesanan kami datang. Ini pertama kalinya aku dan Reynold makan berdua seperti ini. Sejujurnya entah mengapa aku merasa gugup, karena kami benar-benar tidak melakukan apa-apa, hanya duduk diam saling menatap. Pemuda itu bahkan tidak memainkan ponselnya dan ia hanya memandangi sekitar dan sesekali memandang ke arahku dengan tampang
"Aku akan tahu rahasia Reynold! Aku harus berjuang!" pikirku dengan rasa begitu antusias mengikuti langkah targetku ini. Pintu geser kaca otomatis pun langsung terbuka ketika kaki kami menyentuh lantai di depannya. "WOAH ...." Aku memasang tampang bodoh seperti anak kecil yang baru pertama kali masuk ke dalam sebuah gedung yang penuh dengan berbagai macam game arcade di dalamnya. Aku langsung beralih pada Reynold dengan antusias, seraya bertanya sambil menarik-narik bajunya, "Rey, Rey! Mau main yang mana dulu ini?" Pemuda itu menoleh padaku dengan malas, lalu berjalan begitu saja menuju ke tempat pembelian koin. "Kau yang pilih!" tegasnya setelah ia membeli koin yang cukup banyak. "Eh? Baiklah!" timpalku dengan bersemangat. Kuedarkan pandanganku untuk mencari mesin permainan yang terlihat menarik untuk pertandingan kami. "Ayo Kita main itu!" Aku menunjuk sebuah mesin game arcade Tekken yang terlihat masih baru tak jauh dari tempat kami berdiri. "Hm." Reynold hanya m
POV Wendy. Kedua mataku terbelalak melihat pemandangan mengejutkan itu. Setelah mencari pemuda itu selama satu setengah jam, akhirnya Aku menemukannya dalam situasi yang membuatku takhabis pikir. Sebuah situasi di mana Reynold terlihat bahagia bercanda dan beberapa kali ia juga tertawa dengan gadis kecil yang terlihat seperti berumur 7 tahunan di punggungnya itu. "Bocah cilik itu siapanya Reynold?" gumamku yang masih tak percaya dengan apa yang kulihat. "Reynold! Luna!" Seorang wanita berlari kecil sambil memanggil mereka. Pemuda dan bocah cilik itu menoleh pada wanita itu. Seorang wanita dewasa yang terlihat manis dan terlihat menenteng kantong kresek. Bocah itu terlihat antusias dan Reynold pun berjalan mendekat pada wanita itu sambil menggendong gadis cilik yang sepertinya bernama Luna itu. Mereka bertiga terlihat bercengkerama bersama dengan menampakkan senyum lepas satu sama lain sehingga mereka benar-benar terlihat seperti keluarga yang sangat bahagia. "Aku tida
Michael tengah duduk di depan seorang pria bermantel biru khas seragam kepolisian. Mereka duduk berhadapan dengan tampang si pria dari kepolisian itu terlihat kesal. Sedangkan Michael terlihat begitu santai, takpeduli dengan tampang kesal pria itu. "Jadi, Kau tetap takingin menyerahkan benda yang Kau dapatkan itu?" tanya pria itu dengan gigi bergemertak seakan sedang menahan kekesalannya. "Yaps! Aku berhak menolak karena itu adalah properti pribadiku. Kau ini polisi, pasti Kau sangat tahu hak-hak warga negara bukan?" jawab Michael dengan tenang. "Tuan Michael Clifford, Aku rasa itu bukan benda milikmu, jadi kami berhak untuk mengambilnya demi kepentingan negara!" Polisi itu menyanggah apa yang dikatakan pria yang tampak menyebalkan dengan seringainya yang tiba-tiba saja tampak semenjak mereka bertemu. Michael menghela napas, lalu sidekap di pahanya, lalu berkata, "Kau sepertinya lupa dengan tujuanmu sejak awal. Semenjak Kau datang Kau hanya membicarakan 'benda itu.' Well, Kau