Sepulangnya dari kantor Chris, Wendy langsung mengurung diri di ruang kerjanya yang sangat dipenuhi oleh kertas-kertas dan benang-benang merah yang ditempel di dindingnya. Kertas-kertas itu merupakan berkas-berkas mengenai target-targetnya dan benang merah berfungsi sebagai penghubung antara target dengan hal-hal lainnya. Selain itu di ruang kerjanya terdapat beberapa senjata seperti pistol, katana, pisau, dan lain sebagainya yang tersimpan rapi dalam lemari kaca, sungguh ruangan yang sangat menggambarkan sekali seorang eksekutor.
Wendy duduk di kursi kebesarannya sembari membuka lembar demi lembar berkas informasi tentang targetnya kali ini, Reynold Clifford.Wendy sangat sulit sekali untuk fokus mempelajari berkas informasi targetnya, karena matanya selalu teralihkan pada potret targetnya yang sangat menawan itu. Merasa terganggu dengan foto itu, ia lalu berdiri dan menghampiri tembok yang masih memiliki ruang kosong dan menempelkan foto targetnya itu di sana."Bagaimana cara untuk menangani pemuda ini?" gumamnya sembari mengusap foto yang baru saja ia tempel.Ia memandanginya sejenak, kemudian kembali ke tempat duduknya untuk mempelajari lebih jauh mengenai targetnya.***Sudah hampir 5 jam Wendy mempelajari informasi itu dan memikirkan langkah-langkah yang akan dia lakukan untuk mendekati pemuda yang menurutnya seperti orang yang keras kepala."Hm, sangat sulit sekali! Jika hanya membayangkan saja, Aku tidak bisa memikirkan apa-apa," gumamnya."Sepertinya Aku harus melihatnya secara langsung," sambungnya sembari membuka kembali berkas tentang profil singkat pemuda itu untuk menemukan alamat rumahnya dan kemudian menuliskannya di pencarian alamat di aplikasi maps di ponselnya untuk menemukan lokasi tepatnya.Tanpa banyak berpikir lagi, Wendy langsung bergegas menuju ke ruangan pakaiannya untuk mengambil baju dan perlengkapan menyamarnya, karena ia hendak melihat sosok Reynold Clifford secara langsung.Tentu saja untuk mempelajari targetnya ini ia harus sangat hati-hati karena seperti yang Chris katakan, dia orang yang sangat tajam, sedikit saja kesalahan, maka semuanya akan kacau, dan bahkan malah akan membuat Wendy terjebak olehnya.Beberapa saat kemudian Wendy sudah siap dengan perlengkapan menyamarnya, dengan tambahan kacamata hitam yang dipakainya membuat penampilannya sekarang sudah benar-benar menutupi penampilan aslinya."Aku memang tidak terlalu pandai menyamar, tapi menurutku ini sudah cukup," gumamnya sembari memperhatikan bayangan dirinya di cermin.Setelah itu ia langsung menaiki motor besarnya dan pergi menuju alamat yang sudah ia cari melalui aplikasi maps tadi untuk melihat targetnya secara langsung.***Sementara itu di kediaman Michael Clifford.Detektif swasta jenius itu tengah duduk menonton siaran berita di televisi dengan ditemani secangkir kopi di tangannya."Berita ini lagi. Berita ini terus ditayangkan sejak tadi pagi, bosan sekali Aku melihatnya," komentar pria paruh baya itu.Berita yang tengah ia lihat sekarang tidak lain dan tidak bukan adalah berita mengenai ditemukannya mayat seorang pria tanpa identitas di taman kota yang sebenarnya dia sangat tahu siapa pria itu."Hah~ sepertinya mereka sengaja melakukan itu untuk menakut-nakutiku," gumamnya lagi sembari tersenyum sinis di depan televisi."Hehehe, mereka salah besar jika mereka berpikir Aku akan terganggu dengan kasus murahan ini," sambungnya sembari cengengesan.Mendengar cengengesan di malam yang sunyi ini, seorang pemuda masuk ke ruang keluarga, di mana sumber suara itu berasal."Berbicara sendiri lagi huh?" ucap pemuda dingin yang tampak sudah tidak heran dengan tingkah pria paruh baya itu."Apa yang kau tahu, Reynold Clifford, putraku?" ucapnya yang malah bertanya balik tanpa menoleh pada putranya itu."Maksudmu tentang hal besar yang tidak pernah ingin Kau ceritakan itu?" tanya pemuda yang bernama Reynold itu.Michael hanya diam, tersenyum sambil memandangi televisi di depannya.Reynold dengan wajah datarnya kemudian memperhatikan berita di televisi itu untuk mengetahui apa yang sebenarnya ayahnya tertawakan."Sepertinya mayat tanpa identitas itu ada hubungannya dengan alasan Kau cengengesan sendiri seperti orang gila," simpulnya setelah ia memperhatikan siaran berita yang sedang ayahnya tonton itu."Lalu?" tanya ayahnya seakan tengah memancing anaknya untuk menebak apa yang ia pikirkan."Hal itu lucu karena tidak ada hubungannya denganmu?" tanya Reynold memastikan."Hehehe, betul, betul sekali! Mayat itu tidak ada hubungannya denganku, Rey, dia pantas mendapatkannya," jawabnya dengan senyum lebar yang tidak luntur dari wajahnya seperti seorang anak kecil yang sedang bersemangat akan sesuatu.Meski sebenarnya Reynold masih tidak puas dengan jawaban ayahnya itu, ia pun tidak memperpanjangnya karena ia sudah tahu bahwa dia tidak akan mengatakan apa-apa lagi mengenai apa pun yang sedang ia pikirkan. "Sudahlah, makan malam sudah siap, makan dulu sana!" seru Reynold sembari berjalan menuju ke meja makan."Hahaha, baiklah, mari Kita makan malam, ngomong-ngomong masak apa Kau kali ini, hm?" ucap Michael pada anaknya."Nasi goreng," jawab Reynold dengan singkat.Michael Clifford hanya tinggal berdua dengan putranya Reynold Clifford di rumah sederhana dua lantai ini, istrinya meninggal setelah berhasil melahirkan Reynold 20 tahun yang lalu. Ia adalah seorang ayah yang sangat sibuk sehingga semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Reynold dan karena hal itulah ia menjadi anak yang serba bisa."Bagaimana hari ini, Rey?" tanya Michael pada anaknya di tengah makan malam mereka."Biasa saja," jawab Reynold atas pertanyaan yang selalu ditanyakan ayahnya saat makan malam itu."Oh baiklah, berarti Kau baik-baik saja," ucap Michael.Mereka selalu seperti ini setiap makan malam, Michael bertanya dan Reynold menjawab, sangat langka sekali terjadi sebaliknya."Rey, tolong Kau kirimkan surat ini ke kantor pos sekarang!" seru Michael setelah mereka selesai makan malam."Iya, setelah Aku selesai membereskan ini semua," jawab Reynold dengan malas."Sekarang saja! Semua ini biar Aku yang membereskannya," ucap Michael."Hm, baiklah," timpal pemuda itu sembari memandangi sebuah amplop yang berada di tangan Michael."Terima kasih, ini dia suratnya," ucap Michel sembari menyodorkan sebuah amplop putih yang berisi surat untuk seseorang.Reynold mengambil surat itu dan tanpa banyak bertanya langsung bergegas menuju kantor pos dengan berjalan kaki.Selama perjalanan menuju kantor pos, Reynold terus memandangi surat yang ada di tangannya, ia merasa sangat penasaran dengan isi surat itu, ia sangat ingin tahu apa yang ditulis ayahnya untuk si penerima surat ini."James Lincoln," gumam Reynold, membaca nama penerima surat itu. “Surat ini dikirim ke ibu kota. Well, sepertinya ini ada hubungannya dengan kasus yang sedang ayah kerjakan," sambungnya.Ia pun melanjutkan langkahnya untuk mengirimkan surat itu ke kantor pos dengan pikiran yang penuh akan tanda tanya mengenai kasus seperti apa yang sebenarnya tengah ditangani ayahnya.***Kembali pada Wendy.Ia sekarang sudah sampai di sebuah minimarket yang berada dekat dengan rumah Michael Clifford. Ia sengaja mengunjungi tempat itu untuk membeli sebotol kopi merek kesukaannya sekaligus memarkirkan motornya di sana sebelum berjalan menuju rumah Michael Clifford.Sembari berjalan kaki menuju tempat tujuannya, Ia meminum kopi yang baru saja dibelinya sedikit demi sedikit untuk menikmati rasanya."Berjalan di bawah rembulan sembari meminum kopi enak ini sangat menenangkan sekali," gumamnya.Namun, ketenangan itu hilang seketika saat tiba-tiba seseorang menabraknya dari belakang dengan keras.DUG!Wendy pun terjatuh dan minumannya pun tumpah sangat banyak dari botolnya."Ko...kopi enakku!" gumam Wendy meratapi kopinya yang kini sudah bersatu dengan aspal."Ah, maafkan Aku," ucap orang yang menabraknya tadi dengan nada datar.Tanpa mendengar permintaan maafnya, dengan kesal Wendy merogoh sakunya untuk mengambil pisau lipatnya, dan saat menoleh pada si penabrak itu, ia langsung mengurungkan niatnya dan malah terpaku melihat sosok yang menabraknya itu."Reynold Clifford!" ucapnya dalam hati setelah mengetahui bahwa target incarannya sudah berdiri tepat di hadapannya.Wendy terdiam dengan mulut yang menganga, dan matanya terus memandangi pemuda tampan itu, hingga membuat Reynold menjadi semakin merasa tidak enak pada orang yang ditabraknya."Em, maafkan Aku, sini biar kubantu Kau berdiri" ucapnya sembari menyodorkan tangannya pada wanita berkacamata hitam itu.Tanpa berkata apa-apa Wendy menerima uluran tangannya dan menariknya sehingga ia bisa berdiri."Kau tidak apa-apa?" tanya Reynold memastikan."Tidak, Aku tidak apa-apa, hanya saja-" Wendy menjeda perkataannya, lalu memandangi botol kopinya yang hampir kosong tergeletak di atas aspal."Oh, baiklah, Kau tunggu di sini!" seru Reynold yang mengerti maksud Wendy.Wendy hanya mengangguk sebagai jawaban dari perkataan Reynold.Reynold hanya mengangguk kecil, kemudian berbalik dan berjalan menuju minimarket tempat Wendy membeli kopi itu tadi."KAU HARUS MEMBELI PERSIS SEPERTI YANG KUBELI YA!" teriak Wendy setelah pemuda itu berjalan cukup jauh di depannya."YA!" jawab Reynold yang mendengar teriakan Wendy.Setelah Reynold menghilang dari pandangannya, Wendy langsung mengeluarkan catatan kecilnya untuk menuliskan sesuatu di sana.Seperti inilah yang ditulisnya dalam buku catatan kecilnya ituHal-hal yang kuketahui dari Reynold :1. Tampan2. Bertanggung jawab3.Ia lalu memandangi tulisan yang baru saja ia buat itu. "Aku butuh tahu lebih banyak!" gumamnya.***Beberapa saat kemudian Reynold kembali dari minimarket dengan menenteng kresek berisi kopi yang sama dengan yang tadi Wendy beli dan beberapa makanan lainnya. Ia menghampiri Wendy yang benar-benar menunggunya kembali."Aku ganti dengan yang baru dan ditambah dengan beberapa makanan ringan lainnya sebagai bentuk ganti rugi karena telah membuatmu terjatuh," ucapnya sembari memberikan semua belanjaannya pada Wendy.Tanpa berusaha menolaknya, Wendy mengambil semuanya dan berkata, "Terima kasih! Kau sudah kumaafkan, kalau begitu Aku pergi."Wendy kemudian berjalan kembali ke arahnya semula, yaitu menuju ke rumah Michael Clifford. Selama perjalanan itu, ia bisa merasakan Reynold berjalan mengikutinya di belakang. Karena merasa tidak enak, ia kemudian berhenti dan berbalik ke belakang untuk mengetahui maksud pemuda itu mengikutinya."Em, maaf, apakah kau masih ada perlu padaku?" tanya Wendy."Tidak," jawab Reynold dengan datar."Terus mengapa Kau mengikutiku?" tanya Wendy lebih jauh karena semakin penasaran dengan maksud pemuda itu mengikutinya."Aku tidak mengikutimu, Aku hanya ingin pulang dan jalannya memang lewat sini," jawabnya dengan datar."Ah! WENDY !!! BODOH SEKALI KAU! KENAPA KAU BISA LUPA KALAU ORANG INI SATU RUMAH DENGAN MICHAEL CLIFFORD, TENTU SAJA DIA LEWAT SINI JUGA!" teriak Wendy dalam hati setelah menyadari hal penting itu."Oh, begitu," jawab Wendy dengan tenang menyembunyikan perasaan malunya karena sudah berpikir yang tidak-tidak mengenai pemuda itu."Ya sudah, Kau jalan di depan saja, Aku merasa tidak enak berjalan di depan orang lain," sambung Wendy."Baiklah," jawab Reynold dengan datar.Mereka pun akhirnya mulai berjalan lagi dengan Reynold yang berjalan agak jauh di depan Wendy. Namun, baru saja mereka berjalan beberapa langkah, Reynold berhenti dan menoleh pada gadis yang berjalan di belakangnya."Kau tahu? Sepertinya lebih baik Kita berjalan bersebelahan saja, berjalan di depan saat tahu ada orang yang berjalan di belakang juga membuatku merasa tidak enak," ucap Reynold."Um, ba ... baiklah," jawab Wendy dengan gugup karena mengira bahwa mungkin Reynold menyadari sesuatu sehingga berpikir untuk berjalan bersebelahan dengannya.Pada akhirnya mereka berjalan berdampingan. Selama perjalanan itu mereka berdua terdiam, tidak ada yang memulai percakapan terlebih dahulu."Dia memang pendiam ternyata," pikir Wendy. "Jika aku ingin mendapat sesuatu darinya Aku harus mengajaknya berbicara," sambungnya."Em, apakah rumahmu masih jauh?" tanya Wendy untuk sekedar berbasa-basi dengan pemuda pendiam ini."Tidak terlalu jauh," jawab Reynold dengan sangat singkat dan tidak jelas.Setelah itu mereka pun terdiam lagi."Wow, sulit juga, dia tidak seperti Chris yang obrolannya selalu mengalir panjang seperti sungai A****n yang sangat panjang itu," pikir Wendy.Namun Wendy masih tidak menyerah, ia berusaha kembali untuk mengajaknya berbicara lagi. "Kau tadi seperti terburu-buru sehingga menabrakku dengan keras tadi, tapi kenapa sekarang Kau malah terlihat santai?" tanya Wendy berusaha mencari topik pembicaraan lagi."Aku dari tadi tidak sedang terburu-buru, Kau saja yang terlalu kecil sehingga Aku tidak melihatmu saat tengah berjalan tadi," timpal Reynold dengan dingin sehingga terdengar bahwa ia sangat terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Wendy."Hah? Alasan macam apa itu?" protes Wendy yang tidak habis pikir dengan jawaban yang keluar dari mulut Reynold."Lihatlah dirimu sendiri, lalu coba Kau bandingkan dengan badanku," jawabnya Reynold dengan logis.Wendy pun termakan dengan perkataannya dan mencoba membandingkan badannya dengan Reynold. "Ah, dia benar," gumam Wendy.Mereka terdiam lagi."Ya ampun, sampai kapan situasi ini akan berakhir!" pikir Wendy yang mulai kesal dengan atmosfer di antara mereka. "Hm, lebih baik Aku diam juga, mengikuti bagaimana ini akan berlangsung," sambungnya sembari melirik pada pemuda dingin yang berjalan di sampingnya itu."Apa?" tanya Reynold yang menyadari Wendy dari tadi memperhatikannya."Tidak, bukannya wajar jika Aku waspada pada orang asing?" jawab Wendy."Hoo, Kau takut Aku akan melakukan hal jahat padamu ya?" tanya Reynold memastikan."Tentu saja, Aku kan cuman seorang gadis KECIL yang lemah, pantas saja kalau Aku takut pada seorang pemuda asing BESAR yang berjalan di sampingku," jawab Wendy dengan santai dengan penekanan di beberapa kata dalam perkataannya.Reynold kemudian berhenti dan menoleh pada Wendy, melihat hal itu sontak saja Wendy juga ikut menghentikan langkahnya dan menoleh padanya. Reynold kemudian membungkuk dan mendekatkan wajahnya pada Wendy agar ia bisa melihat wajah Wendy dengan jelas."O ... oi, apa yang Kau lakukan hah?" ucap Wendy gugup."Kau tidak terlihat seperti orang yang tengah ketakutan," ucap Reynold yang kemudian berdiri tegak kembali dan melanjutkan perjalanannya."Di ... dia hanya ingin melihat ekspresi wajahku, benar-benar waspada sekali orang ini," pikir Wendy yang juga ikut kembali berjalan bersamanya.Beberapa saat kemudian, mereka hampir sampai di depan rumah Reynold, yang mana itu artinya sebentar lagi mereka harus berpisah. Tanpa diduga tiba-tiba Reynold bertanya, "Kau mau pergi ke mana sebenarnya?""Eh? Kukira dia tidak akan bertanya mengenai itu," pikir Wendy yang cukup terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba itu."Um, sebenarnya Aku hanya ingin berjalan-jalan saja mencari udara segar, dan tujuan akhirku adalah lapangan yang ada di sana, berputar-putar di sana, lalu kemudian pulang," jawab Wendy yang sebenarnya tidak tahu harus menjawab apa."Hm, baiklah," ucap Reynold yang malah terus berjalan lurus melewati rumahnya."Eh? Bukannya ini rumahmu?" tanya Wendy heran."Dari mana Kau tahu kalau ini rumahku? Aku tidak ingat pernah mengatakan kalau ini adalah rumahku," jawab pemuda itu yang mulai merasa curiga pada wanita yang berjalan di sampingnya."Aku tadi melihat kakimu hampir saja masuk ke pekarangan rumah itu, jadi kukira tadi itu rumahmu" jawab Wendy dengan tenang."Hm, boleh juga gadis ini," pikir Reynold setelah ia mendengar jawaban Wendy.Mereka pun akhirnya melanjutkan perjalanan mereka, tanpa banyak bertanya lagi."Reynold Clifford, apa tujuanmu mengikutiku?" pikir Wendy yang benar-benar penasaran dengan tingkah pemuda rupawan yang misterius itu."Kenapa orang ini malah jadi mengikutiku?" pikir Wendy sembari melirik Reynold yang pada akhirnya malah ikut berjalan bersamanya menuju sebuah lapangan di dekat rumahnya."Nah Kita sudah sampai, Kau tadi bilang akan mengelilingi lapangan ini bukan?" tanya Reynold pada Wendy.Lapangan yang berada dekat dengan rumah Reynold itu saat ini terlihat tidak terlalu ramai, ada beberapa orang yang tengah duduk-duduk bercengkerama di lapangan, joging, atau hanya berjalan-jalan saja di sana. Lapangan yang ternyata tidak sepi itu membuat Reynold merasa lega, karena ia akhirnya bisa pergi dengan tenang."Di sini sepertinya tidak terlalu sepi, jadi Aku pulang ya," ucap Reynold yang langsung bergegas meninggalkan Wendy di lapangan.Wendy hanya diam melihat punggung Reynold yang kian lama kian menjauh, ia benar-benar tidak mengerti alasan mengapa Reynold ikut bersamanya ke lapangan dan tiba-tiba meninggalkannya sendirian di sana."Tunggu dulu! Apakah itu maksudnya dia hanya ingin memastikan Aku aman s
Beberapa hari kemudian.Hari ini adalah hari pertama Wendy masuk ke kampus yang sama dengan Reynold. Ia berdandan sangat natural seperti mahasiswi normal pada umumnya dengan tubuhnya yang tidak terlalu tinggi dan wajahnya yang tidak boros membuat sosoknya bisa berbaur dengan mahasiswi-mahasiswi lainnya. Selain itu, ia juga berangkat ke sekolah menggunakan kendaraan umum, menggendong tas yang berisi buku-buku mata kuliah hari ini, tersenyum ramah pada pak satpam yang berjaga di pos satpam universitas, pokonya ia benar-benar sudah seperti mahasiswi ramah normal yang datang ke kampus untuk menuntut ilmu.Beberapa hari sebelum memulai misinya di kampus ini, Wendy mendapatkan beberapa rincian mengenai identitas yang akan ia gunakan dalam misi ini dari Chris. Ia akan menggunakan identitas Bella Valentine untuk menutupi identitas alinya. Chris benar-benar menuliskan semua rinciannya dengan sangat detail, termasuk dengan kepribadian, dandanan, serta gaya berpakaian yang harus Wendy gunakan
Karena di hari pertama perkuliahan tidak ada penyampaian materi perkuliahan, setelah selesai mengabsen dan memberi sedikit pengarahan, serta sesi tanya jawab, Martin pun akhirnya mengakhiri kelas.Semua mahasiswa dan mahasiswi pergi meninggalkan kelas, terkecuali Wendy, karena ia diminta Martin untuk jangan dulu meninggalkan ruangan. Oleh karena itu, Wendy hanya duduk manis di tempat duduknya melihat satu persatu teman kelas melewati pintu.Ia lalu mengalihkan pandangannya pada DPA-nya yang tampak sedang sibuk memeriksa ponselnya sembari menunggu semua orang meninggalkan kelas. "Hm, apa saja yang ingin dia bicarakan denganku ya?" pikir Wendy.Ting!Tiba-tiba ponsel Wendy berdering, pertanda sebuah pesan singkat baru saja terkirim padanya.Menyadari hal itu, Wendy langsung mengambil ponselnya untuk mengetahui siapakah si pengirim pesan itu.Setelah memastikannya seketika wajah manis gadis itu tertekuk, tampak sekali raut wajahnya sangat tidak senang dengan apa yang dibacanya."Semangat
POV Wendy.Aku sudah cukup lama berdiri di sini, berusaha menguping pembicaraan kedua pria itu di dalam sana. Namun sayang sekali aku tidak bisa mendengar dengan jelas mengenai apa yang sedang mereka bicarakan karena situasi di sekitarku yang begitu riuh, ditambah lagi baik suara Reynold maupun Martin, keduanya terdengar sangat pelan sehingga hal itu membuatku terpikir bahwa di dalam sana mereka benar-benar sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius."Apakah mereka benar-benar mencurigaiku sehingga mereka mengikatkan kewaspadaan mereka?" pikirku, memikirkan kemungkinan terburuk itu."Hm, tapi jika demikian, mengapa Martin mencurigaiku? Dia hanya seorang dosen yang tak ada sangkut-pautnya dengan organisasi, dia murni orang luar yang seharusnya tidak ada keterkaitan apa-apa sehingga seharusnya dia bukanlah ancaman ... Seharusnya yang aku khawatirkan adalah Reynold, dia pasti tahu sesuatu mengenai kasus pembunuhan si brengsek itu dari ayahnya, mungkin saja dia saat ini sedang meningk
Gadis itu tampak sangat senang dengan sanjungan yang kulontarkan padanya. Tampangnya yang judes itu berubah menjadi senang dengan diwarnai segaris kebanggaan yang begitu tinggi."Hahahaha, orang bodoh sekali pun akan menyadari betapa beraninya Aku. Well, mau bagaimana lagi, keberadaanku memang tidak bisa disamarkan." Dia malah memuji dirinya sendiri dengan sangat percaya diri. Sungguh kepercayadiriannya patut untuk diapresiasi."Kau benar, Aku harus banyak belajar padamu," timpalku yang masih mengikuti alur, dan tentunya berusaha menarik simpati gadis itu agar di kemudian hari ia mau dengan suka rela membantuku mengejar Reynold.Ia lalu melipat kedua tangannya di depan dadanya dengan senyum penuh kemenangan. "Well, lagi pula sebagai mahasiswi baru seharusnya Kau menyadari bahwa Kau memerlukan seseorang untuk membantumu beradaptasi ... Karena Aku adalah orang baik, jadi tak ada pilihan lain bagiku selain membantumu!" tuturnya."Berhasil!" Jelas, mendengar ungkapan sok itu aku sangat se
DUG!Aku langsung masuk ke dalam apartemenku dan setelah itu mengunci pintunya rapat-rapat. Melihat Chris barusan, membuatku sedikit khawatir dan tentunya dengan melihatnya juga membuat suasana hatiku menjadi buruk."Akhirnya Aku sendirian," gumamku yang seketika merasa begitu lega berada sendirian di rumah.Drrrttt ...Drrrttt ...Drrrttt ...Tak lama, ponselku berdering, dan seperti yang kupikirkan, panggilan itu benar-benar dari Chris.Aku terpaku sejenak memandangi layar ponsel karena hal itu membuatku khawatir dengan hal apa yang akan pria brengsek itu bicarakan padaku.Namun karena aku tidak bisa mengabaikan panggilan itu, dengan sangat berat hari aku pun menerima panggilannya."Bicaralah!" Seperti biasa, aku menjawab panggilannya dengan ketus."Hai Baby ... Kenapa? Kenapa Kau terdengar tidak santai seperti itu, hm? Santai saja, Aku tidak menggigit kok, kecuali jika Kau menginginkannya, hehehe." Chris berkata normal seakan tak ada apa-apa sehingga kukira kali ini dia tidak menda
Sungguh aku merasa bahwa hari ini adalah hari keberuntunganku. Selain karena bisa berbincang sebentar dengan Reynold meski pembicaraan itu sangat absurt sekali, aku juga satu kelompok dengannya dalam sebuah tugas kelompok yang memiliki jangka waktu pengerjaan satu bulan. Satu bulan waktu yang sangat lama, tapi mengingat pertemuan untuk mengerjakan tugas itu tidak mungkin satu bulan penuh, jadi bisa diestimasikan waktu pertemuan itu minimal satu kali dalam satu minggu, atau empat kali dalam satu bulan. Itu artinya, tiap minggu aku memiliki kesempatan untuk menarik perhatian Reynold, dan tentu saja, aku tidak boleh menyia-nyiakan hal itu. "Yap, hanya pada waktu kerja kelompok saja Aku bisa berusaha mendekatinya tanpa takut diganggu oleh hal-hal payah seperti diintimidasi oleh para penggemarnya karena mengerjakan tugas adalah sebuah kewajiban ... Hah~ aku tidak menyangka kesempatan seperti ini datang di saat Aku hampir saja putus asa~" pikirku sembari melangkah dengan perasaan ringan me
POV Wendy.Akhirnya aku bisa mendapatkan buku yang kuinginkan. Setelah berhasil mendapatkan sisa uang yang kuperlukan, aku kembali ke toko buku untuk membayar buku itu."Dapatkan Hatinya!" Itulah judul yang tertera di sampul buku berwarna merah muda di tanganku ini.Aku sungguh tidak sabar untuk membaca lebih lanjut buku ini karena entah mengapa setelah membaca blurp menjanjikan yang tertera di belakang bukunya, aku merasa bahwa mungkin buku ini bisa membantuku untuk menghadapi Reynold."Tunggu dulu, orang yang Aku pinjami uang itu ... Siapa dia?" Mendadak, di tengah perjalanan pulang, aku baru saja terpikirkan hal penting yang seharusnya kutanyakan pada si pemuda yang kupinjami uangnya sejak awal.Aku menghentikan langkahku, dan langsung berbalik, berlari kembali menuju halte tempat aku meninggalkan pemuda itu sebelumnya."Bagaimana bisa Aku melupakan hal penting seperti itu!" gerutuku.***"Hah ... hah ..." Aku berusaha mengatur napasku ketika akhirnya aku sampai di halte tadi setel
Saat ini hari sudah sore. Setelah mendapatkan titik lokasi tempat saat ini Hilde dan Michael berada, tanpa menunggu lama, aku pun langsung berangkat menuju ke tempat itu. Beberapa saat kemudian, aku sampai di depan sebuah gang gelap yang di mulut gangnya tampak cukup ramai karena saat ini adalah jam-jam pulang bagi para pekerja kantoran. Mendapati hal itu, aku hanya mengernyitkan dahi, benar-benar tidak habis pikir mengapa Michael membawa Hilde ke tempat seperti itu. "Hm, titik lokasi yang dikirim Chris sudah benar, tetapi aku tidak melihat mereka ... sebenarnya apa yang sedang mereka berdua lakukan di dalam gang itu?" pikirku dengan memusatkan pandanganku pada gang yang berada tepat di depanku. Wajahku sudah kututup oleh masker, jadi dengan begitu penampakkan wajahku bisa sedikit tersamarkan. Aku harus berhati-hati karena mengingat Michael pernah berinteraksi denganku ketika kami berada di pesta Hilde waktu itu. Dia pria jenius, aku yakin hanya dengan sekali lihat saja dia pa
POV Wendy. "Misi apa yang akan pria itu berikan dengan membuat kita bertiga berkumpul seperti ini?" pikirku sembari menatap sosok Chris yang tengah duduk sembari menatap kami bertiga dengan serius. "Si bajingan Vincent kemarin buka mulut. Dia terus mengoceh, sehingga pada akhirnya mengatakan bahwa ada hal serius yang akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan, dan itu berhubungan Coltello. Mau tidak mau organisasi akan terlibat dalam sebuah perang antar organisasi kecil dan itu tidak bisa dihindari!" Chris mulai menuturkan hal yang menjadi penyebab yang sepertinya membuat pikirannya terganggu. Mendengar hal itu, sontak saja semua orang terlihat semakin serius. "Dia tidak mengatakan detailnya, tetapi itu berhubungan dengan tuan Jimmy Heartnewt. Dia hanya bilang bahwa dengan adanya pejabat itu di sisi mereka, maka Coltello pasti tidak akan baik-baik saja!" Chris melanjutkan perkataannya. Pria itu, melirik ke arahku, kemudian berkata, "Wendy, kuperintahkan Kau untuk mengawasi
Michael memandang Hilde dengan perasaan penuh antusias, benar-benar ingin segera mengetahui apa yang hendak tante girang itu bicarakan dengannya, di samping dia ingin 'benda' yang ada padanya. Sedangkan wanita itu tampak tertunduk sedih di samping pria itu sembari memainkan tangannya. "Hm? Nyonya Hilde, mengapa Anda hanya diam saja?" tanya Michael sambil memasang senyumnya yang menawan. Hilde dengan ragu melirik pria rupawan itu. "Tuan Clifford, Saya merasa ketakutan," ucapnya dengan suara yang bergetar. "Well, itulah yang seharusnya Anda rasakan. Anda baru saja menjadi target pembunuhan, tentu saja hal semacam itulah yang harus Anda rasakan," ujar pria itu. Hilde langsung berdiri tanpa mengalihkan pandangannya dari Michael, lalu berkata dengan menggebu-gebu, "Tuan, Anda sudah menyelamatkan nyawa Saya malam itu. Saya yakin Anda bisa-" "Sejujurnya, Nyonya Hilde, yang Saya lakukan hanyalah menangguhkan waktu pembunuhan Anda. Anda berhasil lolos malam itu, bukan berarti Anda
"Well, Rey, Rob, tunggu sebentar ya! Sebentar lagi kelasku selesai," seru Martin. "Baik, ayah mertua!" timpal Robert dengan bersemangat, berbanding terbalik dengan Reynold yang hanya merespons dengan sebuah anggukan malas. Martin tersenyum, lalu kembali ke dalam kelas, melanjutkan perkuliahannya. Tinggallah kedua pemuda itu sendiri. "Sebenarnya untuk apa Kau menemui Pak Martin?" Reynold yang masih penasaran, menanyakan hal yang menurutnya ganjil itu. "Eh? Aku hanya datang untuk kunjungan rutinku. Takada masalah mengenai itu, kan?" jawab Robert dengan santainya. "Kunjungan rutin apa?" Reynold bertanya makin jauh. "Itu bukan urusanmu~" timpal lawan bicaranya yang terlihat seperti sedang menjahilinya. Mendengar respons itu, Reynold tidak memperpanjangnya lagi karena sejujurnya ia cukup kesal mendengar bagaimana pemuda itu menjawab tiap pertanyaannya. "Tapi ada satu hal pasti yang menjadi urusanmu, yaitu uruslah kekasihmu sendiri, dan jauh-jauhlah dari Bella!" Pemuda it
Beberapa saat kemudian, kami sudah berada di depan pintu masuk gedung aprtement-ku. "Terima kasih, Rey!" ucapku dengan riang gembira. Reynold hanya memandang dengan malas padaku. Aku memeluk erat boneka unicorn pemberian darinya sembari cengengesan. "Terima kasih juga bonekana ... Aku sangat menyukainya," ungkapku. "Aku tidak sengaja memberikannya-" "Aku akan menamainya ReyBell!" selaku, langsung memberitahukan nama boneka pemberiannya. "Hm, Reynold Bella, kah? Dasar gadis aneh!" gumamnya sembari menyalakan kembali motornya, sepertinya ia bersiap untuk pergi. Aku menghadapkan kepala boneka itu pada Reynold, seraya berkata dengan nada jahil, "Reybell, ayo katakan sesuatu pada Papa!" Reynold langsung menoleh padaku dengan tampang terkejut. "Papa, hati-hati di jalan ... sampai jumpa lagi!" Aku mengubah suaraku sembari mengerak-gerakkan kaki depan boneka unicorn itu seakan dia sedang melambai pada pemuda yang sudah memberikan boneka ini padaku. "Dasar gadis aneh!" guma
Belum sempat aku menjawab apa yang ditanyakannya, Reynold menghentikan laju motornya di depan sebuah kedai makanan sederhana. "Em, Rey?" Aku memanggilnya dengan heran. "Turunlah!" serunya. Aku pun melakukan apa yang diserukannya dengan tampang bingung. "Kenapa Kita berhenti di sini?" tanyaku. Pemuda itu menurunkan standar motornya, lalu turun dari motornya, dan setelah itu melengos pergi menuju ke pintu masuk kedai seraya berkata, "Aku lapar!" "Hah? Apa? Eh, tunggu Aku!" Takingin tertinggal olehnya, aku berlari kecil untuk mengejarnya. *** Kini kami duduk berhadapan di dalam kedai itu. Makanan sudah dipesan dan kami hanya tinggal menunggu pesanan kami datang. Ini pertama kalinya aku dan Reynold makan berdua seperti ini. Sejujurnya entah mengapa aku merasa gugup, karena kami benar-benar tidak melakukan apa-apa, hanya duduk diam saling menatap. Pemuda itu bahkan tidak memainkan ponselnya dan ia hanya memandangi sekitar dan sesekali memandang ke arahku dengan tampang
"Aku akan tahu rahasia Reynold! Aku harus berjuang!" pikirku dengan rasa begitu antusias mengikuti langkah targetku ini. Pintu geser kaca otomatis pun langsung terbuka ketika kaki kami menyentuh lantai di depannya. "WOAH ...." Aku memasang tampang bodoh seperti anak kecil yang baru pertama kali masuk ke dalam sebuah gedung yang penuh dengan berbagai macam game arcade di dalamnya. Aku langsung beralih pada Reynold dengan antusias, seraya bertanya sambil menarik-narik bajunya, "Rey, Rey! Mau main yang mana dulu ini?" Pemuda itu menoleh padaku dengan malas, lalu berjalan begitu saja menuju ke tempat pembelian koin. "Kau yang pilih!" tegasnya setelah ia membeli koin yang cukup banyak. "Eh? Baiklah!" timpalku dengan bersemangat. Kuedarkan pandanganku untuk mencari mesin permainan yang terlihat menarik untuk pertandingan kami. "Ayo Kita main itu!" Aku menunjuk sebuah mesin game arcade Tekken yang terlihat masih baru tak jauh dari tempat kami berdiri. "Hm." Reynold hanya m
POV Wendy. Kedua mataku terbelalak melihat pemandangan mengejutkan itu. Setelah mencari pemuda itu selama satu setengah jam, akhirnya Aku menemukannya dalam situasi yang membuatku takhabis pikir. Sebuah situasi di mana Reynold terlihat bahagia bercanda dan beberapa kali ia juga tertawa dengan gadis kecil yang terlihat seperti berumur 7 tahunan di punggungnya itu. "Bocah cilik itu siapanya Reynold?" gumamku yang masih tak percaya dengan apa yang kulihat. "Reynold! Luna!" Seorang wanita berlari kecil sambil memanggil mereka. Pemuda dan bocah cilik itu menoleh pada wanita itu. Seorang wanita dewasa yang terlihat manis dan terlihat menenteng kantong kresek. Bocah itu terlihat antusias dan Reynold pun berjalan mendekat pada wanita itu sambil menggendong gadis cilik yang sepertinya bernama Luna itu. Mereka bertiga terlihat bercengkerama bersama dengan menampakkan senyum lepas satu sama lain sehingga mereka benar-benar terlihat seperti keluarga yang sangat bahagia. "Aku tida
Michael tengah duduk di depan seorang pria bermantel biru khas seragam kepolisian. Mereka duduk berhadapan dengan tampang si pria dari kepolisian itu terlihat kesal. Sedangkan Michael terlihat begitu santai, takpeduli dengan tampang kesal pria itu. "Jadi, Kau tetap takingin menyerahkan benda yang Kau dapatkan itu?" tanya pria itu dengan gigi bergemertak seakan sedang menahan kekesalannya. "Yaps! Aku berhak menolak karena itu adalah properti pribadiku. Kau ini polisi, pasti Kau sangat tahu hak-hak warga negara bukan?" jawab Michael dengan tenang. "Tuan Michael Clifford, Aku rasa itu bukan benda milikmu, jadi kami berhak untuk mengambilnya demi kepentingan negara!" Polisi itu menyanggah apa yang dikatakan pria yang tampak menyebalkan dengan seringainya yang tiba-tiba saja tampak semenjak mereka bertemu. Michael menghela napas, lalu sidekap di pahanya, lalu berkata, "Kau sepertinya lupa dengan tujuanmu sejak awal. Semenjak Kau datang Kau hanya membicarakan 'benda itu.' Well, Kau