Karena di hari pertama perkuliahan tidak ada penyampaian materi perkuliahan, setelah selesai mengabsen dan memberi sedikit pengarahan, serta sesi tanya jawab, Martin pun akhirnya mengakhiri kelas.
Semua mahasiswa dan mahasiswi pergi meninggalkan kelas, terkecuali Wendy, karena ia diminta Martin untuk jangan dulu meninggalkan ruangan. Oleh karena itu, Wendy hanya duduk manis di tempat duduknya melihat satu persatu teman kelas melewati pintu.
Ia lalu mengalihkan pandangannya pada DPA-nya yang tampak sedang sibuk memeriksa ponselnya sembari menunggu semua orang meninggalkan kelas. "Hm, apa saja yang ingin dia bicarakan denganku ya?" pikir Wendy.
Ting!
Tiba-tiba ponsel Wendy berdering, pertanda sebuah pesan singkat baru saja terkirim padanya.
Menyadari hal itu, Wendy langsung mengambil ponselnya untuk mengetahui siapakah si pengirim pesan itu.
Setelah memastikannya seketika wajah manis gadis itu tertekuk, tampak sekali raut wajahnya sangat tidak senang dengan apa yang dibacanya.
"Semangat menjalani hari pertama sebagai seorang mahasiswi, Baby!" Seperti itulah isi pesan dari Chris, si pengirim yang mampu membuat suasana hatinya berubah menjadi sangat buruk.
Meski malas, Wendy pun membalas pesan itu karena hal itu adalah sebuah kewajiban baginya untuk membalas setiap pesan yang dikirim Chris walaupun pesan itu amat sangat tidak penting.
"Ya," balas Wendy dengan sangat singkat.
"Sedang ngambek pada kekasihmu, hm" ucap Martin yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depan Wendy.
Sontak mendengar suara yang tiba-tiba itu, membuat Wendy kaget bukan main. Ia langsung menoleh pada pria yang berdiri di depannya itu dan tampaklah tampang ramah dosen itu tersenyum sembari memandanginya.
"Ah! Tidak Pak, ini hanya sebuah pesan dari orang yang begitu sangat menyebalkan," sangkal Wendy dengan jantung yang berdegup begitu kencang karena saking terkejutnya.
"Santai saja, tak perlu gugup begitu, maafkan tadi Saya tidak sengaja melihat isi balasanmu," timpal Martin dengan santainya.
"Ti ... Tidak apa-apa, Pak. Tapi benar Pak, dia ini bukan kekasih Saya!" Untuk mendalami karakternya sebagai Bella Valentine agar sesuai dengan apa yang diinginkan Chris, ia pun bertingkah seperti mahasiswi polos yang cukup pemalu.
"Hahahaha, ya, ya, baiklah." Martin tertawa, lalu pergi membawa sebuah kursi dan menempatkannya berhadapan dengan Wendy, kemudian duduk dengan santainya di sana.
"Ngomong-ngomong, ada apa ya Bapak meminta Saya jangan dulu pergi?" tanya Wendy setelah ia melihat dosennya itu duduk dengan baik.
"Hm, sebenarnya tidak terlalu penting juga, sebagai DPA-mu Saya hanya ingin tahu mengenai mahasiswi baru ini," jawab Martin sembari memeriksa kembali ponselnya.
Wendy hanya diam memperhatikan pria yang tampak seperti sedang membaca sesuatu di ponselnya itu.
“Em, Pak, Saya –“
“Saya ingin mendengar tanggapanmu mengenai sesuatu, boleh kan?” sela pria itu setelah ia selesai dengan ponselnya.
“Tentu saja, Pak, tapi mengenai apa ya?” Wendy penasaran dengan permintaan yang tiba-tiba itu.
“Saya baru saja membaca sebuah artikel berita mengenai kasus ditemukannya mayat tanpa identitas di taman beberapa waktu yang lalu, Kau tahu kasus itu kan?” tanya Martin yang kemudian dibalas dengan sebuah anggukan dari Wendy yang sebenarnya sangat gugup. Tentu wendy sangat gugup mengingat kasus itu sangat ada hubungannya dengan dirinya. Namun karena Wendy ahli dalam menyembunyikan perasaannya, ia pun tampak biasa saja menampakkan ekspresinya.
“Baguslah, bagaimana tanggapanmu mengenai kasus itu?” sambungnya sembari memasang tampang antusias menunggu tanggapan dari wanita itu.
“Kasus itu cukup ramai diperbincangkan, memang tampak seperti pembunuhan biasa saja, tapi mengetahui sampai sekarang Saya tidak menemukan perkembangan apa pun mengenai kasus itu di media masa mana pun, Saya jadi meragukan bahwa itu bukanlah pembunuhan biasa,” tutur Wendy dengan sangat hati-hati memaparkan apa yang dipikirkannya tanpa menyinggung sedikit pun pada dirinya atau pun organisasi di balik pembunuhan pria yang ia eksekusi itu.
Tampak pria itu tetap memasang senyumnya sembari mendengarkan baik-baik mengenai tanggapan Wendy atas apa yang ia tanyakan itu. “Lalu mengapa Kau berpikir seperti itu?” tanyanya seakan menunjukkan bahwa ia ingin mendengar lebih banyak mengenai pemikiran mahasiswi barunya itu.
“Jika kasus itu hanya kasus biasa, normalnya dalam beberapa hari kemudian ada kabar terbaru muncul di media, entah itu mengenai perkembangan kasus, atau pun jika memang sesulit itu pasti ada berita yang mengabarkan tentang kesulitan apa yang dialami kepolisian, dan sekurang-kurangnya pasti ada satu berita tidak bermutu yang memberitakan mengenai hal itu, tetapi sampai sekarang Saya tidak menemukan satu pun lagi berita terbaru mengenai pembunuhan itu.” Wendy mengungkapkan apa yang ia tahu dari perkembangan berita itu.
“Yap, Saya juga memikirkan hal yang sama. Tapi sebenarnya yang paling menarik perhatian Saya adalah pelaku pembunuhan itu, Aku sangat penasaran dengan orang yang membunuh pria itu dengan tangannya sendiri,” timpal Martin sembari menggosok-gosok kedua tangannya dengan sangat cepat seolah ia begitu antusias dengan pembicaraan yang menjurus pada hal yang paling ia sukai, yaitu tebak-tebakan.
Wendy terdiam sembari mengerutkan kening seakan sedang menunjukkan perasaan herannya itu, meski sebenarnya ia merasa was-was mengenai apakah pria itu mencurigai dirinya sebagai pembunuh dari pria tanpa identitas itu atau apa.
“Em, kenapa memangnya, Pak? Apakah Bapak tahu sesuatu tentang pembunuh itu?” tanya Wendy dengan tampang sok polosnya itu.
“Hm, entahlah, Saya sama halnya dengan orang-orang yang hanya tahu sesuatu dari media, meski kasus itu terjadi di kota ini, tepat di bawah hidung Saya sendiri, tapi kemungkinan langka itu sangat sulit sekali ditemui dalam kehidupan secara langsung,” ujar dosen aneh itu. “Tapi meski begitu, Saya benar-benar ingin tahu lebih banyak mengenai penjahat itu,” sambungnya yang entah mengapa terdengar seperti menekankan keinginannya.
Martin terdiam setelah mengatakan hal itu. Ia terus memandangi Wendy dengan penuh selidik hingga akhirnya ia mulai membuka mulut kembali. “Well, Kita sudahi diskusinya, dan beralih pada hal-hal menarik yang kutemukan dari data-data mengenai dirimu dari berkas pendaftaranmu.”
Mendengar hal itu, Wendy langsung merasa tegang, ia khawatir jika pria itu benar-benar menemukan sesuatu yang mencurigakan dan langsung menunjuk bahwa dirinya adalah pelaku dari kasus pembunuhan pria tanpa identitas itu.
“Aku harus waspada pada pria ini, sepertinya di masa depan ia akan menjadi orang yang begitu sangat merepotkan bagiku,” pikir Wendy.
Menyadari ketegangan yang tak dapat disembunyikan Wendy, Martin tertawa dan berusaha menenangkannya. “Hahaha, tak perlu tegang begitu, tenang saja, Saya hanya ingin berbincang-bincang saja denganmu, Kau tahu? Saya memang begini orangnya, Saya ingin mengenal semua mahasiswa di bawah bimbingan Saya agar Saya bisa melindungi mereka, termasuk Kau,” ucapnya sembari memasang tatapan lembut pada wanita yang duduk di hadapannya itu.
Wendy sedikit tertegun mendengar alasan itu. Akhirnya ia mendapat jawaban mengenai alasan mengapa mahasiswa dan mahasiswi di kelas ini tampak sangat akrab dengan dosen yang satu ini. Ia bisa merasakannya saat perkuliahan tadi yang terasa tidak menegangkan sebagaimana biasanya para mahasiswa akan merasa sungkan untuk berinteraksi dengan dosennya.
“Ba … Baik Pak, maaf, Saya hanya takut bapak menanyakan materi perkuliahan yang sudah-sudah karena sejujurnya Saya lupa-lupa ingat mengenai hal itu, hehehe,” ucap Wendy yang kini kembali memasang senyum polosnya pada pria yang tampak sangat lembut itu.
Setelah itu, mereka pun berbincang dengan asyik, sampai-sampai mereka tidak menyadari keberadaan Reynold yang sedari tadi berdiri diam memperhatikan mereka berdua di daun pintu tanpa melakukan pergerakan sedikit pun. Ia sengaja melakukan hal itu karena tak ingin ikut terlibat dengan apa pun yang sedang kedua orang itu bicarakan.
Tak lama, Wendy pun akhirnya menyadari pemuda yang tampak tengah memandang ke arahnya dengan tampang datar seakan ia menyembunyikan sesuatu di balik tampang yang tak terbaca itu.
“Reynold!” Wendy bergumam dalam hati melihat targetnya kini benar-benar berada di depan matanya kembali.
Menyadari Wendy yang terdiam dengan pandangannya terfokus pada sesuatu yang berada di belakangnya, Martin pun menoleh ke belakang untuk memastikannya.
“Oh, Kau ternyata, Masuklah, Rey!” ucap Martin dengan antusias mempersilakan pemuda datar itu untuk bergabung bersama mereka.
Reynold hanya mengangguk, lalu berjalan menuju tempat duduk kosong di sebelah Wendy, kemudian duduk di sana.
Wendy yang melihat kedatangannya itu tak melepaskan pandangannya pada pemuda itu. Ia tampak seakan tertegun melihat betapa tampan dan berkarismanya target yang ia incar itu. Tentu itu hanyalah gimik yang wanita itu lakukan sebagai langkah pertamanya untuk membangun karakteristiknya serta untuk mendapat perhatian Reynold tentunya.
Meski menyadari dirinya diperhatikan, Reynold tampak tidak memedulikan hal itu karena memang ia sering sekali mendapat perlakuan seperti itu dari gadis-gadis yang melihat dirinya di sekitar mereka. Pandangannya hanya lurus pada dosennya yang malah tersenyum jahil melihat mereka berdua secara bergantian.
“Hoo … Rey, sepertinya Kau punya penggemar baru,” komentar Martin dengan nada jahil.
Reynold tidak menanggapi kejahilan secara verbal itu, ia tetap diam sembari memandang datar pada dosennya itu.
“Hahaha, dingin seperti biasa …” ucap Martin yang kemudian beralih pada Wendy yang masih memandangi Reynold dari tempat duduknya. “Em, Bella, Saya tahu Rey begitu sangat tampan, tapi tidak usah sampai seperti itulah … Pst … Pst … Dia bisa marah loh jika terus ditatap seperti itu,” bisik Martin pada Wendy.
Wendy terperanjat setelah mendengar bisikan itu, lalu dengan segera membenarkan cara duduknya dan pandangannya langsung beralih pada dosen itu.
“Ekhm … Ma … Maaf, Saya tidak bermaksud seperti itu … “ ucap Wendy dengan tingkah malu-malu dan wajahnya memerah karena itu.
Ia melirik sedikit pada pemuda yang tidak sedikit pun meliriknya itu. “Tapi Saya hanya seorang gadis biasa, mana ada gadis yang sanggup berpaling dari keindahan di hadapannya seperti … Em, seperti pemuda ini,” sambungnya dengan senyum yang tampak malu-malu sehingga membuat kedua laki-laki yang mendengarnya itu pun dibuat tertegun oleh penampakan gadis polos itu.
“Waw, Kau romantis juga ternyata … Well, lagi pula tidak mesti laki-laki yang harus bersikap romantis sih,” komentar Martin.
Bahkan dengan perkataan itu, Reynold sempat melirik pada Wendy karena menurutnya perkataan itu sangatlah menarik, meski pemuda itu tidak berkomentar apa pun.
“Tapi sayang sekali Bella, Kau pasti tahu pemuda macam ini sudah memiliki kekasih bukan?” ucap Martin yang tampak menyayangkan hal itu sembari melirik pada Reynold.
“AKU TIDAK TAHU, SIALAN! TIDAK ADA INFORMASI APA-APA TENTANG ITU DARI DATA YANG DIBERIKAN CHRIS PADAKU!” Wendy berteriak dalam hatinya karena ia sungguh terkejut dengan fakta terbaru yang baru saja ia ketahui itu.
“O … Oh, tentu saja Saya tahu pak, mana mungkin pria setampan ini masih lajang.” Meski masih terkejut akan hal itu, Wendy hanya mengiyakannya untuk mengikuti arus.
“Sekarang bagaimana caranya agar Aku bisa merebut kekasih orang, hah? Aku yakin itu akan jauh lebih sulit, apa lagi jika mereka saling mencintai, Aku yakin tingkat kesulitannya seperti menghadapi final bos di video game!” gerutu Wendy dalam hatinya mengeluhkan pekerjaannya yang tidak sesuai minat dan bakatnya ini.
“Betul kan, kekasihnya itu –“
“Pak, Saya sangat yakin tujuan Anda meminta Saya untuk menemui Anda bukan untuk membicarakan hal ini.” Reynold menyela dengan tampang datarnya sehingga meski ia tidak menampakkan ekspresinya, semua orang tahu bahwa dia tidak menyukainya.
Martin tertawa dan ia pun akhirnya berhenti membicarakan pemuda itu, kemudian mulai fokus dengan urusannya dengan pemuda itu.
“Well, baiklah, baiklah, tapi sebelum itu, Aku ingin Kau berkenalan dengan teman sekelas barumu terlebih dahulu sebelum Kita bicara, Rey!” seru Martin.
Reynold akhirnya memandang pada Wendy dan ia tampak sedikit tertegun melihat sosok Wendy seakan ia tengah terpikir sesuatu.
Tentu Wendy menyadarinya, ia merasa heran dengan tatapannya itu sehingga membuatnya sekilas terpikir bahwa pemuda itu mulai mencurigainya. “Apa lagi sekarang? Aku yakin penyamaranku sudah sangat sempurna, apa lagi celah dariku sekarang?” pikir Wendy.
Untuk menghilangkan kecanggungan, Wendy pun dengan tampang yang begitu ceria menyodorkan tangannya pada pemuda itu sembari memperkenalkan diri. “Namaku Bella Valentine, salam kenal!”
Reynold melirik tangan yang Wendy ulurkan padanya sejenak, lalu dengan tangannya yang besar ia menerima uluran tangan itu dan menggenggamnya cukup kuat sehingga membuat Wendy kaget sendiri dengan kekuatan pemuda itu. “Reynold Clifford,” ucap Reynold dengan malas menyebutkan namanya.
“Di … Dia benar-benar tidak mencurigaiku kan?” pikir Wendy dengan perasaan was-was.
Reynold melepaskan jabat tangan itu dan Wendy pun langsung mengusap tangannya yang terasa cukup sakit itu. Martin yang melihat tingkah Wendy dan Reynold tersenyum lebar seakan ia memikirkan sesuatu melihat mereka berdua.
“Well, Bella, Kau boleh pergi, maaf sudah mengganggu waktumu,” ucap Martin selanjutnya.
“Ah, tidak apa-apa, Pak. Baiklah, kalau begitu saya undur diri dulu,” ucap Wendy sebelum ia beranjak dari tempat duduknya. “Dan sampai jumpa lagi, Reynold,” sambungnya sembari memasang senyum terbaiknya pada pemuda itu.
Martin hanya mengangguk, sedangkan Reynold terlihat tidak peduli.
Setelah itu, Wendy keluar dari ruangan perkuliahan itu. Ia menutup pintu ruangannya rapat-rapat, lalu berdiri dengan menempel ke pintu itu karena ia sangat ingin tahu mengenai apa yang mereka bicarakan di dalam ruangan itu, serta memastikan bahwa mereka tidak mencurigainya.
“Sial sekali Aku tidak membawa alat untuk mengupingku, Aku tidak mengira hal seperti ini akan terjadi. Lain kali Aku tidak boleh lengah!” pikir Wendy sembari berusaha mendekatkan telinganya pada pintu.
POV Wendy.Aku sudah cukup lama berdiri di sini, berusaha menguping pembicaraan kedua pria itu di dalam sana. Namun sayang sekali aku tidak bisa mendengar dengan jelas mengenai apa yang sedang mereka bicarakan karena situasi di sekitarku yang begitu riuh, ditambah lagi baik suara Reynold maupun Martin, keduanya terdengar sangat pelan sehingga hal itu membuatku terpikir bahwa di dalam sana mereka benar-benar sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius."Apakah mereka benar-benar mencurigaiku sehingga mereka mengikatkan kewaspadaan mereka?" pikirku, memikirkan kemungkinan terburuk itu."Hm, tapi jika demikian, mengapa Martin mencurigaiku? Dia hanya seorang dosen yang tak ada sangkut-pautnya dengan organisasi, dia murni orang luar yang seharusnya tidak ada keterkaitan apa-apa sehingga seharusnya dia bukanlah ancaman ... Seharusnya yang aku khawatirkan adalah Reynold, dia pasti tahu sesuatu mengenai kasus pembunuhan si brengsek itu dari ayahnya, mungkin saja dia saat ini sedang meningk
Gadis itu tampak sangat senang dengan sanjungan yang kulontarkan padanya. Tampangnya yang judes itu berubah menjadi senang dengan diwarnai segaris kebanggaan yang begitu tinggi."Hahahaha, orang bodoh sekali pun akan menyadari betapa beraninya Aku. Well, mau bagaimana lagi, keberadaanku memang tidak bisa disamarkan." Dia malah memuji dirinya sendiri dengan sangat percaya diri. Sungguh kepercayadiriannya patut untuk diapresiasi."Kau benar, Aku harus banyak belajar padamu," timpalku yang masih mengikuti alur, dan tentunya berusaha menarik simpati gadis itu agar di kemudian hari ia mau dengan suka rela membantuku mengejar Reynold.Ia lalu melipat kedua tangannya di depan dadanya dengan senyum penuh kemenangan. "Well, lagi pula sebagai mahasiswi baru seharusnya Kau menyadari bahwa Kau memerlukan seseorang untuk membantumu beradaptasi ... Karena Aku adalah orang baik, jadi tak ada pilihan lain bagiku selain membantumu!" tuturnya."Berhasil!" Jelas, mendengar ungkapan sok itu aku sangat se
DUG!Aku langsung masuk ke dalam apartemenku dan setelah itu mengunci pintunya rapat-rapat. Melihat Chris barusan, membuatku sedikit khawatir dan tentunya dengan melihatnya juga membuat suasana hatiku menjadi buruk."Akhirnya Aku sendirian," gumamku yang seketika merasa begitu lega berada sendirian di rumah.Drrrttt ...Drrrttt ...Drrrttt ...Tak lama, ponselku berdering, dan seperti yang kupikirkan, panggilan itu benar-benar dari Chris.Aku terpaku sejenak memandangi layar ponsel karena hal itu membuatku khawatir dengan hal apa yang akan pria brengsek itu bicarakan padaku.Namun karena aku tidak bisa mengabaikan panggilan itu, dengan sangat berat hari aku pun menerima panggilannya."Bicaralah!" Seperti biasa, aku menjawab panggilannya dengan ketus."Hai Baby ... Kenapa? Kenapa Kau terdengar tidak santai seperti itu, hm? Santai saja, Aku tidak menggigit kok, kecuali jika Kau menginginkannya, hehehe." Chris berkata normal seakan tak ada apa-apa sehingga kukira kali ini dia tidak menda
Sungguh aku merasa bahwa hari ini adalah hari keberuntunganku. Selain karena bisa berbincang sebentar dengan Reynold meski pembicaraan itu sangat absurt sekali, aku juga satu kelompok dengannya dalam sebuah tugas kelompok yang memiliki jangka waktu pengerjaan satu bulan. Satu bulan waktu yang sangat lama, tapi mengingat pertemuan untuk mengerjakan tugas itu tidak mungkin satu bulan penuh, jadi bisa diestimasikan waktu pertemuan itu minimal satu kali dalam satu minggu, atau empat kali dalam satu bulan. Itu artinya, tiap minggu aku memiliki kesempatan untuk menarik perhatian Reynold, dan tentu saja, aku tidak boleh menyia-nyiakan hal itu. "Yap, hanya pada waktu kerja kelompok saja Aku bisa berusaha mendekatinya tanpa takut diganggu oleh hal-hal payah seperti diintimidasi oleh para penggemarnya karena mengerjakan tugas adalah sebuah kewajiban ... Hah~ aku tidak menyangka kesempatan seperti ini datang di saat Aku hampir saja putus asa~" pikirku sembari melangkah dengan perasaan ringan me
POV Wendy.Akhirnya aku bisa mendapatkan buku yang kuinginkan. Setelah berhasil mendapatkan sisa uang yang kuperlukan, aku kembali ke toko buku untuk membayar buku itu."Dapatkan Hatinya!" Itulah judul yang tertera di sampul buku berwarna merah muda di tanganku ini.Aku sungguh tidak sabar untuk membaca lebih lanjut buku ini karena entah mengapa setelah membaca blurp menjanjikan yang tertera di belakang bukunya, aku merasa bahwa mungkin buku ini bisa membantuku untuk menghadapi Reynold."Tunggu dulu, orang yang Aku pinjami uang itu ... Siapa dia?" Mendadak, di tengah perjalanan pulang, aku baru saja terpikirkan hal penting yang seharusnya kutanyakan pada si pemuda yang kupinjami uangnya sejak awal.Aku menghentikan langkahku, dan langsung berbalik, berlari kembali menuju halte tempat aku meninggalkan pemuda itu sebelumnya."Bagaimana bisa Aku melupakan hal penting seperti itu!" gerutuku.***"Hah ... hah ..." Aku berusaha mengatur napasku ketika akhirnya aku sampai di halte tadi setel
Sementara itu, Viona yang baru saja sampai di perpustakaan setelah selesai sarapan pagi di kantin, langsung mencari keberadaan Wendy yang tertidur di sebuah tempat yang ada di sana. "Ck, gadis itu, padahal Aku sudah bilang akan menyusul ke sini, tapi dia tidak mengabarkan di mana tempat ia duduk sekarang," gumam Viona yang sebenarnya sedikit kesal karena tak menemukan keberadaan Wendy di perpustakaan yang terbilang cukup luas itu.Matanya terus menelisik tiap sudut ruangan, hingga akhirnya pencariannya itu terhenti ketika ia melihat sosok Wendy yang masih tertidur itu. Namun, ia tidak mendekat padanya karena selain Wendy, ia juga melihat sosok lain yang juga sedang berada di sana, dan itu sungguh membuatnya terkejut."Re ... Reynold!" ia menggumamkan nama itu setelah ia memastikan bahwa orang yang duduk berhadapan dengan Wendy adalah pemuda dingin itu.Mengetahui hal itu, Viona langsung bersembunyi, memutuskan untuk mengamati terlebih dahulu mengenai apa yang akan terjadi."Sedang ap
Ketiga pria itu kini sedang berada di ruangan perkuliahan yang Martin maksud. Terasa di dalam sana suasana menjadi sangat serius setelah Martin membuka pembicaraan serius yang membuatnya mengundang ayah dan anak itu untuk menemuinya."Aku sudah mendapatkannya!" ungkap Martin sambil memasang tampang seriusnya.Ia pun mengeluarkan dua buah undangan dari tas jinjing yang dibawanya. Michael pun tersenyum dengan sangat lebar melihat lembar undangan ditangan Martin itu. Ia mengambil undangan itu dan membacanya dengan seksama, serta dengan perasaan riang."Hahahaha, Kau memang sangat bisa diandalkan, Martin! Terima kasih, terima kasih!" ucapnya sambil tertawa dengan keras."Well, Kau sudah membantu banyak orang dan Aku akan sangat tersanjung bisa membantumu," timpal Martin yang juga sangat tersanjung dengan pujian dari seorang Michael Clifford.Reynold yang tak tahu apa-apa mengenai apa maksud dari undangan itu dan apa juga korelasinya dengan dirinya itu pun a
POV Wendy.Keesokan harinya. Seperti biasa aku pergi ke kampus untuk menjalankan tugasku sebagai seorang mahasiswi. Jujur saja sepanjang perjalanan ke kampus, aku terus terpikirkan mengenai pertemuanku dengan Chris semalam. Pria itu tinggal di apartemenku sampai tengah malam, sampai seorang bawahan yang bersamanya waktu di kedai kopi itu menjemputnya, dan setelah itu mereka pergi entah kemana."Kukira tugasku sebagai eksekutor akan diliburkan sampai misiku yang ini selesai," gumamku sembari memandang langit pagi yang tampak sejuk itu."Well, tak apa, lagi pula misi Reynold ini tidak terlalu terburu-buru, dan lagi tugas sampingan ini jauh lebih mudah karena tak bertele-tele sehingga Aku bisa menyelesaikannya hanya dalam waktu semalam saja," pikirku."Hah~" Aku hanya menghela napas memikirkan tugasku yang bukannya berkurang, malah bertambah."Ferry Rewise ... setelah kubaca sekilas file dari Chris, kupikir pengusaha itu sepertinya terlalu mudah untuk diatasi," sambungku.Tak lama, aku
Saat ini hari sudah sore. Setelah mendapatkan titik lokasi tempat saat ini Hilde dan Michael berada, tanpa menunggu lama, aku pun langsung berangkat menuju ke tempat itu. Beberapa saat kemudian, aku sampai di depan sebuah gang gelap yang di mulut gangnya tampak cukup ramai karena saat ini adalah jam-jam pulang bagi para pekerja kantoran. Mendapati hal itu, aku hanya mengernyitkan dahi, benar-benar tidak habis pikir mengapa Michael membawa Hilde ke tempat seperti itu. "Hm, titik lokasi yang dikirim Chris sudah benar, tetapi aku tidak melihat mereka ... sebenarnya apa yang sedang mereka berdua lakukan di dalam gang itu?" pikirku dengan memusatkan pandanganku pada gang yang berada tepat di depanku. Wajahku sudah kututup oleh masker, jadi dengan begitu penampakkan wajahku bisa sedikit tersamarkan. Aku harus berhati-hati karena mengingat Michael pernah berinteraksi denganku ketika kami berada di pesta Hilde waktu itu. Dia pria jenius, aku yakin hanya dengan sekali lihat saja dia pa
POV Wendy. "Misi apa yang akan pria itu berikan dengan membuat kita bertiga berkumpul seperti ini?" pikirku sembari menatap sosok Chris yang tengah duduk sembari menatap kami bertiga dengan serius. "Si bajingan Vincent kemarin buka mulut. Dia terus mengoceh, sehingga pada akhirnya mengatakan bahwa ada hal serius yang akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan, dan itu berhubungan Coltello. Mau tidak mau organisasi akan terlibat dalam sebuah perang antar organisasi kecil dan itu tidak bisa dihindari!" Chris mulai menuturkan hal yang menjadi penyebab yang sepertinya membuat pikirannya terganggu. Mendengar hal itu, sontak saja semua orang terlihat semakin serius. "Dia tidak mengatakan detailnya, tetapi itu berhubungan dengan tuan Jimmy Heartnewt. Dia hanya bilang bahwa dengan adanya pejabat itu di sisi mereka, maka Coltello pasti tidak akan baik-baik saja!" Chris melanjutkan perkataannya. Pria itu, melirik ke arahku, kemudian berkata, "Wendy, kuperintahkan Kau untuk mengawasi
Michael memandang Hilde dengan perasaan penuh antusias, benar-benar ingin segera mengetahui apa yang hendak tante girang itu bicarakan dengannya, di samping dia ingin 'benda' yang ada padanya. Sedangkan wanita itu tampak tertunduk sedih di samping pria itu sembari memainkan tangannya. "Hm? Nyonya Hilde, mengapa Anda hanya diam saja?" tanya Michael sambil memasang senyumnya yang menawan. Hilde dengan ragu melirik pria rupawan itu. "Tuan Clifford, Saya merasa ketakutan," ucapnya dengan suara yang bergetar. "Well, itulah yang seharusnya Anda rasakan. Anda baru saja menjadi target pembunuhan, tentu saja hal semacam itulah yang harus Anda rasakan," ujar pria itu. Hilde langsung berdiri tanpa mengalihkan pandangannya dari Michael, lalu berkata dengan menggebu-gebu, "Tuan, Anda sudah menyelamatkan nyawa Saya malam itu. Saya yakin Anda bisa-" "Sejujurnya, Nyonya Hilde, yang Saya lakukan hanyalah menangguhkan waktu pembunuhan Anda. Anda berhasil lolos malam itu, bukan berarti Anda
"Well, Rey, Rob, tunggu sebentar ya! Sebentar lagi kelasku selesai," seru Martin. "Baik, ayah mertua!" timpal Robert dengan bersemangat, berbanding terbalik dengan Reynold yang hanya merespons dengan sebuah anggukan malas. Martin tersenyum, lalu kembali ke dalam kelas, melanjutkan perkuliahannya. Tinggallah kedua pemuda itu sendiri. "Sebenarnya untuk apa Kau menemui Pak Martin?" Reynold yang masih penasaran, menanyakan hal yang menurutnya ganjil itu. "Eh? Aku hanya datang untuk kunjungan rutinku. Takada masalah mengenai itu, kan?" jawab Robert dengan santainya. "Kunjungan rutin apa?" Reynold bertanya makin jauh. "Itu bukan urusanmu~" timpal lawan bicaranya yang terlihat seperti sedang menjahilinya. Mendengar respons itu, Reynold tidak memperpanjangnya lagi karena sejujurnya ia cukup kesal mendengar bagaimana pemuda itu menjawab tiap pertanyaannya. "Tapi ada satu hal pasti yang menjadi urusanmu, yaitu uruslah kekasihmu sendiri, dan jauh-jauhlah dari Bella!" Pemuda it
Beberapa saat kemudian, kami sudah berada di depan pintu masuk gedung aprtement-ku. "Terima kasih, Rey!" ucapku dengan riang gembira. Reynold hanya memandang dengan malas padaku. Aku memeluk erat boneka unicorn pemberian darinya sembari cengengesan. "Terima kasih juga bonekana ... Aku sangat menyukainya," ungkapku. "Aku tidak sengaja memberikannya-" "Aku akan menamainya ReyBell!" selaku, langsung memberitahukan nama boneka pemberiannya. "Hm, Reynold Bella, kah? Dasar gadis aneh!" gumamnya sembari menyalakan kembali motornya, sepertinya ia bersiap untuk pergi. Aku menghadapkan kepala boneka itu pada Reynold, seraya berkata dengan nada jahil, "Reybell, ayo katakan sesuatu pada Papa!" Reynold langsung menoleh padaku dengan tampang terkejut. "Papa, hati-hati di jalan ... sampai jumpa lagi!" Aku mengubah suaraku sembari mengerak-gerakkan kaki depan boneka unicorn itu seakan dia sedang melambai pada pemuda yang sudah memberikan boneka ini padaku. "Dasar gadis aneh!" guma
Belum sempat aku menjawab apa yang ditanyakannya, Reynold menghentikan laju motornya di depan sebuah kedai makanan sederhana. "Em, Rey?" Aku memanggilnya dengan heran. "Turunlah!" serunya. Aku pun melakukan apa yang diserukannya dengan tampang bingung. "Kenapa Kita berhenti di sini?" tanyaku. Pemuda itu menurunkan standar motornya, lalu turun dari motornya, dan setelah itu melengos pergi menuju ke pintu masuk kedai seraya berkata, "Aku lapar!" "Hah? Apa? Eh, tunggu Aku!" Takingin tertinggal olehnya, aku berlari kecil untuk mengejarnya. *** Kini kami duduk berhadapan di dalam kedai itu. Makanan sudah dipesan dan kami hanya tinggal menunggu pesanan kami datang. Ini pertama kalinya aku dan Reynold makan berdua seperti ini. Sejujurnya entah mengapa aku merasa gugup, karena kami benar-benar tidak melakukan apa-apa, hanya duduk diam saling menatap. Pemuda itu bahkan tidak memainkan ponselnya dan ia hanya memandangi sekitar dan sesekali memandang ke arahku dengan tampang
"Aku akan tahu rahasia Reynold! Aku harus berjuang!" pikirku dengan rasa begitu antusias mengikuti langkah targetku ini. Pintu geser kaca otomatis pun langsung terbuka ketika kaki kami menyentuh lantai di depannya. "WOAH ...." Aku memasang tampang bodoh seperti anak kecil yang baru pertama kali masuk ke dalam sebuah gedung yang penuh dengan berbagai macam game arcade di dalamnya. Aku langsung beralih pada Reynold dengan antusias, seraya bertanya sambil menarik-narik bajunya, "Rey, Rey! Mau main yang mana dulu ini?" Pemuda itu menoleh padaku dengan malas, lalu berjalan begitu saja menuju ke tempat pembelian koin. "Kau yang pilih!" tegasnya setelah ia membeli koin yang cukup banyak. "Eh? Baiklah!" timpalku dengan bersemangat. Kuedarkan pandanganku untuk mencari mesin permainan yang terlihat menarik untuk pertandingan kami. "Ayo Kita main itu!" Aku menunjuk sebuah mesin game arcade Tekken yang terlihat masih baru tak jauh dari tempat kami berdiri. "Hm." Reynold hanya m
POV Wendy. Kedua mataku terbelalak melihat pemandangan mengejutkan itu. Setelah mencari pemuda itu selama satu setengah jam, akhirnya Aku menemukannya dalam situasi yang membuatku takhabis pikir. Sebuah situasi di mana Reynold terlihat bahagia bercanda dan beberapa kali ia juga tertawa dengan gadis kecil yang terlihat seperti berumur 7 tahunan di punggungnya itu. "Bocah cilik itu siapanya Reynold?" gumamku yang masih tak percaya dengan apa yang kulihat. "Reynold! Luna!" Seorang wanita berlari kecil sambil memanggil mereka. Pemuda dan bocah cilik itu menoleh pada wanita itu. Seorang wanita dewasa yang terlihat manis dan terlihat menenteng kantong kresek. Bocah itu terlihat antusias dan Reynold pun berjalan mendekat pada wanita itu sambil menggendong gadis cilik yang sepertinya bernama Luna itu. Mereka bertiga terlihat bercengkerama bersama dengan menampakkan senyum lepas satu sama lain sehingga mereka benar-benar terlihat seperti keluarga yang sangat bahagia. "Aku tida
Michael tengah duduk di depan seorang pria bermantel biru khas seragam kepolisian. Mereka duduk berhadapan dengan tampang si pria dari kepolisian itu terlihat kesal. Sedangkan Michael terlihat begitu santai, takpeduli dengan tampang kesal pria itu. "Jadi, Kau tetap takingin menyerahkan benda yang Kau dapatkan itu?" tanya pria itu dengan gigi bergemertak seakan sedang menahan kekesalannya. "Yaps! Aku berhak menolak karena itu adalah properti pribadiku. Kau ini polisi, pasti Kau sangat tahu hak-hak warga negara bukan?" jawab Michael dengan tenang. "Tuan Michael Clifford, Aku rasa itu bukan benda milikmu, jadi kami berhak untuk mengambilnya demi kepentingan negara!" Polisi itu menyanggah apa yang dikatakan pria yang tampak menyebalkan dengan seringainya yang tiba-tiba saja tampak semenjak mereka bertemu. Michael menghela napas, lalu sidekap di pahanya, lalu berkata, "Kau sepertinya lupa dengan tujuanmu sejak awal. Semenjak Kau datang Kau hanya membicarakan 'benda itu.' Well, Kau