"Kiska."
"Mm?"
"Coba lihat itu."
Selena yang tadi sudah sempat terpejam dalam pelukan Killian, perlahan membuka sepasang mata abunya.
Saat ini mereka berdua tengah duduk di bagian kap depan mobil dengan Selena duduk di pangkuan Killian dan bersandar di dada bidangnya. Rupanya, setelah bermain nyaris seharian di pantai cukup membuat perempuan cantik itu kecapekan.
Tadinya Killian sudah akan menggendongnya untuk duduk di dalam mobil agar lebih nyaman, tapi Selena menolak.
Tubuhnya yang basah dan kotor oleh pasir gara-gara terjatuh ketika berlarian di pantai tadi, membuat Selena merasa tidak enak apabila harus duduk di mobil mewah milik atasannya.
Padahal sebenarnya Killian sama sekali tidak mempermasalahkan hal tersebut, sebab kondisi lelaki itu sendiri pun kurang lebih sama seperti Selena.
Bermaksud ing
Halo, Kakak-kakak. Mohon infonya, apakah Kakak sekalian bisa melihat komentar yang saya post di bagian ulasan? Sebab sepertinya saya juga tidak bisa melihat ulasan dari pembaca. ^^; Selamat menikmati bab kali ini, ya. Salam sayang
"Jadi, apa yang akan kita lakukan?" Keheningan terasa di antara mereka, seolah segala suara yang lain nyaris tidak sanggup menembus ke dalam kesadaran Selena. "Sekarang." Killian kembali bicara dengan tatapan kelam, bergerak satu langkah mendekat ke arah Selena. "Apa maumu dengan menarikku masuk ke kamar tidurmu ini, Kiska? Hm?" Dada Selena bergerak naik turun, dia bisa merasakan rasa dingin dari pintu kamar menembus blouse-nya yang masih setengah basah. Berusaha lebih menempel lagi ke pintu kamarnya, Selena bisa merasakan hangat dari napas Killian di rambutnya ketika lelaki itu menunduk. Dekat. Posisi mereka sangat dekat. Terlalu dekat malahan. Selena tahu bahwa yang dia perlu lakukan hanya mendongak dan bibir mereka akan bertemu. Sial! Memikirkan tentang hal tersebut sama sekali tidak membantu meringankan situasi ini. Sebenarnya, kenapa tadi dia
Rasanya mengantuk sekali dan juga capek, tapi nyatanya sejak tadi mata Selena tidak juga bisa terpejam. Berbaring di atas tempat tidur, perempuan bermata abu itu justru merasa gelisah sendiri."Quen itu ... siapa?"Entah mengapa dia merasa terusik dengan satu nama tersebut. Meski ingin melupakannya bagitu saja, tapi nama itu terus saja berdengung di dalam kepala.Kemudian, ada satu nama lain yang juga mengganggu pikirannya."Aila," gumam Selena, teringat saat beberapa hari yang lalu nama tersebut sempat disebut-sebut. Mengerutkan dahi, dia tidak juga bisa menghilangkan perasaan aneh sejak pertama kali mendengar nama tersebut.Queen. Aila."Mereka itu siapa?" bisiknya. "Lalu, aku ini ... kenapa?"Selena bisa merasakan betapa jantungnya berdetak semakin cepat dan juga ... kenapa dia tiba-tiba merasa sesak?Menarik
"Beliau sudah mendarat dengan selamat, Tuan Muda, dan sekarang sedang dalam perjalanan pulang."Andreas mengalihkan perhatiannya dari layar laptop sejenak dan tersenyum menanggapi. "Bagus. Terus ikuti dan beri tahukan segera kalau ada sesuatu."Orang bawahannya yang tadi memberi laporan pun mengangguk dan segera meminta undur diri. Sementara Andreas sudah kembali berkonsentrasi melanjutkan pekerjaannya dengan wajah yang masih dihiasi senyuman, maka Ronald, asisten pribadinya, hanya berdiri mengamatinya dalam diam."Kalau ada yang ingin kamu sampaikan, katakan saja, Ron," ujar Andreas dengan mata yang tetap terpaku ke layar laptopnya. "Ada apa?"Ronald tidak segera menjawab, melainkan beberapa kali menarik napas dalam-dalam. "Maafkan saya, Tuan Muda, tapi ... saya masih merasa kalau hal yang Anda lakukan ini tidak benar.""Sudah lima tahun berlalu dan kamu masih juga membicarakan soal ini, Ron?""Saya tahu bahwa hubungan Anda dengan beliau bi
Kediaman Roxanne"Mom, ayolah!""Mommy, please!""Mom!""Mommy!"Ansia memijit kepalanya dan menghela napas panjang. Perempuan itu terlihat begitu pusing sementara kedua anak lelaki kembarnya tengah merengek sambil menarik-narik rok."Hentikan, Alexis, Alden!" serunya, akhirnya tidak lagi sanggup mendengar rengekan yang sudah berlangsung nyaris selama setengah jam tanpa henti. "Apa sebenarnya yang kalian inginkan? Berhenti bersikap seperti ini.""Ayolah, Mom. Katakan, iya, baru nanti kami akan berhenti," sahut Alexis yang ditimpali anggukan kepala Alden. "Ya, Mom? Ya?"Menghela napas panjang untuk yang ke sekian kalinya, Ansia akhirnya memilih untuk berlutut lantas membelai kepala kedua putranya secara bergantian."Alexis, Alden." Ansia berkata dengan nada berusaha sabar. "Sekarang ceritakan dari
Membosankan!Setidaknya hanya satu kata itulah yang cocok untuk mengungkapkan apa yang Killian rasakan saat ini. Bukan hal yang terlalu sulit untuk ditebak sebenarnya, sebab kata 'bosan' seolah sudah tercetak dengan jelas di wajah tampannya."Wah! Begitu, ya?" Suara Ivona terdengar terlalu ceria seakan dibuat-buat. Secara diam-diam, perempuan setengah baya itu juga menginjak kaki Killian. Lewat sudut mata, dia memberi peringatan pada putranya yang sejak tadi memasang wajah masam. "Kebetulan sekali Ian juga sangat menyukai strawberry pie. Ah, kalau begitu Chelsea bisa membuatkannya untuk Ian, dong, tapi kalau bisa, sih, Tante juga ingin mengincip strawberry pie buatan Chelsea."Kalau Ivona mengakhiri ucapannya dengan tawa merdu, maka Killian seketika tersedak. Tanpa bisa ditahan lagi lelaki itu menyemburkan mocktail yang tadi sedang dia minum."Ian!" seru Ivona dengan nada mencela, sementara Killian m
Ketika hari esok datang, Killian tahu bahwa mereka perlu berbicara. Semalaman sudah dia tidak bisa tidur. Waktunya habis untuk bertarung dengan dirinya sendiri, antara ingin menghajar Andreas lalu membawa Selena pergi, atau membawa Selena pergi lalu memarahi sekretarisnya itu habis-habisan karena sudah mempermainkannya. Kira-kira mana yang lebih baik untuk dia lakukan? Dahi Killian kemudian berkerut. Tunggu. Tunggu dulu. Kenapa dari dua pilihan yang sedang dipikirkannya, kedua-duanya mencakup rencana untuk membawa Selena pergi? Seolah tidak peduli dengan apa pun yang ingin Killian lakukan dan apa pun keputusan yang hendak diambil, maka dia akan tetap melibatkan Selena. "Sial!" makinya. "Dasar perempuan!" Panas yang dia rasakan sejak semalam tidak hanya membakar dada, tapi juga seluruh tubuhnya. Dengan muak Killian menggeleng, berusaha agar dapat menyingkirkan bayangan Selena dari dalam kepalanya. Ya, Tuhan. Seharusnya K
Begitu Selena membuka pintu dan mereka berhadap-hadapan dengan Ivona, Killian pun seketika membeku. Dia masih dalam posisi setengah memeluk Selena dan Killian juga yakin bahwa dari ekspresi wajah mereka, Ibunya itu pasti akan bisa menangkap ada sesuatu yang salah. Sekilas melirik, dia lantas mengeluh dalam hati. Ah, sial! Ada bekas kemerahan di leher Selena yang begitu jelas terlihat. Seolah sama-sama baru menyadarinya, sekretarisnya itu lalu dengan cepat merapikan rambut dan berusaha menutupi bekas kemerahan tersebut, tapi rasanya percuma. Mustahil kalau Ivona belum melihatnya. "Bu," sapa Killian, berusaha mengalihkan perhatian. "Kenapa Ibu ke sini? Ada apa?" "Apakah Ibu mengganggumu?" tanya Ivona sembari menyunggingkan senyum, membuat Killian sesaat terperangah melihat sikap tenang yang Ibunya tunjukkan. "Apa? Maksudku, ba
Sebenarnya ada apa dengan Alexis dan Alden? Ansia mengerutkan dahi, memikirkan soal perubahan perilaku kedua putra kembarnya itu. Beberapa hari lalu mereka terlihat begitu bahagia dan semangat, tapi entah mengapa akhir-akhir ini keduanya malah selalu berwajah muram dan sedih. "Apakah sudah terjadi sesuatu selama mereka berada di sekolah?" tanya Ansia kepada kedua orang pengasuh putranya tersebut. "Tidak ada, Nona. Kedua Tuan Kecil baik-baik saja selama berada di sekolah." "Belakangan ini aku juga kerap menemukan mereka keluar rumah dengan alasan untuk bermain bersama teman," lanjut Ansia. "Sebenarnya ke mana mereka pergi dan siapa teman yang mereka temui nyaris setiap hari itu?" Bukannya Ansia tidak menaruh perhatian kepada kedua putra kembarnya, tapi belakangan ini memang ada beberapa hal yang membutuhkan perhatiannya secara lebih.