"Beliau sudah mendarat dengan selamat, Tuan Muda, dan sekarang sedang dalam perjalanan pulang."
Andreas mengalihkan perhatiannya dari layar laptop sejenak dan tersenyum menanggapi. "Bagus. Terus ikuti dan beri tahukan segera kalau ada sesuatu."
Orang bawahannya yang tadi memberi laporan pun mengangguk dan segera meminta undur diri. Sementara Andreas sudah kembali berkonsentrasi melanjutkan pekerjaannya dengan wajah yang masih dihiasi senyuman, maka Ronald, asisten pribadinya, hanya berdiri mengamatinya dalam diam.
"Kalau ada yang ingin kamu sampaikan, katakan saja, Ron," ujar Andreas dengan mata yang tetap terpaku ke layar laptopnya. "Ada apa?"
Ronald tidak segera menjawab, melainkan beberapa kali menarik napas dalam-dalam. "Maafkan saya, Tuan Muda, tapi ... saya masih merasa kalau hal yang Anda lakukan ini tidak benar."
"Sudah lima tahun berlalu dan kamu masih juga membicarakan soal ini, Ron?"
"Saya tahu bahwa hubungan Anda dengan beliau bi
Kediaman Roxanne"Mom, ayolah!""Mommy, please!""Mom!""Mommy!"Ansia memijit kepalanya dan menghela napas panjang. Perempuan itu terlihat begitu pusing sementara kedua anak lelaki kembarnya tengah merengek sambil menarik-narik rok."Hentikan, Alexis, Alden!" serunya, akhirnya tidak lagi sanggup mendengar rengekan yang sudah berlangsung nyaris selama setengah jam tanpa henti. "Apa sebenarnya yang kalian inginkan? Berhenti bersikap seperti ini.""Ayolah, Mom. Katakan, iya, baru nanti kami akan berhenti," sahut Alexis yang ditimpali anggukan kepala Alden. "Ya, Mom? Ya?"Menghela napas panjang untuk yang ke sekian kalinya, Ansia akhirnya memilih untuk berlutut lantas membelai kepala kedua putranya secara bergantian."Alexis, Alden." Ansia berkata dengan nada berusaha sabar. "Sekarang ceritakan dari
Membosankan!Setidaknya hanya satu kata itulah yang cocok untuk mengungkapkan apa yang Killian rasakan saat ini. Bukan hal yang terlalu sulit untuk ditebak sebenarnya, sebab kata 'bosan' seolah sudah tercetak dengan jelas di wajah tampannya."Wah! Begitu, ya?" Suara Ivona terdengar terlalu ceria seakan dibuat-buat. Secara diam-diam, perempuan setengah baya itu juga menginjak kaki Killian. Lewat sudut mata, dia memberi peringatan pada putranya yang sejak tadi memasang wajah masam. "Kebetulan sekali Ian juga sangat menyukai strawberry pie. Ah, kalau begitu Chelsea bisa membuatkannya untuk Ian, dong, tapi kalau bisa, sih, Tante juga ingin mengincip strawberry pie buatan Chelsea."Kalau Ivona mengakhiri ucapannya dengan tawa merdu, maka Killian seketika tersedak. Tanpa bisa ditahan lagi lelaki itu menyemburkan mocktail yang tadi sedang dia minum."Ian!" seru Ivona dengan nada mencela, sementara Killian m
Ketika hari esok datang, Killian tahu bahwa mereka perlu berbicara. Semalaman sudah dia tidak bisa tidur. Waktunya habis untuk bertarung dengan dirinya sendiri, antara ingin menghajar Andreas lalu membawa Selena pergi, atau membawa Selena pergi lalu memarahi sekretarisnya itu habis-habisan karena sudah mempermainkannya. Kira-kira mana yang lebih baik untuk dia lakukan? Dahi Killian kemudian berkerut. Tunggu. Tunggu dulu. Kenapa dari dua pilihan yang sedang dipikirkannya, kedua-duanya mencakup rencana untuk membawa Selena pergi? Seolah tidak peduli dengan apa pun yang ingin Killian lakukan dan apa pun keputusan yang hendak diambil, maka dia akan tetap melibatkan Selena. "Sial!" makinya. "Dasar perempuan!" Panas yang dia rasakan sejak semalam tidak hanya membakar dada, tapi juga seluruh tubuhnya. Dengan muak Killian menggeleng, berusaha agar dapat menyingkirkan bayangan Selena dari dalam kepalanya. Ya, Tuhan. Seharusnya K
Begitu Selena membuka pintu dan mereka berhadap-hadapan dengan Ivona, Killian pun seketika membeku. Dia masih dalam posisi setengah memeluk Selena dan Killian juga yakin bahwa dari ekspresi wajah mereka, Ibunya itu pasti akan bisa menangkap ada sesuatu yang salah. Sekilas melirik, dia lantas mengeluh dalam hati. Ah, sial! Ada bekas kemerahan di leher Selena yang begitu jelas terlihat. Seolah sama-sama baru menyadarinya, sekretarisnya itu lalu dengan cepat merapikan rambut dan berusaha menutupi bekas kemerahan tersebut, tapi rasanya percuma. Mustahil kalau Ivona belum melihatnya. "Bu," sapa Killian, berusaha mengalihkan perhatian. "Kenapa Ibu ke sini? Ada apa?" "Apakah Ibu mengganggumu?" tanya Ivona sembari menyunggingkan senyum, membuat Killian sesaat terperangah melihat sikap tenang yang Ibunya tunjukkan. "Apa? Maksudku, ba
Sebenarnya ada apa dengan Alexis dan Alden? Ansia mengerutkan dahi, memikirkan soal perubahan perilaku kedua putra kembarnya itu. Beberapa hari lalu mereka terlihat begitu bahagia dan semangat, tapi entah mengapa akhir-akhir ini keduanya malah selalu berwajah muram dan sedih. "Apakah sudah terjadi sesuatu selama mereka berada di sekolah?" tanya Ansia kepada kedua orang pengasuh putranya tersebut. "Tidak ada, Nona. Kedua Tuan Kecil baik-baik saja selama berada di sekolah." "Belakangan ini aku juga kerap menemukan mereka keluar rumah dengan alasan untuk bermain bersama teman," lanjut Ansia. "Sebenarnya ke mana mereka pergi dan siapa teman yang mereka temui nyaris setiap hari itu?" Bukannya Ansia tidak menaruh perhatian kepada kedua putra kembarnya, tapi belakangan ini memang ada beberapa hal yang membutuhkan perhatiannya secara lebih.
'Jangan menangis terus! Kenapa kamu selalu membuatku susah?''Apa kamu tahu, kalau aku terpaksa merawat dan membesarkanmu? Benar-benar membuat repot saja!''Diam! Berisik sekali! Aku tidak suka mendengar suaramu! Dasar anak pembawa sial!'Liliana berdiri dengan ketakutan.Ucapan yang tadi Charlotte lontarkan kepadanya, berhasil memicu berbagai kenangan buruk yang selama ini coba dia pendam. Gadis cilik itu pun memandang ketakutan ke sosok lelaki yang kini berjalan mendekatinya.Takut. Lelaki berambut hitam dengan warna mata yang persis seperti miliknya itu terlihat begitu menakutkan bagi Liliana. Sungguh, sebenarnya dia ingin sekali kabur dan menjauh dari lelaki itu, tapi kedua kaki mungilnya sama sekali tidak dapat digerakkan.Bukankah lelaki itu menyiram perempuan tadi dengan secangkir kopi? Lalu, bagaimana kalau kali ini justru Lilianalah yang akan d
"Jadi, kalian datang kemari untuk mencari tahu, ada masalah apa di kantorku? Begitukah, Lexis? Alden? Hm?"Tidak langsung menjawab, Alexis dan Alden hanya berdiri dengan gelisah sembari saling melirik. Kalau Alexis menggerakkan dagunya sekilas, maka Alden lantas memberi anggukan pelan setelah berpikir untuk beberapa saat."Kami ... ingin membantu Ana, Paman," ujar Alexis, menegakkan kepala dan memandang langsung ke arah Killian. "Nona Malaikat bekerja di sini dan akhir-akhir ini dia selalu terlihat murung. Jadi, kami bermaksud mencari tahu, masalah apa yang kira-kira sudah membuatnya bersedih.""Nona Malaikat?" Killian mengerutkan dahi, terlihat kebingungan. "Siapa dia?""Dia ...." Sekali lagi Alexis melirik ke arah Alden, melemparkan pandangan meminta tolong. "Itu ....""Dia orang yang sangat Ana sayangi, Paman," sahut Alden segera, membuat Killian menoleh ke arahnya. "Jadi, Ana benar-benar mengkhawatirkannya."Memandangi Liliana, Killian menunggu agar
Killian sama sekali tidak tahu bagaimana caranya berhenti tersenyum."Kamu suka?" tanyanya, meraih sehelai tisu lalu membersihkan saus tomat yang mengotori pipi Liliana. "Apakah enak?"Menjawab pertanyaan Killian, gadis kecil itu pun mengangguk-angguk dengan riang. Kedua pipinya terlihat menggembung, setelah dia memasukkan spaghetti satu suap penuh ke dalam mulut dan sekarang sedang sibuk mengunyah."Makan pelan-pelan, Princess." Killian tertawa kecil melihat mulut Liliana yang mengerucut karena saking penuhnya. "Tidak ada yang akan meminta makananmu kok."Namun sebelum Killian selesai berbicara, terdengar suara bernada kesal yang menyela."Lexis! Jangan ambil jatahku!""Sedikit saja, Al. Jangan pelit, dong!""Pelit bagaimana? Kalau mau minta itu yang kira-kira. Masa, separuh lebih yang kamu embat?""Ingat, aku ini ka