Killian sama sekali tidak tahu bagaimana caranya berhenti tersenyum.
"Kamu suka?" tanyanya, meraih sehelai tisu lalu membersihkan saus tomat yang mengotori pipi Liliana. "Apakah enak?"
Menjawab pertanyaan Killian, gadis kecil itu pun mengangguk-angguk dengan riang. Kedua pipinya terlihat menggembung, setelah dia memasukkan spaghetti satu suap penuh ke dalam mulut dan sekarang sedang sibuk mengunyah.
"Makan pelan-pelan, Princess." Killian tertawa kecil melihat mulut Liliana yang mengerucut karena saking penuhnya. "Tidak ada yang akan meminta makananmu kok."
Namun sebelum Killian selesai berbicara, terdengar suara bernada kesal yang menyela.
"Lexis! Jangan ambil jatahku!"
"Sedikit saja, Al. Jangan pelit, dong!"
"Pelit bagaimana? Kalau mau minta itu yang kira-kira. Masa, separuh lebih yang kamu embat?"
"Ingat, aku ini ka
Apa yang bisa dia berikan sebagai jawaban, ya?Killian tengah memikirkan jawaban semacam apa yang akan dia berikan nanti kepada keluarga Roxanne.Dia lantas melirik jam tangannya sekilas dan menyadari bahwa waktu sudah cukup sore.Memandang ke arah ketiga anak yang kini tengah mengantre giliran untuk bermain flying fox, Killian tahu betul bahwa dia sudah tidak bisa menahan mereka untuk tetap bersamanya lebih lama lagi."Ansia pasti marah besar," gumamnya, berusaha tidak mengacuhkan banyaknya panggilan telepon yang masuk di ponselnya, sejak dia memberi kabar bahwa kedua cucu keluarga Roxanne ada bersamanya.Killian juga bisa membayangkan bagaimana reaksi Heri dan Risa saat ini, tapi bukannya merasa khawatir lelaki itu justru mendengus geli. Sepertinya sudah sangat lama sejak dia menerima omelan jadi, tidak apalah.Liliana sudah memakai semua peralatan keamanan dan akan sege
"Bagaimana, Ron? Apakah semuanya beres?" "Saya sudah memastikan ulang semuanya, Tuan Muda. Berita mengenai lamaran pernikahan Anda sudah tersebar. Tidak hanya di saluran televisi nasional dan internasional, seluruh laman internet, tapi ditayangkan juga lewat videotron di ruas-ruas jalan utama. Jadi, rasanya mustahil kalau sampai ada orang yang tidak mengetahuinya." "Bagus! Kerja bagus, Ron." "Maafkan saya sebelumnya, Tuan Muda, tapi apakah hal ini tidak berlebihan? Maksud saya, soal resiko yang Anda ambil dengan menayangkan hal ini secara luas, hanya dengan tujuan agar Tuan Muda Ardhana bisa melihatnya." "Apa maksudmu? Langsung saja katakan, jangan berputar-putar." "Saya hanya tidak bisa membayangkan, bagaimana seumpama tadi Nona Hills menolak lamaran Anda? Padahal Anda sudah mendatangkan begitu banyak awak media, sementara tidak ada jaminan bahwa segalanya akan berjala
Malam Killian benar-benar terasa bagai di neraka. Lelaki itu nyaris tidak makan, tidak tidur, dan pikirannya terus menerus memikirkan berbagai hal yang seakan menggumpal bak benang kusut. Killian merasa ada sesuatu yang sudah dia lewatkan, tapi apa? Meski dia sudah berusaha untuk mencoba memikirkan ulang semuanya secara runut, nyatanya tidak ada hasil. Percuma saja. Sama sekali tidak ada gunanya. Itu karena pikiran Killian lagi-lagi mengarah pada tayangan videotron yang tadi dia lihat. Dia begitu terkejut karena Selena menerima lamaran pernikahan dari Andreas. Lalu yang lebih gila adalah Killian seakan masih belum juga bisa percaya. Dengan keras kepala, lelaki itu pun lantas bergegas menghubungi pengawalnya. Dia memberikan perintah untuk memastikan kebenaran atas tayangan videotron tersebut, sekaligus mencari tahu soal keberadaan Selena. Informasi sudah dia terima, termasuk di mana lokasi Selena berada, dan sepanjang malam itu Killian
Hal pertama yang menarik perhatian Selena sewaktu akhirnya bangun dari tidur adalah kesunyian yang ada.Jam berapa sekarang?Sambil menguap dan mengucek mata, Selena mencoba melihat ke arah jam dinding yang ada di kamar tidurnya.Pukul tujuh malam. Itu berarti dia sudah tidur selama nyaris sembilan jam."Badanku rasanya sakit semua." Selena kembali membaringkan diri dengan desahan panjang. "Kenapa ... capeknya tidak hilang juga, ya?"Menyentuh dahinya, Selena merasa kalau badannya sedikit demam. Apakah dia sedang sakit?Sebenarnya Selena masih ingin tetap berbaring dan bahkan sudah nyaris akan tertidur kembali, tapi kebutuhannya untuk ke kamar mandi rupanya tidak dapat ditahan lebih lama lagi. Lagi pula, sudah saatnya dia untuk kembali membersihkan diri."Lills pasti sudah pulang kan?" gumamnya, segera saja melupakan rasa capeknya dan kembali bersemangat. "Setelah ini, aku akan segera menemuinya."Pikiran bahwa sebentar lagi dia akan bisa menemui Liliana, mem
"Kills!"Killian seolah mendengar ada seseorang yang memanggilnya. Namun belum sempat dia mencari tahu, lampu lalu lintas sudah kembali menyala hijau sehingga mau atau tidak mau dia pun harus tetap menjalankan mobilnya.Meski begitu, entah mengapa perasaannya tidak enak. Sejak tadi dia selalu saja merasa tidak tenang. Rasanya seperti ada suatu hal buruk yang akan terjadi, tapi sialnya Killian sendiri masih belum mampu untuk coba mengira-ngira.Oleh karena itulah, walau sedang mengendarai mobilnya lelaki itu sama sekali tidak bisa berkonsentrasi sepenuhnya. Matanya sering kali melirik ke arah kaca tengah mobil dengan gelisah, seakan berusaha mencari sesuatu atau mungkin ... seseorang.Namun hal yang kemudian dilihatnya, sontak membuat Killian merasa jantungnya seolah ditarik keluar begitu saja."Kiska!"Seakan nyawanyalah yang sedang dalam bahaya, Killian melompat keluar dari mobil yang dia hentikan secara sembarangan di tengah jalan. Dia tidak peduli soal apakah se
"Apa saja yang sudah kamu lakukan, sampai pulang terlambat seperti ini?""Dasar anak nakal! Aku tadi sudah susah payah menjemputmu ke sekolah, tapi kamu malah tidak ada. Ternyata sekarang kamu sudah berani untuk membolos, ya?""Benar-benar anak yang merepotkan! Apa kamu tahu, bahwa gara-gara kamu, Nona Selena merasa marah dan kecewa?"Liliana yang sejak tadi hanya diam dan menunduk mendengarkan segala omelan Ibunya, kini langsung tersentak. Mata hitamnya memandang Bi Likah yang selama ini dia tahu sebagai perempuan yang sudah melahirkannya itu dengan sorot bertanya.Benarkah? Benarkah Nona Selena merasa marah dan kecewa kepadanya? Tapi, kenapa?"Ya, ampun! Apakah kamu benar-benar tidak tahu, bahwa selama ini Nona Selena hanya berusaha bersikap sabar kepadamu? Padahal sebenarnya, sudah lama sekali dia memendam perasaan kesalnya itu!"Tapi, kenapa? tanya Liliana, membuat isyarat dengan tangan kecilnya yang kini mulai gemetar. Kenapa Nona Selena kesal kepadanya?"K
Ansia menatap arlojinya dengan gelisah.Perempuan cantik dengan rambut hitamnya yang khas itu kini sedang berdiri di dekat gerbang sekolah dengan sikap yang tidak sabar. Matanya terus saja memandang ke salah satu sisi sekolah St. Cattleya dan sesekali melirik sekedar untuk memastikan kalau kedua anak lelaki kembarnya tidak membuat ulah."Al, apakah dia belum datang juga?" tanyanya, membuat Alexis yang mulanya asyik mengamati kumbang di sela-sela rumput dan Alden yang sejak tadi berdiri diam dengan memaku pandangan ke arah yang sama dengan Ansia, akhirnya menoleh. "Ini sudah jam pulang sekolah dan anak-anak yang lain juga sudah keluar dari kelas, tapi yang mana sebenarnya anak perempuan yang terus menerus kalian ceritakan itu?""Tidak ada.""Ya?""Ana belum keluar, Mom."Ansia memandang ke arah Alden yang sejak tadi hanya menjawabnya dengan singkat-singkat saja itu. Sedikit mengerutkan dahi, dia bisa melihat betapa ekspresi wajah putranya itu tampak sedikit kaku. Kh
Terdengar suara keroncongan dan Liliana pun segera mendekap perutnya. Lapar. Sejak tadi dia sudah merasa begitu lapar. Hal yang sangat wajar sebab terakhir kali dia makan adalah kemarin siang, saat menghabiskan waktu di taman bermain. Waktu itu di restoran, dia, Alexis dan Alden seakan tengah berlomba untuk menghabiskan porsi spaghetti mereka masing-masing, sementara Killian hanya tersenyum dan sesekali tertawa sambil terus menyemangati mereka. Liliana lantas menunduk sembari meremas rok seragam sekolahnya. Padahal ... baru kemarin siang dia merasa begitu bahagia. Liliana begitu suka ketika dia menghabiskan waktu dengan bermain bersama Alexis dan juga Alden. Rasanya, dia seperti memiliki saudara saja. Gadis kecil itu juga merasa bahagia setiap kali Killian menggendong, mencium dan mengusap kepalanya. Ada rasa hangat yang Liliana rasakan dalam dada selama dia bersama dengan lelaki tampan yang merupakan paman kedua temannya itu.