"Bagaimana, Ron? Apakah semuanya beres?"
"Saya sudah memastikan ulang semuanya, Tuan Muda. Berita mengenai lamaran pernikahan Anda sudah tersebar. Tidak hanya di saluran televisi nasional dan internasional, seluruh laman internet, tapi ditayangkan juga lewat videotron di ruas-ruas jalan utama. Jadi, rasanya mustahil kalau sampai ada orang yang tidak mengetahuinya."
"Bagus! Kerja bagus, Ron."
"Maafkan saya sebelumnya, Tuan Muda, tapi apakah hal ini tidak berlebihan? Maksud saya, soal resiko yang Anda ambil dengan menayangkan hal ini secara luas, hanya dengan tujuan agar Tuan Muda Ardhana bisa melihatnya."
"Apa maksudmu? Langsung saja katakan, jangan berputar-putar."
"Saya hanya tidak bisa membayangkan, bagaimana seumpama tadi Nona Hills menolak lamaran Anda? Padahal Anda sudah mendatangkan begitu banyak awak media, sementara tidak ada jaminan bahwa segalanya akan berjala
Malam Killian benar-benar terasa bagai di neraka. Lelaki itu nyaris tidak makan, tidak tidur, dan pikirannya terus menerus memikirkan berbagai hal yang seakan menggumpal bak benang kusut. Killian merasa ada sesuatu yang sudah dia lewatkan, tapi apa? Meski dia sudah berusaha untuk mencoba memikirkan ulang semuanya secara runut, nyatanya tidak ada hasil. Percuma saja. Sama sekali tidak ada gunanya. Itu karena pikiran Killian lagi-lagi mengarah pada tayangan videotron yang tadi dia lihat. Dia begitu terkejut karena Selena menerima lamaran pernikahan dari Andreas. Lalu yang lebih gila adalah Killian seakan masih belum juga bisa percaya. Dengan keras kepala, lelaki itu pun lantas bergegas menghubungi pengawalnya. Dia memberikan perintah untuk memastikan kebenaran atas tayangan videotron tersebut, sekaligus mencari tahu soal keberadaan Selena. Informasi sudah dia terima, termasuk di mana lokasi Selena berada, dan sepanjang malam itu Killian
Hal pertama yang menarik perhatian Selena sewaktu akhirnya bangun dari tidur adalah kesunyian yang ada.Jam berapa sekarang?Sambil menguap dan mengucek mata, Selena mencoba melihat ke arah jam dinding yang ada di kamar tidurnya.Pukul tujuh malam. Itu berarti dia sudah tidur selama nyaris sembilan jam."Badanku rasanya sakit semua." Selena kembali membaringkan diri dengan desahan panjang. "Kenapa ... capeknya tidak hilang juga, ya?"Menyentuh dahinya, Selena merasa kalau badannya sedikit demam. Apakah dia sedang sakit?Sebenarnya Selena masih ingin tetap berbaring dan bahkan sudah nyaris akan tertidur kembali, tapi kebutuhannya untuk ke kamar mandi rupanya tidak dapat ditahan lebih lama lagi. Lagi pula, sudah saatnya dia untuk kembali membersihkan diri."Lills pasti sudah pulang kan?" gumamnya, segera saja melupakan rasa capeknya dan kembali bersemangat. "Setelah ini, aku akan segera menemuinya."Pikiran bahwa sebentar lagi dia akan bisa menemui Liliana, mem
"Kills!"Killian seolah mendengar ada seseorang yang memanggilnya. Namun belum sempat dia mencari tahu, lampu lalu lintas sudah kembali menyala hijau sehingga mau atau tidak mau dia pun harus tetap menjalankan mobilnya.Meski begitu, entah mengapa perasaannya tidak enak. Sejak tadi dia selalu saja merasa tidak tenang. Rasanya seperti ada suatu hal buruk yang akan terjadi, tapi sialnya Killian sendiri masih belum mampu untuk coba mengira-ngira.Oleh karena itulah, walau sedang mengendarai mobilnya lelaki itu sama sekali tidak bisa berkonsentrasi sepenuhnya. Matanya sering kali melirik ke arah kaca tengah mobil dengan gelisah, seakan berusaha mencari sesuatu atau mungkin ... seseorang.Namun hal yang kemudian dilihatnya, sontak membuat Killian merasa jantungnya seolah ditarik keluar begitu saja."Kiska!"Seakan nyawanyalah yang sedang dalam bahaya, Killian melompat keluar dari mobil yang dia hentikan secara sembarangan di tengah jalan. Dia tidak peduli soal apakah se
"Apa saja yang sudah kamu lakukan, sampai pulang terlambat seperti ini?""Dasar anak nakal! Aku tadi sudah susah payah menjemputmu ke sekolah, tapi kamu malah tidak ada. Ternyata sekarang kamu sudah berani untuk membolos, ya?""Benar-benar anak yang merepotkan! Apa kamu tahu, bahwa gara-gara kamu, Nona Selena merasa marah dan kecewa?"Liliana yang sejak tadi hanya diam dan menunduk mendengarkan segala omelan Ibunya, kini langsung tersentak. Mata hitamnya memandang Bi Likah yang selama ini dia tahu sebagai perempuan yang sudah melahirkannya itu dengan sorot bertanya.Benarkah? Benarkah Nona Selena merasa marah dan kecewa kepadanya? Tapi, kenapa?"Ya, ampun! Apakah kamu benar-benar tidak tahu, bahwa selama ini Nona Selena hanya berusaha bersikap sabar kepadamu? Padahal sebenarnya, sudah lama sekali dia memendam perasaan kesalnya itu!"Tapi, kenapa? tanya Liliana, membuat isyarat dengan tangan kecilnya yang kini mulai gemetar. Kenapa Nona Selena kesal kepadanya?"K
Ansia menatap arlojinya dengan gelisah.Perempuan cantik dengan rambut hitamnya yang khas itu kini sedang berdiri di dekat gerbang sekolah dengan sikap yang tidak sabar. Matanya terus saja memandang ke salah satu sisi sekolah St. Cattleya dan sesekali melirik sekedar untuk memastikan kalau kedua anak lelaki kembarnya tidak membuat ulah."Al, apakah dia belum datang juga?" tanyanya, membuat Alexis yang mulanya asyik mengamati kumbang di sela-sela rumput dan Alden yang sejak tadi berdiri diam dengan memaku pandangan ke arah yang sama dengan Ansia, akhirnya menoleh. "Ini sudah jam pulang sekolah dan anak-anak yang lain juga sudah keluar dari kelas, tapi yang mana sebenarnya anak perempuan yang terus menerus kalian ceritakan itu?""Tidak ada.""Ya?""Ana belum keluar, Mom."Ansia memandang ke arah Alden yang sejak tadi hanya menjawabnya dengan singkat-singkat saja itu. Sedikit mengerutkan dahi, dia bisa melihat betapa ekspresi wajah putranya itu tampak sedikit kaku. Kh
Terdengar suara keroncongan dan Liliana pun segera mendekap perutnya. Lapar. Sejak tadi dia sudah merasa begitu lapar. Hal yang sangat wajar sebab terakhir kali dia makan adalah kemarin siang, saat menghabiskan waktu di taman bermain. Waktu itu di restoran, dia, Alexis dan Alden seakan tengah berlomba untuk menghabiskan porsi spaghetti mereka masing-masing, sementara Killian hanya tersenyum dan sesekali tertawa sambil terus menyemangati mereka. Liliana lantas menunduk sembari meremas rok seragam sekolahnya. Padahal ... baru kemarin siang dia merasa begitu bahagia. Liliana begitu suka ketika dia menghabiskan waktu dengan bermain bersama Alexis dan juga Alden. Rasanya, dia seperti memiliki saudara saja. Gadis kecil itu juga merasa bahagia setiap kali Killian menggendong, mencium dan mengusap kepalanya. Ada rasa hangat yang Liliana rasakan dalam dada selama dia bersama dengan lelaki tampan yang merupakan paman kedua temannya itu.
Liliana menggoyang-goyangkan kedua kakinya dengan ceria. Ada senyuman yang menghiasi wajah lucunya, sementara sesekali dia menoleh dan menikmati pemandangan di luar mobil. Ada bunyi keroncongan lagi dan Liliana pun cepat-cepat memegangi perutnya. Wajah lucunya terlihat memerah, rupanya gadis kecil itu merasa malu. Dengan takut-takut dia lantas melirik ke arah perempuan cantik yang ada di sebelahnya. Meski mereka berdua sama-sama duduk di kursi penumpang bagian belakang, tapi jelas terlihat kalau perempuan itu berusaha menjaga jarak dengannya sejauh mungkin. Lalu, sewaktu tanpa sengaja mereka bertemu pandang, secara refleks Liliana pun memberinya senyuman. Namun, selain tidak membalas senyuman Liliana, perempuan itu justru memandangnya dengan jijik. Seolah gadis kecil yang berada dalam satu mobil dengannya ini adalah ulat yang menjijikkan dan sebenarnya dia sudah tidak tahan lagi untuk menginjak-injak ulat itu hingga hancur.  
Killian menarik napas dalam sekali lagi.Dalam satu jam terakhir, entah sudah berapa kali lelaki itu hilir mudik sendiri, melirik ke arah pintu ruang perawatan yang masih tertutup, menyergah napas kasar, hilir mudik lagi, lalu kembali membuang napas berat ketika mendapati pintu yang masih tertutup.Dia lalu memilih untuk berdiri dan bersandar di dinding, sementara sepasang mata gelapnya nyaris tidak lepas memandangi sepasang pintu ganda yang sudah sejak tadi ingin dia dobrak dan terobos masuk itu.Apakah pemeriksaan di UGD memang harus selama ini?Sial! Killian memaki dalam hati, mungkin sudah untuk yang ke seratus kalinya. Situasi yang dia alami saat ini kembali mengingatkan lelaki itu ketika dulu dia terpaksa melarikan Aila ke rumah sakit.Waktu itu pun sama-sama malam hari seperti saat ini."Tenanglah," bisiknya, berbicara kepada dirinya sendiri. "Tenanglah dulu. Tadi Selena tidak sampai tertabrak. Dia hanya terjatuh. Jadi, tidak akan terjadi apa-apa."
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida