Terdengar suara keroncongan dan Liliana pun segera mendekap perutnya.
Lapar. Sejak tadi dia sudah merasa begitu lapar. Hal yang sangat wajar sebab terakhir kali dia makan adalah kemarin siang, saat menghabiskan waktu di taman bermain.
Waktu itu di restoran, dia, Alexis dan Alden seakan tengah berlomba untuk menghabiskan porsi spaghetti mereka masing-masing, sementara Killian hanya tersenyum dan sesekali tertawa sambil terus menyemangati mereka.
Liliana lantas menunduk sembari meremas rok seragam sekolahnya.
Padahal ... baru kemarin siang dia merasa begitu bahagia.
Liliana begitu suka ketika dia menghabiskan waktu dengan bermain bersama Alexis dan juga Alden. Rasanya, dia seperti memiliki saudara saja.
Gadis kecil itu juga merasa bahagia setiap kali Killian menggendong, mencium dan mengusap kepalanya. Ada rasa hangat yang Liliana rasakan dalam dada selama dia bersama dengan lelaki tampan yang merupakan paman kedua temannya itu.
Liliana menggoyang-goyangkan kedua kakinya dengan ceria. Ada senyuman yang menghiasi wajah lucunya, sementara sesekali dia menoleh dan menikmati pemandangan di luar mobil. Ada bunyi keroncongan lagi dan Liliana pun cepat-cepat memegangi perutnya. Wajah lucunya terlihat memerah, rupanya gadis kecil itu merasa malu. Dengan takut-takut dia lantas melirik ke arah perempuan cantik yang ada di sebelahnya. Meski mereka berdua sama-sama duduk di kursi penumpang bagian belakang, tapi jelas terlihat kalau perempuan itu berusaha menjaga jarak dengannya sejauh mungkin. Lalu, sewaktu tanpa sengaja mereka bertemu pandang, secara refleks Liliana pun memberinya senyuman. Namun, selain tidak membalas senyuman Liliana, perempuan itu justru memandangnya dengan jijik. Seolah gadis kecil yang berada dalam satu mobil dengannya ini adalah ulat yang menjijikkan dan sebenarnya dia sudah tidak tahan lagi untuk menginjak-injak ulat itu hingga hancur.  
Killian menarik napas dalam sekali lagi.Dalam satu jam terakhir, entah sudah berapa kali lelaki itu hilir mudik sendiri, melirik ke arah pintu ruang perawatan yang masih tertutup, menyergah napas kasar, hilir mudik lagi, lalu kembali membuang napas berat ketika mendapati pintu yang masih tertutup.Dia lalu memilih untuk berdiri dan bersandar di dinding, sementara sepasang mata gelapnya nyaris tidak lepas memandangi sepasang pintu ganda yang sudah sejak tadi ingin dia dobrak dan terobos masuk itu.Apakah pemeriksaan di UGD memang harus selama ini?Sial! Killian memaki dalam hati, mungkin sudah untuk yang ke seratus kalinya. Situasi yang dia alami saat ini kembali mengingatkan lelaki itu ketika dulu dia terpaksa melarikan Aila ke rumah sakit.Waktu itu pun sama-sama malam hari seperti saat ini."Tenanglah," bisiknya, berbicara kepada dirinya sendiri. "Tenanglah dulu. Tadi Selena tidak sampai tertabrak. Dia hanya terjatuh. Jadi, tidak akan terjadi apa-apa."
"Kiska."Killian terpaksa mengetuk pintu kamar mandi di mana Selena berada. Setidaknya sudah tiga puluh menit berlalu, tapi perempuan itu masih belum juga keluar."Kiska? Apakah kamu masih lama?" tanyanya lagi, kembali mengetuk dan menunggu dengan sabar. "Kiska?"Masih belum ada sahutan apa pun yang terdengar dari balik pintu, membuat Killian mulai merasa heran. Dalam hati dia bertanya-tanya, apakah semua perempuan memang selalu menghabiskan waktu selama ini hanya untuk berganti pakaian?Atau ... mungkinkah terjadi sesuatu di dalam kamar mandi?Bagaimana kalau Selena ternyata tiba-tiba pingsan di dalam sana? Bagaimana kalau sebenarnya perempuan itu sedang terkapar di atas lantai kamar mandi yang dingin?Deg!Untuk sesaat Killian berdiri terpaku. Tiba-tiba saja ada rasa cemas yang menyergapnya. Dalam hati Killian lantas memaki dirinya sendiri. Dia merasa bodoh karena sudah membiarkan Selena berganti pakaian sendirian saja.Sehar
Keheningan melingkupi suasana di dalam sedan mewah tersebut. Selena duduk diam dan memasang ekspresi wajah kaku, sembari memangku Liliana yang sekarang tengah tertidur. Sementara itu di sisi lain, ada Andreas, yang sejak tadi berusaha keras agar tidak terlalu sering tersenyum. "Katakan, Reas." Selena akhirnya bersuara, memecah keheningan yang menggantung sejak mereka pergi meninggalkan rumah sakit tadi. Menoleh ke arah Andreas, sepasang mata abu perempuan itu menatapnya dengan bersungguh-sungguh. "Bagaimana caranya sehingga kamu bisa tiba-tiba ada di rumah sakit seperti tadi?" Andreas menutupi mulutnya dengan tangan lalu sedikit terbatuk, mencoba menghalau kenyataan bahwa saat ini dia sedang tersenyum lebar. "Bi Likah tadi menghubungi Ron, Babe," jawabnya. "Dia memberi tahu kalau kamu keluar untuk mencari anak itu." Ada dengusan napas kasar yang sekilas terdengar ketika Selena mendengarnya. R
Sementara itu, di kediaman Roxanne.Waktu sudah menunjukkan tengah malam, tapi Ansia belum juga bisa tertidur. Memasuki kamar kedua anaknya, dia memandangi Alexis dan Alden yang saat ini tengah tertidur pulas, dan lantas tersenyum lembut.Ansia masih sempat membelai kepala kedua jagoannya, menciumi mereka bergantian, sebelum kemudian menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.Ah, hari ini entah berapa kali sudah perempuan itu merasa begitu menyesali diri."Ke mana sebenarnya anak itu?" gumamnya sembari menyandarkan kepala ke kaca jendela kamar anaknya dan mengamati taman kediaman keluarga Roxanne yang sepi. "Padahal tadi aku sudah menunggunya selama hampir tiga jam, tapi dia tidak juga datang."Ada perasaan menyesal yang begitu dalam yang Ansia rasakan. Rasanya sedih sekali, seolah perempuan itu baru saja kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kembali sesuatu yang
"Apa kamu sudah gila, Hugo? Keluar dari keluarga Harron hanya demi seorang perempuan? Apalagi perempuan itu bukanlah perempuan yang setara dengan keluarga kita!""Ayah, tolong jaga ucapan Ayah," ujar Hugo dengan suara yang nyaris menggeram. Apabila dilihat dari ekspresi wajahnya, lelaki itu jelas sedang berusaha menahan amarah. "Keputusanku untuk keluar dari keluarga Harron bukan semata-mata karena Ansia, tapi karena aku merasa bahwa diriku sudah tidak lagi dianggap ada di sini.""Nak, apa maksudmu bicara seperti itu?" Kali ini, Maria Harron yang ikut berbicara. "Kenapa kamu bisa beranggapan seperti itu?"Hugo menatap ke arah Ibunya selama beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab, "Adakah salah satu dari kita yang sudah menyempatkan datang menemui mereka, sekedar untuk meminta maaf?"Hening sesaat, sampai akhirnya Derrick Harron berkata dengan nada membentak, "Memangnya, kenapa kita harus meminta maaf kepada mereka? Keluarga Harron tidak berbuat kesalahan apa pun. Kecela
Derrick Harron pulang dengan sikap marah.Memasuki ruang kerjanya, lelaki baya itu segera saja menggebrak meja kerja dan menyapu semua yang ada di atasnya. Terakhir, dia mengeluarkan suara geraman mengerikan bernada marah."Ada apa ini?" tanya Maria Harron, yang kebetulan saja melintas di depan ruang kerja. Kalau dilihat dari penampilannya, sepertinya perempuan yang berusia nyaris separuh abad itu berencana akan keluar. "Derrick, kenapa kamu marah-marah begini? Memangnya, apa yang sudah terjadi?"Bukannya langsung menjawab, tapi Derrick hanya memandang istrinya sekilas sebelum kemudian mendengus kesal."Apa kamu masih belum mendengar berita soal itu?" tanyanya, masih dengan nada marah."Berita? Berita apa?" Maria balas bertanya dengan dahi berkerut dan wajah kebingungan. "Derrick, kalau aku tahu, tentu aku tidak akan bertanya. Sebenarnya, ada apa, sih?""Itu
Apa lebih baik kalau anak itu benar-benar aku coret dari kartu keluarga, ya? Selama setengah jam terakhir, Ivona benar-benar serius memikirkan satu kemungkinan tersebut. Saat ini pun, sudah ada kedutan-kedutan kecil yang mulai muncul di pelipisnya. Yah, hal yang wajar sebenarnya. Mengingat dia harus tetap bisa tersenyum dan memasang sikap ramah, sementara di dalam hati perempuan yang masih terlihat cantik di usia separuh bayanya itu sebenarnya sedang luar biasa merasa dongkol. "Selamat datang, Nyonya Agentine. Mohon maaf karena sudah membuat Anda menunggu terlalu lama." Ivona mengeratkan gerahamnya dan menarik napas dalam terlebih dulu, sebelum akhirnya melebarkan senyum dan membalas sapaan dari Maria Harron dengan tidak kalah ramahnya. "Tidak apa-apa, Nyonya Harron. Saya menyadari bahwa memang sayalah yang bersalah karena sudah datang tanpa memberi pemberitahuan sebelu