Ketika hari esok datang, Killian tahu bahwa mereka perlu berbicara.
Semalaman sudah dia tidak bisa tidur. Waktunya habis untuk bertarung dengan dirinya sendiri, antara ingin menghajar Andreas lalu membawa Selena pergi, atau membawa Selena pergi lalu memarahi sekretarisnya itu habis-habisan karena sudah mempermainkannya. Kira-kira mana yang lebih baik untuk dia lakukan?
Dahi Killian kemudian berkerut.
Tunggu. Tunggu dulu.
Kenapa dari dua pilihan yang sedang dipikirkannya, kedua-duanya mencakup rencana untuk membawa Selena pergi?
Seolah tidak peduli dengan apa pun yang ingin Killian lakukan dan apa pun keputusan yang hendak diambil, maka dia akan tetap melibatkan Selena.
"Sial!" makinya. "Dasar perempuan!"
Panas yang dia rasakan sejak semalam tidak hanya membakar dada, tapi juga seluruh tubuhnya. Dengan muak Killian menggeleng, berusaha agar dapat menyingkirkan bayangan Selena dari dalam kepalanya.
Ya, Tuhan. Seharusnya K
Begitu Selena membuka pintu dan mereka berhadap-hadapan dengan Ivona, Killian pun seketika membeku. Dia masih dalam posisi setengah memeluk Selena dan Killian juga yakin bahwa dari ekspresi wajah mereka, Ibunya itu pasti akan bisa menangkap ada sesuatu yang salah. Sekilas melirik, dia lantas mengeluh dalam hati. Ah, sial! Ada bekas kemerahan di leher Selena yang begitu jelas terlihat. Seolah sama-sama baru menyadarinya, sekretarisnya itu lalu dengan cepat merapikan rambut dan berusaha menutupi bekas kemerahan tersebut, tapi rasanya percuma. Mustahil kalau Ivona belum melihatnya. "Bu," sapa Killian, berusaha mengalihkan perhatian. "Kenapa Ibu ke sini? Ada apa?" "Apakah Ibu mengganggumu?" tanya Ivona sembari menyunggingkan senyum, membuat Killian sesaat terperangah melihat sikap tenang yang Ibunya tunjukkan. "Apa? Maksudku, ba
Sebenarnya ada apa dengan Alexis dan Alden? Ansia mengerutkan dahi, memikirkan soal perubahan perilaku kedua putra kembarnya itu. Beberapa hari lalu mereka terlihat begitu bahagia dan semangat, tapi entah mengapa akhir-akhir ini keduanya malah selalu berwajah muram dan sedih. "Apakah sudah terjadi sesuatu selama mereka berada di sekolah?" tanya Ansia kepada kedua orang pengasuh putranya tersebut. "Tidak ada, Nona. Kedua Tuan Kecil baik-baik saja selama berada di sekolah." "Belakangan ini aku juga kerap menemukan mereka keluar rumah dengan alasan untuk bermain bersama teman," lanjut Ansia. "Sebenarnya ke mana mereka pergi dan siapa teman yang mereka temui nyaris setiap hari itu?" Bukannya Ansia tidak menaruh perhatian kepada kedua putra kembarnya, tapi belakangan ini memang ada beberapa hal yang membutuhkan perhatiannya secara lebih.
'Jangan menangis terus! Kenapa kamu selalu membuatku susah?''Apa kamu tahu, kalau aku terpaksa merawat dan membesarkanmu? Benar-benar membuat repot saja!''Diam! Berisik sekali! Aku tidak suka mendengar suaramu! Dasar anak pembawa sial!'Liliana berdiri dengan ketakutan.Ucapan yang tadi Charlotte lontarkan kepadanya, berhasil memicu berbagai kenangan buruk yang selama ini coba dia pendam. Gadis cilik itu pun memandang ketakutan ke sosok lelaki yang kini berjalan mendekatinya.Takut. Lelaki berambut hitam dengan warna mata yang persis seperti miliknya itu terlihat begitu menakutkan bagi Liliana. Sungguh, sebenarnya dia ingin sekali kabur dan menjauh dari lelaki itu, tapi kedua kaki mungilnya sama sekali tidak dapat digerakkan.Bukankah lelaki itu menyiram perempuan tadi dengan secangkir kopi? Lalu, bagaimana kalau kali ini justru Lilianalah yang akan d
"Jadi, kalian datang kemari untuk mencari tahu, ada masalah apa di kantorku? Begitukah, Lexis? Alden? Hm?"Tidak langsung menjawab, Alexis dan Alden hanya berdiri dengan gelisah sembari saling melirik. Kalau Alexis menggerakkan dagunya sekilas, maka Alden lantas memberi anggukan pelan setelah berpikir untuk beberapa saat."Kami ... ingin membantu Ana, Paman," ujar Alexis, menegakkan kepala dan memandang langsung ke arah Killian. "Nona Malaikat bekerja di sini dan akhir-akhir ini dia selalu terlihat murung. Jadi, kami bermaksud mencari tahu, masalah apa yang kira-kira sudah membuatnya bersedih.""Nona Malaikat?" Killian mengerutkan dahi, terlihat kebingungan. "Siapa dia?""Dia ...." Sekali lagi Alexis melirik ke arah Alden, melemparkan pandangan meminta tolong. "Itu ....""Dia orang yang sangat Ana sayangi, Paman," sahut Alden segera, membuat Killian menoleh ke arahnya. "Jadi, Ana benar-benar mengkhawatirkannya."Memandangi Liliana, Killian menunggu agar
Killian sama sekali tidak tahu bagaimana caranya berhenti tersenyum."Kamu suka?" tanyanya, meraih sehelai tisu lalu membersihkan saus tomat yang mengotori pipi Liliana. "Apakah enak?"Menjawab pertanyaan Killian, gadis kecil itu pun mengangguk-angguk dengan riang. Kedua pipinya terlihat menggembung, setelah dia memasukkan spaghetti satu suap penuh ke dalam mulut dan sekarang sedang sibuk mengunyah."Makan pelan-pelan, Princess." Killian tertawa kecil melihat mulut Liliana yang mengerucut karena saking penuhnya. "Tidak ada yang akan meminta makananmu kok."Namun sebelum Killian selesai berbicara, terdengar suara bernada kesal yang menyela."Lexis! Jangan ambil jatahku!""Sedikit saja, Al. Jangan pelit, dong!""Pelit bagaimana? Kalau mau minta itu yang kira-kira. Masa, separuh lebih yang kamu embat?""Ingat, aku ini ka
Apa yang bisa dia berikan sebagai jawaban, ya?Killian tengah memikirkan jawaban semacam apa yang akan dia berikan nanti kepada keluarga Roxanne.Dia lantas melirik jam tangannya sekilas dan menyadari bahwa waktu sudah cukup sore.Memandang ke arah ketiga anak yang kini tengah mengantre giliran untuk bermain flying fox, Killian tahu betul bahwa dia sudah tidak bisa menahan mereka untuk tetap bersamanya lebih lama lagi."Ansia pasti marah besar," gumamnya, berusaha tidak mengacuhkan banyaknya panggilan telepon yang masuk di ponselnya, sejak dia memberi kabar bahwa kedua cucu keluarga Roxanne ada bersamanya.Killian juga bisa membayangkan bagaimana reaksi Heri dan Risa saat ini, tapi bukannya merasa khawatir lelaki itu justru mendengus geli. Sepertinya sudah sangat lama sejak dia menerima omelan jadi, tidak apalah.Liliana sudah memakai semua peralatan keamanan dan akan sege
"Bagaimana, Ron? Apakah semuanya beres?" "Saya sudah memastikan ulang semuanya, Tuan Muda. Berita mengenai lamaran pernikahan Anda sudah tersebar. Tidak hanya di saluran televisi nasional dan internasional, seluruh laman internet, tapi ditayangkan juga lewat videotron di ruas-ruas jalan utama. Jadi, rasanya mustahil kalau sampai ada orang yang tidak mengetahuinya." "Bagus! Kerja bagus, Ron." "Maafkan saya sebelumnya, Tuan Muda, tapi apakah hal ini tidak berlebihan? Maksud saya, soal resiko yang Anda ambil dengan menayangkan hal ini secara luas, hanya dengan tujuan agar Tuan Muda Ardhana bisa melihatnya." "Apa maksudmu? Langsung saja katakan, jangan berputar-putar." "Saya hanya tidak bisa membayangkan, bagaimana seumpama tadi Nona Hills menolak lamaran Anda? Padahal Anda sudah mendatangkan begitu banyak awak media, sementara tidak ada jaminan bahwa segalanya akan berjala
Malam Killian benar-benar terasa bagai di neraka. Lelaki itu nyaris tidak makan, tidak tidur, dan pikirannya terus menerus memikirkan berbagai hal yang seakan menggumpal bak benang kusut. Killian merasa ada sesuatu yang sudah dia lewatkan, tapi apa? Meski dia sudah berusaha untuk mencoba memikirkan ulang semuanya secara runut, nyatanya tidak ada hasil. Percuma saja. Sama sekali tidak ada gunanya. Itu karena pikiran Killian lagi-lagi mengarah pada tayangan videotron yang tadi dia lihat. Dia begitu terkejut karena Selena menerima lamaran pernikahan dari Andreas. Lalu yang lebih gila adalah Killian seakan masih belum juga bisa percaya. Dengan keras kepala, lelaki itu pun lantas bergegas menghubungi pengawalnya. Dia memberikan perintah untuk memastikan kebenaran atas tayangan videotron tersebut, sekaligus mencari tahu soal keberadaan Selena. Informasi sudah dia terima, termasuk di mana lokasi Selena berada, dan sepanjang malam itu Killian