"Bisakah kamu tidak menyebutkan namanya, Queen? Tengkukku rasanya merinding setiap kali mendengar nama itu disebut."
Memutar kedua matanya, Aila pun mencebik.
"Oh, baiklah. Jadi, apa saja yang kalian lakukan di sana?"
"Apa maksudmu dengan pertanyaan yang semacam itu? Memangnya, aku harus melakukan apa terhadap perempuan yang bahkan sekedar mendengarkan namanya saja sudah membuatku mual?"
Bersungut-sungut, wajah tampan Killian segera saja terlihat kesal.
"Perempuan yang katanya putri dari keluarga terhormat itu, dia sudah berani menipu dua orang penjaga yang bertugas dengan berpura-pura mengatakan sakit perut. Lalu, dia juga nekat menerobos masuk meski Alda, sekretarisku, sudah coba melarang dan menghalanginya. Semua masih belum berakhir sampai di situ, Queen. Seolah masih kurang cukup, perempuan itu tanpa tahu malu lantas mencoba jatuh ke pelukanku dengan berpura-pura jatuh."
Aila bisa merasakan kehangatan sinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela kamar yang terbuka.Beberapa bias sinar bahkan menerpa wajahnya, membuat perempuan cantik itu pun perlahan membuka kedua mata."Sudah pagi ternyata," gumamnya, masih merasa begitu enggan untuk benar-benar bangun dan sedikit berkedip-kedip karena silau. "Sekarang ... jam berapa?""Aku tidak boleh tidur lagi." Sambil menguap dan terkantuk-kantuk, dia berkata. "Aku benar-benar harus bangun."Aila tahu bahwa dia tidak bisa meneruskan tidur, tapi tempatnya berbaring sekarang ini rasanya begitu nyaman. Kasur dan bantal yang empuk, selimut yang hangat, juga aroma yang familier pun memenuhi penciumannya.Lagi pula, sebagai tambahan, saat ini sekujur tubuh perempuan bermata abu itu juga masih begitu pegal dan terasa berat untuk digerakkan. Tentu saja, semua merupakan efek yang timbul dari kegiatan yang sema
"Ngomong-ngomong, Charlotte ... ada apa dengan rambutmu?"Derrick mengamati putrinya dengan dahi yang sedikit berkerut.Setelah tadi mereka saling terdiam, suaranya pun berhasil memecah kesunyian yang ada sebab sejak mereka berempat berada di mobil yang sama, tidak ada satu pun dari keempat orang itu yang memulai percakapan.Baik Charlotte maupun Hugo, kedua orang anaknya itu sejak tadi sudah terlihat sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, sementara Maria, istrinya, lebih asyik dengan ponsel di tangan."Ya? Ehm, maksud Ayah, bagaimana?" tanya Charlotte, entah apakah dia memang tidak paham atau hanya berpura-pura saja. "Memangnya, ada apa dengan eh, rambutku?"Namun rupanya, perempuan bermata coklat itu tidak terlalu berani memasang sikap yang sama untuk waktu yang lebih lama lagi. Nyatanya sekarang, dengan sedikit tergagap dia mulai menjawab pertanyaan ayahnya.
"Selamat datang!" sambut Gallahan, begitu mereka berempat memasuki ruang depan kediaman Ardhana."Bagaimana kabarmu, Derrick?" Lelaki tua itu terkekeh, sambil berjabat tangan dan menepuk bahu Derrick beberapa kali dengan pelan. "Sehat-sehat saja 'kan?""Baik. Kabar saya baik, Tuan Gal. Tentu saja, jangan khawatir," sahut Derrick dengan tetap mempertahankan sikap sopannya, sebab kepala keluarga Ardhana itu memang lebih senior darinya. "Anda sendiri, bagaimana? Saya lihat tidak banyak ada yang berubah sejak pertemuan kita yang terakhir kali. Sepertinya Anda lebih awet muda."Terdengar suara tawa yang keluar dari Gallahan, rupanya dia merasa senang saat mendengarkan pujian dari lawan bicaranya. Lelaki itu terlihat begitu bahagia seperti sedang bertemu dengan teman lama, sementara Derrick masih bersikap lebih pendiam."Kapan ya, terakhir kali kita bertemu?" gumam Gallahan sambil mencoba mengingat-i
Suara cangkir yang pecah setelah menghantam permukaan lantai di ruang tengah kediaman Ardhana itu terdengar cukup nyaring. Namun untuk sesaat, tidak ada seorang pun yang sanggup bersuara.Entah mengapa segalanya terasa begitu hening, seolah ada seseorang yang sudah menutup kedua telinga dan menghalangi pendengarannya. Setidaknya sampai kemudian Hugo mendengar seruan kaget yang disuarakan oleh Maria Harron.Lelaki itu bisa mendengar pertanyaan yang ibunya lontarkan dengan nada cemas, soal apakah dia baik-apa saja atau hal yang semacamnya, tapi entahlah. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang sudah Maria ucapkan, sebab Hugo sendiri pun tidak terlalu menghiraukannya.Dia juga tahu betapa saat ini Derrick tengah menatapnya dengan tajam. Apabila di waktu yang lain, Hugo mungkin saja bisa merasakan betapa pandangan yang ayahnya lontarkan seolah bisa menguliti dirinya hidup-hidup, tapi, toh, sayangnya dia tidak peduli.
Tentu saja tidak ada celah yang dapat dicela dalam acara makan malam yang kali ini. Baik hidangan atau pun yang lainnya, semua diatur dan disajikan dengan begitu sempurna, tapi bukan berarti tidak ada masalah sama sekali."Jadi, kapankah kami bisa menerima permintaan tersebut?"Gallahan tersedak, dan Killian sontak saja memasang wajah seolah ingin menonjok Derrick yang baru saja bicara."Apa maksudmu?" tanya Gallahan setelah berhasil mengatasi tersedaknya.Dia menggenggam tangan Aila dan tersenyum kepadanya saat perempuan bermata abu itu bergegas berdiri dan menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut."Aku sudah tidak apa-apa, Nak," ujarnya, meminta agar Aila kembali duduk lewat pandangan mata.Kerutan tipis di dahi Derrick kembali muncul. Interaksi antara Gallahan dan Aila tentu saja menarik perhatiannya, sebab sepanjang yang dia tahu, kepala keluarga Ardhana i
"Apakah kamu baik-baik saja Queen?" tanya Killian sambil memijat bahu istrinya dengan lembut.Tersenyum, Aila pun menoleh dan memegang tangan Killian yang masih ada di bahunya. "Aku baik-baik saja, Kills. Terima kasih."Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, setidaknya sudah tiga jam berlalu sejak acara makan malam yang kacau itu berakhir.Berada di dalam kamar tidur, mereka pun menikmati waktu untuk bersama. Aila sedang duduk di depan meja rias, membersihkan sisa riasan di wajah, sementara Killian berdiri di belakangnya."Maaf.""Apa?""Maafkan aku, Queen."Berputar di tempat duduk, Aila memandang heran suaminya. "Kenapa tiba-tiba kamu meminta maaf?"Menekuk kaki, Killian lantas duduk berlutut di depan istrinya. Lelaki itu menggenggam kedua tangan Aila lalu menciumnya."Maaf," ujarnya, menumpukan dagu di atas lutut Aila. "Maaf karena selalu membuatmu mengalami kesulitan. Maaf karena aku masih belum bisa m
Killian tidak bisa tidur semalaman."Tuan Muda, bukankah seharusnya Anda sudah harus berangkat kerja sekarang—""Aku masih libur, Erick.""Eh? Ya?"Tidak berkata apa-apa, Erik memandang Killian dengan bingung. Meski dia masih belum paham sepenuhnya, tapi lelaki separuh baya itu lebih memilih untuk diam.Entah mengapa, instingnya berkata bahwa sebaiknya dia tidak terus mengajak bicara lelaki tampan itu, dan lebih baik kalau dia mengira-ngira segalanya sendiri saja.Apakah Killian mengambil libur lagi hari ini? Tapi, kenapa?Mungkinkah ada jadwal acara lain yang dia tidak ketahui? Tapi, apa?Killian sejak tadi terus berada di ruang perpustakaan seolah sedang mengurung diri. Memang, sih, tidak ada yang lelaki berambut hitam itu lakukan selain hanya duduk diam, tapi tetap saja bukan berarti bahwa semuanya bisa dikat
Maria nyaris saja tersandung kakinya sendiri ketika dia berlari menuruni tangga. "Oh, syukurlah," ujarnya dengan napas yang sedikit terengah.Tadi dia sekedar ingin melemaskan kaki dan memutuskan untuk berjalan mengelilingi ruang depan sambil melihat-lihat ini dan itu, sampai kemudian tanpa sengaja Maria berdiri di dekat jendela yang kebetulan mengarah ke bagian depan kediamannya.Perempuan baya itu pun terbelalak ketika akhirnya melihat siapa tamu yang nyaris dia usir begitu saja, membuatnya sontak lari terbirit tanpa memedulikan pandangan heran para pelayan yang dia lewati begitu saja.Syukurlah aku masih sempat mengejarnya, batin Maria. Entah apa jadinya, kalau aku sampai membiarkan Nyonya Muda keluarga Ardhana ini untuk pulang begitu saja."Apakah Anda baik-baik saja, Nyonya?" tanya perempuan cantik yang berada di depannya, dan membuyarkan segala pikiran Maria. Dia bisa melihat betapa sepasang ma