Killian tidak bisa tidur semalaman.
"Tuan Muda, bukankah seharusnya Anda sudah harus berangkat kerja sekarang—"
"Aku masih libur, Erick."
"Eh? Ya?"
Tidak berkata apa-apa, Erik memandang Killian dengan bingung. Meski dia masih belum paham sepenuhnya, tapi lelaki separuh baya itu lebih memilih untuk diam.
Entah mengapa, instingnya berkata bahwa sebaiknya dia tidak terus mengajak bicara lelaki tampan itu, dan lebih baik kalau dia mengira-ngira segalanya sendiri saja.
Apakah Killian mengambil libur lagi hari ini? Tapi, kenapa?
Mungkinkah ada jadwal acara lain yang dia tidak ketahui? Tapi, apa?
Killian sejak tadi terus berada di ruang perpustakaan seolah sedang mengurung diri. Memang, sih, tidak ada yang lelaki berambut hitam itu lakukan selain hanya duduk diam, tapi tetap saja bukan berarti bahwa semuanya bisa dikat
Maria nyaris saja tersandung kakinya sendiri ketika dia berlari menuruni tangga. "Oh, syukurlah," ujarnya dengan napas yang sedikit terengah.Tadi dia sekedar ingin melemaskan kaki dan memutuskan untuk berjalan mengelilingi ruang depan sambil melihat-lihat ini dan itu, sampai kemudian tanpa sengaja Maria berdiri di dekat jendela yang kebetulan mengarah ke bagian depan kediamannya.Perempuan baya itu pun terbelalak ketika akhirnya melihat siapa tamu yang nyaris dia usir begitu saja, membuatnya sontak lari terbirit tanpa memedulikan pandangan heran para pelayan yang dia lewati begitu saja.Syukurlah aku masih sempat mengejarnya, batin Maria. Entah apa jadinya, kalau aku sampai membiarkan Nyonya Muda keluarga Ardhana ini untuk pulang begitu saja."Apakah Anda baik-baik saja, Nyonya?" tanya perempuan cantik yang berada di depannya, dan membuyarkan segala pikiran Maria. Dia bisa melihat betapa sepasang ma
Aila merasa heran ketika terdengar suara gumaman bernada kaget dari staff pengawal yang merangkap pula sebagai supir, dan juga dua orang pelayan wanita yang menyertainya."Ada apa?" tanyanya, tapi belum sempat ada yang bisa memberi jawaban, perempuan bermata abu itu sudah melihat sendiri apa sebenarnya yang sudah menjadi penyebab sampai ketiga orang tersebut merasa sedemikian terkejut. "Kills? Sedang apa dia berdiri di situ?"Sepasang alis Aila bertaut, kali ini pun dia merasa heran dengan kelakukan sang suami.Kenapa Killian berada di teras depan? Apakah lelaki itu sudah begitu tidak sabar, sehingga sampai harus keluar untuk menunggunya seperti ini?"Lagi pula, kenapa aku tiba-tiba merasa merinding?" Mengusap tengkuknya, Aila bahkan sampai meneguk ludah. "Apa aku sudah melakukan kesalahan? Tapi, apa? Bukankah tadi aku juga sudah meminta ijin untuk pergi ke kediaman Harron?"Yah,
'Mari kita kembali tidak saling mengenal.''Apa?'Hugo menarik napas dalam dengan susah payah. Sesak yang dia rasakan sejak siang tadi, kini terasa semakin menjadi.Dengan pandangan merana lelaki beriris merah itu mengedarkan tatapan ke sekeliling ruang perpustakaan, tapi sayangnya dia tidak menemukan sesuatu di ruangan ini yang bisa membuatnya sedikit merasa lega.Kenapa? batinnya, terus teringat dengan hal yang sebelumnya Aila ucapkan padanya."Kenapa?" tanya Hugo ketika bersama Aila tadi, masih berharap bahwa dia hanya salah dengar. "Apakah karena masalah yang ditimbulkan oleh Charlotte itu? Sebab kalau iya, maka—""Iya," potong Aila dengan kalem, tapi sanggup membuat Hugo seketika menahan napas sebab merasakan nyeri di dadanya. "Memang hal itulah yang menjadi penyebabnya.""Tapi, kenapa? Maksudku, tidak bisakah—" Hugo menc
Killian nyaris meremukkan gelas di tangannya."Apa, Kek?" tanyanya, sesaat memejamkan mata sambil menarik napas dalam demi berusaha menambahkan sedikit lagi stok kesabaran. "Bisa diulangi, apa tadi yang Kakek katakan? Derrick Harron, lelaki itu, dia bicara apa?""Kills—"Aila kembali menutup mulut karena Killian sudah mengangkat sebelah tangan, memberinya isyarat agar dia tidak berbicara dulu.Sedikit cemberut, tidak ada lagi yang perempuan cantik bermata abu itu bisa lakukan. Sambil menghela napas panjang, Aila akhirnya kembali duduk di kursi makannya dan menatap sisa makananya tanpa selera.Saat ini mereka tengah menikmati waktu sarapan bersama. Setidaknya sudah satu minggu berlalu sejak acara makan malam bersama keluarga Harron yang berakhir dengan mengerikan, dan selama itu pulalah mereka menjalani hari-hari penuh ketenangan.Namun sekarang, rupanya
Aila sama sekali tidak mengira kalau dia akan bisa bertemu dengan Hugo lagi dalam waktu dekat ini. Namun nyatanya, yang sekarang tengah berdiri di depannya memanglah benar lelaki itu."Selamat siang," sapa Hugo, disertai dengan senyuman yang seolah ingin mengalahkan cerahnya matahari. "Apa kabar?"Kerjap. Kerjap. Aila mengerjap beberapa kali hanya untuk memastikan bahwa dia tidak salah lihat."Apa yang Anda lakukan di sini?" tanyanya, jelas merasa heran karena bertemu Hugo di kampus. "Maksud saya, kenapa—""Ini hanya kebetulan." Hugo memotong dengan lembut. "Saya hanya berniat untuk melakukan kunjungan singkat untuk melihat kampus tempat saya akan memberikan materi soal—""APA?!""—bisnis dan kewirausahaan." Mengakhiri ucapannya, lelaki beriris merah itu menikmati ekspresi terkejut perempuan yang sedang berdiri tidak jauh darinya.&nb
Sementara itu di ruangan kantornya, Killian pun membeku. Dia nyaris saja habis kesabaran ketika harus menyaksikan pemandangan yang kini sedang berlangsung di depan matanya. "Selamat siang, Tuan Gallahan. Terima kasih karena sudah bersedia menyisihkan sedikit waktunya." "Selamat siang, Derrick. Tidak apa-apa, jangan terlalu sungkan seperti itu. Mari, mari." Dengan tatapan membunuh, Killian memandang Gallahan yang kini berusaha keras untuk menghindarinya dan justru bersikap ramah tamah terhadap orang yang sudah dia anggap sebagai musuh. "Maaf," ujarnya dengan suara sedikit gemetar karena menahan marah. "Sebenarnya ada apa ini? Kenapa Kakek tiba-tiba datang dan membawa—" Killian menarik napas dalam sesaat. "—kedua orang itu?" "Ian!" tegur Gallahan, memberi pandangan memperingatkan yang sama sekali tidak dihiraukan oleh Killian.
Aila sedang duduk di balkon teras yang ada di lantai dua. Sendirian saja, dengan secangkir teh yang masih mengepul dan setumpuk camilan manis kesukaannya.Tadi itu ... nyaris sekali.Mengangkat tangan, Aila menelusurkan ujung jari ke permukaan bibirnya sebelum akhirnya menggigit benda kenyal dan mungil tersebut."Hampir saja," bisiknya, yang entah mengapa kini merasa begitu berdebar sementara kedua pipinya pun terasa memanas.Perempuan bermata abu itu bahkan harus memejamkan mata dan menghela napas panjang berkali-kali hanya demi menetralkan kembali detak jantungnya yang tadi memburu.Rasanya bahkan sampai sekarang pun dia masih bisa mencium aroma yang pekat dan khas itu. Aila bisa merasakan campuran aroma vanila, musk dan juga bunga yang memberikan kesan hangat yang menguar dari tubuh Hugo."Sepertinya aku pernah mencium aroma tersebut, tapi di mana dan kapa
"Argh!"Hugo meringis ketika Jerome menuangkan cairan antiseptik dan menekankan kasa ke luka di bahunya dengan sedikit keras. Sengaja memang, sebab asisten pribadi itu sedang merasa sedikit kesal dengan Tuan Muda yang harus dia layani ini."Apakah kamu tidak bisa sedikit saja lebih lembut saat mengobatiku?""Saya tidak melakukan apa-apa, Tuan Muda. Saya sudah berusaha membantu mengobati Anda dengan sebaik mungkin.""Apakah yang seperti ini, yang kamu katakan sudah mengobatiku dengan baik?" gerutu Hugo, yang kembali meringis nyeri saat Jerome kembali menekankan kasa yang sekarang dibasahi cairan obat merah. "Pelan-pelan, Jerome!""Ini sudah sangat pelan, Tuan Muda." Seakan tidak merasa takut sedikit pun, sekarang Jerome malah mengeyel. "Kalau memang tubuh Anda begitu berharga hingga tidak mampu menahan sedikit perih, lalu kenapa Anda tidak menuntut saja orang yang sudah menggigit
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida