Aila sedang duduk di balkon teras yang ada di lantai dua. Sendirian saja, dengan secangkir teh yang masih mengepul dan setumpuk camilan manis kesukaannya.
Tadi itu ... nyaris sekali.
Mengangkat tangan, Aila menelusurkan ujung jari ke permukaan bibirnya sebelum akhirnya menggigit benda kenyal dan mungil tersebut.
"Hampir saja," bisiknya, yang entah mengapa kini merasa begitu berdebar sementara kedua pipinya pun terasa memanas.
Perempuan bermata abu itu bahkan harus memejamkan mata dan menghela napas panjang berkali-kali hanya demi menetralkan kembali detak jantungnya yang tadi memburu.
Rasanya bahkan sampai sekarang pun dia masih bisa mencium aroma yang pekat dan khas itu. Aila bisa merasakan campuran aroma vanila, musk dan juga bunga yang memberikan kesan hangat yang menguar dari tubuh Hugo.
"Sepertinya aku pernah mencium aroma tersebut, tapi di mana dan kapa
"Argh!"Hugo meringis ketika Jerome menuangkan cairan antiseptik dan menekankan kasa ke luka di bahunya dengan sedikit keras. Sengaja memang, sebab asisten pribadi itu sedang merasa sedikit kesal dengan Tuan Muda yang harus dia layani ini."Apakah kamu tidak bisa sedikit saja lebih lembut saat mengobatiku?""Saya tidak melakukan apa-apa, Tuan Muda. Saya sudah berusaha membantu mengobati Anda dengan sebaik mungkin.""Apakah yang seperti ini, yang kamu katakan sudah mengobatiku dengan baik?" gerutu Hugo, yang kembali meringis nyeri saat Jerome kembali menekankan kasa yang sekarang dibasahi cairan obat merah. "Pelan-pelan, Jerome!""Ini sudah sangat pelan, Tuan Muda." Seakan tidak merasa takut sedikit pun, sekarang Jerome malah mengeyel. "Kalau memang tubuh Anda begitu berharga hingga tidak mampu menahan sedikit perih, lalu kenapa Anda tidak menuntut saja orang yang sudah menggigit
"Ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi?""Tanyakan saja kepada putrimu itu! Kepalaku rasanya sudah sangat pusing gara-gara ulahnya."Hugo hanya duduk diam di balik meja kerja, mengamati kedua orang tuanya yang sekarang tengah berseteru. Melirik, dia bisa melihat Charlotte yang masih juga menekuk wajah dan cemberut.Seharusnya dia merasa penasaran dan ingin tahu soal apa yang sebenarnya terjadi 'kan? Yah, setidaknya Hugo perlu untuk mencari tahu apa yang menjadi alasan sampai Derrick semarah ini.Harusnya, sih, tapi nyatanya tidak, sebab saat ini ada hal lain yang telah memenuhi pikirannya.Bahu kirinya sesaat berdenyut dan menghantarkan rasa nyeri sehingga membuat Hugo meringis sesaat, tapi anehnya lelaki tampan itu kemudian malah tersenyum.Ada yang aneh dengan lelaki beriris merah itu. Setiap kali dia merasakan sakit di bahu kirinya, justru mengakibatkan seg
Keesokan harinya.Killian baru saja keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan mantel mandi. Sebelah tangan lelaki itu memegang handuk dan sedang berusaha mengeringkan rambut, sementara air pun masih sering menetes dari ujungnya.Berjalan beberapa langkah, Killian lantas berhenti. Ada senyuman lembut yang menghiasi wajah tampan lelaki itu ketika dia memandang ke arah tempat tidur, di mana terdapat istrinya yang masih tertidur dengan lelap."Queen," bisiknya dengan suara yang sangat lirih, yang memang tidak dimaksudkan untuk membangunkan sang istri. "Selamat pagi, Kiska."Dengan hati-hati Killian duduk di tepi tempat tidur. Sebelah tangannya lantas terulur dan menyibakkan sejumput rambut yang jatuh menutupi wajah Aila, kemudian menyematkannya ke balik telinga istrinya.Penuh sayang, lelaki itu membelai rambut Aila. Sepasang mata gelap Killian pun tampak fokus memandang wajah
Charlotte tersenyum.Rupanya ada sesuatu yang membuatnya bahagia, sehingga perempuan bermata coklat itu pun sudah senyum-senyum sendiri bahkan pada waktu yang sepagi ini.Ponselnya terletak di atas bantal, dan dari benda pipih itulah mengalun lagu yang rupanya mendukung suasana hati Charlotte, sebab dia pun ikut bernyanyi dan sesekali bahkan bergoyang."I see it, I like it, I want it, I got it." Berdiri di depan kaca rias yang berukuran sebesar badan, putri keluarga Harron itu tengah mematut-matut diri. Sementara mulutnya terus bernyanyi, Charlotte berputar di tempat, berusaha mencari tahu apakah ada bagian dari setelan baju kerjanya yang kusut.Ini adalah hari pertama dia bekerja di Ardhana Corporation, jadi sudah seharusnya 'kan, kalau dia tampil sesempurna mungkin?"Dan juga, secantik mungkin," ujarnya dengan nada ceria, menyibakkan rambutnya yang kini sudah kembali berw
"Kita langsung saja ke kantor," ujar Hugo kepada Jerome.Asisten pribadinya itu pun segera mengangguk, lantas bergegas pergi mendahului untuk menyiapkan mobil, meninggalkan Hugo menyusuri koridor kampus.Sembari berjalan, lelaki tampan beriris merah itu menyempatkan diri untuk melirik jam tangannya.Ah, sial, batinnya sedikit kesal.Hugo sama sekali tidak menyangka bahwa pembicaraan dengan rektor kampus akan memakan waktu yang lebih lama dari yang dia perkirakan. Hasilnya bisa diperkirakan, saat ini dia sudah dipastikan terlambat datang ke kantor."Apa-apaan beliau itu tadi? Kenapa suka sekali mengobrol, sih? Padahal aku sudah sangat jelas mengatakan bahwa tidak banyak waktu yang aku miliki sekarang." Menggerutu, dengan langkah lebar Hugo melintasi koridor yang kini mulai dipenuhi para mahasiswa. "Haa ... kalau saja beliau bukan teman lama ayah, pasti tidak akan aku ladeni sepert
Rasanya hari ini adalah hari yang buruk.Begitu mobilnya memasuki pelataran depan kediaman keluarga Harron, Charlotte bisa dikata nyaris meloncat keluar. Bahkan tanpa perlu menunggu Estian untuk membukakan pintu mobil untuknya seperti biasa, perempuan bermata coklat itu sudah langsung pergi meninggalkan asisten pribadi dan beberapa pegawai rumah yang sudah berdiri dan menunggu untuk menyambutnya.Dengan berlari Charlotte berhambur masuk ke kamar tidurnya, membanting keras pintu hingga tertutup, melempar begitu saja tas tangan bermerk-nya seolah benda itu sama sekali tidak berharga, sebelum akhirnya menjatuhkan diri di atas tempat tidur dengan posisi tengkurap.Ada teriakan yang dia suarakan sembari memukul-mukul bantal, rupanya putri keluarga Harron itu saat ini benar-benar kesal."Kenapa?" serunya, kali ini sambil melempar satu buah bantalnya begitu saja. "Kenapa tadi dia harus datang, sih? Benar-be
"Tuan Muda, apakah Anda baik-baik saja?" Melirik dari kaca tengah mobil, Jerome bertanya dengan nada khawatir.Tidak ada sahutan, tentu saja, dan hal tersebut membuat Jerome merasa semakin khawatir.Yah, bagaimana tidak?Tadi dia sudah menunggu Hugo begitu lama, tapi tuan mudanya itu tidak juga kunjung datang. Sampai-sampai Jerome kemudian berniat untuk menjemput.Asisten pribadi itu sudah setengah jalan hendak ke tempat terakhir kali dia meninggalkan Hugo tadi, ketika lelaki tampan beriris merah itu akhirnya datang.Namun, ada yang aneh.Ini jelas ada sesuatu yang tidak benar. Sebab selain sikap Hugo yang sangat pendiam, ekspresi wajah lelaki itu pun terlihat begitu kacau. Jerome bahkan sudah separuh menyakini bahwa tuan mudanya itu telah mengalami sesuatu yang berat, tapi apa?"Kenapa Tuan Muda terlihat pucat? Apakah mungkin belia
Aila mengusap wajahnya.Tadi dia sudah terlambat mengikuti dua mata kuliah sekaligus, dan sekarang malah sengaja bolos dari semua jadwal hari ini yang masih tersisa. Dengan pikiran yang sekacau ini, rasa-rasanya tidak mungkin bagi Aila untuk bisa mengikuti pelajaran apa pun.Duduk berjongkok di bawah sebatang pohon yang berdiri di salah satu sudut areal parkiran kampus, perempuan cantik itu kini malah terlihat seperti seekor kucing kecil yang sedang meringkuk dan seolah hendak bersembunyi.Cukup lucu sebenarnya. Apalagi dengan atasan berbahan rajut dan bermodel turtle neck berwarna abu yang dia kenakan, Aila justru terlihat bagai anak kucing yang tengah bergelung. Hanya saja, keadaan yang dia alami saat ini tentu sangat jauh dari kata lucu tersebut atau hal yang semacamnya.Malah seumpama bisa, sekarang rasanya Aila ingin sekali menggali tanah, lalu mengubur dirinya sendiri dalam-dalam.