"Argh!"
Hugo meringis ketika Jerome menuangkan cairan antiseptik dan menekankan kasa ke luka di bahunya dengan sedikit keras. Sengaja memang, sebab asisten pribadi itu sedang merasa sedikit kesal dengan Tuan Muda yang harus dia layani ini.
"Apakah kamu tidak bisa sedikit saja lebih lembut saat mengobatiku?"
"Saya tidak melakukan apa-apa, Tuan Muda. Saya sudah berusaha membantu mengobati Anda dengan sebaik mungkin."
"Apakah yang seperti ini, yang kamu katakan sudah mengobatiku dengan baik?" gerutu Hugo, yang kembali meringis nyeri saat Jerome kembali menekankan kasa yang sekarang dibasahi cairan obat merah. "Pelan-pelan, Jerome!"
"Ini sudah sangat pelan, Tuan Muda." Seakan tidak merasa takut sedikit pun, sekarang Jerome malah mengeyel. "Kalau memang tubuh Anda begitu berharga hingga tidak mampu menahan sedikit perih, lalu kenapa Anda tidak menuntut saja orang yang sudah menggigit
"Ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi?""Tanyakan saja kepada putrimu itu! Kepalaku rasanya sudah sangat pusing gara-gara ulahnya."Hugo hanya duduk diam di balik meja kerja, mengamati kedua orang tuanya yang sekarang tengah berseteru. Melirik, dia bisa melihat Charlotte yang masih juga menekuk wajah dan cemberut.Seharusnya dia merasa penasaran dan ingin tahu soal apa yang sebenarnya terjadi 'kan? Yah, setidaknya Hugo perlu untuk mencari tahu apa yang menjadi alasan sampai Derrick semarah ini.Harusnya, sih, tapi nyatanya tidak, sebab saat ini ada hal lain yang telah memenuhi pikirannya.Bahu kirinya sesaat berdenyut dan menghantarkan rasa nyeri sehingga membuat Hugo meringis sesaat, tapi anehnya lelaki tampan itu kemudian malah tersenyum.Ada yang aneh dengan lelaki beriris merah itu. Setiap kali dia merasakan sakit di bahu kirinya, justru mengakibatkan seg
Keesokan harinya.Killian baru saja keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan mantel mandi. Sebelah tangan lelaki itu memegang handuk dan sedang berusaha mengeringkan rambut, sementara air pun masih sering menetes dari ujungnya.Berjalan beberapa langkah, Killian lantas berhenti. Ada senyuman lembut yang menghiasi wajah tampan lelaki itu ketika dia memandang ke arah tempat tidur, di mana terdapat istrinya yang masih tertidur dengan lelap."Queen," bisiknya dengan suara yang sangat lirih, yang memang tidak dimaksudkan untuk membangunkan sang istri. "Selamat pagi, Kiska."Dengan hati-hati Killian duduk di tepi tempat tidur. Sebelah tangannya lantas terulur dan menyibakkan sejumput rambut yang jatuh menutupi wajah Aila, kemudian menyematkannya ke balik telinga istrinya.Penuh sayang, lelaki itu membelai rambut Aila. Sepasang mata gelap Killian pun tampak fokus memandang wajah
Charlotte tersenyum.Rupanya ada sesuatu yang membuatnya bahagia, sehingga perempuan bermata coklat itu pun sudah senyum-senyum sendiri bahkan pada waktu yang sepagi ini.Ponselnya terletak di atas bantal, dan dari benda pipih itulah mengalun lagu yang rupanya mendukung suasana hati Charlotte, sebab dia pun ikut bernyanyi dan sesekali bahkan bergoyang."I see it, I like it, I want it, I got it." Berdiri di depan kaca rias yang berukuran sebesar badan, putri keluarga Harron itu tengah mematut-matut diri. Sementara mulutnya terus bernyanyi, Charlotte berputar di tempat, berusaha mencari tahu apakah ada bagian dari setelan baju kerjanya yang kusut.Ini adalah hari pertama dia bekerja di Ardhana Corporation, jadi sudah seharusnya 'kan, kalau dia tampil sesempurna mungkin?"Dan juga, secantik mungkin," ujarnya dengan nada ceria, menyibakkan rambutnya yang kini sudah kembali berw
"Kita langsung saja ke kantor," ujar Hugo kepada Jerome.Asisten pribadinya itu pun segera mengangguk, lantas bergegas pergi mendahului untuk menyiapkan mobil, meninggalkan Hugo menyusuri koridor kampus.Sembari berjalan, lelaki tampan beriris merah itu menyempatkan diri untuk melirik jam tangannya.Ah, sial, batinnya sedikit kesal.Hugo sama sekali tidak menyangka bahwa pembicaraan dengan rektor kampus akan memakan waktu yang lebih lama dari yang dia perkirakan. Hasilnya bisa diperkirakan, saat ini dia sudah dipastikan terlambat datang ke kantor."Apa-apaan beliau itu tadi? Kenapa suka sekali mengobrol, sih? Padahal aku sudah sangat jelas mengatakan bahwa tidak banyak waktu yang aku miliki sekarang." Menggerutu, dengan langkah lebar Hugo melintasi koridor yang kini mulai dipenuhi para mahasiswa. "Haa ... kalau saja beliau bukan teman lama ayah, pasti tidak akan aku ladeni sepert
Rasanya hari ini adalah hari yang buruk.Begitu mobilnya memasuki pelataran depan kediaman keluarga Harron, Charlotte bisa dikata nyaris meloncat keluar. Bahkan tanpa perlu menunggu Estian untuk membukakan pintu mobil untuknya seperti biasa, perempuan bermata coklat itu sudah langsung pergi meninggalkan asisten pribadi dan beberapa pegawai rumah yang sudah berdiri dan menunggu untuk menyambutnya.Dengan berlari Charlotte berhambur masuk ke kamar tidurnya, membanting keras pintu hingga tertutup, melempar begitu saja tas tangan bermerk-nya seolah benda itu sama sekali tidak berharga, sebelum akhirnya menjatuhkan diri di atas tempat tidur dengan posisi tengkurap.Ada teriakan yang dia suarakan sembari memukul-mukul bantal, rupanya putri keluarga Harron itu saat ini benar-benar kesal."Kenapa?" serunya, kali ini sambil melempar satu buah bantalnya begitu saja. "Kenapa tadi dia harus datang, sih? Benar-be
"Tuan Muda, apakah Anda baik-baik saja?" Melirik dari kaca tengah mobil, Jerome bertanya dengan nada khawatir.Tidak ada sahutan, tentu saja, dan hal tersebut membuat Jerome merasa semakin khawatir.Yah, bagaimana tidak?Tadi dia sudah menunggu Hugo begitu lama, tapi tuan mudanya itu tidak juga kunjung datang. Sampai-sampai Jerome kemudian berniat untuk menjemput.Asisten pribadi itu sudah setengah jalan hendak ke tempat terakhir kali dia meninggalkan Hugo tadi, ketika lelaki tampan beriris merah itu akhirnya datang.Namun, ada yang aneh.Ini jelas ada sesuatu yang tidak benar. Sebab selain sikap Hugo yang sangat pendiam, ekspresi wajah lelaki itu pun terlihat begitu kacau. Jerome bahkan sudah separuh menyakini bahwa tuan mudanya itu telah mengalami sesuatu yang berat, tapi apa?"Kenapa Tuan Muda terlihat pucat? Apakah mungkin belia
Aila mengusap wajahnya.Tadi dia sudah terlambat mengikuti dua mata kuliah sekaligus, dan sekarang malah sengaja bolos dari semua jadwal hari ini yang masih tersisa. Dengan pikiran yang sekacau ini, rasa-rasanya tidak mungkin bagi Aila untuk bisa mengikuti pelajaran apa pun.Duduk berjongkok di bawah sebatang pohon yang berdiri di salah satu sudut areal parkiran kampus, perempuan cantik itu kini malah terlihat seperti seekor kucing kecil yang sedang meringkuk dan seolah hendak bersembunyi.Cukup lucu sebenarnya. Apalagi dengan atasan berbahan rajut dan bermodel turtle neck berwarna abu yang dia kenakan, Aila justru terlihat bagai anak kucing yang tengah bergelung. Hanya saja, keadaan yang dia alami saat ini tentu sangat jauh dari kata lucu tersebut atau hal yang semacamnya.Malah seumpama bisa, sekarang rasanya Aila ingin sekali menggali tanah, lalu mengubur dirinya sendiri dalam-dalam.
Hugo nyaris membenturkan kepalanya ke meja kerja.Apakah ini adalah hari sialnya? Kenapa sejak tadi dia terus menerus mengalami kemalangan, sih? Atau, apakah dia sedang diikuti oleh hantu nasib buruk, sehingga selalu saja apes seharian ini?Tadi, dia sudah mengalami pengalaman yang sangat buruk dengan Aila.Belum apa-apa, tapi Hugo sudah langsung menerima penolakan dari perempuan yang pertama kali berhasil mencuri hatinya, bahkan tanpa sempat dia melakukan apa pun sebagai usahanya.Lalu sekarang, di saat dia sedang mati-matian berusaha menata hati dan mencoba bersikap tegar agar tetap terlihat baik-baik saja. Namun belum lagi dia merasa sedikit lebih baik, nyatanya malah terjadi hal yang semacam ini?"Apakah ada yang bisa saya bantu untuk Anda?""Tidak ada.""Sebenarnya, apa keperluan Anda hingga datang kemari?""Tida
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida