Killian nyaris meremukkan gelas di tangannya.
"Apa, Kek?" tanyanya, sesaat memejamkan mata sambil menarik napas dalam demi berusaha menambahkan sedikit lagi stok kesabaran. "Bisa diulangi, apa tadi yang Kakek katakan? Derrick Harron, lelaki itu, dia bicara apa?"
"Kills—"
Aila kembali menutup mulut karena Killian sudah mengangkat sebelah tangan, memberinya isyarat agar dia tidak berbicara dulu.
Sedikit cemberut, tidak ada lagi yang perempuan cantik bermata abu itu bisa lakukan. Sambil menghela napas panjang, Aila akhirnya kembali duduk di kursi makannya dan menatap sisa makananya tanpa selera.
Saat ini mereka tengah menikmati waktu sarapan bersama. Setidaknya sudah satu minggu berlalu sejak acara makan malam bersama keluarga Harron yang berakhir dengan mengerikan, dan selama itu pulalah mereka menjalani hari-hari penuh ketenangan.
Namun sekarang, rupanya
Aila sama sekali tidak mengira kalau dia akan bisa bertemu dengan Hugo lagi dalam waktu dekat ini. Namun nyatanya, yang sekarang tengah berdiri di depannya memanglah benar lelaki itu."Selamat siang," sapa Hugo, disertai dengan senyuman yang seolah ingin mengalahkan cerahnya matahari. "Apa kabar?"Kerjap. Kerjap. Aila mengerjap beberapa kali hanya untuk memastikan bahwa dia tidak salah lihat."Apa yang Anda lakukan di sini?" tanyanya, jelas merasa heran karena bertemu Hugo di kampus. "Maksud saya, kenapa—""Ini hanya kebetulan." Hugo memotong dengan lembut. "Saya hanya berniat untuk melakukan kunjungan singkat untuk melihat kampus tempat saya akan memberikan materi soal—""APA?!""—bisnis dan kewirausahaan." Mengakhiri ucapannya, lelaki beriris merah itu menikmati ekspresi terkejut perempuan yang sedang berdiri tidak jauh darinya.&nb
Sementara itu di ruangan kantornya, Killian pun membeku. Dia nyaris saja habis kesabaran ketika harus menyaksikan pemandangan yang kini sedang berlangsung di depan matanya. "Selamat siang, Tuan Gallahan. Terima kasih karena sudah bersedia menyisihkan sedikit waktunya." "Selamat siang, Derrick. Tidak apa-apa, jangan terlalu sungkan seperti itu. Mari, mari." Dengan tatapan membunuh, Killian memandang Gallahan yang kini berusaha keras untuk menghindarinya dan justru bersikap ramah tamah terhadap orang yang sudah dia anggap sebagai musuh. "Maaf," ujarnya dengan suara sedikit gemetar karena menahan marah. "Sebenarnya ada apa ini? Kenapa Kakek tiba-tiba datang dan membawa—" Killian menarik napas dalam sesaat. "—kedua orang itu?" "Ian!" tegur Gallahan, memberi pandangan memperingatkan yang sama sekali tidak dihiraukan oleh Killian.
Aila sedang duduk di balkon teras yang ada di lantai dua. Sendirian saja, dengan secangkir teh yang masih mengepul dan setumpuk camilan manis kesukaannya.Tadi itu ... nyaris sekali.Mengangkat tangan, Aila menelusurkan ujung jari ke permukaan bibirnya sebelum akhirnya menggigit benda kenyal dan mungil tersebut."Hampir saja," bisiknya, yang entah mengapa kini merasa begitu berdebar sementara kedua pipinya pun terasa memanas.Perempuan bermata abu itu bahkan harus memejamkan mata dan menghela napas panjang berkali-kali hanya demi menetralkan kembali detak jantungnya yang tadi memburu.Rasanya bahkan sampai sekarang pun dia masih bisa mencium aroma yang pekat dan khas itu. Aila bisa merasakan campuran aroma vanila, musk dan juga bunga yang memberikan kesan hangat yang menguar dari tubuh Hugo."Sepertinya aku pernah mencium aroma tersebut, tapi di mana dan kapa
"Argh!"Hugo meringis ketika Jerome menuangkan cairan antiseptik dan menekankan kasa ke luka di bahunya dengan sedikit keras. Sengaja memang, sebab asisten pribadi itu sedang merasa sedikit kesal dengan Tuan Muda yang harus dia layani ini."Apakah kamu tidak bisa sedikit saja lebih lembut saat mengobatiku?""Saya tidak melakukan apa-apa, Tuan Muda. Saya sudah berusaha membantu mengobati Anda dengan sebaik mungkin.""Apakah yang seperti ini, yang kamu katakan sudah mengobatiku dengan baik?" gerutu Hugo, yang kembali meringis nyeri saat Jerome kembali menekankan kasa yang sekarang dibasahi cairan obat merah. "Pelan-pelan, Jerome!""Ini sudah sangat pelan, Tuan Muda." Seakan tidak merasa takut sedikit pun, sekarang Jerome malah mengeyel. "Kalau memang tubuh Anda begitu berharga hingga tidak mampu menahan sedikit perih, lalu kenapa Anda tidak menuntut saja orang yang sudah menggigit
"Ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi?""Tanyakan saja kepada putrimu itu! Kepalaku rasanya sudah sangat pusing gara-gara ulahnya."Hugo hanya duduk diam di balik meja kerja, mengamati kedua orang tuanya yang sekarang tengah berseteru. Melirik, dia bisa melihat Charlotte yang masih juga menekuk wajah dan cemberut.Seharusnya dia merasa penasaran dan ingin tahu soal apa yang sebenarnya terjadi 'kan? Yah, setidaknya Hugo perlu untuk mencari tahu apa yang menjadi alasan sampai Derrick semarah ini.Harusnya, sih, tapi nyatanya tidak, sebab saat ini ada hal lain yang telah memenuhi pikirannya.Bahu kirinya sesaat berdenyut dan menghantarkan rasa nyeri sehingga membuat Hugo meringis sesaat, tapi anehnya lelaki tampan itu kemudian malah tersenyum.Ada yang aneh dengan lelaki beriris merah itu. Setiap kali dia merasakan sakit di bahu kirinya, justru mengakibatkan seg
Keesokan harinya.Killian baru saja keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan mantel mandi. Sebelah tangan lelaki itu memegang handuk dan sedang berusaha mengeringkan rambut, sementara air pun masih sering menetes dari ujungnya.Berjalan beberapa langkah, Killian lantas berhenti. Ada senyuman lembut yang menghiasi wajah tampan lelaki itu ketika dia memandang ke arah tempat tidur, di mana terdapat istrinya yang masih tertidur dengan lelap."Queen," bisiknya dengan suara yang sangat lirih, yang memang tidak dimaksudkan untuk membangunkan sang istri. "Selamat pagi, Kiska."Dengan hati-hati Killian duduk di tepi tempat tidur. Sebelah tangannya lantas terulur dan menyibakkan sejumput rambut yang jatuh menutupi wajah Aila, kemudian menyematkannya ke balik telinga istrinya.Penuh sayang, lelaki itu membelai rambut Aila. Sepasang mata gelap Killian pun tampak fokus memandang wajah
Charlotte tersenyum.Rupanya ada sesuatu yang membuatnya bahagia, sehingga perempuan bermata coklat itu pun sudah senyum-senyum sendiri bahkan pada waktu yang sepagi ini.Ponselnya terletak di atas bantal, dan dari benda pipih itulah mengalun lagu yang rupanya mendukung suasana hati Charlotte, sebab dia pun ikut bernyanyi dan sesekali bahkan bergoyang."I see it, I like it, I want it, I got it." Berdiri di depan kaca rias yang berukuran sebesar badan, putri keluarga Harron itu tengah mematut-matut diri. Sementara mulutnya terus bernyanyi, Charlotte berputar di tempat, berusaha mencari tahu apakah ada bagian dari setelan baju kerjanya yang kusut.Ini adalah hari pertama dia bekerja di Ardhana Corporation, jadi sudah seharusnya 'kan, kalau dia tampil sesempurna mungkin?"Dan juga, secantik mungkin," ujarnya dengan nada ceria, menyibakkan rambutnya yang kini sudah kembali berw
"Kita langsung saja ke kantor," ujar Hugo kepada Jerome.Asisten pribadinya itu pun segera mengangguk, lantas bergegas pergi mendahului untuk menyiapkan mobil, meninggalkan Hugo menyusuri koridor kampus.Sembari berjalan, lelaki tampan beriris merah itu menyempatkan diri untuk melirik jam tangannya.Ah, sial, batinnya sedikit kesal.Hugo sama sekali tidak menyangka bahwa pembicaraan dengan rektor kampus akan memakan waktu yang lebih lama dari yang dia perkirakan. Hasilnya bisa diperkirakan, saat ini dia sudah dipastikan terlambat datang ke kantor."Apa-apaan beliau itu tadi? Kenapa suka sekali mengobrol, sih? Padahal aku sudah sangat jelas mengatakan bahwa tidak banyak waktu yang aku miliki sekarang." Menggerutu, dengan langkah lebar Hugo melintasi koridor yang kini mulai dipenuhi para mahasiswa. "Haa ... kalau saja beliau bukan teman lama ayah, pasti tidak akan aku ladeni sepert