"Ngomong-ngomong, Charlotte ... ada apa dengan rambutmu?"
Derrick mengamati putrinya dengan dahi yang sedikit berkerut.
Setelah tadi mereka saling terdiam, suaranya pun berhasil memecah kesunyian yang ada sebab sejak mereka berempat berada di mobil yang sama, tidak ada satu pun dari keempat orang itu yang memulai percakapan.
Baik Charlotte maupun Hugo, kedua orang anaknya itu sejak tadi sudah terlihat sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, sementara Maria, istrinya, lebih asyik dengan ponsel di tangan.
"Ya? Ehm, maksud Ayah, bagaimana?" tanya Charlotte, entah apakah dia memang tidak paham atau hanya berpura-pura saja. "Memangnya, ada apa dengan eh, rambutku?"
Namun rupanya, perempuan bermata coklat itu tidak terlalu berani memasang sikap yang sama untuk waktu yang lebih lama lagi. Nyatanya sekarang, dengan sedikit tergagap dia mulai menjawab pertanyaan ayahnya.
<
"Selamat datang!" sambut Gallahan, begitu mereka berempat memasuki ruang depan kediaman Ardhana."Bagaimana kabarmu, Derrick?" Lelaki tua itu terkekeh, sambil berjabat tangan dan menepuk bahu Derrick beberapa kali dengan pelan. "Sehat-sehat saja 'kan?""Baik. Kabar saya baik, Tuan Gal. Tentu saja, jangan khawatir," sahut Derrick dengan tetap mempertahankan sikap sopannya, sebab kepala keluarga Ardhana itu memang lebih senior darinya. "Anda sendiri, bagaimana? Saya lihat tidak banyak ada yang berubah sejak pertemuan kita yang terakhir kali. Sepertinya Anda lebih awet muda."Terdengar suara tawa yang keluar dari Gallahan, rupanya dia merasa senang saat mendengarkan pujian dari lawan bicaranya. Lelaki itu terlihat begitu bahagia seperti sedang bertemu dengan teman lama, sementara Derrick masih bersikap lebih pendiam."Kapan ya, terakhir kali kita bertemu?" gumam Gallahan sambil mencoba mengingat-i
Suara cangkir yang pecah setelah menghantam permukaan lantai di ruang tengah kediaman Ardhana itu terdengar cukup nyaring. Namun untuk sesaat, tidak ada seorang pun yang sanggup bersuara.Entah mengapa segalanya terasa begitu hening, seolah ada seseorang yang sudah menutup kedua telinga dan menghalangi pendengarannya. Setidaknya sampai kemudian Hugo mendengar seruan kaget yang disuarakan oleh Maria Harron.Lelaki itu bisa mendengar pertanyaan yang ibunya lontarkan dengan nada cemas, soal apakah dia baik-apa saja atau hal yang semacamnya, tapi entahlah. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang sudah Maria ucapkan, sebab Hugo sendiri pun tidak terlalu menghiraukannya.Dia juga tahu betapa saat ini Derrick tengah menatapnya dengan tajam. Apabila di waktu yang lain, Hugo mungkin saja bisa merasakan betapa pandangan yang ayahnya lontarkan seolah bisa menguliti dirinya hidup-hidup, tapi, toh, sayangnya dia tidak peduli.
Tentu saja tidak ada celah yang dapat dicela dalam acara makan malam yang kali ini. Baik hidangan atau pun yang lainnya, semua diatur dan disajikan dengan begitu sempurna, tapi bukan berarti tidak ada masalah sama sekali."Jadi, kapankah kami bisa menerima permintaan tersebut?"Gallahan tersedak, dan Killian sontak saja memasang wajah seolah ingin menonjok Derrick yang baru saja bicara."Apa maksudmu?" tanya Gallahan setelah berhasil mengatasi tersedaknya.Dia menggenggam tangan Aila dan tersenyum kepadanya saat perempuan bermata abu itu bergegas berdiri dan menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut."Aku sudah tidak apa-apa, Nak," ujarnya, meminta agar Aila kembali duduk lewat pandangan mata.Kerutan tipis di dahi Derrick kembali muncul. Interaksi antara Gallahan dan Aila tentu saja menarik perhatiannya, sebab sepanjang yang dia tahu, kepala keluarga Ardhana i
"Apakah kamu baik-baik saja Queen?" tanya Killian sambil memijat bahu istrinya dengan lembut.Tersenyum, Aila pun menoleh dan memegang tangan Killian yang masih ada di bahunya. "Aku baik-baik saja, Kills. Terima kasih."Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, setidaknya sudah tiga jam berlalu sejak acara makan malam yang kacau itu berakhir.Berada di dalam kamar tidur, mereka pun menikmati waktu untuk bersama. Aila sedang duduk di depan meja rias, membersihkan sisa riasan di wajah, sementara Killian berdiri di belakangnya."Maaf.""Apa?""Maafkan aku, Queen."Berputar di tempat duduk, Aila memandang heran suaminya. "Kenapa tiba-tiba kamu meminta maaf?"Menekuk kaki, Killian lantas duduk berlutut di depan istrinya. Lelaki itu menggenggam kedua tangan Aila lalu menciumnya."Maaf," ujarnya, menumpukan dagu di atas lutut Aila. "Maaf karena selalu membuatmu mengalami kesulitan. Maaf karena aku masih belum bisa m
Killian tidak bisa tidur semalaman."Tuan Muda, bukankah seharusnya Anda sudah harus berangkat kerja sekarang—""Aku masih libur, Erick.""Eh? Ya?"Tidak berkata apa-apa, Erik memandang Killian dengan bingung. Meski dia masih belum paham sepenuhnya, tapi lelaki separuh baya itu lebih memilih untuk diam.Entah mengapa, instingnya berkata bahwa sebaiknya dia tidak terus mengajak bicara lelaki tampan itu, dan lebih baik kalau dia mengira-ngira segalanya sendiri saja.Apakah Killian mengambil libur lagi hari ini? Tapi, kenapa?Mungkinkah ada jadwal acara lain yang dia tidak ketahui? Tapi, apa?Killian sejak tadi terus berada di ruang perpustakaan seolah sedang mengurung diri. Memang, sih, tidak ada yang lelaki berambut hitam itu lakukan selain hanya duduk diam, tapi tetap saja bukan berarti bahwa semuanya bisa dikat
Maria nyaris saja tersandung kakinya sendiri ketika dia berlari menuruni tangga. "Oh, syukurlah," ujarnya dengan napas yang sedikit terengah.Tadi dia sekedar ingin melemaskan kaki dan memutuskan untuk berjalan mengelilingi ruang depan sambil melihat-lihat ini dan itu, sampai kemudian tanpa sengaja Maria berdiri di dekat jendela yang kebetulan mengarah ke bagian depan kediamannya.Perempuan baya itu pun terbelalak ketika akhirnya melihat siapa tamu yang nyaris dia usir begitu saja, membuatnya sontak lari terbirit tanpa memedulikan pandangan heran para pelayan yang dia lewati begitu saja.Syukurlah aku masih sempat mengejarnya, batin Maria. Entah apa jadinya, kalau aku sampai membiarkan Nyonya Muda keluarga Ardhana ini untuk pulang begitu saja."Apakah Anda baik-baik saja, Nyonya?" tanya perempuan cantik yang berada di depannya, dan membuyarkan segala pikiran Maria. Dia bisa melihat betapa sepasang ma
Aila merasa heran ketika terdengar suara gumaman bernada kaget dari staff pengawal yang merangkap pula sebagai supir, dan juga dua orang pelayan wanita yang menyertainya."Ada apa?" tanyanya, tapi belum sempat ada yang bisa memberi jawaban, perempuan bermata abu itu sudah melihat sendiri apa sebenarnya yang sudah menjadi penyebab sampai ketiga orang tersebut merasa sedemikian terkejut. "Kills? Sedang apa dia berdiri di situ?"Sepasang alis Aila bertaut, kali ini pun dia merasa heran dengan kelakukan sang suami.Kenapa Killian berada di teras depan? Apakah lelaki itu sudah begitu tidak sabar, sehingga sampai harus keluar untuk menunggunya seperti ini?"Lagi pula, kenapa aku tiba-tiba merasa merinding?" Mengusap tengkuknya, Aila bahkan sampai meneguk ludah. "Apa aku sudah melakukan kesalahan? Tapi, apa? Bukankah tadi aku juga sudah meminta ijin untuk pergi ke kediaman Harron?"Yah,
'Mari kita kembali tidak saling mengenal.''Apa?'Hugo menarik napas dalam dengan susah payah. Sesak yang dia rasakan sejak siang tadi, kini terasa semakin menjadi.Dengan pandangan merana lelaki beriris merah itu mengedarkan tatapan ke sekeliling ruang perpustakaan, tapi sayangnya dia tidak menemukan sesuatu di ruangan ini yang bisa membuatnya sedikit merasa lega.Kenapa? batinnya, terus teringat dengan hal yang sebelumnya Aila ucapkan padanya."Kenapa?" tanya Hugo ketika bersama Aila tadi, masih berharap bahwa dia hanya salah dengar. "Apakah karena masalah yang ditimbulkan oleh Charlotte itu? Sebab kalau iya, maka—""Iya," potong Aila dengan kalem, tapi sanggup membuat Hugo seketika menahan napas sebab merasakan nyeri di dadanya. "Memang hal itulah yang menjadi penyebabnya.""Tapi, kenapa? Maksudku, tidak bisakah—" Hugo menc
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida