Killian nyaris tersedak saat sedang menikmati sarapan keesokan harinya.
"Apa yang kamu katakan tadi, Erick?" tanyanya, buru-buru meraih tisu untuk mengelap mulut. Lewat pandangan mata dia juga meminta agar Aila yang sudah hendak beranjak mendekat untuk tetap duduk di kursinya saja. "Kakek akan pulang?"
"Betul, Tuan Muda," jawab Erik sambil sedikit menundukkan kepala. "Rafael baru saja menghubungi saya dan memberi tahu mengenai hal tersebut."
"Kapan?"
"Rencananya, beliau akan pulang dengan penerbangan pertama hari ini."
"Hari ini?" ulang Killian dengan nada bertanya, sementara sepasang alisnya pun seketika mencuram.
Ini aneh. Kenapa kakeknya itu memutuskan untuk pulang dengan mendadak seperti ini?
Tidak lama setelah nenek Killian meninggal sepuluh tahun lalu, Gallahan, kakeknya, memang memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan berkeliling
Sebuah sedan Audi berwarna putih merapat di salah satu kawasan elit yang berlokasi di pinggir kota. Sedan yang termasuk mobil paling mewah di dunia tersebut kemudian berhenti di depan sepasang gerbang yang berdiri menjulang dengan aksen yang begitu mewah dan elegan.Pintu gerbang dengan besi solid setebal sepuluh senti itu lantas bergerak secara otomatis, mengayun terbuka setelah sensornya mendeteksi kedatangan sedan mewah tersebut dan mengenalinya. Sementara, dua orang penjaga gerbang yang bertugas pun segera berdiri di kanan dan kiri gerbang, lalu sedikit membungkuk untuk memberikan salam ketika mobil melintas.Meluncur mulus, sedan mewah itu memasuki halaman rumah yang luasnya bahkan mampu menampung puluhan kendaraan, melewati sebuah air mancur berwarna putih dengan model arsitektur yang klasik, sebelum akhirnya berhenti di depan pelataran sebuah kediaman yang berdiri megah."Selamat datang, Nyonya Muda," sambut Erik,
"Tidak boleh!"Killian terdiam."Pergi dan tidur saja di kamar lain!"Rambutnya basah dan dari ujung-ujungnya masih menetes air dari sisa mandi, sementara lelaki tampan itu sendiri kini hanya mengenakan mantel mandi untuk membungkus tubuh yang telanjang."Apa?" tanya Killian dengan nada percampuran antara kaget dan juga tidak terima. "Queen, apa aku salah dengar?""Aku capek," ujar Aila, kembali melanjutkan kegiatannya membaca buku. "Aku tidak akan sanggup memenuhi permainanmu nanti, sehingga justru mungkin tidak akan bisa membuatmu puas, Kills. Lagi pula, bukankah tadi pagi aku juga sudah mengatakan kalau aku ingin tidur lebih awal?"Killian masih terdiam, tapi dalam hati lelaki itu sudah memaki tidak karuan.Sial! Ini gara-gara Hugo, si berengsek itu!Kalau dia tidak menjadi seorang pengecut yang suka mengadu, tidak
"Hentikan, Kills!""Kenapa? Apakah sekarang hatimu tergerak?""Tentu saja tidak!"Menghentikan kedua tangannya yang sejak tadi sibuk menggerayangi tubuh sang istri, Killian kini hanya memberi Aila pelukan biasa. Entah apakah lelaki itu akhirnya berniat untuk membiarkan istrinya istirahat, atau sekedar merubah cara."Seharian ini aku sangat sibuk, Queen," ujarnya mulai bercerita. "Pekerjaanku yang tertunda sewaktu cuti kemarin juga masih menumpuk, meski sudah coba aku kerjakan semaksimal mungkin. Tadi aku bahkan sampai harus melewatkan makan siang karena saking repotnya. Belum lagi, ditambah dengan kedatangan Kakek yang membuatku semakin pusing. Jadi apakah salah, kalau sekarang aku berharap untuk mendapatkan sedikit perhatian dari istriku?"Melingkarkan tangan di perut Aila dan memakai sebelah tangannya sebagai alas pengganti bantal untuk Aila, Killian menarik istrinya yang berba
"Kakak cerai saja!""Apa?""Padahal ada masalah seperti ini, tapi kenapa Kakak tidak menceritakan apa pun padaku?""Sia, tenanglah. Dengarkan dulu ceritaku." Aila meraih lalu meremas tangan adik kembarnya sambil tersenyum. "Jangan marah-marah terus, ya? Lagi pula, lihat! Bukankah sekarang aku sudah berada di sini dan sedang menceritakannya kepadamu?""Tapi 'kan, tetap saja," eyel Ansia dengan wajah yang jelas terlihat kesal, tapi sebenarnya dalam hati dia juga tidak yakin bisa bertahan berapa lama lagi untuk tetap merasa marah terhadap kakak kembarnya. "Kenapa baru sekarang Kakak memberi tahuku?""Kejadiannya sendiri belum terlalu lama juga kok.""Tapi kalau mengingat si Pak Tua sialan, tidak tahu diri, dan gila judi itu menemui kalian dan langsung membicarakan soal perempuan murahan, genit dan tidak tahu diri yang ingin menikah dengan Ian—""Sia—""Aku kesal, Kak!" seru Ansia yang kali ini sudah tidak sanggup lagi
Tiga hari menjelang acara makan malam bersama.Aila sedang berjalan mengelilingi kediaman Ardhana yang luas setelah makan siang. Dia hendak memastikan ulang apakah masih ada atau tidak hal yang sekiranya masih perlu untuk dia benahi.Tidak sendiri, perempuan bermata abu itu kali ini ditemani oleh Erik, yang bergegas menawarkan diri untuk menyertainya. Kepala pengawal itu berjalan mengikuti Aila, dengan posisi yang sedikit menjauh."Beliau sama sekali tidak pernah bertemu dengan Nona Harron, Nyonya Muda."Aila menoleh, untuk sesaat memberi Erik pandangan bertanya sambil tetap terdiam.Setidaknya sudah sepuluh menit berlalu sejak mereka berdua mulai berkeliling bersama tanpa kata, tapi sekarang kepala pengawal itu mendadak mengatakan hal yang semacam ini."Maksud perkataan saya sebelumnya adalah beliau tidak pernah bertemu dengan Nona Harron secara sengaja atau
"Apakah kamu sudah dengar?""Soal apa? Ah, aku tahu, pasti soal itu, ya?"Kedua alis Ansia bertaut ketika mendengar bisik-bisik yang sekilas tersebut.Saat ini dia tengah berada di sebuah klinik kecantikan, duduk santai di atas sofa yang super nyaman, sembari menunggu kedatangan terapisnya. "Terima kasih karena sudah menunggu, Nona Ans," sapa perempuan yang usianya sepantaran dengan Ansia. "Saya sudah menyiapkan beberapa treatment khusus untuk Anda hari ini yang—""Apakah kamu tahu, apa sebenarnya yang sedang mereka bicarakan?""Ya?" Terapis itu menghentikan kesibukannya dan menoleh ke arah Ansia. "Bagaimana maksud Anda, Nona?"Mengedikkan kepala ke arah pintu ruang tunggu, Ansia lantas berkata, "Tadi, sepertinya ada beberapa terapis yang sedang lewat dan membicarakan sesuatu. Apakah ada hal yang spesial yang akan terjadi? Sebab, mereka terdengar sangat seru saat mengobrol.""Oh!" Terapis bernama Linda itu lantas menoleh ke kanan dan ki
Awalnya Killian memang berniat untuk tidur, tapi setelah beberapa waktu berlalu lelaki itu hanya berbaring tanpa bisa memejamkan mata sedikit pun."Haa ... tidak boleh," bisiknya kepada diri sendiri. "Jangan macam-macam. Queen pasti sangat lelah. Dia juga sudah begitu repot dengan segala persiapan makan malam besok."Terdiam sesaat, Killian lantas menghembuskan napas berat. Entah mengapa, tapi dia tetap merasa bahwa sebaiknya acara makan malam yang sudah akan diselenggarakan besok itu dibatalkan saja."Tapi kalau begitu, Kakek pasti akan terus mengomel tanpa ada habisnya, dan keluarga Harron juga akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk menyudutkan Ardhana." Menghela napas berat sekali lagi, Killian sudah bisa membayangkan kedua hal tersebut. "Lalu, yang paling utama di antara semua adalah Queen yang sudah sangat bekerja keras untuk acara tersebut. Tidak adil rasanya kalau aku membatalkannya begitu saja." 
"Aku capek. Lagi pula besok aku juga harus bangun pagi-pagi sekali, Kills," kilah Aila sambil mendorong tubuh Killian agar menjauh. "Masih ada banyak hal yang harus aku kerjakan. Jadi, sudah cukup untuk malam ini."Terus mendorong dada bidang suaminya, Aila pun berusaha menambahkan jarak. Seperti biasa, lelaki yang menjadi suaminya itu cukup keras kepala dan masih saja terus menempel kepadanya."Jangan mengajakku untuk melakukan permainan apa pun, atau bahkan coba-coba menggoda," ujarnya lagi, sengaja memasang wajah galak. "Aku beri tahu saja sekarang, kalau kamu juga tidak perlu sampai harus repot melakukan apa pun, sebab jawabannya sudah pasti adalah tidak.""Oh, ayolah, Queen. Tinggalkan saja semua urusan yang merepotkan itu. Keluarga Ardhana memiliki cukup banyak staf yang bisa melakukannya. Biarkan mereka yang mengerjakan semua."Merasa sangat tidak rela, Killian masih mencoba peruntungannya dan