"Apakah kamu sudah dengar?"
"Soal apa? Ah, aku tahu, pasti soal itu, ya?"Kedua alis Ansia bertaut ketika mendengar bisik-bisik yang sekilas tersebut.Saat ini dia tengah berada di sebuah klinik kecantikan, duduk santai di atas sofa yang super nyaman, sembari menunggu kedatangan terapisnya."Terima kasih karena sudah menunggu, Nona Ans," sapa perempuan yang usianya sepantaran dengan Ansia. "Saya sudah menyiapkan beberapa treatment khusus untuk Anda hari ini yang—""Apakah kamu tahu, apa sebenarnya yang sedang mereka bicarakan?""Ya?" Terapis itu menghentikan kesibukannya dan menoleh ke arah Ansia. "Bagaimana maksud Anda, Nona?"Mengedikkan kepala ke arah pintu ruang tunggu, Ansia lantas berkata, "Tadi, sepertinya ada beberapa terapis yang sedang lewat dan membicarakan sesuatu. Apakah ada hal yang spesial yang akan terjadi? Sebab, mereka terdengar sangat seru saat mengobrol.""Oh!" Terapis bernama Linda itu lantas menoleh ke kanan dan kiAwalnya Killian memang berniat untuk tidur, tapi setelah beberapa waktu berlalu lelaki itu hanya berbaring tanpa bisa memejamkan mata sedikit pun."Haa ... tidak boleh," bisiknya kepada diri sendiri. "Jangan macam-macam. Queen pasti sangat lelah. Dia juga sudah begitu repot dengan segala persiapan makan malam besok."Terdiam sesaat, Killian lantas menghembuskan napas berat. Entah mengapa, tapi dia tetap merasa bahwa sebaiknya acara makan malam yang sudah akan diselenggarakan besok itu dibatalkan saja."Tapi kalau begitu, Kakek pasti akan terus mengomel tanpa ada habisnya, dan keluarga Harron juga akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk menyudutkan Ardhana." Menghela napas berat sekali lagi, Killian sudah bisa membayangkan kedua hal tersebut. "Lalu, yang paling utama di antara semua adalah Queen yang sudah sangat bekerja keras untuk acara tersebut. Tidak adil rasanya kalau aku membatalkannya begitu saja." 
"Aku capek. Lagi pula besok aku juga harus bangun pagi-pagi sekali, Kills," kilah Aila sambil mendorong tubuh Killian agar menjauh. "Masih ada banyak hal yang harus aku kerjakan. Jadi, sudah cukup untuk malam ini."Terus mendorong dada bidang suaminya, Aila pun berusaha menambahkan jarak. Seperti biasa, lelaki yang menjadi suaminya itu cukup keras kepala dan masih saja terus menempel kepadanya."Jangan mengajakku untuk melakukan permainan apa pun, atau bahkan coba-coba menggoda," ujarnya lagi, sengaja memasang wajah galak. "Aku beri tahu saja sekarang, kalau kamu juga tidak perlu sampai harus repot melakukan apa pun, sebab jawabannya sudah pasti adalah tidak.""Oh, ayolah, Queen. Tinggalkan saja semua urusan yang merepotkan itu. Keluarga Ardhana memiliki cukup banyak staf yang bisa melakukannya. Biarkan mereka yang mengerjakan semua."Merasa sangat tidak rela, Killian masih mencoba peruntungannya dan
"Bisakah kamu tidak menyebutkan namanya, Queen? Tengkukku rasanya merinding setiap kali mendengar nama itu disebut."Memutar kedua matanya, Aila pun mencebik."Oh, baiklah. Jadi, apa saja yang kalian lakukan di sana?""Apa maksudmu dengan pertanyaan yang semacam itu? Memangnya, aku harus melakukan apa terhadap perempuan yang bahkan sekedar mendengarkan namanya saja sudah membuatku mual?"Bersungut-sungut, wajah tampan Killian segera saja terlihat kesal."Perempuan yang katanya putri dari keluarga terhormat itu, dia sudah berani menipu dua orang penjaga yang bertugas dengan berpura-pura mengatakan sakit perut. Lalu, dia juga nekat menerobos masuk meski Alda, sekretarisku, sudah coba melarang dan menghalanginya. Semua masih belum berakhir sampai di situ, Queen. Seolah masih kurang cukup, perempuan itu tanpa tahu malu lantas mencoba jatuh ke pelukanku dengan berpura-pura jatuh."
Aila bisa merasakan kehangatan sinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela kamar yang terbuka.Beberapa bias sinar bahkan menerpa wajahnya, membuat perempuan cantik itu pun perlahan membuka kedua mata."Sudah pagi ternyata," gumamnya, masih merasa begitu enggan untuk benar-benar bangun dan sedikit berkedip-kedip karena silau. "Sekarang ... jam berapa?""Aku tidak boleh tidur lagi." Sambil menguap dan terkantuk-kantuk, dia berkata. "Aku benar-benar harus bangun."Aila tahu bahwa dia tidak bisa meneruskan tidur, tapi tempatnya berbaring sekarang ini rasanya begitu nyaman. Kasur dan bantal yang empuk, selimut yang hangat, juga aroma yang familier pun memenuhi penciumannya.Lagi pula, sebagai tambahan, saat ini sekujur tubuh perempuan bermata abu itu juga masih begitu pegal dan terasa berat untuk digerakkan. Tentu saja, semua merupakan efek yang timbul dari kegiatan yang sema
"Ngomong-ngomong, Charlotte ... ada apa dengan rambutmu?"Derrick mengamati putrinya dengan dahi yang sedikit berkerut.Setelah tadi mereka saling terdiam, suaranya pun berhasil memecah kesunyian yang ada sebab sejak mereka berempat berada di mobil yang sama, tidak ada satu pun dari keempat orang itu yang memulai percakapan.Baik Charlotte maupun Hugo, kedua orang anaknya itu sejak tadi sudah terlihat sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, sementara Maria, istrinya, lebih asyik dengan ponsel di tangan."Ya? Ehm, maksud Ayah, bagaimana?" tanya Charlotte, entah apakah dia memang tidak paham atau hanya berpura-pura saja. "Memangnya, ada apa dengan eh, rambutku?"Namun rupanya, perempuan bermata coklat itu tidak terlalu berani memasang sikap yang sama untuk waktu yang lebih lama lagi. Nyatanya sekarang, dengan sedikit tergagap dia mulai menjawab pertanyaan ayahnya.
"Selamat datang!" sambut Gallahan, begitu mereka berempat memasuki ruang depan kediaman Ardhana."Bagaimana kabarmu, Derrick?" Lelaki tua itu terkekeh, sambil berjabat tangan dan menepuk bahu Derrick beberapa kali dengan pelan. "Sehat-sehat saja 'kan?""Baik. Kabar saya baik, Tuan Gal. Tentu saja, jangan khawatir," sahut Derrick dengan tetap mempertahankan sikap sopannya, sebab kepala keluarga Ardhana itu memang lebih senior darinya. "Anda sendiri, bagaimana? Saya lihat tidak banyak ada yang berubah sejak pertemuan kita yang terakhir kali. Sepertinya Anda lebih awet muda."Terdengar suara tawa yang keluar dari Gallahan, rupanya dia merasa senang saat mendengarkan pujian dari lawan bicaranya. Lelaki itu terlihat begitu bahagia seperti sedang bertemu dengan teman lama, sementara Derrick masih bersikap lebih pendiam."Kapan ya, terakhir kali kita bertemu?" gumam Gallahan sambil mencoba mengingat-i
Suara cangkir yang pecah setelah menghantam permukaan lantai di ruang tengah kediaman Ardhana itu terdengar cukup nyaring. Namun untuk sesaat, tidak ada seorang pun yang sanggup bersuara.Entah mengapa segalanya terasa begitu hening, seolah ada seseorang yang sudah menutup kedua telinga dan menghalangi pendengarannya. Setidaknya sampai kemudian Hugo mendengar seruan kaget yang disuarakan oleh Maria Harron.Lelaki itu bisa mendengar pertanyaan yang ibunya lontarkan dengan nada cemas, soal apakah dia baik-apa saja atau hal yang semacamnya, tapi entahlah. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang sudah Maria ucapkan, sebab Hugo sendiri pun tidak terlalu menghiraukannya.Dia juga tahu betapa saat ini Derrick tengah menatapnya dengan tajam. Apabila di waktu yang lain, Hugo mungkin saja bisa merasakan betapa pandangan yang ayahnya lontarkan seolah bisa menguliti dirinya hidup-hidup, tapi, toh, sayangnya dia tidak peduli.
Tentu saja tidak ada celah yang dapat dicela dalam acara makan malam yang kali ini. Baik hidangan atau pun yang lainnya, semua diatur dan disajikan dengan begitu sempurna, tapi bukan berarti tidak ada masalah sama sekali."Jadi, kapankah kami bisa menerima permintaan tersebut?"Gallahan tersedak, dan Killian sontak saja memasang wajah seolah ingin menonjok Derrick yang baru saja bicara."Apa maksudmu?" tanya Gallahan setelah berhasil mengatasi tersedaknya.Dia menggenggam tangan Aila dan tersenyum kepadanya saat perempuan bermata abu itu bergegas berdiri dan menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut."Aku sudah tidak apa-apa, Nak," ujarnya, meminta agar Aila kembali duduk lewat pandangan mata.Kerutan tipis di dahi Derrick kembali muncul. Interaksi antara Gallahan dan Aila tentu saja menarik perhatiannya, sebab sepanjang yang dia tahu, kepala keluarga Ardhana i