"Hentikan, Kills!"
"Kenapa? Apakah sekarang hatimu tergerak?"
"Tentu saja tidak!"
Menghentikan kedua tangannya yang sejak tadi sibuk menggerayangi tubuh sang istri, Killian kini hanya memberi Aila pelukan biasa. Entah apakah lelaki itu akhirnya berniat untuk membiarkan istrinya istirahat, atau sekedar merubah cara.
"Seharian ini aku sangat sibuk, Queen," ujarnya mulai bercerita. "Pekerjaanku yang tertunda sewaktu cuti kemarin juga masih menumpuk, meski sudah coba aku kerjakan semaksimal mungkin. Tadi aku bahkan sampai harus melewatkan makan siang karena saking repotnya. Belum lagi, ditambah dengan kedatangan Kakek yang membuatku semakin pusing. Jadi apakah salah, kalau sekarang aku berharap untuk mendapatkan sedikit perhatian dari istriku?"
Melingkarkan tangan di perut Aila dan memakai sebelah tangannya sebagai alas pengganti bantal untuk Aila, Killian menarik istrinya yang berba
"Kakak cerai saja!""Apa?""Padahal ada masalah seperti ini, tapi kenapa Kakak tidak menceritakan apa pun padaku?""Sia, tenanglah. Dengarkan dulu ceritaku." Aila meraih lalu meremas tangan adik kembarnya sambil tersenyum. "Jangan marah-marah terus, ya? Lagi pula, lihat! Bukankah sekarang aku sudah berada di sini dan sedang menceritakannya kepadamu?""Tapi 'kan, tetap saja," eyel Ansia dengan wajah yang jelas terlihat kesal, tapi sebenarnya dalam hati dia juga tidak yakin bisa bertahan berapa lama lagi untuk tetap merasa marah terhadap kakak kembarnya. "Kenapa baru sekarang Kakak memberi tahuku?""Kejadiannya sendiri belum terlalu lama juga kok.""Tapi kalau mengingat si Pak Tua sialan, tidak tahu diri, dan gila judi itu menemui kalian dan langsung membicarakan soal perempuan murahan, genit dan tidak tahu diri yang ingin menikah dengan Ian—""Sia—""Aku kesal, Kak!" seru Ansia yang kali ini sudah tidak sanggup lagi
Tiga hari menjelang acara makan malam bersama.Aila sedang berjalan mengelilingi kediaman Ardhana yang luas setelah makan siang. Dia hendak memastikan ulang apakah masih ada atau tidak hal yang sekiranya masih perlu untuk dia benahi.Tidak sendiri, perempuan bermata abu itu kali ini ditemani oleh Erik, yang bergegas menawarkan diri untuk menyertainya. Kepala pengawal itu berjalan mengikuti Aila, dengan posisi yang sedikit menjauh."Beliau sama sekali tidak pernah bertemu dengan Nona Harron, Nyonya Muda."Aila menoleh, untuk sesaat memberi Erik pandangan bertanya sambil tetap terdiam.Setidaknya sudah sepuluh menit berlalu sejak mereka berdua mulai berkeliling bersama tanpa kata, tapi sekarang kepala pengawal itu mendadak mengatakan hal yang semacam ini."Maksud perkataan saya sebelumnya adalah beliau tidak pernah bertemu dengan Nona Harron secara sengaja atau
"Apakah kamu sudah dengar?""Soal apa? Ah, aku tahu, pasti soal itu, ya?"Kedua alis Ansia bertaut ketika mendengar bisik-bisik yang sekilas tersebut.Saat ini dia tengah berada di sebuah klinik kecantikan, duduk santai di atas sofa yang super nyaman, sembari menunggu kedatangan terapisnya. "Terima kasih karena sudah menunggu, Nona Ans," sapa perempuan yang usianya sepantaran dengan Ansia. "Saya sudah menyiapkan beberapa treatment khusus untuk Anda hari ini yang—""Apakah kamu tahu, apa sebenarnya yang sedang mereka bicarakan?""Ya?" Terapis itu menghentikan kesibukannya dan menoleh ke arah Ansia. "Bagaimana maksud Anda, Nona?"Mengedikkan kepala ke arah pintu ruang tunggu, Ansia lantas berkata, "Tadi, sepertinya ada beberapa terapis yang sedang lewat dan membicarakan sesuatu. Apakah ada hal yang spesial yang akan terjadi? Sebab, mereka terdengar sangat seru saat mengobrol.""Oh!" Terapis bernama Linda itu lantas menoleh ke kanan dan ki
Awalnya Killian memang berniat untuk tidur, tapi setelah beberapa waktu berlalu lelaki itu hanya berbaring tanpa bisa memejamkan mata sedikit pun."Haa ... tidak boleh," bisiknya kepada diri sendiri. "Jangan macam-macam. Queen pasti sangat lelah. Dia juga sudah begitu repot dengan segala persiapan makan malam besok."Terdiam sesaat, Killian lantas menghembuskan napas berat. Entah mengapa, tapi dia tetap merasa bahwa sebaiknya acara makan malam yang sudah akan diselenggarakan besok itu dibatalkan saja."Tapi kalau begitu, Kakek pasti akan terus mengomel tanpa ada habisnya, dan keluarga Harron juga akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk menyudutkan Ardhana." Menghela napas berat sekali lagi, Killian sudah bisa membayangkan kedua hal tersebut. "Lalu, yang paling utama di antara semua adalah Queen yang sudah sangat bekerja keras untuk acara tersebut. Tidak adil rasanya kalau aku membatalkannya begitu saja." 
"Aku capek. Lagi pula besok aku juga harus bangun pagi-pagi sekali, Kills," kilah Aila sambil mendorong tubuh Killian agar menjauh. "Masih ada banyak hal yang harus aku kerjakan. Jadi, sudah cukup untuk malam ini."Terus mendorong dada bidang suaminya, Aila pun berusaha menambahkan jarak. Seperti biasa, lelaki yang menjadi suaminya itu cukup keras kepala dan masih saja terus menempel kepadanya."Jangan mengajakku untuk melakukan permainan apa pun, atau bahkan coba-coba menggoda," ujarnya lagi, sengaja memasang wajah galak. "Aku beri tahu saja sekarang, kalau kamu juga tidak perlu sampai harus repot melakukan apa pun, sebab jawabannya sudah pasti adalah tidak.""Oh, ayolah, Queen. Tinggalkan saja semua urusan yang merepotkan itu. Keluarga Ardhana memiliki cukup banyak staf yang bisa melakukannya. Biarkan mereka yang mengerjakan semua."Merasa sangat tidak rela, Killian masih mencoba peruntungannya dan
"Bisakah kamu tidak menyebutkan namanya, Queen? Tengkukku rasanya merinding setiap kali mendengar nama itu disebut."Memutar kedua matanya, Aila pun mencebik."Oh, baiklah. Jadi, apa saja yang kalian lakukan di sana?""Apa maksudmu dengan pertanyaan yang semacam itu? Memangnya, aku harus melakukan apa terhadap perempuan yang bahkan sekedar mendengarkan namanya saja sudah membuatku mual?"Bersungut-sungut, wajah tampan Killian segera saja terlihat kesal."Perempuan yang katanya putri dari keluarga terhormat itu, dia sudah berani menipu dua orang penjaga yang bertugas dengan berpura-pura mengatakan sakit perut. Lalu, dia juga nekat menerobos masuk meski Alda, sekretarisku, sudah coba melarang dan menghalanginya. Semua masih belum berakhir sampai di situ, Queen. Seolah masih kurang cukup, perempuan itu tanpa tahu malu lantas mencoba jatuh ke pelukanku dengan berpura-pura jatuh."
Aila bisa merasakan kehangatan sinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela kamar yang terbuka.Beberapa bias sinar bahkan menerpa wajahnya, membuat perempuan cantik itu pun perlahan membuka kedua mata."Sudah pagi ternyata," gumamnya, masih merasa begitu enggan untuk benar-benar bangun dan sedikit berkedip-kedip karena silau. "Sekarang ... jam berapa?""Aku tidak boleh tidur lagi." Sambil menguap dan terkantuk-kantuk, dia berkata. "Aku benar-benar harus bangun."Aila tahu bahwa dia tidak bisa meneruskan tidur, tapi tempatnya berbaring sekarang ini rasanya begitu nyaman. Kasur dan bantal yang empuk, selimut yang hangat, juga aroma yang familier pun memenuhi penciumannya.Lagi pula, sebagai tambahan, saat ini sekujur tubuh perempuan bermata abu itu juga masih begitu pegal dan terasa berat untuk digerakkan. Tentu saja, semua merupakan efek yang timbul dari kegiatan yang sema
"Ngomong-ngomong, Charlotte ... ada apa dengan rambutmu?"Derrick mengamati putrinya dengan dahi yang sedikit berkerut.Setelah tadi mereka saling terdiam, suaranya pun berhasil memecah kesunyian yang ada sebab sejak mereka berempat berada di mobil yang sama, tidak ada satu pun dari keempat orang itu yang memulai percakapan.Baik Charlotte maupun Hugo, kedua orang anaknya itu sejak tadi sudah terlihat sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, sementara Maria, istrinya, lebih asyik dengan ponsel di tangan."Ya? Ehm, maksud Ayah, bagaimana?" tanya Charlotte, entah apakah dia memang tidak paham atau hanya berpura-pura saja. "Memangnya, ada apa dengan eh, rambutku?"Namun rupanya, perempuan bermata coklat itu tidak terlalu berani memasang sikap yang sama untuk waktu yang lebih lama lagi. Nyatanya sekarang, dengan sedikit tergagap dia mulai menjawab pertanyaan ayahnya.