Apakah dia salah lihat?
Kerjap. Kerjap. Hugo mengerjap beberapa kali hanya untuk memastikan bahwa tidak ada yang salah dengan penglihatannya.
Ah, tidak. Itu ... sepertinya memang 'dia'. Tapi, benarkah? Atau jangan-jangan Hugo memang salah lihat?
Tidak mempercayai dirinya sendiri, lelaki itu bahkan mengeluarkan handphone dan membuka menu galeri, hendak melihat salah satu foto yang tersimpan di sana.
Hal yang tidak perlu sebenarnya, sebab Hugo bahkan bisa mengenalinya dengan kedua mata terpejam. Selama berhari-hari ini tidurnya selalu dihiasi oleh mimpi yang sama, dan ketenangannya pun terusik.
"Ketemu," bisiknya, nyaris tertawa. Hugo bahkan menghela napas berat saking leganya. "Aku kira tidak mungkin, tapi ternyata kami bisa bertemu."
Sepasang irisnya yang berwarna merah memaku pandangan ke sosok seseorang yang kini tengah terbaring di atas sofa sederhana yang
"Jerome?"Sepasang alis Hugo seketika mencuram. Dia merasa heran karena asisten pribadinya itu tiba-tiba saja tidak melanjutkan ucapan di sambungan telepon mereka."Apa-apaan dia ini?" gerutunya. "Tidak sopan sama sekali."Hugo sudah nyaris mengakhiri sepihak sambungan telepon, ketika dia mendengarkan ada suara lain yang sepertinya tengah berbicara dengan Jerome.Memangnya, asisten pribadinya itu tengah berbicara dengan siapa?Entah mengapa tiba-tiba saja Hugo merasakan firasat yang tidak enak. Tanpa membuang waktu, dia lantas bergegas menuju luar gedung.Namun ketika sampai di persimpangan koridor, lelaki itu sempat berhenti dan ragu sesaat.Apakah nanti dia akan bisa bertemu lagi dengan perempuan itu kalau dia pergi sekarang?Tanpa sadar Hugo bahkan sudah setengah memutar langkah, hendak berbalik ke arah ruang
"Satu menit.""Apa?""Datang ke tempatku dalam waktu satu menit, atau aku tidak akan mau untuk pulang bersamamu, Kills."Killian tersenyum. Istrinya itu selalu saja bisa membuatnya bahagia meski dengan memberi ancaman manis yang semacam ini."Tunggu aku," jawabnya, melepaskan cengkeramannya pada kerah kemeja Hugo begitu saja. "Aku segera ke sana, Queen."Tanpa membuang waktu bahkan sekedar untuk menoleh ke arah orang-orang yang dia tinggalkan dalam kebingungan, lelaki berambut hitam itu segera saja berlari ke arah bangunan utama gedung pameran.Queen-nya memanggil. Jadi tidak ada hal lain yang dapat dia lakukan kecuali datang sesegera mungkin untuk memenuhi panggilan tersebut.Iya 'kan?***Sepuluh menit sebelumnya, di ruang istirahat, gedung pameran.Ada satu helaan napas pan
'Salam sayang, Aila.'Hugo tersenyum sendiri.Memangnya, sudah berapa kali dia membaca kertas berisi pesan itu? Oh, entahlah. Mungkin puluhan, atau bahkan ratusan. Rasanya sudah tidak bisa terhitung lagi, sebab secarik kertas itu sendiri pun sudah menjadi begitu lecek."Apa yang sebenarnya terjadi dengan kakak?" bisik Charlotte, yang sekarang bersama Jerome sedang mengintip kelakuan Hugo dari balik celah pintu yang kebetulan sedikit terbuka. "Kenapa dia memegang kertas usang begitu? Harusnya 'kan, dibuang saja. Apa isi kertas itu begitu penting?"Di sana, di dalam ruang kerjanya dan di antara tumpukan dokumen yang seharusnya perlu untuk segera dibaca, dipelajari dan ditandatangani, adalah Hugo sendiri.Lelaki yang biasanya gila kerja itu kini justru terlihat hanya duduk berdiam diri. Sepasang mata beriris merahnya terus memaku pandangan ke secarik kertas lecek di tangan, sementara wajah tampan Hugo pun dihiasi segaris senyuman lembut."Apa a
"Nghm ...."Aila bergumam dalam tidurnya.Perempuan berambut coklat madu itu lalu sedikit bergerak, hendak menggeliat, tapi urung sebab adanya sebuah lengan yang memeluknya.Membuka mata, Aila lalu menutupnya kembali sebab masih merasakan kantuk yang teramat berat. Namun terus menerus berbaring dengan posisi yang sama, lambat laun memberinya rasa pegal."Mm ..., Kills?" gumamnya lagi, kali ini kembali membuka mata.Pukul berapa ini? Aila pun bertanya-tanya dalam hati.Sebenarnya terdapat sebuah jam digital kecil di atas nakas yang terdapat di sebelah tempat tidur, pun di dinding terpasang jam berbentuk bulat. Namun toh Aila tidak dapat bergerak bebas, meski sekedar untuk melihat waktu."Kills?"Aila kembali berbisik dengan suara serak, khas bangun tidur. Perlahan dan dengan hati-hati, dia berusaha membebaskan diri dar
"Apa katamu tadi?""Tuan Hugo Harron mengirimkan permintaan untuk bisa bertemu dengan Anda, Sir."Ashin tetap menundukkan kepala. Terasa berat baginya untuk bisa berdiri dengan kepala tegak saat ini, lebih tepatnya dia tidak memiliki cukup keberanian untuk itu.Tidak, ketika orang yang sekarang ini berada di hadapannya, atasan yang memiliki kedudukan paling tinggi kedua di perusahaan tempatnya bekerja, sedang menguarkan aura kemarahan yang begitu pekat."Bukankah sudah aku katakan kepadamu untuk menolaknya?""Mereka terus menerus mengirimkan permintaan yang sama, Sir. Malah, nyaris tiap hari.""Kalau begitu, tolak lagi!""Sudah saya lakukan, Sir. Sungguh. Saya sudah mengirimkan surat penolakan setiap kali mereka mengajukan permintaan," jawab Ashin dengan tabah. "Namun sepertinya, hari ini tidak bisa lagi.""Apa maksudmu?""Tadi mereka memberikan kabar bahwa mereka akan langsung datang, Sir. Bahkan, Tuan Muda Harron dan a
"Tuan Muda, apakah Anda yakin?"Melirik dari kaca tengah mobil, asisten pribadi yang juga kerap kali merangkap sebagai supir itu pun bertanya.Tidak ada sahutan. Jerome bisa melihat bahwa saat ini atasannya tersebut sedang diam termenung.Menyandarkan sebelah sikunya di sisi jendela mobil dan berpangku tangan, Hugo melempar pandangan ke luar. Lelaki beriris mata berwarna merah itu saat ini terlihat begitu larut dalam pikirannya sendiri.Sudah beberapa hari Hugo berkelakuan seperti sekarang. Tepatnya, sejak dia mengunjungi pameran pendidikan dan nyaris bersitegang dengan calon pewaris Ardhana.Seakan tidak ada bosannya, setiap hari Hugo selalu menyempatkan diri untuk mendatangi acara pameran tersebut, bahkan sampai hari terakhir pameran berlangsung.Kemudian sejak hari itu pulalah, Hugo menjadi begitu pendiam. Wajahnya pun selalu terlihat muram, sementara kedua mata berwarna merah itu pun meredup."Ada apa sebenarnya?" tanya Jerome, en
Killian masih berkutat dengan laporan produktivitas, achievement, growth dan inventory perusahaan Ardhana selama periode dia mengambil cuti kemarin.Sepasang mata gelapnya menatap rangkaian angka dan persentase yang seperti tidak kunjung habis tersebut, sementara sebelah tangannya pun sibuk bergerak di atas keyboard laptop demi penyamaan data sekaligus pengecekan ulang."Haa ...." Killian menghela napas panjang sembari menyugar rambut hitamnya.Lelaki itu lantas menyandarkan punggung lebih dalam ke kursi kerjanya yang nyaman dan memejamkan mata sesaat.Ini masih hari pertamanya kembali bekerja dan pekerjaan yang menunggu ternyata sudah sebanyak ini."Damn! Kalau begini, aku jadi ingin pensiun dini rasanya," keluhnya.Yah, kalau dia pensiun 'kan, setidaknya dia bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk bersama dengan istrinya.Ah, sial. Sekedar memikirkannya sesaat saja sudah membuat Killian ingin menemui istrinya. Dia sangat me
Aila mengulum senyum.Membaca sekali lagi isi pesan yang baru saja dia terima, perempuan bermata abu itu pun lantas memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas."Ehm, mohon maafkan saya atas kekacauan yang sempat terjadi tadi," sela Ashin dengan nada sedikit gugup, sedikit berputar di tempat duduknya dan menoleh ke arah Aila yang berada di bangku penumpang belakang. "I—itu karena sa—saya tidak pernah bertemu dengan Anda sebelumnya, Nyonya Muda."Tersenyum kecut, sekarang lelaki muda itu merasa malu sendiri atas ulahnya tadi.Dia benar-benar tidak mempunyai bayangan soal bagaimana sosok perempuan yang menjadi istri Killian Ardhana Putra, sehingga membuat Ashin benar-benar kebingungan.Sebab tidak mungkin 'kan, kalau dia menanyai satu persatu para perempuan muda yang dia temui di kampus, soal apakah merekalah yang menjadi istri Tuan Muda Ardhana atau bukan.
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida