"Tuan Muda, apakah Anda yakin?"
Melirik dari kaca tengah mobil, asisten pribadi yang juga kerap kali merangkap sebagai supir itu pun bertanya.
Tidak ada sahutan. Jerome bisa melihat bahwa saat ini atasannya tersebut sedang diam termenung.
Menyandarkan sebelah sikunya di sisi jendela mobil dan berpangku tangan, Hugo melempar pandangan ke luar. Lelaki beriris mata berwarna merah itu saat ini terlihat begitu larut dalam pikirannya sendiri.
Sudah beberapa hari Hugo berkelakuan seperti sekarang. Tepatnya, sejak dia mengunjungi pameran pendidikan dan nyaris bersitegang dengan calon pewaris Ardhana.
Seakan tidak ada bosannya, setiap hari Hugo selalu menyempatkan diri untuk mendatangi acara pameran tersebut, bahkan sampai hari terakhir pameran berlangsung.
Kemudian sejak hari itu pulalah, Hugo menjadi begitu pendiam. Wajahnya pun selalu terlihat muram, sementara kedua mata berwarna merah itu pun meredup.
"Ada apa sebenarnya?" tanya Jerome, en
Killian masih berkutat dengan laporan produktivitas, achievement, growth dan inventory perusahaan Ardhana selama periode dia mengambil cuti kemarin.Sepasang mata gelapnya menatap rangkaian angka dan persentase yang seperti tidak kunjung habis tersebut, sementara sebelah tangannya pun sibuk bergerak di atas keyboard laptop demi penyamaan data sekaligus pengecekan ulang."Haa ...." Killian menghela napas panjang sembari menyugar rambut hitamnya.Lelaki itu lantas menyandarkan punggung lebih dalam ke kursi kerjanya yang nyaman dan memejamkan mata sesaat.Ini masih hari pertamanya kembali bekerja dan pekerjaan yang menunggu ternyata sudah sebanyak ini."Damn! Kalau begini, aku jadi ingin pensiun dini rasanya," keluhnya.Yah, kalau dia pensiun 'kan, setidaknya dia bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk bersama dengan istrinya.Ah, sial. Sekedar memikirkannya sesaat saja sudah membuat Killian ingin menemui istrinya. Dia sangat me
Aila mengulum senyum.Membaca sekali lagi isi pesan yang baru saja dia terima, perempuan bermata abu itu pun lantas memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas."Ehm, mohon maafkan saya atas kekacauan yang sempat terjadi tadi," sela Ashin dengan nada sedikit gugup, sedikit berputar di tempat duduknya dan menoleh ke arah Aila yang berada di bangku penumpang belakang. "I—itu karena sa—saya tidak pernah bertemu dengan Anda sebelumnya, Nyonya Muda."Tersenyum kecut, sekarang lelaki muda itu merasa malu sendiri atas ulahnya tadi.Dia benar-benar tidak mempunyai bayangan soal bagaimana sosok perempuan yang menjadi istri Killian Ardhana Putra, sehingga membuat Ashin benar-benar kebingungan.Sebab tidak mungkin 'kan, kalau dia menanyai satu persatu para perempuan muda yang dia temui di kampus, soal apakah merekalah yang menjadi istri Tuan Muda Ardhana atau bukan.
"Kita sudah tiba, Nyonya Muda," ujar Ashin ketika mobil mereka mulai memasuki area depan lobi gedung. Dia sudah bergegas turun hendak membukakan pintu mobil untuk Aila, tapi urung, sebab perempuan bermata abu itu sudah langsung keluar dari mobil tanpa menunggu bantuannya. "Tidak perlu repot-repot," ucap Aila sembari menyunggingkan senyum. "Tapi terima kasih atas niat baiknya." Ashin sesaat terkesima. Lelaki muda itu bahkan berdiri dengan mulut yang setengah terbuka, sebelum akhirnya tersadar dan buru-buru berkata, "Ti—tidak perlu berterima kasih, Nyonya Muda. Maksud saya, semua itu sudah tanggung jawab say—" "Aila." "Ya? Yya? Yya? Bagaimana— ehm, maafkan saya, tapi—" Aila tertawa kecil. Sikap bingung Ashin yang disertai ucapan setengah gagap, terlihat cukup lucu baginya. "Nama Anda Ashin, bukan?" tanyanya, berjalan memasuki
Siapa yang tidak mengenal Charlotte Angela Harron?Dia putri tunggal dari keluarga Harron yang terkenal dengan jaringan bisnis raksasanya yang tersebar di empat belas negara.Dia juga seorang perempuan yang cantik. Ah, tentu saja untuk hal yang satu itu jelas tidak perlu untuk diragukan lagi."Jadi, apa sebenarnya kekuranganku?" gumam Charlotte seraya mendengus, merasa kesal setiap kali teringat dengan fakta bahwa sampai saat ini Killian masih juga belum menyatakan kesediaan untuk menikah dengannya."Padahal, aku bahkan sampai harus merendah seperti ini. Alih-alih menuntut pembayaran hutang judi si kakek yang jumlahnya begitu besar, aku malah tidak keberatan untuk menjalin hubungan dengan keluarga Ardhana melalui pernikahan."Menyergah napas kasar, perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu pun lantas bersungut-sungut mengenai kelakuan Edmund Agentine."Suda
"Apakah Anda sudah tidak apa-apa?""Eh? Ya?"Mengerjap beberapa kali, bahkan sampai saat ini pun Hugo masih merasa kesulitan untuk bisa mengalihkan pandangannya.Berdeham beberapa kali, lelaki beriris merah itu lantas berusaha memasang ekspresi wajah sebiasa mungkin, sekaligus mencoba menenangkan debaran jantungnya."Ya, saya sudah tidak apa-apa. Maksud saya, eh—"Tidak ada lagi kata yang sanggup Hugo ucapkan ketika perempuan di depannya itu kini tertawa kecil.Ah, lihat saja sepasang mata abunya itu, terlihat bagai perak yang meleleh. Begitu mengagumkan hingga tidak satu detik pun Hugo rela untuk tidak memandangnya.Belum lagi suara merdu dan tawa renyahnya yang terdengar begitu menyenangkan.Rasa-rasanya Hugo bersedia untuk mengajaknya mengobrol soal apa saja, hanya demi bisa mendengarkan terus suara itu.
Jantung Aila berdetak begitu kencang.Setidaknya sudah lima menit berlalu dan mereka berdua masih tidak berkata satu patah kata pun. Sejak dia tiba di ruang kantornya, Killian tetap saja diam sambil terus memandanginya dan membuat Aila mulai merasa gelisah.Ada apa sebenarnya ini? Lelaki berwajah tampan itu sekarang terasa seperti sedang marah, tapi kenapa? Memangnya, apa yang sudah dia lakukan, sih?"Kills—" Ada sentakan napas tajam ketika Killian bergerak ke belakangnya.Langkah lelaki itu bahkan nyaris tidak terdengar sebab teredam lapisan karpet bulu yang tebal, tapi bukan berarti Aila tidak menyadari gerakan Killian tersebut.Padahal Killian hanya berdiri diam di belakangnya dan belum melakukan apa pun, tapi nyatanya tubuh Aila sudah langsung bereaksi.Seolah ada pemantik api yang menyala dan perlahan menyebarkan rasa hangat ke sekujur tubuhnya. Lagipula, Aila sangat bisa merasakan pandangan Killian saat ini yang terasa begitu mem
Killian nyaris tersedak saat sedang menikmati sarapan keesokan harinya."Apa yang kamu katakan tadi, Erick?" tanyanya, buru-buru meraih tisu untuk mengelap mulut. Lewat pandangan mata dia juga meminta agar Aila yang sudah hendak beranjak mendekat untuk tetap duduk di kursinya saja. "Kakek akan pulang?""Betul, Tuan Muda," jawab Erik sambil sedikit menundukkan kepala. "Rafael baru saja menghubungi saya dan memberi tahu mengenai hal tersebut.""Kapan?""Rencananya, beliau akan pulang dengan penerbangan pertama hari ini.""Hari ini?" ulang Killian dengan nada bertanya, sementara sepasang alisnya pun seketika mencuram.Ini aneh. Kenapa kakeknya itu memutuskan untuk pulang dengan mendadak seperti ini?Tidak lama setelah nenek Killian meninggal sepuluh tahun lalu, Gallahan, kakeknya, memang memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan berkeliling
Sebuah sedan Audi berwarna putih merapat di salah satu kawasan elit yang berlokasi di pinggir kota. Sedan yang termasuk mobil paling mewah di dunia tersebut kemudian berhenti di depan sepasang gerbang yang berdiri menjulang dengan aksen yang begitu mewah dan elegan.Pintu gerbang dengan besi solid setebal sepuluh senti itu lantas bergerak secara otomatis, mengayun terbuka setelah sensornya mendeteksi kedatangan sedan mewah tersebut dan mengenalinya. Sementara, dua orang penjaga gerbang yang bertugas pun segera berdiri di kanan dan kiri gerbang, lalu sedikit membungkuk untuk memberikan salam ketika mobil melintas.Meluncur mulus, sedan mewah itu memasuki halaman rumah yang luasnya bahkan mampu menampung puluhan kendaraan, melewati sebuah air mancur berwarna putih dengan model arsitektur yang klasik, sebelum akhirnya berhenti di depan pelataran sebuah kediaman yang berdiri megah."Selamat datang, Nyonya Muda," sambut Erik,