Killian masih berkutat dengan laporan produktivitas, achievement, growth dan inventory perusahaan Ardhana selama periode dia mengambil cuti kemarin.
Sepasang mata gelapnya menatap rangkaian angka dan persentase yang seperti tidak kunjung habis tersebut, sementara sebelah tangannya pun sibuk bergerak di atas keyboard laptop demi penyamaan data sekaligus pengecekan ulang.
"Haa ...." Killian menghela napas panjang sembari menyugar rambut hitamnya.
Lelaki itu lantas menyandarkan punggung lebih dalam ke kursi kerjanya yang nyaman dan memejamkan mata sesaat.
Ini masih hari pertamanya kembali bekerja dan pekerjaan yang menunggu ternyata sudah sebanyak ini.
"Damn! Kalau begini, aku jadi ingin pensiun dini rasanya," keluhnya.
Yah, kalau dia pensiun 'kan, setidaknya dia bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk bersama dengan istrinya.
Ah, sial. Sekedar memikirkannya sesaat saja sudah membuat Killian ingin menemui istrinya. Dia sangat me
Aila mengulum senyum.Membaca sekali lagi isi pesan yang baru saja dia terima, perempuan bermata abu itu pun lantas memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas."Ehm, mohon maafkan saya atas kekacauan yang sempat terjadi tadi," sela Ashin dengan nada sedikit gugup, sedikit berputar di tempat duduknya dan menoleh ke arah Aila yang berada di bangku penumpang belakang. "I—itu karena sa—saya tidak pernah bertemu dengan Anda sebelumnya, Nyonya Muda."Tersenyum kecut, sekarang lelaki muda itu merasa malu sendiri atas ulahnya tadi.Dia benar-benar tidak mempunyai bayangan soal bagaimana sosok perempuan yang menjadi istri Killian Ardhana Putra, sehingga membuat Ashin benar-benar kebingungan.Sebab tidak mungkin 'kan, kalau dia menanyai satu persatu para perempuan muda yang dia temui di kampus, soal apakah merekalah yang menjadi istri Tuan Muda Ardhana atau bukan.
"Kita sudah tiba, Nyonya Muda," ujar Ashin ketika mobil mereka mulai memasuki area depan lobi gedung. Dia sudah bergegas turun hendak membukakan pintu mobil untuk Aila, tapi urung, sebab perempuan bermata abu itu sudah langsung keluar dari mobil tanpa menunggu bantuannya. "Tidak perlu repot-repot," ucap Aila sembari menyunggingkan senyum. "Tapi terima kasih atas niat baiknya." Ashin sesaat terkesima. Lelaki muda itu bahkan berdiri dengan mulut yang setengah terbuka, sebelum akhirnya tersadar dan buru-buru berkata, "Ti—tidak perlu berterima kasih, Nyonya Muda. Maksud saya, semua itu sudah tanggung jawab say—" "Aila." "Ya? Yya? Yya? Bagaimana— ehm, maafkan saya, tapi—" Aila tertawa kecil. Sikap bingung Ashin yang disertai ucapan setengah gagap, terlihat cukup lucu baginya. "Nama Anda Ashin, bukan?" tanyanya, berjalan memasuki
Siapa yang tidak mengenal Charlotte Angela Harron?Dia putri tunggal dari keluarga Harron yang terkenal dengan jaringan bisnis raksasanya yang tersebar di empat belas negara.Dia juga seorang perempuan yang cantik. Ah, tentu saja untuk hal yang satu itu jelas tidak perlu untuk diragukan lagi."Jadi, apa sebenarnya kekuranganku?" gumam Charlotte seraya mendengus, merasa kesal setiap kali teringat dengan fakta bahwa sampai saat ini Killian masih juga belum menyatakan kesediaan untuk menikah dengannya."Padahal, aku bahkan sampai harus merendah seperti ini. Alih-alih menuntut pembayaran hutang judi si kakek yang jumlahnya begitu besar, aku malah tidak keberatan untuk menjalin hubungan dengan keluarga Ardhana melalui pernikahan."Menyergah napas kasar, perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu pun lantas bersungut-sungut mengenai kelakuan Edmund Agentine."Suda
"Apakah Anda sudah tidak apa-apa?""Eh? Ya?"Mengerjap beberapa kali, bahkan sampai saat ini pun Hugo masih merasa kesulitan untuk bisa mengalihkan pandangannya.Berdeham beberapa kali, lelaki beriris merah itu lantas berusaha memasang ekspresi wajah sebiasa mungkin, sekaligus mencoba menenangkan debaran jantungnya."Ya, saya sudah tidak apa-apa. Maksud saya, eh—"Tidak ada lagi kata yang sanggup Hugo ucapkan ketika perempuan di depannya itu kini tertawa kecil.Ah, lihat saja sepasang mata abunya itu, terlihat bagai perak yang meleleh. Begitu mengagumkan hingga tidak satu detik pun Hugo rela untuk tidak memandangnya.Belum lagi suara merdu dan tawa renyahnya yang terdengar begitu menyenangkan.Rasa-rasanya Hugo bersedia untuk mengajaknya mengobrol soal apa saja, hanya demi bisa mendengarkan terus suara itu.
Jantung Aila berdetak begitu kencang.Setidaknya sudah lima menit berlalu dan mereka berdua masih tidak berkata satu patah kata pun. Sejak dia tiba di ruang kantornya, Killian tetap saja diam sambil terus memandanginya dan membuat Aila mulai merasa gelisah.Ada apa sebenarnya ini? Lelaki berwajah tampan itu sekarang terasa seperti sedang marah, tapi kenapa? Memangnya, apa yang sudah dia lakukan, sih?"Kills—" Ada sentakan napas tajam ketika Killian bergerak ke belakangnya.Langkah lelaki itu bahkan nyaris tidak terdengar sebab teredam lapisan karpet bulu yang tebal, tapi bukan berarti Aila tidak menyadari gerakan Killian tersebut.Padahal Killian hanya berdiri diam di belakangnya dan belum melakukan apa pun, tapi nyatanya tubuh Aila sudah langsung bereaksi.Seolah ada pemantik api yang menyala dan perlahan menyebarkan rasa hangat ke sekujur tubuhnya. Lagipula, Aila sangat bisa merasakan pandangan Killian saat ini yang terasa begitu mem
Killian nyaris tersedak saat sedang menikmati sarapan keesokan harinya."Apa yang kamu katakan tadi, Erick?" tanyanya, buru-buru meraih tisu untuk mengelap mulut. Lewat pandangan mata dia juga meminta agar Aila yang sudah hendak beranjak mendekat untuk tetap duduk di kursinya saja. "Kakek akan pulang?""Betul, Tuan Muda," jawab Erik sambil sedikit menundukkan kepala. "Rafael baru saja menghubungi saya dan memberi tahu mengenai hal tersebut.""Kapan?""Rencananya, beliau akan pulang dengan penerbangan pertama hari ini.""Hari ini?" ulang Killian dengan nada bertanya, sementara sepasang alisnya pun seketika mencuram.Ini aneh. Kenapa kakeknya itu memutuskan untuk pulang dengan mendadak seperti ini?Tidak lama setelah nenek Killian meninggal sepuluh tahun lalu, Gallahan, kakeknya, memang memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan berkeliling
Sebuah sedan Audi berwarna putih merapat di salah satu kawasan elit yang berlokasi di pinggir kota. Sedan yang termasuk mobil paling mewah di dunia tersebut kemudian berhenti di depan sepasang gerbang yang berdiri menjulang dengan aksen yang begitu mewah dan elegan.Pintu gerbang dengan besi solid setebal sepuluh senti itu lantas bergerak secara otomatis, mengayun terbuka setelah sensornya mendeteksi kedatangan sedan mewah tersebut dan mengenalinya. Sementara, dua orang penjaga gerbang yang bertugas pun segera berdiri di kanan dan kiri gerbang, lalu sedikit membungkuk untuk memberikan salam ketika mobil melintas.Meluncur mulus, sedan mewah itu memasuki halaman rumah yang luasnya bahkan mampu menampung puluhan kendaraan, melewati sebuah air mancur berwarna putih dengan model arsitektur yang klasik, sebelum akhirnya berhenti di depan pelataran sebuah kediaman yang berdiri megah."Selamat datang, Nyonya Muda," sambut Erik,
"Tidak boleh!"Killian terdiam."Pergi dan tidur saja di kamar lain!"Rambutnya basah dan dari ujung-ujungnya masih menetes air dari sisa mandi, sementara lelaki tampan itu sendiri kini hanya mengenakan mantel mandi untuk membungkus tubuh yang telanjang."Apa?" tanya Killian dengan nada percampuran antara kaget dan juga tidak terima. "Queen, apa aku salah dengar?""Aku capek," ujar Aila, kembali melanjutkan kegiatannya membaca buku. "Aku tidak akan sanggup memenuhi permainanmu nanti, sehingga justru mungkin tidak akan bisa membuatmu puas, Kills. Lagi pula, bukankah tadi pagi aku juga sudah mengatakan kalau aku ingin tidur lebih awal?"Killian masih terdiam, tapi dalam hati lelaki itu sudah memaki tidak karuan.Sial! Ini gara-gara Hugo, si berengsek itu!Kalau dia tidak menjadi seorang pengecut yang suka mengadu, tidak
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida