'Salam sayang, Aila.'
Hugo tersenyum sendiri.
Memangnya, sudah berapa kali dia membaca kertas berisi pesan itu? Oh, entahlah. Mungkin puluhan, atau bahkan ratusan. Rasanya sudah tidak bisa terhitung lagi, sebab secarik kertas itu sendiri pun sudah menjadi begitu lecek.
"Apa yang sebenarnya terjadi dengan kakak?" bisik Charlotte, yang sekarang bersama Jerome sedang mengintip kelakuan Hugo dari balik celah pintu yang kebetulan sedikit terbuka. "Kenapa dia memegang kertas usang begitu? Harusnya 'kan, dibuang saja. Apa isi kertas itu begitu penting?"
Di sana, di dalam ruang kerjanya dan di antara tumpukan dokumen yang seharusnya perlu untuk segera dibaca, dipelajari dan ditandatangani, adalah Hugo sendiri.
Lelaki yang biasanya gila kerja itu kini justru terlihat hanya duduk berdiam diri. Sepasang mata beriris merahnya terus memaku pandangan ke secarik kertas lecek di tangan, sementara wajah tampan Hugo pun dihiasi segaris senyuman lembut.
"Apa a
"Nghm ...."Aila bergumam dalam tidurnya.Perempuan berambut coklat madu itu lalu sedikit bergerak, hendak menggeliat, tapi urung sebab adanya sebuah lengan yang memeluknya.Membuka mata, Aila lalu menutupnya kembali sebab masih merasakan kantuk yang teramat berat. Namun terus menerus berbaring dengan posisi yang sama, lambat laun memberinya rasa pegal."Mm ..., Kills?" gumamnya lagi, kali ini kembali membuka mata.Pukul berapa ini? Aila pun bertanya-tanya dalam hati.Sebenarnya terdapat sebuah jam digital kecil di atas nakas yang terdapat di sebelah tempat tidur, pun di dinding terpasang jam berbentuk bulat. Namun toh Aila tidak dapat bergerak bebas, meski sekedar untuk melihat waktu."Kills?"Aila kembali berbisik dengan suara serak, khas bangun tidur. Perlahan dan dengan hati-hati, dia berusaha membebaskan diri dar
"Apa katamu tadi?""Tuan Hugo Harron mengirimkan permintaan untuk bisa bertemu dengan Anda, Sir."Ashin tetap menundukkan kepala. Terasa berat baginya untuk bisa berdiri dengan kepala tegak saat ini, lebih tepatnya dia tidak memiliki cukup keberanian untuk itu.Tidak, ketika orang yang sekarang ini berada di hadapannya, atasan yang memiliki kedudukan paling tinggi kedua di perusahaan tempatnya bekerja, sedang menguarkan aura kemarahan yang begitu pekat."Bukankah sudah aku katakan kepadamu untuk menolaknya?""Mereka terus menerus mengirimkan permintaan yang sama, Sir. Malah, nyaris tiap hari.""Kalau begitu, tolak lagi!""Sudah saya lakukan, Sir. Sungguh. Saya sudah mengirimkan surat penolakan setiap kali mereka mengajukan permintaan," jawab Ashin dengan tabah. "Namun sepertinya, hari ini tidak bisa lagi.""Apa maksudmu?""Tadi mereka memberikan kabar bahwa mereka akan langsung datang, Sir. Bahkan, Tuan Muda Harron dan a
"Tuan Muda, apakah Anda yakin?"Melirik dari kaca tengah mobil, asisten pribadi yang juga kerap kali merangkap sebagai supir itu pun bertanya.Tidak ada sahutan. Jerome bisa melihat bahwa saat ini atasannya tersebut sedang diam termenung.Menyandarkan sebelah sikunya di sisi jendela mobil dan berpangku tangan, Hugo melempar pandangan ke luar. Lelaki beriris mata berwarna merah itu saat ini terlihat begitu larut dalam pikirannya sendiri.Sudah beberapa hari Hugo berkelakuan seperti sekarang. Tepatnya, sejak dia mengunjungi pameran pendidikan dan nyaris bersitegang dengan calon pewaris Ardhana.Seakan tidak ada bosannya, setiap hari Hugo selalu menyempatkan diri untuk mendatangi acara pameran tersebut, bahkan sampai hari terakhir pameran berlangsung.Kemudian sejak hari itu pulalah, Hugo menjadi begitu pendiam. Wajahnya pun selalu terlihat muram, sementara kedua mata berwarna merah itu pun meredup."Ada apa sebenarnya?" tanya Jerome, en
Killian masih berkutat dengan laporan produktivitas, achievement, growth dan inventory perusahaan Ardhana selama periode dia mengambil cuti kemarin.Sepasang mata gelapnya menatap rangkaian angka dan persentase yang seperti tidak kunjung habis tersebut, sementara sebelah tangannya pun sibuk bergerak di atas keyboard laptop demi penyamaan data sekaligus pengecekan ulang."Haa ...." Killian menghela napas panjang sembari menyugar rambut hitamnya.Lelaki itu lantas menyandarkan punggung lebih dalam ke kursi kerjanya yang nyaman dan memejamkan mata sesaat.Ini masih hari pertamanya kembali bekerja dan pekerjaan yang menunggu ternyata sudah sebanyak ini."Damn! Kalau begini, aku jadi ingin pensiun dini rasanya," keluhnya.Yah, kalau dia pensiun 'kan, setidaknya dia bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk bersama dengan istrinya.Ah, sial. Sekedar memikirkannya sesaat saja sudah membuat Killian ingin menemui istrinya. Dia sangat me
Aila mengulum senyum.Membaca sekali lagi isi pesan yang baru saja dia terima, perempuan bermata abu itu pun lantas memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas."Ehm, mohon maafkan saya atas kekacauan yang sempat terjadi tadi," sela Ashin dengan nada sedikit gugup, sedikit berputar di tempat duduknya dan menoleh ke arah Aila yang berada di bangku penumpang belakang. "I—itu karena sa—saya tidak pernah bertemu dengan Anda sebelumnya, Nyonya Muda."Tersenyum kecut, sekarang lelaki muda itu merasa malu sendiri atas ulahnya tadi.Dia benar-benar tidak mempunyai bayangan soal bagaimana sosok perempuan yang menjadi istri Killian Ardhana Putra, sehingga membuat Ashin benar-benar kebingungan.Sebab tidak mungkin 'kan, kalau dia menanyai satu persatu para perempuan muda yang dia temui di kampus, soal apakah merekalah yang menjadi istri Tuan Muda Ardhana atau bukan.
"Kita sudah tiba, Nyonya Muda," ujar Ashin ketika mobil mereka mulai memasuki area depan lobi gedung. Dia sudah bergegas turun hendak membukakan pintu mobil untuk Aila, tapi urung, sebab perempuan bermata abu itu sudah langsung keluar dari mobil tanpa menunggu bantuannya. "Tidak perlu repot-repot," ucap Aila sembari menyunggingkan senyum. "Tapi terima kasih atas niat baiknya." Ashin sesaat terkesima. Lelaki muda itu bahkan berdiri dengan mulut yang setengah terbuka, sebelum akhirnya tersadar dan buru-buru berkata, "Ti—tidak perlu berterima kasih, Nyonya Muda. Maksud saya, semua itu sudah tanggung jawab say—" "Aila." "Ya? Yya? Yya? Bagaimana— ehm, maafkan saya, tapi—" Aila tertawa kecil. Sikap bingung Ashin yang disertai ucapan setengah gagap, terlihat cukup lucu baginya. "Nama Anda Ashin, bukan?" tanyanya, berjalan memasuki
Siapa yang tidak mengenal Charlotte Angela Harron?Dia putri tunggal dari keluarga Harron yang terkenal dengan jaringan bisnis raksasanya yang tersebar di empat belas negara.Dia juga seorang perempuan yang cantik. Ah, tentu saja untuk hal yang satu itu jelas tidak perlu untuk diragukan lagi."Jadi, apa sebenarnya kekuranganku?" gumam Charlotte seraya mendengus, merasa kesal setiap kali teringat dengan fakta bahwa sampai saat ini Killian masih juga belum menyatakan kesediaan untuk menikah dengannya."Padahal, aku bahkan sampai harus merendah seperti ini. Alih-alih menuntut pembayaran hutang judi si kakek yang jumlahnya begitu besar, aku malah tidak keberatan untuk menjalin hubungan dengan keluarga Ardhana melalui pernikahan."Menyergah napas kasar, perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu pun lantas bersungut-sungut mengenai kelakuan Edmund Agentine."Suda
"Apakah Anda sudah tidak apa-apa?""Eh? Ya?"Mengerjap beberapa kali, bahkan sampai saat ini pun Hugo masih merasa kesulitan untuk bisa mengalihkan pandangannya.Berdeham beberapa kali, lelaki beriris merah itu lantas berusaha memasang ekspresi wajah sebiasa mungkin, sekaligus mencoba menenangkan debaran jantungnya."Ya, saya sudah tidak apa-apa. Maksud saya, eh—"Tidak ada lagi kata yang sanggup Hugo ucapkan ketika perempuan di depannya itu kini tertawa kecil.Ah, lihat saja sepasang mata abunya itu, terlihat bagai perak yang meleleh. Begitu mengagumkan hingga tidak satu detik pun Hugo rela untuk tidak memandangnya.Belum lagi suara merdu dan tawa renyahnya yang terdengar begitu menyenangkan.Rasa-rasanya Hugo bersedia untuk mengajaknya mengobrol soal apa saja, hanya demi bisa mendengarkan terus suara itu.