"Apa Anda yakin kalau Anda ingin pergi ke sana, Tuan Muda?"
Melirik dari kaca tengah mobil, Jerome bertanya kepada Hugo yang duduk di bangku belakang.
"Tentu saja, Jerome. Kalau saja pembicaraan dengan pihak Maitra Graphica tadi tidak memakan terlalu banyak waktu, seharusnya aku sudah berada di sana sejak tadi."
Jerome terlihat seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi nyatanya urung sebab tidak ada suara yang kemudian terdengar. Selama sisa perjalanan yang ada pun, akhirnya dihabiskan oleh kedua orang itu dalam keheningan.
Sejujurnya dia sudah tidak sanggup lagi menahan rasa heran.
Selama beberapa tahun menjabat sebagai asisten pribadi Hugo, baru kali inilah Jerome melihat lelaki itu merasa tertarik terhadap hal lain di luar pekerjaan.
"Lagi pula, sebenarnya apa tujuan Tuan Muda, sampai-sampai beliau rela membuang waktunya yang berharga seperti ini?" gum
Apakah dia salah lihat?Kerjap. Kerjap. Hugo mengerjap beberapa kali hanya untuk memastikan bahwa tidak ada yang salah dengan penglihatannya.Ah, tidak. Itu ... sepertinya memang 'dia'. Tapi, benarkah? Atau jangan-jangan Hugo memang salah lihat?Tidak mempercayai dirinya sendiri, lelaki itu bahkan mengeluarkan handphone dan membuka menu galeri, hendak melihat salah satu foto yang tersimpan di sana.Hal yang tidak perlu sebenarnya, sebab Hugo bahkan bisa mengenalinya dengan kedua mata terpejam. Selama berhari-hari ini tidurnya selalu dihiasi oleh mimpi yang sama, dan ketenangannya pun terusik."Ketemu," bisiknya, nyaris tertawa. Hugo bahkan menghela napas berat saking leganya. "Aku kira tidak mungkin, tapi ternyata kami bisa bertemu."Sepasang irisnya yang berwarna merah memaku pandangan ke sosok seseorang yang kini tengah terbaring di atas sofa sederhana yang
"Jerome?"Sepasang alis Hugo seketika mencuram. Dia merasa heran karena asisten pribadinya itu tiba-tiba saja tidak melanjutkan ucapan di sambungan telepon mereka."Apa-apaan dia ini?" gerutunya. "Tidak sopan sama sekali."Hugo sudah nyaris mengakhiri sepihak sambungan telepon, ketika dia mendengarkan ada suara lain yang sepertinya tengah berbicara dengan Jerome.Memangnya, asisten pribadinya itu tengah berbicara dengan siapa?Entah mengapa tiba-tiba saja Hugo merasakan firasat yang tidak enak. Tanpa membuang waktu, dia lantas bergegas menuju luar gedung.Namun ketika sampai di persimpangan koridor, lelaki itu sempat berhenti dan ragu sesaat.Apakah nanti dia akan bisa bertemu lagi dengan perempuan itu kalau dia pergi sekarang?Tanpa sadar Hugo bahkan sudah setengah memutar langkah, hendak berbalik ke arah ruang
"Satu menit.""Apa?""Datang ke tempatku dalam waktu satu menit, atau aku tidak akan mau untuk pulang bersamamu, Kills."Killian tersenyum. Istrinya itu selalu saja bisa membuatnya bahagia meski dengan memberi ancaman manis yang semacam ini."Tunggu aku," jawabnya, melepaskan cengkeramannya pada kerah kemeja Hugo begitu saja. "Aku segera ke sana, Queen."Tanpa membuang waktu bahkan sekedar untuk menoleh ke arah orang-orang yang dia tinggalkan dalam kebingungan, lelaki berambut hitam itu segera saja berlari ke arah bangunan utama gedung pameran.Queen-nya memanggil. Jadi tidak ada hal lain yang dapat dia lakukan kecuali datang sesegera mungkin untuk memenuhi panggilan tersebut.Iya 'kan?***Sepuluh menit sebelumnya, di ruang istirahat, gedung pameran.Ada satu helaan napas pan
'Salam sayang, Aila.'Hugo tersenyum sendiri.Memangnya, sudah berapa kali dia membaca kertas berisi pesan itu? Oh, entahlah. Mungkin puluhan, atau bahkan ratusan. Rasanya sudah tidak bisa terhitung lagi, sebab secarik kertas itu sendiri pun sudah menjadi begitu lecek."Apa yang sebenarnya terjadi dengan kakak?" bisik Charlotte, yang sekarang bersama Jerome sedang mengintip kelakuan Hugo dari balik celah pintu yang kebetulan sedikit terbuka. "Kenapa dia memegang kertas usang begitu? Harusnya 'kan, dibuang saja. Apa isi kertas itu begitu penting?"Di sana, di dalam ruang kerjanya dan di antara tumpukan dokumen yang seharusnya perlu untuk segera dibaca, dipelajari dan ditandatangani, adalah Hugo sendiri.Lelaki yang biasanya gila kerja itu kini justru terlihat hanya duduk berdiam diri. Sepasang mata beriris merahnya terus memaku pandangan ke secarik kertas lecek di tangan, sementara wajah tampan Hugo pun dihiasi segaris senyuman lembut."Apa a
"Nghm ...."Aila bergumam dalam tidurnya.Perempuan berambut coklat madu itu lalu sedikit bergerak, hendak menggeliat, tapi urung sebab adanya sebuah lengan yang memeluknya.Membuka mata, Aila lalu menutupnya kembali sebab masih merasakan kantuk yang teramat berat. Namun terus menerus berbaring dengan posisi yang sama, lambat laun memberinya rasa pegal."Mm ..., Kills?" gumamnya lagi, kali ini kembali membuka mata.Pukul berapa ini? Aila pun bertanya-tanya dalam hati.Sebenarnya terdapat sebuah jam digital kecil di atas nakas yang terdapat di sebelah tempat tidur, pun di dinding terpasang jam berbentuk bulat. Namun toh Aila tidak dapat bergerak bebas, meski sekedar untuk melihat waktu."Kills?"Aila kembali berbisik dengan suara serak, khas bangun tidur. Perlahan dan dengan hati-hati, dia berusaha membebaskan diri dar
"Apa katamu tadi?""Tuan Hugo Harron mengirimkan permintaan untuk bisa bertemu dengan Anda, Sir."Ashin tetap menundukkan kepala. Terasa berat baginya untuk bisa berdiri dengan kepala tegak saat ini, lebih tepatnya dia tidak memiliki cukup keberanian untuk itu.Tidak, ketika orang yang sekarang ini berada di hadapannya, atasan yang memiliki kedudukan paling tinggi kedua di perusahaan tempatnya bekerja, sedang menguarkan aura kemarahan yang begitu pekat."Bukankah sudah aku katakan kepadamu untuk menolaknya?""Mereka terus menerus mengirimkan permintaan yang sama, Sir. Malah, nyaris tiap hari.""Kalau begitu, tolak lagi!""Sudah saya lakukan, Sir. Sungguh. Saya sudah mengirimkan surat penolakan setiap kali mereka mengajukan permintaan," jawab Ashin dengan tabah. "Namun sepertinya, hari ini tidak bisa lagi.""Apa maksudmu?""Tadi mereka memberikan kabar bahwa mereka akan langsung datang, Sir. Bahkan, Tuan Muda Harron dan a
"Tuan Muda, apakah Anda yakin?"Melirik dari kaca tengah mobil, asisten pribadi yang juga kerap kali merangkap sebagai supir itu pun bertanya.Tidak ada sahutan. Jerome bisa melihat bahwa saat ini atasannya tersebut sedang diam termenung.Menyandarkan sebelah sikunya di sisi jendela mobil dan berpangku tangan, Hugo melempar pandangan ke luar. Lelaki beriris mata berwarna merah itu saat ini terlihat begitu larut dalam pikirannya sendiri.Sudah beberapa hari Hugo berkelakuan seperti sekarang. Tepatnya, sejak dia mengunjungi pameran pendidikan dan nyaris bersitegang dengan calon pewaris Ardhana.Seakan tidak ada bosannya, setiap hari Hugo selalu menyempatkan diri untuk mendatangi acara pameran tersebut, bahkan sampai hari terakhir pameran berlangsung.Kemudian sejak hari itu pulalah, Hugo menjadi begitu pendiam. Wajahnya pun selalu terlihat muram, sementara kedua mata berwarna merah itu pun meredup."Ada apa sebenarnya?" tanya Jerome, en
Killian masih berkutat dengan laporan produktivitas, achievement, growth dan inventory perusahaan Ardhana selama periode dia mengambil cuti kemarin.Sepasang mata gelapnya menatap rangkaian angka dan persentase yang seperti tidak kunjung habis tersebut, sementara sebelah tangannya pun sibuk bergerak di atas keyboard laptop demi penyamaan data sekaligus pengecekan ulang."Haa ...." Killian menghela napas panjang sembari menyugar rambut hitamnya.Lelaki itu lantas menyandarkan punggung lebih dalam ke kursi kerjanya yang nyaman dan memejamkan mata sesaat.Ini masih hari pertamanya kembali bekerja dan pekerjaan yang menunggu ternyata sudah sebanyak ini."Damn! Kalau begini, aku jadi ingin pensiun dini rasanya," keluhnya.Yah, kalau dia pensiun 'kan, setidaknya dia bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk bersama dengan istrinya.Ah, sial. Sekedar memikirkannya sesaat saja sudah membuat Killian ingin menemui istrinya. Dia sangat me