Aziya terpaku dalam pertanyaan Galih itu yang seolah perduli dengan perasaannya. Apakah itu mungkin? Bahkan dirinya tak ubahnya sebagai tawanan yang tidak pernah bisa menyelamatkan diri dan harga dirinya.Ia harus mengakui bahwa hatinya hancur karena bercerai dengan Reza dalam keadaan memiliki dua putra, dan sejenak ia bernapas dalam masalah ekonomi di sisi pria kaya ini. Lalu apakah ia punya hak untuk memikirkan perasaannya?"Aku tidak merasakan apapun untuk dikhawatirkan, apakah itu penting bagimu? Aku cuma sandera yang menunggu nasib saja," jawabnya singkat sambil memandang ke arah luar kendaraan yang mereka tumpangi.Meskipun Aziya tahu di luar sana gelap dan hanya melihat sedikit cahaya yang terkadang memantul di kaca mobil."Tentu saja, kau juga manusia sepertiku, aku mengerti perasaanmu, tentang bagaimana kita menjalani semua ini. Aku minta maaf karena telah membuatmu terluka, tapi sebenarnya... aku merasa membutuhkan orang sepertimu. Bersabarlah sebentar lagi, aku ingin memast
Mendengar itu, Aziya menelan ludah kasar. Rasa sakit makin menusuk di dadanya.Tidak, seharusnya dia merasa puas dan senang atas keputusan Galih untuk melepaskan dirinya. Bukankah itu yang dia maksudkan tadi?Mereka telah kembali ke Villa. Aziya dan Galih mengambil posisi tidurnya masing-masing.Galih terlihat sangat lelah dan iapun merebahkan tubuhnya di sofa. Meskipun ia sebenarnya tidak bisa memejamkan matanya saat teringat keinginan Aziya untuk pergi.Begitu juga Aziya, ia diam di dalam selimutnya tanpa bisa memejamkan matanya karena merasa terpukul dengan keinginan Galih untuk mengakhiri semuanya.Pagi harinya mereka terlihat bangun kesiangan. Baik Galih ataupun Aziya merasakan tubuhnya sangat letih.Merasa sudah siang, secara tidak sengaja mereka sama-sama bergegas ke kamar mandi dan bertemu tepat di pintu kamar mandi.Kebetulan Aziya lebih dulu melangkah dan sebelah kakinya sudah masuk di lantai kamar mandi."Aku duluan, pergilah ke tempatmu dulu," pinta Aziya."Kenapa begitu,
Aziya masih menatap dengan hati yang bergolak. Setidaknya inilah kata-kata yang ia ingin untuk mendengar dari pria ini, inilah yang ia inginkan selama ini. Mana mungkin ia menolak kesempatan ini?"Ka-u serius?"Galih mengangguk pasti, ia memang sedang berusaha mewujudkan semua itu, keinginan orang tuanya yang berharap ia hidup layak, memiliki istri dan anak di usianya. Bukan di dalam harapan kosong menunggu wanita yang sekarat... ia harus membuat Aziya bertahan di sisinya lalu ia akan mencintai wanita ini selamanya."Aku yakin menyukaimu, Aziya. Kau harus mengerti itu," lirihnya di telinga Aziya membuat Aziya membalas pelukan Galuh yang erat dan hangat, sehangat hatinya saat ini.Sementara itu, seorang wanita paruh baya merasa lega mendengar pembicaraan di dalam kamar putranya. Bukan sengaja menguping, tadi mereka bertengkar keras dan membuatnya begitu khawatir.Akan tetapi setelah mendengar apa yang terjadi barusan, ia justru merasa mereka dalam perkembangan yang sangat luar biasa.S
Batin Aziya mencelos, saat Galih merawat Isabella penuh perhatian. Pria itu tidak menoleh sedikitpun ke arahnya, seolah dirinya tidak pernah ada di hatinya.Iapun menjauh, menyingkir dari pemandangan yang menyesakkan dadanya itu.Padahal, mereka baru saja menikmati hari-hari yang indah, dan sekarang cobaan itu datang lagi.Di kamarnya, Aziya menangis sendirian.Apakah dia berhak untuk menangis seperti ini? Bukankah inilah kenyataan yang dulu sudah pernah ia pikirkan?"Baiklah, terserah saja, aku akan menerima saja apapun keputusanmu nantinya. Aku yakan perduli lagi," katanya pelan, berbicara pada dirinya sendiri. Iapun memeluk sebuah bantal dan menikmati tidurnya yang bahkan belum menjelang siang. Ia ingin bersikap tak perduli dengan semua yang akan dilakukan Galih saat ini, meskipun batinnya sangat sakit.Galih mencari keberadaan Aziya, akan tetapi saat melihat Aziya bergumul di tempat tidur, iapun memutuskan untuk menemani Isabella.Ia tidak mau mengganggu istrinya yang sedang isti
Galih bengong dengan ucapan ibunya. Ia tak mengerti apakah situasi ini begitu genting sehingga ibunya harus mengatakan yang demikian?"Menyesal? Apa maksud ibu sebenarnya?"Secara tidak sengaja Galih melihat ke arah atas jendela kamarnya dan melihat pantulan bayangan Aziya sedang melihatnya."Astaga, apakah maksud ibu adalah Aziya? Apa yang dikatakan wanita ini sehingga ibu sangat marah?" gumamnya."Sayang, apa yang ibu katakan? Apakah ada sesuatu yang penting?" tiba-tiba pelukan Isabella dari belakang membuat Galih terkejut.Ia masih bisa melihat Aziya memalingkan wajahnya dan pergi dari tempat tersebut.Galih bisa merasakan tatapan yang begitu tajam padanya.Tapi karena pelukan Isabella, iapun memutar tubuhnya."Isabella... kau sudah lebih baik sekarang? Ayo kita bersiap, aku akan mengantarmu pulang ke rumah orang tuamu."Isabella tersenyum."Tentu, ayo kita ke rumahku, tapi jangan katakan kalau kau sudah menikah, ya? Aku tidak mau ayah ibuku tahu saat ini, aku sangat malu karena dic
Galih termenung sendiri, suasana lengang membuat ganjalan penuh di hatinya.Ia teringat bagaimana Aziya mengatakan hendak pergi ke suatu tempat untuk berlibur dengan kedua anaknya. Tapi kemana?"Dia anggap apa aku ini? Aku suaminya, tapi bahkan dia tidak memberitahu kemana mau pergi. Ah, terserahlah, nanti juga balik sendiri. Dia pasti membutuhkan aku dan uangku, jadi aku hanya perlu menunggu saja."Lalu iapun menarik napas dalam. Iapun teringat dengan janjinya bertemu dengan Isabella di perusahaan. Ia telah berjanji untuk memberikan training untuk Isabella supaya bisa bekerja di perusahaan ayah Isabella sendiri nantinya. Ia tidak bisa menolak ayah Isabella yang meminta tolong padanya.Sementara itu Aziya sudah bersama beberapa temannya di sebuah restoran yang baru saja dirintis sahabatnya."Kau sudah memikirkannya, restoran ini nggak jauh dari perusahaan itu, apa tidak terlalu mudah baginya untuk menemukan kamu? Dan juga anak-anak... mereka juga kan harus bersekolah?""Aku mengerti,
Tangan Galih gemetaran hebat. Ia menatap penuh cemas pada layar televisi yang menampakkan jalannya kecelakaan pesawat tersebut.*** ...Dinyatakan pesawat yang membawa penumpang 287 penumpang dewasa dan sembilan penumpang anak-anak itu belum diketahui nasibnya... ***Keterangan tersebut membuatnya semakin gagap, seakan yakin bahwa Aziya dan kedua anaknya mengalami kejadian naas tersebut."Tidak mungkin! Tidak mungkin!" Galih bangkit dari duduknya dan menyambar jas miliknya. Ia harus memastikan sesuatu, ia tidak percaya akan mengalami hal ini."Galih! Kamu mau kemana?" Isabella memanggilnya, tapi pria itu tak menggubris. Ia hanya fokus dalam pikirannya yang cemas dengan kondisi Aziya dan juga Humaira.Galih menghubungi pihak bandara, untuk memastikan keberangkatan pesawat ke Malaysia pada hari ini.Akan tetapi sambungannya sangat sulit. Sepertinya pihak bandara sedang dilanda kesibukan luar biasa.Sesampainya di bandara, Galih bergegas mencari informasi. Iapun menuju sebuah kantor maska
Satu bulan berlalu, korban yang ada dalam kecelakaan pesawat tersebut belum bisa dievakuasi karena cuaca buruk. Hal itu membuat Galih seperti mayat hidup yang tidak bisa lagi tersenyum.Kesedihan itu begitu menyayat hatinya. Bahkan Isabella tidak mampu untuk mendekati atau menghiburnya.Galih cenderung dingin dan berdiam diri seperti tidak perduli dengan yang disekitarnya."Di mana kau memesan masakan ini?" tanya Galih pada asistennya. Ia merasa aroma masakan tersebut berbeda dari biasanya."Ekhem... maaf Tuan, restoran langganan kita sedang libur dalam beberapa hari, dan saya terpaksa membelinya dari restoran seberang. Jika tuan tidak suka...""Tidak, aku menyukainya. Kau bisa membelinya dari restoran itu lagi."Asisten itu langsung bernapas lega. Biasanya Galih akan sangat pemilih jika bukan dari restoran pelanggan."Baik, Tuan."Asisten itu langsung beranjak hendak pergi, tapi Galih memanggilnya."Oh ya, apa ada informasi soal korban kecelakaan pesawat itu?""Benar Tuan, beberapa