Mendengar itu, Aziya menelan ludah kasar. Rasa sakit makin menusuk di dadanya.Tidak, seharusnya dia merasa puas dan senang atas keputusan Galih untuk melepaskan dirinya. Bukankah itu yang dia maksudkan tadi?Mereka telah kembali ke Villa. Aziya dan Galih mengambil posisi tidurnya masing-masing.Galih terlihat sangat lelah dan iapun merebahkan tubuhnya di sofa. Meskipun ia sebenarnya tidak bisa memejamkan matanya saat teringat keinginan Aziya untuk pergi.Begitu juga Aziya, ia diam di dalam selimutnya tanpa bisa memejamkan matanya karena merasa terpukul dengan keinginan Galih untuk mengakhiri semuanya.Pagi harinya mereka terlihat bangun kesiangan. Baik Galih ataupun Aziya merasakan tubuhnya sangat letih.Merasa sudah siang, secara tidak sengaja mereka sama-sama bergegas ke kamar mandi dan bertemu tepat di pintu kamar mandi.Kebetulan Aziya lebih dulu melangkah dan sebelah kakinya sudah masuk di lantai kamar mandi."Aku duluan, pergilah ke tempatmu dulu," pinta Aziya."Kenapa begitu,
Aziya masih menatap dengan hati yang bergolak. Setidaknya inilah kata-kata yang ia ingin untuk mendengar dari pria ini, inilah yang ia inginkan selama ini. Mana mungkin ia menolak kesempatan ini?"Ka-u serius?"Galih mengangguk pasti, ia memang sedang berusaha mewujudkan semua itu, keinginan orang tuanya yang berharap ia hidup layak, memiliki istri dan anak di usianya. Bukan di dalam harapan kosong menunggu wanita yang sekarat... ia harus membuat Aziya bertahan di sisinya lalu ia akan mencintai wanita ini selamanya."Aku yakin menyukaimu, Aziya. Kau harus mengerti itu," lirihnya di telinga Aziya membuat Aziya membalas pelukan Galuh yang erat dan hangat, sehangat hatinya saat ini.Sementara itu, seorang wanita paruh baya merasa lega mendengar pembicaraan di dalam kamar putranya. Bukan sengaja menguping, tadi mereka bertengkar keras dan membuatnya begitu khawatir.Akan tetapi setelah mendengar apa yang terjadi barusan, ia justru merasa mereka dalam perkembangan yang sangat luar biasa.S
Batin Aziya mencelos, saat Galih merawat Isabella penuh perhatian. Pria itu tidak menoleh sedikitpun ke arahnya, seolah dirinya tidak pernah ada di hatinya.Iapun menjauh, menyingkir dari pemandangan yang menyesakkan dadanya itu.Padahal, mereka baru saja menikmati hari-hari yang indah, dan sekarang cobaan itu datang lagi.Di kamarnya, Aziya menangis sendirian.Apakah dia berhak untuk menangis seperti ini? Bukankah inilah kenyataan yang dulu sudah pernah ia pikirkan?"Baiklah, terserah saja, aku akan menerima saja apapun keputusanmu nantinya. Aku yakan perduli lagi," katanya pelan, berbicara pada dirinya sendiri. Iapun memeluk sebuah bantal dan menikmati tidurnya yang bahkan belum menjelang siang. Ia ingin bersikap tak perduli dengan semua yang akan dilakukan Galih saat ini, meskipun batinnya sangat sakit.Galih mencari keberadaan Aziya, akan tetapi saat melihat Aziya bergumul di tempat tidur, iapun memutuskan untuk menemani Isabella.Ia tidak mau mengganggu istrinya yang sedang isti
Galih bengong dengan ucapan ibunya. Ia tak mengerti apakah situasi ini begitu genting sehingga ibunya harus mengatakan yang demikian?"Menyesal? Apa maksud ibu sebenarnya?"Secara tidak sengaja Galih melihat ke arah atas jendela kamarnya dan melihat pantulan bayangan Aziya sedang melihatnya."Astaga, apakah maksud ibu adalah Aziya? Apa yang dikatakan wanita ini sehingga ibu sangat marah?" gumamnya."Sayang, apa yang ibu katakan? Apakah ada sesuatu yang penting?" tiba-tiba pelukan Isabella dari belakang membuat Galih terkejut.Ia masih bisa melihat Aziya memalingkan wajahnya dan pergi dari tempat tersebut.Galih bisa merasakan tatapan yang begitu tajam padanya.Tapi karena pelukan Isabella, iapun memutar tubuhnya."Isabella... kau sudah lebih baik sekarang? Ayo kita bersiap, aku akan mengantarmu pulang ke rumah orang tuamu."Isabella tersenyum."Tentu, ayo kita ke rumahku, tapi jangan katakan kalau kau sudah menikah, ya? Aku tidak mau ayah ibuku tahu saat ini, aku sangat malu karena dic
Galih termenung sendiri, suasana lengang membuat ganjalan penuh di hatinya.Ia teringat bagaimana Aziya mengatakan hendak pergi ke suatu tempat untuk berlibur dengan kedua anaknya. Tapi kemana?"Dia anggap apa aku ini? Aku suaminya, tapi bahkan dia tidak memberitahu kemana mau pergi. Ah, terserahlah, nanti juga balik sendiri. Dia pasti membutuhkan aku dan uangku, jadi aku hanya perlu menunggu saja."Lalu iapun menarik napas dalam. Iapun teringat dengan janjinya bertemu dengan Isabella di perusahaan. Ia telah berjanji untuk memberikan training untuk Isabella supaya bisa bekerja di perusahaan ayah Isabella sendiri nantinya. Ia tidak bisa menolak ayah Isabella yang meminta tolong padanya.Sementara itu Aziya sudah bersama beberapa temannya di sebuah restoran yang baru saja dirintis sahabatnya."Kau sudah memikirkannya, restoran ini nggak jauh dari perusahaan itu, apa tidak terlalu mudah baginya untuk menemukan kamu? Dan juga anak-anak... mereka juga kan harus bersekolah?""Aku mengerti,
Tangan Galih gemetaran hebat. Ia menatap penuh cemas pada layar televisi yang menampakkan jalannya kecelakaan pesawat tersebut.*** ...Dinyatakan pesawat yang membawa penumpang 287 penumpang dewasa dan sembilan penumpang anak-anak itu belum diketahui nasibnya... ***Keterangan tersebut membuatnya semakin gagap, seakan yakin bahwa Aziya dan kedua anaknya mengalami kejadian naas tersebut."Tidak mungkin! Tidak mungkin!" Galih bangkit dari duduknya dan menyambar jas miliknya. Ia harus memastikan sesuatu, ia tidak percaya akan mengalami hal ini."Galih! Kamu mau kemana?" Isabella memanggilnya, tapi pria itu tak menggubris. Ia hanya fokus dalam pikirannya yang cemas dengan kondisi Aziya dan juga Humaira.Galih menghubungi pihak bandara, untuk memastikan keberangkatan pesawat ke Malaysia pada hari ini.Akan tetapi sambungannya sangat sulit. Sepertinya pihak bandara sedang dilanda kesibukan luar biasa.Sesampainya di bandara, Galih bergegas mencari informasi. Iapun menuju sebuah kantor maska
Satu bulan berlalu, korban yang ada dalam kecelakaan pesawat tersebut belum bisa dievakuasi karena cuaca buruk. Hal itu membuat Galih seperti mayat hidup yang tidak bisa lagi tersenyum.Kesedihan itu begitu menyayat hatinya. Bahkan Isabella tidak mampu untuk mendekati atau menghiburnya.Galih cenderung dingin dan berdiam diri seperti tidak perduli dengan yang disekitarnya."Di mana kau memesan masakan ini?" tanya Galih pada asistennya. Ia merasa aroma masakan tersebut berbeda dari biasanya."Ekhem... maaf Tuan, restoran langganan kita sedang libur dalam beberapa hari, dan saya terpaksa membelinya dari restoran seberang. Jika tuan tidak suka...""Tidak, aku menyukainya. Kau bisa membelinya dari restoran itu lagi."Asisten itu langsung bernapas lega. Biasanya Galih akan sangat pemilih jika bukan dari restoran pelanggan."Baik, Tuan."Asisten itu langsung beranjak hendak pergi, tapi Galih memanggilnya."Oh ya, apa ada informasi soal korban kecelakaan pesawat itu?""Benar Tuan, beberapa
Keesokan harinya, Aziya tidak bisa terbangun dan hanya meringkuk di tempat tidur. Rasanya lemah dan membuatnya ingin bermalas-malasan.Saat melihat Via datang dengan berbagai macam bahan makanan, ia beranjak dengan sangat malas."Kau kenapa? Kalau kurang enak badan, cepat sana beli obat. Kau bisa ke dokter dan meminta resep obat.""Iya Vi, rencananya aku memang mau ke dokter siang ini, tapi setelah memasak pesanan pelanggan.""Nggak perlu, Zi. Kau bisa pergi ke dokter dan beristirahat. Biar aku yang menyelesaikan."Aziya merasa tak enak kalau harus meninggalkan pekerjaan, tapi tidak ada pilihan lain karena tubuhnya memang lemah. Iapun beranjak ke meja kerja untuk melihat list pesanan hari ini. Setidaknya ia akan membantu Via sedikit pekerjaan itu dengan merapikannya.Ia terkejut kemudian setelah membaca semua list pesanan ternyata ada nama Galih purnama di sana."Galih... dia memesan ayam kecap? Dia sungguh tak berubah...," gumamnya. Ia teringat dengan seleranya saat ini, ia sungguh t
"SELAMAT DATANG.... SELAMAT MALAAAMMM!"Suara riuh mengejutkan Aziya luar biasa. Bahkan suara keras dan teriakan itu secara bersamaan semua yang ada di situ.Aziya terpaku dalam keterkejutan.Ia melihat semua orang ada di sana. Ada kedua orang tuanya, ada juga kedua orang tua Galih dan juga Guntur dan Celine.Begitu juga Deo dan istrinya juga bibi Elena.Sementara ketiga anaknya terbaring di dalam ranjang kecil di sudut ruangan. Mereka seperti baru saja berpesta karena banyak sekali bekas makanan dan camilan di beberapa meja hidangan. Tentu saja semua ini membuat Aziya menitikkan air matanya.Iapun melempar tas miliknya secara asal dan menghambur memeluk kedua orang tuanya sambil menangis haru.Ia juga memeluk kedua orang tua Galih dengan deraian air mata juga.Haru dan juga rasa rindu membuatnya ingin menangis sejadi-jadinya. Dan akhirnya iapun menyalami Guntur dan memeluk Celine sebagai ungkapan betapa bahagianya ia saat ini bisa bertemu kembali dengan orang-orang yang ia sayangi.
Aziya memutar kepalanya, menatap ke arah pria yang terkonsentrasi dalam mengemudi. Jalanan memang lengang, tapi ada beberapa lubang yang dalam perbaikan sehingga butuh konsentrasi."Kecuali?""Kecuali kau yang meminta perceraian terjadi.""Apakah Azga adalah tujuanmu untuk mengatakan semua ini? Untuk mengambilnya dariku?" sergah Aziya panik."Aziya, apa aku sekejam itu padamu?" jawab Galih bersamaan dengan gerakan lambat mobil tersebut dan roda yang berdecit tiba-tiba."Jawablah, apakah aku berharap perpisahan? Berapa kali aku mengatakannya? Aku selalu bilang bahwa kau harus kembali, tidak akan ada pertanyaan menjijikkan seperti itu, Aziya!""Tapi...""Jika kau mencintai Azga, kau juga tidak bisa memisahkan dia dariku."Aziya lagi-lagi kalah telak dengan ucapan Galih. Apakah hatinya telah meleleh bahkan di tengah malam yang dingin ini?Tiba-tiba secara tidak langsung kehadiran Galih membuatnya merasa hangat, membuatnya merasa hidup.Ia bisa merasakan detak jantungnya yang mulai bersem
"Mana kutahu, sejak tadi cuma sambutan tapi belum juga kelihatan siapa orangnya," balas Aziya.Galih hanya tersenyum dan melihat ke arah podium. Acara sambutan masih dilangsungkan, dan iapun harus bersikap lebih terhormat karena sambutan itu memang untuk dirinya.Pembicaraan terputus setelah sebuah nama disebutkan."Mari kita perkenalan direktur muda baru kita malam ini. Beliau adalah Bapak Galih Purnama yang berasal dari Jakarta... mohon kehadirannya di podium...."Aziya yang mendengar hal itu langsung membelalakkan saking terkejut."Ka-kau...""Demi putraku, aku akan disini untuk kalian, Aziya," bisik Galih pada Aziya sejenak sebelum pria itu pergi menuju podium.Aziya masih gagap tak percaya. Bagaimana mungkin Galih mengatakannya. Bagaimana mungkin dia harus menjadi bawahan Galih untuk yang kedua kalinya."Oh tidak, apakah ini cuma mimpi?" gumamnya.###Setelah berlalu acara penyambutan tersebut Aziya masih belum bisa percaya. Ia telah terperangkap sekuat ini dalam kehidupan Galih
Arkan hanya memandang wanita itu tergesa berlari ke ruangannya, sementara itu Galih memandang dari sudut tersembunyi di dalam ruangan itu juga.Arkan menghampiri Galih."Kau harus berterimakasih kepadaku setelah ini," katanya memberikan ultimatum."Ah, bilang saja kamu nggak bakal memenangkan kompetisi ini, sehingga kau menyerahkan kekalahan mu sebelum memulai.""Jangan gila, kau punya anak darinya, aku tidak akan membuatnya semakin menderita hanya karena kalian berebut anak. Soal perasaan Aziya, apa kau mau coba aku merayunya?"Galih langsung mendelik, "Jangan coba-coba! Jangan pernah!"Arkan hanya nyengir melihat Galih ketakutan. Ia tak menyangka, lelaki yang terkenal wibawa dan piawai dalam bisnisnya ini hanya jatuh karena Aziya.Tuan Alfonso sangat mengakui kehebatan Galih sehingga ketika mereka membuat rencana menempatkan Galih di salah satu posisi perusahaan tersebut, pria tua itu samasekali tidak menolak. Itu karena kehebatan Galih memang tidak diragukan.Akan tetapi saat disen
"Aku sungguh tak mengerti apa yang kau pikirkan, memangnya aku bisa apa?""Tentu saja kau sangat bisa. Kau bahkan lebih baik dariku sekarang ini, aku bisa mengandalkan kamu tanpa ragu lagi, bukankah begitu?" kata Galih.Barulah Guntur mengerti bahwa Galih bermaksud menyerahkan tanggung jawab perusahaan kepadanya. Dan itu bukan masalah ringan karena semua akan mengalami kendala tanpa kehadiran Galih."Apa kau gila? Demi perempuan itu?""Hei, ayolah, demi aku, ya?""Tidak, aku juga punya tanggung jawab lebih besar sekarang ini, istriku sedang hamil, aku tidak mau membuatnya menderita karena sibuk dengan pekerjaan," ujarnya seolah menolak mentah-mentah kemauan Galih."Ayolah, aku tidak akan melupakan kebaikanmu, Hmm? Kau harus melakukannya demi kita bersama, oke?""Tidak mau, aku tidak yakin untuk kepentingan bersama, apalagi yang lebih penting sekarang adalah Celine, aku tidak perduli padamu," ejek Guntur semakin membuat Galih kesal.Akan tetapi akhirnya Guntur tidak bisa mengelak karen
Putranya itu makin tersenyum aneh. Raut wajahnya menyimpan sesuatu yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Bahagia, haru dan entah apalagi yang membuat ayah ibunya penasaran. "Apa yang sebenarnya kau dapatkan di sana? Kau seperti kesurupan," kata ayahnya mengomentari sikap aneh putranya."Iya, ini juga merasa aneh dengan tingkahmu. Ada apa sih sebenarnya?"Lagi Galih tersenyum, menunjukkan sikap senang dan bahagia."Anak Aziya... namanya Azga, anak itu sangat mirip denganku, wajahnya... matanya... rambutnya...""Tunggu, kau bicara apa? Apa kaitannya dengan wajah anak Aziya dengan kemiripannya denganmu?" sang Ayah mulai punya firasat sesuatu.Begitu juga ibunya yang terlihat kebingungan dan menautkan alisnya."Apa maksudmu? Apa kalian tidak sekedar punya kemiripan? Astaga, apakah itu mungkin?" kata sang ibu terkejut sendiri.Galih mengangguk menunjukkan ucapan kedua orang tuanya benar, dugaan mereka benar meskipun itu hanya sekedar pengakuan Aziya."Dia tidak menikah atau menjal
"Tidak, aku tidak setuju, kau bisa saja menganggap itu bukan masalah. Akan tetapi bagaimana bisa seorang anak lahir tanpa sebuah ikatan pernikahan? Setidaknya suatu hari sang anak harus tahu bagaimana rupa ayah yang sebenarnya. Aku ingin kau melakukan test DNA untuk memastikannya."Galih merenungi ucapan Leo. Mungkin ada baiknya ia melakukannya, memastikan apakah itu darah dagingnya atau bukan, meskipun itu semua tidak akan mengubah segalanya. ###Keesokan harinya Galih menemui Aziya.Ia sangat penasaran dan sangat berharap Aziya memberikan kesempatan untuknya bersama lagi apapun yang terjadi."Aziya... jelaskan padaku, kenapa kamu melakukan semua ini sehingga kau menghadapinya seorang diri semuanya. Aku ingin kau tahu bahwa semua ini begitu sulit bagiku," tanya pria itu sementara Aziya duduk di hadapannya dengan tertunduk.Aziya pun tahu, semua itu sulit bagi semuanya, untuknya juga. Akan tetapi waktu tidak mungkin terulang kembali. Apapun yang Galih ucapkan untuk menyalahkan diriny
Mata Galih membola, setelah mencerna apa yang baru saja ia dengar dari penjelasan Aziya."Maksudmu... kau tidak menikah tapi memiliki anak?""Uhm... maaf, itu...""Tunggu, katakan padaku, Aziya!" Aziya membeku, keringatnya sudah menetes di tengkuknya. Telapak tangannya mengeluarkan keringat dingin karena cemas.Sementara itu tangan Galih mencengkram pundak Aziya menuntut penjelasan. Akan tetapi wanita itu diam seribu bahasa."Ada apa denganmu? Kenapa kamu diam?"Ketegangan terlihat diantara mereka sehingga Azga melihat mereka dengan ketakutan. Bocah itu menangis dan merengek menyaksikan Aziya dibentak sedikit kasar.Galih menoleh, melihat ke arah bocah yang menangis itu sementara hatinya bercampur aduk tak menentu. Ia menatap atas pola wajah bocah itu dan tatapan matanya, seolah mengenali garis wajahnya berada di sana.Aziya menangis, lalu iapun melepaskan diri dari Galih, ia merasa sangat sedih saat ini, akan tetapi iapun merasa lega karena Galih telah tahu maksud dan arah pembicar
Seolah Galih bisa tahu apa yang dirasakan wanita itu. Pria itu seperti tidak pernah putus asa untuk mengejarnya. Aziya bisa merasakan, meskipun Galuh berusaha bersikap hormat untuk menghargainya sebagai istri orang lain, Aziya bisa merasakan betapa Galih mencintainya."Kenapa kau berkata begitu?" jawab Aziya lemah."Karena aku melihat kamu tidak bahagia, Aziya. Jujur, aku merasa sakit dan tidak adil, aku tidak bisa melepaskan begitu saja jika kau seperti ini," kata Galih kemudian."Sama sepertiku, aku tidak bisa mencintai wanita lain setelah berpisah denganmu, dan maafkan aku karena terpaksa mengatakan semua ini, tapi itulah yang terjadi. Aku datang bukan karena tanpa tujuan... itu semua karena aku belum bisa melepaskan kamu bersama orang lain."Aziya tercenung dalam pikirannya yang kalut. Ia berfikir Galih telah bahagia bersama Isabella. Ya, ia pergi dengan hati yang perih di malam itu karena rasa cemburunya yang tak tertahankan. Ia merasa tidak percaya diri dan direndahkan oleh suam