“Jujur, aku nggak mau Dalvin datang ke acara pernikahan kita.”
Sudah setengah jam lebih pasangan itu berdiskusi di apartemen pribadi nan minimalis milik si perempuan. Airin awalnya berniat membahas soal desain undangan pernikahan serta bahan jenis apa yang cocok dengan tema pernikahan mereka di outdoor. Namun, malah sampai berdebat ke mengundang tamu, salah satunya Dalvin.
Mereka berdua duduk berhadapan di ranjang. Saling menatap dengan emosi serta ekspresi wajah yang cukup bentrok. Airin kebingungan, karena Arsen tidak mau mengutarakan mengapa dia enggan Dalvin datang; Arsen menahan diri, karena tidak mau Airin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mau bagaimana pun, Arsen juga sudah berjanji pada Biya untuk tidak memberitahukan aibnya pada orang lain.
Arsen sendiri tidak mungkin mengumbar-ngumbar sesuatu yang jelek
“Cewek lo sudah pulang?”Gama menoleh ke arah Celine. Kakak perempuannya itu berdiri di ambang pintu ruang tamu, melipat kedua tangan, dan mengawasi Gama dengan sorot yang sulit dijelaskan. Gama menutup pintu rumah—dia baru saja mengantar Biya yang dijemput oleh Arsen di depan.Gama menganggukkan kepala pelan. “Iya, dia sudah pulang dijemput Kakaknya. Kenapa, Ce?”“Can we talk a bit?”Mereka masuk ke dalam kamar Celine. Kamar perempuan itu beraroma wangi; didominasi aroma bunga acacia bercampur sedikit aroma buah plum segar. Ada sepercik aroma vanilla ketika benar-benar diendus dengan hati hati. Kamarnya tertata sangat rapi dan detil—selama sepuluh tahun, tata letaknya selalu sama. Tak ada perubahan selain sprei yang diganti rutin seminggu sekali.Mereka duduk berhadapan di atas ranjang Celine. Melipat kedua kaki rapi.Kening Gama berkerut samar saat menunggu Celine membuka mulut. Tampak ada ketidaksenangan serta sedikit keraguan tersirat pada ekspresi serta sorot mata perempuan itu.
Dalvin tak pernah berencana membeberkan seluruh pengalaman masa lalu; asam garam yang sudah dia lalui selama hidup pada seorang perempuan bernama Biya. Perempuan yang awalnya dia anggap sebagai salah satu pegawai bawahan super pembawa sial, menyebalkan, tidak becus melakukan apapun, dan selalu membuatnya mendapat masalah di mana pun dan kapan pun.Dalvin menggaruk tengkuk ketika berada di kamar hotel; menyewa jasa salah satu pekerja seks komersil daerah ibu kota yang tarifnya cukup menguras dompet. Dalvin duduk di sisi ranjang saat perempuan bernama Zelia itu memeluk dari belakang—bersikap genit usai melepas sebagian pakaian yang melekat pada permukaan tubuh sintalnya.“Kamu mau sekarang atau nunggu aku mandi dulu?” tanya Zelia. Perempuan itu bergelayut pada lengan berotot Dalvin; sengaja menempelkan buah dadanya agar Dalvin bergairah lalu &ls
[Gama: Ce, nanti malam mau nonton di mall? Or we can watch anime or any movies at your place if you want to loll][Biya: Sure :DBiya: Boleh nonton di tempat gue][Gama: Haha okay. I’ll bring some snacks. I love youu]Biya tak berniat berlama-lama di perusahaan setelah menyelesaikan seluruh pekerjaannya. Toh, sudah ada janji dengan Gama untuk menonton film bersama. Biya ingin menebus seluruh kesalahan yang ada, supaya rantai lingkaran dosa yang sudah berbulan-bulan berlangsung bisa segera musnah. Biya tak mau menyakiti siapapun setelah ini, apalagi keluarga dan Gama, yang bersedia memberinya kesempatan untuk kesekian kali.Sayang, niat Biya terpaksa dibatalkan saat sepuluh menit sebelum jam pulang, Dalvin datang ke mejanya. Semua itu jelas disaksikan oleh semua pegawai dalam ruangan departemennya. Dalvin dengan wajah datar bak atasan yang asing, bicara dengan kalem, “Setelah ini saya mau bicara. Jangan pulang dulu, Biya.”Biya dalam hati jelas menjerit penuh keterkejutan dan tidak men
“LO MEMILIH RESIGN?” Mataku membelalak usai menerima panggilan telepon dadakan dari Maya. Semesta mengejutkanku dua kali hari ini tanpa henti. Tadi, Pak Dalvin membuat darahku mendidih; sekarang, Maya membuatku memijit pelipis tak percaya. Aku baru sampai di lobby apartemen dan suaraku cukup menggema hingga menarik perhatian beberapa orang di sana. Aku meringis malu kemudian buru-buru masuk ke dalam lift; menuju ke kamar agar bisa lebih leluasa bicara dengan Maya. “Kenapa? Apa keadaan mama lo memburuk?” [“Hmm, I don’t know,”] jawab Maya. Suara paraunya menunjukkan bahwa dia terlalu banyak menangis sejak kemarin. Aku duduk di meja makan. Kedua alisku bertaut jelas, bibirku sedikit mengerucut, karena bisa membayangkan beratnya perasaan Maya saat ini. [“Gue nggak mau gue nggak ada di sisi Mama saat terjadi sesuatu yang buruk. Gue nggak berharap, tapi gue sebagai anak … gue merasa percuma kerja banting tulang kalau mama nggak ada lagi. Gue kerja buat nyenengin mama, bukan buat diri gue
“Kamu mau resign?”Hari ini, aku menemui Pak Dalvin secara personal usai jam kerja berakhir. Tak ada siapapun di dalam ruang kerja selain kami. Aku menganggukkan kepala mantap saat berdiri di depan meja kerjanya dan menatap amplop cokelat berisi surat pengunduran diriku—one month notice sesuai kebijakan perusahaan. Apa yang perlu kuragukan lagi? Apa pula yang perlu kutunggu? Aku tidak mau rasa bimbang, atau lebih tepatnya naif, mempengaruhiku lagi membuat keputusan.“Really?” terdengar kedongkolan dalam nada bicaranya. Pak Dalvin mengudarakan tawa sarkastik tanpa mengalihkan pandang dariku; seolah memberi tahu bahwa dia masih tidak percaya atas keputusanku yang dianggap konyol. “Kenapa? Kenapa tiba-tiba kamu mengundurkan diri? Saya ada salah? Apa karena saya menuntut kamu untuk tetap menjalin friends with benefits dengan saya?”“Ini one month notice, sesuai kebijakan perusahaan,” tuturku lugas. Menegapkan dada tanpa menurunkan pandang. Mengambil keputusan berani yang paling benar. “Sa
[Airin: Gue ke rumah lo. Mau antar undangan.][Airin: Lo jangan marah..]Dalvin berdecak usai mengudarakan tawa sarkastik. Bukankah waktu itu Dalvin sudah marah-marah dengan cukup kasar pada sepupu perempuannya? Kenapa Airin masih berani mampir di saat Dalvin sudah menunjukkan bahwa dia enggan memiliki kontak apapun lagi? Keluarga … Dalvin merasa tidak memiliki itu sejak dulu.Baik keluarga kecil maupun keluarga besar.Memang ada yang bisa mengerti? Orang tuanya saja tidak pernah bisa, apalagi orang lain. Airin pun selalu menggampangkan perasaan orang lain—itu yang tampak dari sudut pandang Dalvin. Dalvin menghembuskan napas panjang. Kini dia berdiri berhadapan dengan Airin yang benar-benar datang ke rumahnya. Perempuan setinggi seratus enam puluh sentimeter itu mendongakkan kepala; terpancar ketakutan dan kecemasan dari sorot matanya.Mereka berdua berada di teras rumah si lelaki. Dalvin sendiri tak repot berdiri tegak. Dia menyandarkan bahu pada ambang pintu; ingin segera masuk ke r
Celine menyipitkan mata tak bersahabat saat melihat Gama selalu menempel pada mama. Bukan apa, tapi Celine yakin Gama menyembunyikan rahasia ‘gelap’ dan berusaha menghindar—takut Celine mengetahui suatu kebenaran yang tak seharusnya terungkap.Gama selalu saja menemukan alasan ataupun kegiatan agar mereka tidak bicara empat mata. Celine tidak menyukai itu. Celine pasti sudah menjelaskan alasannya; enggan anggota keluarga, terutama mama, terciprat dampak apabila putra semata wayang serta kesayangannya patah hati.‘Nggak pernah pacaran, tapi sekalinya deket sama cewek … eh, ceweknya benar-benar sus alias mencurigakan. Hati gue sama sekali nggak tenang.’Minggu pagi mereka habiskan untuk sarapan sebelum pergi ke gereja bersama. Gama mengemudikan mobil; mama duduk di kursi penumpang bagian depan tepat di samping Gama; Celine duduk di belakang. Sedari tadi, Celine rasanya sangat sebal sampai bingung harus diucapkan seperti apa. Saking sebalnya. Perempuan cantik bermata sipit itu pun enggan
Sebenarnya, hidup ini tentang apa? Seminggu berlalu setelah Biya memberikan surat pengunduran diri pada Dalvin dan HRD menyetujui hal tersebut. Beberapa pegawai sedepartemen sedikit heboh saat tahu Biya tidak akan menjadi bagian dari perusahaan lagi. Bahkan sempat ada yang bertanya, “Mbak Biya, mau kasih makanan perpisahan apa nih buat hari terakhir nanti?” Biya masih sering bertukar kabar dengan Maya, menanyakan kabar si perempuan beserta keluarganya. Maya bercerita kondisi ibunya membaik, namun belum tahu kapan bisa kembali ke ibu kota dan berencana mencari pekerjaan di perusahaan lain. Biya sendiri pun sudah sering berdiskusi dengan Maya mengenai perusahaan yang setidaknya memiliki lebih banyak ‘green flag’ alias benefit dibanding perusahaan yang mempekerjakan pegawainya sebagai sapi perah sampai kurus kering. Dan yang pasti, lingkungan yang jauh lebih sehat. “Mbak.” Biya mendongak ketika menemukan Nara, salah satu junior di departemennya, datang menghampiri saat jam istirahat ti