[Airin: Gue ke rumah lo. Mau antar undangan.][Airin: Lo jangan marah..]Dalvin berdecak usai mengudarakan tawa sarkastik. Bukankah waktu itu Dalvin sudah marah-marah dengan cukup kasar pada sepupu perempuannya? Kenapa Airin masih berani mampir di saat Dalvin sudah menunjukkan bahwa dia enggan memiliki kontak apapun lagi? Keluarga … Dalvin merasa tidak memiliki itu sejak dulu.Baik keluarga kecil maupun keluarga besar.Memang ada yang bisa mengerti? Orang tuanya saja tidak pernah bisa, apalagi orang lain. Airin pun selalu menggampangkan perasaan orang lain—itu yang tampak dari sudut pandang Dalvin. Dalvin menghembuskan napas panjang. Kini dia berdiri berhadapan dengan Airin yang benar-benar datang ke rumahnya. Perempuan setinggi seratus enam puluh sentimeter itu mendongakkan kepala; terpancar ketakutan dan kecemasan dari sorot matanya.Mereka berdua berada di teras rumah si lelaki. Dalvin sendiri tak repot berdiri tegak. Dia menyandarkan bahu pada ambang pintu; ingin segera masuk ke r
Celine menyipitkan mata tak bersahabat saat melihat Gama selalu menempel pada mama. Bukan apa, tapi Celine yakin Gama menyembunyikan rahasia ‘gelap’ dan berusaha menghindar—takut Celine mengetahui suatu kebenaran yang tak seharusnya terungkap.Gama selalu saja menemukan alasan ataupun kegiatan agar mereka tidak bicara empat mata. Celine tidak menyukai itu. Celine pasti sudah menjelaskan alasannya; enggan anggota keluarga, terutama mama, terciprat dampak apabila putra semata wayang serta kesayangannya patah hati.‘Nggak pernah pacaran, tapi sekalinya deket sama cewek … eh, ceweknya benar-benar sus alias mencurigakan. Hati gue sama sekali nggak tenang.’Minggu pagi mereka habiskan untuk sarapan sebelum pergi ke gereja bersama. Gama mengemudikan mobil; mama duduk di kursi penumpang bagian depan tepat di samping Gama; Celine duduk di belakang. Sedari tadi, Celine rasanya sangat sebal sampai bingung harus diucapkan seperti apa. Saking sebalnya. Perempuan cantik bermata sipit itu pun enggan
Sebenarnya, hidup ini tentang apa? Seminggu berlalu setelah Biya memberikan surat pengunduran diri pada Dalvin dan HRD menyetujui hal tersebut. Beberapa pegawai sedepartemen sedikit heboh saat tahu Biya tidak akan menjadi bagian dari perusahaan lagi. Bahkan sempat ada yang bertanya, “Mbak Biya, mau kasih makanan perpisahan apa nih buat hari terakhir nanti?” Biya masih sering bertukar kabar dengan Maya, menanyakan kabar si perempuan beserta keluarganya. Maya bercerita kondisi ibunya membaik, namun belum tahu kapan bisa kembali ke ibu kota dan berencana mencari pekerjaan di perusahaan lain. Biya sendiri pun sudah sering berdiskusi dengan Maya mengenai perusahaan yang setidaknya memiliki lebih banyak ‘green flag’ alias benefit dibanding perusahaan yang mempekerjakan pegawainya sebagai sapi perah sampai kurus kering. Dan yang pasti, lingkungan yang jauh lebih sehat. “Mbak.” Biya mendongak ketika menemukan Nara, salah satu junior di departemennya, datang menghampiri saat jam istirahat ti
Biya mengurungkan niat untuk memberitahukan keberadaannya pada Gama, karena takut si lelaki overthinking dan memikirkan hal negatif apabila tahu Biya mengambil barang di rumah Dalvin. Iya, lah, siapa yang tidak akan berpikir ‘aneh aneh’ apabila Biya mengatakan dia mengambil baju di rumah Dalvin? Itu jelas saja bunuh diri, karena secara tidak langsung memberi ‘hint’ bahwa dia pernah menginap di sana beberapa kali.Biya meringis saat melihat banyak pakaiannya sudah dilipat rapi dan peralatan sehari-hari sudah ditata sedemikian rupa dalam kardus berukuran sedang yang memiliki lubang pegangan. ‘Barang gue ternyata lumayan banyak ya.’ Biya mengatupkan bibir rapat saat melihat pakaian dalamnya juga tertata rapi di atas tumpukan pakaian.Hujan deras masih turun tanpa ada tanda-tanda berhenti. Biya tak berniat berlama-lama di rumah D
05.15Maya bersumpah, dia kembali ke ibu kota tanpa memberitahu Biya, sebab ingin memberi kejutan sekaligus memberi oleh-oleh. Dia berencana ingin membawa baju-baju di apartemen pulang ke kota kelahirannya, karena akan menetap di rumah bersama ibu yang belum membaik. Namun, saat menyeret koper masuk ke dalam apartemen—Maya shock luar biasa melihat banyak pakaian berserakan di lantai ruang tengah.Selain itu, ada kantong plastik berisikan beberapa kotak kondom yang berserakan keluar di atas meja.Selama beberapa detik Maya membeku di ruang tengah dengan tubuh panas dingin. Berusaha mencerna semua yang didapati kedua mata telanjangnya. Jantung Maya berdegup kencang seperti baru saja mendapat sebuah bencana, mendapati seseorang berselingkuh.Langit ibu kota belum sepenuhnya cerah dan Maya yakin dia tidak bermimpi meski dia berharap begitu.Sedetik kemudian, pintu kamar Biya terbuka … memperlihatkan sosok Dalvin melangkah keluar dari sana tanpa mengenakan busana bagian atas. Manik mereka
Aku menarik napas sedalam mungkin ketika memarkirkan sepeda motor di tempat parkir perusahaan. Setelah Maya menegurku dan ruang tengah apartemen yang menjadi saksi bisu dari derasnya air mata kami; Maya tidak keluar dari kamarnya ketika aku mencoba bicara dengannya dan bahkan memohon-mohon. Meminta maaf, karena sudah mengecewakan serta membuatnya marah besar. Aku tahu dia marah, karena Gama adalah salah satu teman dekatnya. Sepanjang mandi, berbenah, sampai perjalanan menuju ke perusahaan pun air mataku tidak bisa berhenti jatuh. Maya memang menyuruhku pulang ke rumah untuk merenungi semua perbuatanku. Tapi, mana bisa aku merenung—menangis tersedu-sedu di rumah saat hari kerja? Semua tindakanku akan memicu pertanyaan dari ayah serta kakakku. Dan aku sama sekali tidak bisa melupakan wajah Pak Dalvin ketika Maya mengusirnya dengan begitu kasar. Aku melepas helm, meletakkannya di atas tempat duduk sepeda motor, lalu memastikan make up di sekitar mata tidak luntur akibat air mata. Melal
“It hurts to know that you will never look at me the way I look at you.” -N. V.-***Gama itu merupakan lelaki tulus yang sedari kecil dididik untuk menghargai perempuan manapun tak peduli mengenai status sosial maupun ekonomi mereka. Ditambah lagi, mama pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan membesarkannya seorang diri sebagai single mother. Gama tahu betapa menderitanya sosok ibu yang membesarkannya—bekerja, melakukan pekerjaan rumah, sekaligus mengurus anak. Maka dari itu, Gama tidak pernah berani menyakiti perempuan, sebab tidak ingin keluarganya mendapatkan karma buruk atas perbuatannya.Gama tidak menghidupi gaya hidup hedonis yang hanya fokus mencari kesenangan dan kepuasan duniawi super fana. Semasa sekolah hingga kuliah, kegiatan Gama dari Senin hingga Sabtu adalah belajar, berorganisasi, mencetak sederet prestasi, mengharumkan nama sekolah, setelah itu pulang menghabiskan waktu dengan keluarga. Gama tak pernah mengidahkan ajakan para siswa, meski itu adalah sahaba
[Gama: Ce Biya. Sorry. I don’t want to meet you anymore.Gama: Plan selama bulan ini di cancel aja.]Gama sudah enggan berekspektasi lebih jauh—semuanya sudah hilang ditebas realita tanpa ampun dan membuktikan bahwa firasat Celine benar adanya. Meski hatinya tidak baik-baik saja, tapi dunia tetap menuntut agar dia bekerja semaksimal mungkin. Gama tidak absen; memilih menghabiskan waktu bersama beberapa kolega sehabis kerja guna mengalihkan pikiran dari Biya yang sudah mematahkan hatinya.Gama hanya datang ke perusahaan saat ada proses rekrutmen, namun dia sangat menghindari Biya yang menuntut penjelasan. Meminta jawaban mengenai kenapa mereka tidak bisa bertemu lagi. Gama juga meminta maaf pada Arsen, karena tidak akan main ke rumah untuk sekadar mengobrol atau menjalin hubungan intens seperti layaknya sahabat. Gama ingin menghindari semua hal tentang Biya setelah melihat mama dan kakaknya yang ikut menangis.Gama berusaha berdamai dengan diri sendiri sesudah meminta maaf pada mama ket