Biya mengurungkan niat untuk memberitahukan keberadaannya pada Gama, karena takut si lelaki overthinking dan memikirkan hal negatif apabila tahu Biya mengambil barang di rumah Dalvin. Iya, lah, siapa yang tidak akan berpikir ‘aneh aneh’ apabila Biya mengatakan dia mengambil baju di rumah Dalvin? Itu jelas saja bunuh diri, karena secara tidak langsung memberi ‘hint’ bahwa dia pernah menginap di sana beberapa kali.
Biya meringis saat melihat banyak pakaiannya sudah dilipat rapi dan peralatan sehari-hari sudah ditata sedemikian rupa dalam kardus berukuran sedang yang memiliki lubang pegangan. ‘Barang gue ternyata lumayan banyak ya.’ Biya mengatupkan bibir rapat saat melihat pakaian dalamnya juga tertata rapi di atas tumpukan pakaian.
Hujan deras masih turun tanpa ada tanda-tanda berhenti. Biya tak berniat berlama-lama di rumah D
05.15Maya bersumpah, dia kembali ke ibu kota tanpa memberitahu Biya, sebab ingin memberi kejutan sekaligus memberi oleh-oleh. Dia berencana ingin membawa baju-baju di apartemen pulang ke kota kelahirannya, karena akan menetap di rumah bersama ibu yang belum membaik. Namun, saat menyeret koper masuk ke dalam apartemen—Maya shock luar biasa melihat banyak pakaian berserakan di lantai ruang tengah.Selain itu, ada kantong plastik berisikan beberapa kotak kondom yang berserakan keluar di atas meja.Selama beberapa detik Maya membeku di ruang tengah dengan tubuh panas dingin. Berusaha mencerna semua yang didapati kedua mata telanjangnya. Jantung Maya berdegup kencang seperti baru saja mendapat sebuah bencana, mendapati seseorang berselingkuh.Langit ibu kota belum sepenuhnya cerah dan Maya yakin dia tidak bermimpi meski dia berharap begitu.Sedetik kemudian, pintu kamar Biya terbuka … memperlihatkan sosok Dalvin melangkah keluar dari sana tanpa mengenakan busana bagian atas. Manik mereka
Aku menarik napas sedalam mungkin ketika memarkirkan sepeda motor di tempat parkir perusahaan. Setelah Maya menegurku dan ruang tengah apartemen yang menjadi saksi bisu dari derasnya air mata kami; Maya tidak keluar dari kamarnya ketika aku mencoba bicara dengannya dan bahkan memohon-mohon. Meminta maaf, karena sudah mengecewakan serta membuatnya marah besar. Aku tahu dia marah, karena Gama adalah salah satu teman dekatnya. Sepanjang mandi, berbenah, sampai perjalanan menuju ke perusahaan pun air mataku tidak bisa berhenti jatuh. Maya memang menyuruhku pulang ke rumah untuk merenungi semua perbuatanku. Tapi, mana bisa aku merenung—menangis tersedu-sedu di rumah saat hari kerja? Semua tindakanku akan memicu pertanyaan dari ayah serta kakakku. Dan aku sama sekali tidak bisa melupakan wajah Pak Dalvin ketika Maya mengusirnya dengan begitu kasar. Aku melepas helm, meletakkannya di atas tempat duduk sepeda motor, lalu memastikan make up di sekitar mata tidak luntur akibat air mata. Melal
“It hurts to know that you will never look at me the way I look at you.” -N. V.-***Gama itu merupakan lelaki tulus yang sedari kecil dididik untuk menghargai perempuan manapun tak peduli mengenai status sosial maupun ekonomi mereka. Ditambah lagi, mama pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan membesarkannya seorang diri sebagai single mother. Gama tahu betapa menderitanya sosok ibu yang membesarkannya—bekerja, melakukan pekerjaan rumah, sekaligus mengurus anak. Maka dari itu, Gama tidak pernah berani menyakiti perempuan, sebab tidak ingin keluarganya mendapatkan karma buruk atas perbuatannya.Gama tidak menghidupi gaya hidup hedonis yang hanya fokus mencari kesenangan dan kepuasan duniawi super fana. Semasa sekolah hingga kuliah, kegiatan Gama dari Senin hingga Sabtu adalah belajar, berorganisasi, mencetak sederet prestasi, mengharumkan nama sekolah, setelah itu pulang menghabiskan waktu dengan keluarga. Gama tak pernah mengidahkan ajakan para siswa, meski itu adalah sahaba
[Gama: Ce Biya. Sorry. I don’t want to meet you anymore.Gama: Plan selama bulan ini di cancel aja.]Gama sudah enggan berekspektasi lebih jauh—semuanya sudah hilang ditebas realita tanpa ampun dan membuktikan bahwa firasat Celine benar adanya. Meski hatinya tidak baik-baik saja, tapi dunia tetap menuntut agar dia bekerja semaksimal mungkin. Gama tidak absen; memilih menghabiskan waktu bersama beberapa kolega sehabis kerja guna mengalihkan pikiran dari Biya yang sudah mematahkan hatinya.Gama hanya datang ke perusahaan saat ada proses rekrutmen, namun dia sangat menghindari Biya yang menuntut penjelasan. Meminta jawaban mengenai kenapa mereka tidak bisa bertemu lagi. Gama juga meminta maaf pada Arsen, karena tidak akan main ke rumah untuk sekadar mengobrol atau menjalin hubungan intens seperti layaknya sahabat. Gama ingin menghindari semua hal tentang Biya setelah melihat mama dan kakaknya yang ikut menangis.Gama berusaha berdamai dengan diri sendiri sesudah meminta maaf pada mama ket
“Lo mau bicarain apa sampai rela datang jauh-jauh ke sini?”Biya sudah tidak bisa mendapatkan kesempatan lagi untuk kali ke tiga, karena dia selalu membuang kesempatan yang lalu akibat nafsu semata. Biya sudah tidak punya ruang lagi di hati Gama, yang berulang kali memberi toleransi tanpa syarat dan sengaja menutup mata. Ketika kesempatan sudah habis, baru di sana manusia benar-benar mempertanyakan mengapa mereka tidak menggunakan kesempatan tersebut dengan baik.Tak jauh dari ambang pintu rumah Gama, Biya masih menangis sesenggukkan tanpa suara. Tidak mampu bicara. Air matanya tidak mau berhenti jatuh, karena nada bicara Gama sudah tak sehangat biasanya—seperti bicara pada orang asing. Hubungan memang mudah sekali untuk dihancurkan oleh nafsu sendiri, bukan? Biya menyesali semua itu.“Waktunya nggak banyak,” Gama membuka mulut lagi. Gama melipat kedua tangan di depan dada, menahan napas, dan menengadahkan kepala menatap langit yang tampak muram malam ini. Gama tidak tega melihat Biya
“People will miss you the moment you stop caring. The moment you’ve moved on. Because that’s how it works, most people only want you the moment they realize you no longer belong to them at all.” -r. m. drake“Even the strongest feelings expire when ignored and taken for granted.” -poestcafe.“Absence will tell you the importance of presence.” -unknown.***[“What the fuck are you doing? Gue sudah bilang, jauhin Dalvin! Gue nggak enak ke Gama dan keluarganya!”][“Lo jahat banget ke Gama, tahu, nggak?!”][“Nak, ayah nggak nyangka kamu begitu … kasihan Gama. Biya, sudah minta maaf ke Gama dan keluarganya, kan? Kalau belum, segeralah minta maaf..”]Dua minggu lagi, Biya resign dari tempat kerja dan sekarang sibuk mencari lowongan di tempat kerja lain. Biya seharusnya bisa bertahan. Sayang, Biya jatuh sakit—stress; nge-down berat akibat menerima banyak serangan dari pihak terdekat karena sudah menyakiti Gama. Alhasil, Biya dirawat di rumah sakit karena tipes. Kemarin suhu tubuhnya mencapai
Gama menarik lalu menghembuskan napas berulang kali ketika sampai di depan kamar rawat nomor 407. Kamar rawat Biya. Ada beberapa perawat berlalu-lalang, sesekali menanyakan apakah Gama membutuhkan bantuan. Gama jelas menggelengkan kepala dan menjawab, “Saya mau nengokin teman saya di kamar ini aja.” dia hanya belum siap melangkahkan kaki masuk untuk menemui Biya dan juga Dalvin.Namun, pada akhirnya dia memberanikan diri mengetuk pintu kamar rawat rumah sakit tersebut kemudian menggesernya ke samping. Gama tertegun—canggung setengah mati ketika pandang semua orang tertuju padanya. Jantung Gama pun sempat mencelus, karena melihat keadaan Biya yang sungguh mengkhawatirkan.“Emm..” Gama bergumam kikuk sembari menggaruk tengkuk kaku. Gama tahu ada banyak orang setelah tadi Arsen menginformasikan bahwa Dalvin tak datang sendirian. Gama meringis kecut, hendak melangkah keluar, namun para rekan kerja perempuan Biya buru-buru berdiri dari tempat duduk mereka masing-masing.“Pak Gama, Pak Gama
[+62 523 xxx xxxx: Pak, posisi di mana?][+62 523 xxx xxxx: Sebentar lagi saya ke sana.]Dalvin berada di lobby rumah sakit; duduk di depan instalasi farmasi, tempat biasanya orang mengambil obat yang sudah diresepkan oleh dokter. Beberapa kali perawat perempuan yang berjaga di balik meja instalasi farmasi tersebut mencuri pandang ke arah Dalvin yang berdiam diri sendirian di saat tak ada orang. Dalvin sengaja duduk di sana, bak pasien yang menunggu obat selesai dibuat, karena dia menghindari Arsen yang masih ada di dekat bagian administrasi.Dalvin tak mau apabila mencari keributan. Apalagi, Arsen telah memperingati agar tak perlu berlama-lama di rumah sakit dan segera pergi jika bisa. Dalvin berulang kali melirik ke arah ponsel, memperhatikan pesan terakhir yang dia kirim balik pada Gama. Memberitahukan posisinya pada sang lawan bicara.‘Lama banget,’ Dalvin menggerutu dalam hati. ‘Katanya nggak sampai sepuluh menit. Lah ini sudah mau dua puluh menit, tapi nggak muncul-muncul juga.